Tak kusangka Rena yang masih muda begitu nekad, memperkenalkan diri sebagai calon menantu pada Ibu dan Bapak mertuaku. Dia begitu gamblang dan berterus terang ingin menikah dengan Mas Satya meskipun harus jadi istri kedua.
Mertuaku memang sudah mencium hubungan antara Mas Satya dan Rena tapi tak pernah menyangka jika Rena yang masih muda akan se-berani itu.
Hanya berjarak beberapa meter saja dari ruang tamu ke kamar, terdengar perbincangan mereka. Sambil mengelap air mata aku mendekap kedua buah hatiku bersamaan. Perih sekali, aku merasa sangat tak berguna saat wanita lain menginginkan suamiku menjadi suaminya.
"Kamu sadar, Neng? Satya pria beristri jangan cari masalah!" ujar Bapak.
"Aku sadar, Pak. Aku tahu Mas Satya pria beristri tapi aku sayang Mas Satya," tegas Rena.
"Astagfirullah hal'adzim," batinku.
"Cari lelaki lain, kamu cantik ... di luar sana banyak laki-laki single, masa gak ada yang mau sama kamu?" cerocos mertuaku.
Semakin mertuaku menolak Rena semakin memohon. Aku mengintip dari celah pintu terlihat dia sampai berlutut di kaki ibu dan bapak mertuaku.
"Dengan atau tanpa restu Ibu dan Bapak aku dan Mas Satya akan tetap menikah," ucap Rena.
Mertuaku kesal dengan sikap Rena yang begitu keras kepala. Ibu akhirnya mengusir Rena keluar kontrakan, setelah itu menghampiriku di kamar. Ibu terlihat kurang nyaman, aku tau pasti beliau khawatir dengan perasaan menantunya ini.
"Kamu mendengar semuanya, Nak?" tanya Ibu.
Aku mengangguk sambil tersenyum hambar, dengan sigap Ibu memelukku lalu mencium kedua cucunya.
"Jangan khawatir Ibu akan tetap bersama kalian. Kalaupun nanti Satya nekad meninggalkan kalian Ibu dan bapak tidak akan ridho," ujar Ibu.
"Aku baik-baik saja, Ibu dan bapak jangan khawatir. Aku siap kalaupun Mas Satya meninggalkanku asalkan jangan melupakan anak-anak, itu saja," pintaku.
Bersyukur sekali memiliki mertua yang begitu baik dan menyayangiku dan anak-anak. Biarlah perasaanku sekarang seperti apa, yang penting aku harus sehat, harus kuat agar bisa mengurus dan membesarkan kedua anakku dengan baik.
Sekarang yang aku khawatirkan adalah mamaku di kampung, semenjak melahirkan si bungsu mama sakit. Kalaupun nanti sembuh aku melarangnya datang menjenguk, jangan sampai juga mama tahu kondisi rumah tanggaku sekarang. Aku takut jika nanti mama kepikiran dan nanti sakitnya tambah parah.
*****
Malam harinya sepulang kerja Mas Satya, setelah anak-anak tidur. Aku dan Mas Satya dipanggil bapak dan Ibu untuk bicara. Aku tahu pasti mereka akan membahas kejadian siang tadi.
"Duduk! Bapak dan ibu mau bicara," titah bapak.
Aku dan Mas Satyapun duduk di karpet berhadapan dengan bapak dan Ibu.
"Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan, Satya?" tanya Bapak.
"Iya, Pak. Satya yang salah, sudah memulai semuanya."
"Ya sudah, kalau tahu salah, akhiri hubunganmu dengan gadis itu! Istighfar! Kamu sudah punya istri dan anak-anak, kamu tega menyakiti mereka?" cerocos bapak.
"Satya khilaf, Pak. Sekarang Satya gak bisa apa-apa karena semuanya sudah terlambat," keluh Mas Satya.
"Tidak ada kata terlambat, Nak. Lihat Ibu! Kamu gak sayang sama ibu, kasihan istrimu baru melahirkan. Kamu jangan begini! Ibu tidak pernah mengajarkanmu begini!" bentak Ibu.
Emosi mertuaku sudah tidak terkendali karena Mas Satya tidak bisa diingatkan dan keukeuh dengan hubungannya bersama Rena.
"Baiklah, silakan lanjutkan hubunganmu dengan gadis itu tapi jangan pernah temui kami lagi. Bapak malu dengan kelakuanmu," tegas Bapak.
"Ibu juga tidak mau menemuimu lagi, besok ibu dan bapak akan pulang." ketus Ibu.
Mas Satya menangis dan bersimpuh di hadapan kedua orangtuanya, katanya dia menyesal melakukan semuanya tapi tetap tidak bisa meninggalkan Rena.
"Untuk apa menyesal, Mas? Kalau kamu tetap akan menikahi Rena itu bukan penyesalan," potongku.
Aku sudah gemas sekali dengan sikap Mas Satya yang tidak konsisten. Selama mengenal Rena segala kebaikan dalam diri Mas Satya seolah hilang, semuanya berubah, Mas Satya seperti menjadi orang lain bagiku dan mertuaku.
"Benar kata Gina, semuanya percuma!
Diingatkan juga ngeyel. Sudahlah, Bu ... Satya bukan anak-anak lagi terserah mau ngapain. Sekarang kita cuma perlu sayang mantu sama kedua cucu kita saja," tegas Bapak."Aku juga tidak mau begini, Pak tapi Rena hamil," ucap Mas Satya, pelan.
Aku sudah tak bisa berkata apa-apa lagi, ini bukan hanya mimpi buruk tapi kenyataan yang benar-benar membuat hatiku hancur. Tega sekali Mas Satya ...
"Maafkan aku, Gina ... semua ini musibah aku tidak sengaja ...."
"Cukup, Mas! Jangan teruskan lagi, aku tidak ingin mendengar penjelasan apapun lagi!" bentakku.
"Ini kecelakaan," ucap Mas Satya, lagi.
"Jangan sentuh aku, Mas. Mulai saat ini silakan jika Mas mau menikah dengan Rena. Aku siap Mas ceraikan, anak-anak biar aku yang besarkan."
Ibu mertuaku berusaha menenangkan tapi kali ini tidak bisa, batas kesabaranku sudah habis. Kesalahan yang dilakukan Mas Satya sudah tidak bisa aku toleransi lagi.
"Maaf, Pa ... bu ... Gina tidak bisa jika Mas Satya sudah berbuat sejauh ini."
Aku menyeka air mata yang sedari tadi membasahi pipi lalu berlalu meninggalkan Mas Satya dan mertuaku.
Saat melihat anak-anak tertidur rasa sakit itu semakin terasa. Rasanya begitu perih, seperti di huj*m belati bertubi-tubi. Aku tak pernah mengira jika orang yang sangat aku sayang dan sudah bertahun-tahun hidup bersamaku bisa mengkhianatiku.
Aku harus tegas, harus jadi perempuan kuat, jangan lemah! Bismillah ... aku akan memulai hidup tanpa Mas Satya, menjadi wanita mandiri yang hebat dan bisa membesarkan anak-anak sampai mereka tumbuh dewasa.
Anak-anak harus tumbuh menjadi anak yang pintar, sehat dan bahagia tanpa kekurangan apapun meskipun hidup tanpa ayahnya.
Tiga hari setelah mertuaku pulang ke kampung, Mas Satya benar-benar menikah dengan Rena. Penghulu datang dan menikahkan mereka di kontrakan Rena yang hanya berjarak beberapa kamar kontrakan saja dari tempat tinggalku.Perasaanku? Jangan ditanya, sakitnya Masya Allah tapi aku tetap hadir dan menyaksikan akad antara Mas Satya dan Rena. Sementara anak-anak dititipkan pada Mbak Ivi, aku tidak mau jika Brama ataupun Cantika menyaksikan pernikahan ayah mereka dengan wanita lain.Sebelum akad dimulai Mas Satya beberapa kali melihatku. Pertama kali tergambar jelas ekspresi kaget di wajahnya. Mungkin dia tidak menyangka jika aku akan menghadiri pernikahan sekaligus pengkhian*tan yang Mas Satya lakukan padaku."Sah? Sah?" tanya penghulu."Saaaah!" seru para saksi.Aku segera keluar meninggalkan kontrakan Rena seraya mengucap "Bismillah". Mulai hari ini, aku akan memulai kehidupan baruku. Mejadi Gina yang kuat, single Mom yang akan membesarkan kedua buah hati
Berterima kasih pada pemerintah yang telah membebaskan biaya pendidikan dasar 9 tahun. Aku sama sekali tidak kesulitan saat harus menyekolahkan Brama. Tanpa Mas Satya aku bisa, Aku diberi kelancaran dan kemudahan untuk mengurus semuanya.Karena Brama sekolah di Sekolah Dasar Negeri, aku tidak perlu memikirkan biaya bulanan, uang pandaftaran dan uang untuk pembangunan. Aku hanya perlu membeli seragam, tas, sepatu dan alat-alat tulis saja. Buku-buku bacaan dan buku pelajaran gratis nanti akan disediakan sekolah.Brama sangat bahagia, melihat lingkungan sekolah membuatnya tidak sabar untuk segara memulai tahun ajaran baru."Bu, nanti Rama sekolah diantar ayah ya?" tanya Brama."Insya Allah, kalau ayah tidak sibuk ya ... Ayah kan kerja kadang saat shift pagi jam 6 kan ayah sudah harus sampai di tempat kerja," terangku."Ya ... padahal di TV kan gitu, Bu. Rama suka lihat kalau sekolah hari pertama itu biasanya siswa baru pada diantar ayahnya," rengek Br
Sehebat apapun sekarang Mas Satya berpura-pura, sekuat tenaga aku menutup mulutku untuk tidak berbicara tapi aku tidak dapat menutup mulut dan mata orang-orang di sekitar kontrakan.Belum sehari datang ke tempatku, Bapak tidak sengaja mendengar obrolan tetangga tentang pernikahan Mas Satya untuk yang ke-dua kali. Sepulang dari warung bersama Brama, dari raut muka bapak sudah terbaca jika ada yang tidak beres."Kenapa kamu diam saja, Nak? Kenapa tidak pulang saja ke kampung? Bapak dan mama masih sanggup membiayai kamu dan anak-anak," ujar bapak."Gina baik-baik saja, Pak. Lagi pula Mas Satya tidak menceraikan Gina, Gina masih istrinya masa harus pergi begitu saja, Pak." sahutku."Keterlaluan, istri baru melahirkan dia menikah lagi. Bapak tidak akan diam, bapak tidak ridho. Kalau begini caranya sama saja dia menyakit*mu perlahan, sudah menikah lagi itu perempyan kenapa juga harus tinggal dekat sini? Pokoknya Satya harus mencer*ikanmu kalau dia tidak m
Namaku Satya Anggara, sudah tiga tahun aku merantau di kota bersama istriku Gina dan anak laki-lakiku Brama. Meskipun kami hidup mengontrak, kami tetap bertahan karena aku dan istriku bertekad untuk merubah nasib.Orangtua kami di kampung semuanya petani tak ada salahnya jika aku dan istri ingin bekerja di bidang lain untuk memperbaiki perekonomian keluarga kearah yang lebih baik.Pekerjaanku hanya sebagai karyawan pabrik biasa di sebuah perusahaan elektronik yang bekerja sama denga perusahaan milik orang China. Dengan ketekunan dan keuletanku selama beberapa tahun sedikit demi sedikit gajiku meningkat. Tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan keluarga tapi juga bisa memberi uang jajan untuk kedua orangtua kami setiap bulan.Tahun ketiga ini Alhamdulillah, naik jabatan. Aku sudah tidak mengawasi lagi bagian gudang tapi pindah ke gedung utama sebagai staff. Dengan naiknya jabatan ini berarti naik juga
Aku hanya seorang gadis kampung Misk*n yang ingin merubah nasib keluargaku. Aku anak yatim, bapak sudah meninggal 4 tahun lalu. Sebagai anak sulung aku harus lebih bekerja keras agar bisa membantu ibu membiayai ketiga adikku.Berbekal ijazah SMA aku nekad pergi ke kota, meski menjadi seorang karyawan pabrik akan kujalani yang terpenting aku dapat uang halal untuk menafkahi keluargaku.Dengan bekal seadanya aku menyewa sebuah kamar kontrakan untuk tinggal selama bekerja di kota. Jujur saja aku harus banyak berhemat karena uang bekalku yang pas-pasan. Rizki anak sholeha, saat sedang beres-beres pakaian seseorang datang memberikan nasi berkat."Assalamuallaikum!" ucap seorang laki-laki yang menurutku, sangat tampan.Aku muncul dari dalam rumah kontrakan saat mendengar ia mengucapkan salam."Maaf, Mbak ini ada nasi berkat." Dia memberik
Setelah tahun ajaran baru dimulai kegiatanku cukup sibuk karena dari jam 7 sampai jam 10 pagi harus standby menunggu Brama di Sekolah. Waktu berjualan sedikit terpangkas, aku hanya bisa berjualan dari siang sampai Maghrib saja. Dengan berkurangnya waktu jualan berkurang juga penghasilanku.Selesai shalat Shubuh aku menyempatkan mengolah stok jualan yang ada di lemari es."Assalamualaikum!""Walaikumsallam," jawabku.Begitu jelas jika yang mengucapkan salam adalah Mas Satya, aku segera mencuci tangan yang penuh dengan adonan tepung lalu membuka kunci pintu."Brama sudah bangun?" tanya Mas Satya."Barusan, tidur lagi. Setelah shalat Shubuh kelihatannya Brama masih mengantuk," jawabku."Ini uang gajianku bulan ini, seadanya. Terserah mau kamu pakai buat apa. Sudah kubagi u
Ya Amupun, Mbak kenapa bawa galon sama gas sendiri? Ini berat, sini aku bantu!" tawar Mas Ammar.Mas Ammar menghampiriku saat beristirahat di dekat teras tetangga."Gak usah, Mas. Sekarang aku sudah biasa, kok," tolakku.Mas Ammar tidak menghiraukan penolakanku, dia langsung mengangkat galon di pundaknya dan menjinjing tabung gas milikku di tangan kanannya."Mbak, mbak Gina itu perempuan jangan maksain ngangkat-ngangkat begini. Ini gas sama galon berat, loh! Di kontrakan kan banyak cowok, minta tolong saja daripada nanti pinggang Mbak kecengklak! Kalau mbak sakit siapa yang nanti jaga anak-anak?" cerocos Mas Ammar."Tabung gasnya biar aku saja yang bawa, Mas!" pintaku."Tidak usah, Mbak jalan duluan saja nanti Cantika keburu nangis."Tanpa sadar aku mengikuti perintah Mas Ammar unt
Tak terasa sudah lebih empat bulan aku berjuang sendiri, usia Cantika sudah setengah tahun. Cantika sudah mulai tengkurap dan mengangkat kepalanya sedikit-sedikit.Alhamdulillah baik Brama ataupun cantika tidak pernah kehilangan ayahnya. Selama ini Brama hanya mengira ayahnya tak pernah di rumah karena bekerja shift malam.Kuperhatikan perut Rena juga semakin membesar. Seperti saat aku mengandung Cantika dulu, Mas Satya juga begitu memanjakan Rena. Setiap pagi aku melihat Mas Satya menyapu, mengepel dan menjemur pakaian. Bahkan sekarang Mas Satya juga yang berbelanja sayuran."Kok belanjanya berdua, Mas? Romantis sekali Mas Satya mau mengantar istrinya belanja," kata ibu pedagang sayur.Mas Satya tersenyum mungkin dia bingung harus menjawab apa."Ceu Minah ini gak tahu ya? apan istrinya Mas Satya aya dua, nu kolot mah balanja nyalira nu n