“Aku akan segera kembali. Jangan lupa minum vitaminmu!” Halda mengingatkan sebelum melesat pergi dengan mobilnya. Elena mengangguk, menatap mobil itu menjauh hingga menghilang dari pandangan. Begitu Halda pergi, dia menutup pintu dengan cepat dan menghela napas lega.
Rumah kecil ini terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk-pikuk dan perhatian keluarganya. Dibeli diam-diam beberapa tahun lalu, rumah ini adalah tempat perlindungannya. Dari dulu, Elena memang ingin melarikan diri dari tekanan keluarga.
“Pasti ada yang ketinggalan,” gumam Elena saat melangkah ke arah kamar. Namun, ketukan keras di pintu membuatnya berhenti dan berbalik.
“Dasar Halda, pasti ada barangmu yang tertinggal,” Elena mendekati pintu sambil menggerutu. Namun, saat pintu terbuka, tubuhnya mendadak kaku.
Sosok di hadapannya membuat napasnya tertahan.
“Kau tidak menyuruh tamumu masuk?” suara dingin itu terdengar begitu familiar, menusuk telinga dan perasaannya. Tanpa menunggu undangan Elena, pria itu melangkah masuk begitu saja, menyandarkan tubuhnya pada kursi sudut ruang tamu yang sederhana.
Elena berdiri terpaku. Mata pria itu menyapu ruangan kecilnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, sebelum akhirnya berhenti menatap Elena dari atas hingga ujung kaki. Elena baru sadar dirinya hanya mengenakan kaus oversized dan celana pendek.
“Bagaimana kamu bisa tahu aku di sini?” suaranya terdengar pelan, hampir berbisik.
“Aku selalu tahu tentangmu, El,” pria itu menjawab dengan santai. “Bahkan jika kau bersembunyi di lubang semut sekalipun.”
Elena mengepalkan tangannya, menahan frustrasi. “Untuk apa kamu datang ke sini, Glen?” tanyanya sambil mendekat ke kursi dan duduk di hadapannya, mencoba menguasai situasi.
Mata Glen tak lepas dari wajah Elena. Rambut hitam Elena yang tergerai alami, berpadu dengan warna lembut lipstik merah mudanya, membuat Glen terlihat seolah sedang memandang sesuatu yang begitu berharga.
“Untuk apa? Tentu saja untuk melihat anakku,” jawab Glen santai, namun dengan nada yang tajam.
Elena mendengus kesal. “Pulanglah, Glen! Jika istrimu atau mertuamu tahu kau ada di sini, mereka akan mengamuk dan menyerangku. Aku sudah susah payah melarikan diri dari keluarga itu, jadi jangan libatkan aku lagi.”
Glen hanya tersenyum tipis, lalu melepas jas hitam yang membalut tubuhnya. Kemeja putih yang dikenakannya menampilkan siluet tubuhnya yang tegap dan berotot, membuat Elena memalingkan pandangan untuk menghindari tatapannya yang semakin intens.
“Bukankah seharusnya kamu berterima kasih padaku?” ucap Glen, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. “Tanpaku, kamu tak akan punya alasan untuk melarikan diri dari rumah.”
Elena menatap Glen tajam. “Baiklah. Terima kasih banyak, Glen,” balasnya dengan nada sarkastis. “Sekarang, kamu bisa pergi. Aku butuh istirahat.”
Dia berdiri, mencoba mendorong Glen agar bangkit dari kursinya. Namun, sebaliknya, Glen malah menarik tubuhnya dengan kekuatan yang tidak bisa dilawan Elena. Dalam sekejap, Elena terjatuh dan kini duduk di pangkuan Glen.
“Kau tidak merindukanku?” bisik Glen tepat di telinga Elena. “Dua tahun kita bersikap seolah tidak saling mengenal. Kau tidak pernah berpikir untuk kembali padaku?”
Tatapan mata mereka bertemu. Ada kemarahan di mata Elena, tapi Glen hanya tersenyum samar. Tangannya terulur, menyibakkan rambut hitam Elena yang berantakan di wajahnya, sementara napasnya berhembus pelan, namun penuh intensi.
“Glen, hentikan...” suara Elena bergetar, tapi dia tahu Glen tidak akan mendengarkan.
“Aku tidak akan pergi, Elena. Kau tahu itu,” ucap Glen tegas, matanya menatap Elena dengan intensitas yang sulit diabaikan.
”Glen, cukup. Tindakanmu semakin menyulitkanku.” Elena kini merendahkan suaranya. Merasa bahwa Glen mulai meregangkan dekapannya. Dia langsung bengkit. Perutnya yang duah membesar dilihat Glen dengan tatapan yang dalam.
“Aku membawakanmu banyak makanan. Aku pastikan kamu tak akan kekurangan gizi di sini.” Setelah berkata demikian, dia langsung bangkit dan kemudian melenggang pergi dari rumah kecil milik Elena.
*
“Makanlah, sayang.” Rosa mencoba merayu Jacob dengan nada lembut. Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua siang, tapi sepiring makanan yang terhidang di meja masih utuh, tak tersentuh sedikit pun oleh lelaki tua itu. Wajahnya terlihat letih, dengan pandangan mata yang terus terpaku pada jendela besar di ruang makan.
“Aku belum lapar,” sahut Jacob dingin, tanpa sedikit pun menoleh pada istrinya.
Rosa menarik napas panjang, seolah mencari cara agar suaminya mendengarkan. “Kalau kamu masih memikirkan Elena, harusnya tidak perlu menyuruhnya pergi,” ucapnya hati-hati, memilih kata-kata dengan penuh perhitungan. Suaranya terdengar seperti bisikan, namun cukup untuk membuat Jacob menoleh padanya dengan sorot mata yang tajam.
“Kamu selalu membelanya.” Pernyataan Jacob terdengar seperti tuduhan, penuh dengan kecurigaan. Rosa hanya tersenyum tipis, tidak menanggapi provokasi suaminya. Dia mendekat, duduk di sampingnya, lalu mengusap punggung Jacob dengan lembut.
“Aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri. Bagaimana mungkin aku tidak memikirkannya?” Rosa memasang ekspresi sedih, wajahnya seolah memancarkan kepedulian yang tulus. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, ada senyuman samar di sudut bibirnya, tipis dan nyaris tak terlihat.
“Kita lihat saja sejauh mana dia bisa hidup tanpa keluarga Martin,” gumam Jacob, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. Matanya menatap kosong ke depan, seolah pikirannya sedang melayang jauh.
Rosa tersenyum samar, matanya menyiratkan kepuasan kecil. “Kalau begitu, makanlah.” Dia meraih sendok di atas meja, menyuapi suaminya dengan semangkuk bubur hangat yang baru saja disiapkan oleh pelayan. Jacob menerimanya tanpa perlawanan, meski tatapan matanya tetap kosong.
Sementara itu, di pintu depan, Freya baru saja masuk dengan langkah percaya diri. Rambutnya yang baru ditata di salon berkilauan di bawah cahaya lampu gantung besar. Di tangannya, beberapa kantong belanjaan mahal menggantung dengan anggun.
“Letakkan semuanya di lemariku,” perintahnya pada seorang pelayan tanpa menoleh atau sekadar memberikan senyuman. Nada bicaranya tegas, nyaris seperti seorang ratu yang berbicara pada bawahannya.
Freya berjalan menuju ruang tengah. Pandangannya menyapu ruangan yang tampak begitu sepi sejak kepergian Elena. Namun, alih-alih merasa kehilangan, sudut bibirnya justru terangkat, membentuk senyuman sinis. Ia kemudian merebahkan diri di sofa besar, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kenyamanan furnitur mewah itu.
“Lihatlah, El,” gumam Freya lirih, berbicara pada dirinya sendiri. Matanya menatap langit-langit rumah yang tinggi, penuh kemegahan. “Rumah ini sekarang benar-benar milikku. Semua ini adalah milikku.”
Dia tertawa kecil, hampir seperti bisikan iblis yang bergema di ruangan kosong. Bagi Freya, kepergian Elena adalah langkah menuju kejayaannya. Setelah lima belas tahun tinggal di rumah ini, dia yakin bahwa posisinya di keluarga Martin kini tak tergoyahkan.
“Kak Freya...” Suara lirih itu memecah lamunan Freya. Ia segera bangkit dari posisi rebahannya, mengalihkan pandangannya ke arah suara yang memanggil.
Bibir Freya mengatup erat, matanya membelalak saat melihat siapa yang berdiri di sana.
“Sejak kapan kamu di sini?” tanyanya tergagap. Ada nada ketidakpercayaan sekaligus keterkejutan dalam suaranya. Namun, dia tak sanggup melanjutkan pertanyaannya lebih jauh.
Gadis itu hanya tersenyum samar, lalu melangkah mendekat dengan tenang. Di tangannya ada segelas cokelat hangat yang mengepul lembut, menyebarkan aroma manis yang menenangkan.
“Kak, aku bawakan segelas cokelat hangat,” katanya lembut. “Katanya ini bagus untuk menetralisir suasana hati agar lebih tenang.”
Gadis itu meletakkan gelas tersebut di atas meja kecil di dekat Freya. Gerakannya perlahan, seperti seseorang yang sudah hafal benar bagaimana bersikap sopan di depan orang yang lebih tua. Tapi ada sesuatu yang aneh dalam tatapan matanya,senyum yang tampak tulus, namun sulit diterjemahkan.
“Lupakan, aku hanya bertanya saja.” Hana menundukkan sebagian tubuhnya untuk berpamitan sebelum akhirnya berbalik dan pergi.Sementara itu, Glen yang baru saja keluar dari kediaman Martin membuka map yang baru saja Patrick berikan. Dia memeriksa isinya dengan seksama, dahinya berkerut.“Kamu yakin?” tanyanya pada pria yang duduk di kursi kemudi. Matanya tajam menatap Patrick, menunggu kepastian.“Masih menunggu info valid, Tuan,” jawab Patrick tegas.Glen mengangguk paham. Dia membuka sebagian kaca jendela mobilnya, membiarkan udara luar masuk. Pandangannya menembus langit siang yang cerah dan terik. Nafasnya berat, seolah ada beban besar yang tengah menghimpit dadanya.Mobil hitam pekat itu melaju dengna cepat membelah jalanan kota norland dengan kecepatan tinggi.*Elena duduk di sofa dengan tubuh sedikit kaku, merasa sungkan di bawah tatapan tajam William. Sejak tadi, pria itu menat
“Sayang, aku nggak mau bercerai denganmu. Aku mohon, jangan lakukan ini padaku.” Freya memohon dengan suara bergetar, air mata mengalir di wajahnya. Dia bahkan berlutut, memegang kaki Glen seolah itu satu-satunya cara untuk menghentikan keputusannya.Glen menghela napas panjang, lalu merogoh saku celananya. Dengan gerakan santai, dia mengeluarkan sebatang rokok dari kotaknya, menyalakan, dan menyesapnya perlahan. Asap putih mengepul di udara, menciptakan jarak tak kasatmata antara mereka.“Besok adalah acaramu, aku akan menundanya sampai lusa. Tapi jangan salah paham, Freya. Aku tetap tidak akan mengampunimu.” Tanpa ragu, dia menghempaskan Freya dengan kasar hingga tubuh perempuan itu terjatuh ke lantai.“Sayang, tunggu! Aku hamil!”Langkah Glen terhenti. Dengan gerakan lambat, dia menoleh dan menatap Freya yang masih terduduk di lantai. Mata perempuan itu berbinar penuh harap, yakin bahwa kata-katanya mampu membatalkan
Halda membantu Elena berkemas. Tak ada alasan lagi untuk tetap tinggal di bangsal perawatan saat ini.“Aku sudah pergi ke ruang administrasi, dan kau pasti sudah tahu jawabannya.” Halda berbicara tanpa menoleh pada Elena. Mendengar itu, Elena langsung membanting selimutnya kasar di atas ranjang rumah sakit.“Tak ada gunanya kamu kesal. Mau kamu pergi ke ujung dunia mana pun, dia tetap tak akan membiarkanmu.”Elena mendengus kesal. Dia mengingat bagaimana Glen berubah sikap sejak menikah dengan kakak tirinya, Freya. Walaupun begitu, pria itu justru mencari celah, bahkan membuat Elena hamil.Saat mereka larut dalam keheningan, tiba-tiba suara deritan pintu yang terbuka memecah diamnya ruangan. Elena menoleh ke asal suara dan melihat Widya masuk dengan ragu.“Nona…” Widya memanggilnya pelan. Elena hanya tersenyum tipis, seolah membalas sapaan itu.“Aku turut berduka atas apa yang terjadi padamu.” Lalu Widya mendekat dan meraih tangan Elena, men
Elena duduk di tepi ranjang rumah sakit. Di sampingnya, Glen berdiri diam. Tatapannya lekat, penuh dengan emosi yang sulit diartikan. Elena tahu pria itu ingin mengatakan sesuatu, tapi ia lebih memilih diam."Glen, aku mohon padamu, jangan semakin mempersulitku saat ini." Suara Elena lirih, penuh kepenatan.Glen tetap tak bergeming. Matanya menyusuri wajah Elena yang lelah. Seberapapun keras Elena berusaha mengusirnya, Glen tak akan pergi."Kamu tak bertanya tentang kabar ayahmu?" tanyanya pelan.Elena mendengar pertanyaan itu, tapi sengaja mengabaikannya. Jacob, ayahnya. Ia memang merindukan sosok tua itu, tetapi setiap kali mengingat amarah dan kekecewaan yang terpancar dari matanya terakhir kali mereka bertemu, Elena mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh."Dia mungkin belum tahu. Kecuali ada yang memberitahunya, tapi aku yakin itu tak akan terjadi," lanjut Glen dengan nada samar.Dia mengulas senyum tipis, lalu tanpa izin mendeka
Elena masih menatap lekat-lekat nominal pada cek di tangannya. Jumlahnya begitu besar, nyaris sulit dipercaya. Wanita tua itu benar-benar kaya raya.Suara derit pintu kamar membuatnya tersadar. Tanpa menoleh, ia melirik sekilas ke arah pintu dan mendapati sosok pria yang masuk dengan beberapa kantong belanjaan di tangannya. Dengan sigap, Elena segera menyelipkan cek itu ke dalam kantong mantelnya."Kamu benar-benar lebih suka melihatku sengsara, Kak." Ucapnya dengan nada setengah menyindir.Ia masih kesal dengan Glen. Pria itu sama sekali tak menggubris maksudnya saat mereka berbicara tadi siang. Bahkan sekarang, Glen datang tanpa mengganti pakaian, sepertinya benar-benar tak pulang ke rumah."Aku selalu konsisten dengan ucapanku." Glen menjawab singkat, lalu meletakkan kantong-kantong belanjaan itu ke atas meja.Tatapannya menyipit saat menyadari sesuatu. Di atas meja, sudah tersaji berbagai macam makanan dengan bran
"Waktunya menyusui, Nona Angel." Seorang perawat datang memberitahu Elena. Elena yang paham langsung bangkit dan memberi kode pada Halda untuk segera pergi."Kembalilah besok pagi. Aku akan baik-baik saja di sini." Halda, yang melihat Elena cukup yakin, akhirnya mengangguk dan menurutinya. Lagi pula, ada urusan penting malam ini, jadi dia setuju untuk mengikuti permintaan Elena. Sementara itu, Elena melangkah masuk ke ruang khusus menyusui.Tak lama setelah itu, seorang perawat lain datang menggendong seorang bayi mungil dengan selimut pink yang tampak mahal."Suster, kenapa aku merasa sakit ketika dia menyusu?" Elena bertanya sambil menahan rasa sakit saat bibir mungil Angel menyentuh dadanya. Perawat muda itu tersenyum dan menjelaskan."Karena dia belum terbiasa, langit-langit mulut bayi kadang masih kasar pada awalnya," jawab suster tersebut. Elena hanya mengangguk seolah paham, meskipun rasa sakit itu masih terasa. Di sisi lain, dia melihat Angel. Mat