Elena, seorang gadis muda yang diusir oleh ayahnya dalam keadaan hamil tua, harus menghadapi kenyataan pahit setelah anaknya lahir prematur akibat manipulasi kakak tirinya, Freya. Sayangnya, anak yang ia perjuangkan tak dapat bertahan hidup. Kehilangan itu membawa Elena ke titik terendah, hingga ia menerima tawaran untuk menjadi ibu ASI bagi bayi William, CEO yang baru kehilangan istrinya saat melahirkan. Apakah hubungan Elena dan William sekedar Ibu susu untuk bayinya saja?
View More“Siapa lelaki yang menghamilimu, Elena?” tanya Tuan Jacob dengan wajah memerah menahan amarah. Elena hanya menunduk dalam, meskipun demikian dia masih bisa melihat alas kaki dari orang-orang yang tengah berkumpul di ruang tamu saat ini.
“Kamu masih tak mau jujur? Sungguh berniat menjadi jalang?” Kini teriakan itu semakin keras. Tuan Jacob membanting gelas kaca yang dia bawa, suaranya menggema dan membuat keheningan di ruangan itu semakin mencekam.
“Ayah....” Suara Freya terdengar lembut, dia berdiri dan mendekati lelaki tua yang duduk tegang di sana. “Jangan terlalu keras, ingatlah bahwa tekanan darahmu cukup tinggi.” Bersamaan dengan itu, Elena melirik pria yang duduk di sebelah kursi Freya. Dia hanya bisa menghela napas saat melihat wajah dingin itu menatapnya tanpa ekspresi.
“Seharusnya kau banyak belajar dari kakakmu ini. Dia tak sekalipun membuat ulah dan justru membuat keluarga Martin bangga.”
Elena memilih untuk tidak menangis. Dia sudah tahu bahwa ayahnya lebih memanjakan Freya daripada dirinya.
“Elena, jujur saja. Siapa lelaki itu?” Kini Freya bertanya dengan lembut. Elena hanya mendecih dan tersenyum tipis di ujung bibirnya.
“Lebih baik jika kalian semua tak tahu siapa pria yang menghamiliku.” Jawaban singkat dari Elena membuat wajah Jacob semakin memerah padam. Dua puluh tahun lalu, dia begitu bahagia saat mendengar tangis putri kecilnya itu. Namun sekarang, dia merasa bayi yang dulu dia peluk dengan suka cita seolah kini melemparkan kotoran tepat ke wajahnya sendiri.
“Elena!”
“Apalagi, Ayah? Aku tidak akan mengakuinya. Lalu Ayah mau apa?” Elena menantang balik dengan suara dingin.
“Baiklah, kalau kamu masih tak bisa diatur. Urus hidupmu dan bayi itu sendiri. Mulai detik ini kamu bukan lagi keluarga Martin.” Jacob bangkit, langsung berjalan menuju kamarnya, diikuti oleh Rosa, istrinya, yang sedari tadi hanya diam saja, tak membela ataupun membantah suaminya.
“Kamu berlebihan, sayang.” Rosa mencoba menenangkan Jacob yang kini duduk di pinggiran ranjang mewah mereka.
“Kau tak perlu membelanya, Rosa. Sejak kecil dia selalu dimanja. Dan sekarang, justru semakin liar.” Rosa tersenyum tipis, tidak ingin memperpanjang pembicaraan. Dia tahu betapa kecewanya Jacob pada Elena.
Sementara itu, di ruang tamu, Freya mencoba membantu Elena bangkit. Namun, Elena langsung menghempaskan tangan itu dengan lembut.
“Aku bisa sendiri, Kak.”
“Elena, di luar sedang hujan. Kamu tak akan benar-benar menuruti kata Ayah, bukan?” Elena hanya menatap mata Freya dengan dalam.
“Kamu tak perlu khawatir, aku bisa mengatasinya sendiri.”
“Tunggulah sampai besok pagi. Ayah pasti tak akan keberatan jika kamu bermalam terlebih dahulu.” Freya menarik tangan Elena dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Di ruang tamu, kini hanya tersisa satu pria. Dia mengambil sebatang rokok, menyalakannya, dan mengisapnya pelan. Senyum getir muncul di sudut bibirnya, menghilang di antara asap rokok yang membumbung ke udara.
Elena menutup pintu kamarnya dengan sekali hentakan, tanpa membiarkan Freya ikut masuk. Keheningan malam membuat suara itu terdengar menggema, namun dia tak peduli.
Langkahnya gontai saat menuju lemari pakaian di sudut kamar yang sudah tak lagi terasa seperti miliknya.
Lemari itu hanya berisi pakaian-pakaian bekas milik Freya. Gaun-gaun mahal yang dulunya sering dipamerkan Freya kini tergantung di sana, lusuh dan tanpa makna.
Elena menatapnya dengan pandangan kosong, mengingat kapan terakhir kali dia membeli sesuatu yang benar-benar dia sukai. Jawabannya nihil. Semuanya hanyalah sisa-sisa dari apa yang sudah dibuang oleh Freya.
“Seharusnya aku senang bisa keluar dari rumah ini,” gumamnya lirih sambil memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas daypack yang biasa dia bawa ke kampus. Tidak ada barang berharga yang dia miliki di rumah ini, kecuali dirinya sendiri. Dan itu pun sudah dianggap aib.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Halda muncul di layar. Elena menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangkat.
“Mau aku jemput sekarang?” tanya suara itu tanpa basa-basi.
Elena tetap diam, mengumpulkan keberanian untuk menjawab. “Aku... aku butuh waktu beberapa jam lagi. Tunggu sampai semuanya tidur.”
Di ujung telepon, Halda menghela napas panjang. “Baiklah. Aku sudah membersihkan sebagian kamar tamu. Tidak terlalu buruk untuk dipakai bermalam.”
“Terima kasih,” jawab Elena singkat sebelum mematikan panggilan.
Matanya kini beralih pada meja kecil di sebelah ranjang. Di sana, sebuah bingkai foto berdiri dengan sedikit berdebu. Foto seorang gadis muda dengan rambut hitam lebat dan senyum mengembang, memancarkan kebahagiaan yang kini terasa asing. Elena mengambil bingkai itu, menatapnya sejenak, lalu memasukkannya ke dalam tas bersama sisa barang-barangnya.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Seluruh lampu di kediaman keluarga Martin sudah dimatikan, kecuali beberapa di area ruang tamu.
Elena mengintip dari celah pintu kamarnya, memastikan tak ada pelayan yang berkeliaran. Tapi pikirannya mendadak tertawa sinis pada dirinya sendiri.
“Kenapa aku harus takut ketahuan? Bukankah aku sudah diusir?” bisiknya, menertawakan ironi yang dia rasakan.
Dengan langkah lebih percaya diri, dia menyampirkan ransel di pundaknya dan berjalan turun melewati tangga besar rumah itu. Kakinya bergerak pelan, tapi hatinya penuh kepastian. Begitu tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti.
Pria itu masih ada di sana.
Duduk di sofa dengan tangan yang bersilang, matanya yang tajam mengawasi setiap gerakan Elena. Dia tak berkata apa-apa, namun tatapannya berbicara lebih banyak dari seribu kalimat. Elena tahu bahwa dia tak akan menghentikan langkahnya. Dan benar saja, pria itu tetap diam saat dia melanjutkan perjalanannya menuju pintu keluar.
Di luar, gerbang besar keluarga Martin yang biasa terkunci rapat kini sedikit terbuka, seperti memberikan jalan. Elena melangkah melewatinya tanpa menoleh ke belakang.
“Elena!” teriakan itu memecah keheningan malam. Sebuah mobil berwarna merah menyala sudah menunggu di seberang jalan. Halda, dengan senyum lebarnya, melambai dari balik kemudi.
Elena tersenyum tipis sebelum masuk ke dalam mobil.
“Sepertinya keluargamu sangat antusias membiarkanmu pergi,” ujar Halda sambil menyalakan mesin. Dia tertawa kecil, tapi nada canda itu seperti duri bagi Elena.
Elena hanya menanggapi dengan senyum pahit.
“Kamu yakin tidak keberatan menampung seorang anak buangan keluarga Martin?”
“Buangan?” Halda menoleh, menatapnya dengan seringai. “Siapa yang akan mempermasalahkan? Ayahmu? Keluarga Martin? Lucu sekali.”
Halda tertawa lebih keras, membuat Elena menghela napas. Halda Trunajaya, keturunan keluarga bangsawan dari kota Norland, memang terkenal dengan kelakuannya yang liar.
Kakeknya adalah pendiri pabrik baja terbesar di daerah itu, sementara keluarga ibunya terkenal sebagai dokter terkemuka. Tapi Halda... dia adalah pengecualian. Lahir dari kemewahan, tapi hidup seakan semua aturan diciptakan untuk dilanggar.
“Kalau mereka berani protes, bilang saja mereka sudah membuang sesuatu yang sebenarnya lebih berharga dari semua yang mereka miliki,” tambah Halda, setengah bercanda, setengah serius.
Elena tak membalas. Matanya hanya menatap ke luar jendela, perlahan tangannya mengusap perutnya yang memang sudah membesar.
“Mau bertaruh? pria yang menghamilimu ini akan mencarimu besok pagi.”
“Lupakan, aku hanya bertanya saja.” Hana menundukkan sebagian tubuhnya untuk berpamitan sebelum akhirnya berbalik dan pergi.Sementara itu, Glen yang baru saja keluar dari kediaman Martin membuka map yang baru saja Patrick berikan. Dia memeriksa isinya dengan seksama, dahinya berkerut.“Kamu yakin?” tanyanya pada pria yang duduk di kursi kemudi. Matanya tajam menatap Patrick, menunggu kepastian.“Masih menunggu info valid, Tuan,” jawab Patrick tegas.Glen mengangguk paham. Dia membuka sebagian kaca jendela mobilnya, membiarkan udara luar masuk. Pandangannya menembus langit siang yang cerah dan terik. Nafasnya berat, seolah ada beban besar yang tengah menghimpit dadanya.Mobil hitam pekat itu melaju dengna cepat membelah jalanan kota norland dengan kecepatan tinggi.*Elena duduk di sofa dengan tubuh sedikit kaku, merasa sungkan di bawah tatapan tajam William. Sejak tadi, pria itu menat
“Sayang, aku nggak mau bercerai denganmu. Aku mohon, jangan lakukan ini padaku.” Freya memohon dengan suara bergetar, air mata mengalir di wajahnya. Dia bahkan berlutut, memegang kaki Glen seolah itu satu-satunya cara untuk menghentikan keputusannya.Glen menghela napas panjang, lalu merogoh saku celananya. Dengan gerakan santai, dia mengeluarkan sebatang rokok dari kotaknya, menyalakan, dan menyesapnya perlahan. Asap putih mengepul di udara, menciptakan jarak tak kasatmata antara mereka.“Besok adalah acaramu, aku akan menundanya sampai lusa. Tapi jangan salah paham, Freya. Aku tetap tidak akan mengampunimu.” Tanpa ragu, dia menghempaskan Freya dengan kasar hingga tubuh perempuan itu terjatuh ke lantai.“Sayang, tunggu! Aku hamil!”Langkah Glen terhenti. Dengan gerakan lambat, dia menoleh dan menatap Freya yang masih terduduk di lantai. Mata perempuan itu berbinar penuh harap, yakin bahwa kata-katanya mampu membatalkan
Halda membantu Elena berkemas. Tak ada alasan lagi untuk tetap tinggal di bangsal perawatan saat ini.“Aku sudah pergi ke ruang administrasi, dan kau pasti sudah tahu jawabannya.” Halda berbicara tanpa menoleh pada Elena. Mendengar itu, Elena langsung membanting selimutnya kasar di atas ranjang rumah sakit.“Tak ada gunanya kamu kesal. Mau kamu pergi ke ujung dunia mana pun, dia tetap tak akan membiarkanmu.”Elena mendengus kesal. Dia mengingat bagaimana Glen berubah sikap sejak menikah dengan kakak tirinya, Freya. Walaupun begitu, pria itu justru mencari celah, bahkan membuat Elena hamil.Saat mereka larut dalam keheningan, tiba-tiba suara deritan pintu yang terbuka memecah diamnya ruangan. Elena menoleh ke asal suara dan melihat Widya masuk dengan ragu.“Nona…” Widya memanggilnya pelan. Elena hanya tersenyum tipis, seolah membalas sapaan itu.“Aku turut berduka atas apa yang terjadi padamu.” Lalu Widya mendekat dan meraih tangan Elena, men
Elena duduk di tepi ranjang rumah sakit. Di sampingnya, Glen berdiri diam. Tatapannya lekat, penuh dengan emosi yang sulit diartikan. Elena tahu pria itu ingin mengatakan sesuatu, tapi ia lebih memilih diam."Glen, aku mohon padamu, jangan semakin mempersulitku saat ini." Suara Elena lirih, penuh kepenatan.Glen tetap tak bergeming. Matanya menyusuri wajah Elena yang lelah. Seberapapun keras Elena berusaha mengusirnya, Glen tak akan pergi."Kamu tak bertanya tentang kabar ayahmu?" tanyanya pelan.Elena mendengar pertanyaan itu, tapi sengaja mengabaikannya. Jacob, ayahnya. Ia memang merindukan sosok tua itu, tetapi setiap kali mengingat amarah dan kekecewaan yang terpancar dari matanya terakhir kali mereka bertemu, Elena mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh."Dia mungkin belum tahu. Kecuali ada yang memberitahunya, tapi aku yakin itu tak akan terjadi," lanjut Glen dengan nada samar.Dia mengulas senyum tipis, lalu tanpa izin mendeka
Elena masih menatap lekat-lekat nominal pada cek di tangannya. Jumlahnya begitu besar, nyaris sulit dipercaya. Wanita tua itu benar-benar kaya raya.Suara derit pintu kamar membuatnya tersadar. Tanpa menoleh, ia melirik sekilas ke arah pintu dan mendapati sosok pria yang masuk dengan beberapa kantong belanjaan di tangannya. Dengan sigap, Elena segera menyelipkan cek itu ke dalam kantong mantelnya."Kamu benar-benar lebih suka melihatku sengsara, Kak." Ucapnya dengan nada setengah menyindir.Ia masih kesal dengan Glen. Pria itu sama sekali tak menggubris maksudnya saat mereka berbicara tadi siang. Bahkan sekarang, Glen datang tanpa mengganti pakaian, sepertinya benar-benar tak pulang ke rumah."Aku selalu konsisten dengan ucapanku." Glen menjawab singkat, lalu meletakkan kantong-kantong belanjaan itu ke atas meja.Tatapannya menyipit saat menyadari sesuatu. Di atas meja, sudah tersaji berbagai macam makanan dengan bran
"Waktunya menyusui, Nona Angel." Seorang perawat datang memberitahu Elena. Elena yang paham langsung bangkit dan memberi kode pada Halda untuk segera pergi."Kembalilah besok pagi. Aku akan baik-baik saja di sini." Halda, yang melihat Elena cukup yakin, akhirnya mengangguk dan menurutinya. Lagi pula, ada urusan penting malam ini, jadi dia setuju untuk mengikuti permintaan Elena. Sementara itu, Elena melangkah masuk ke ruang khusus menyusui.Tak lama setelah itu, seorang perawat lain datang menggendong seorang bayi mungil dengan selimut pink yang tampak mahal."Suster, kenapa aku merasa sakit ketika dia menyusu?" Elena bertanya sambil menahan rasa sakit saat bibir mungil Angel menyentuh dadanya. Perawat muda itu tersenyum dan menjelaskan."Karena dia belum terbiasa, langit-langit mulut bayi kadang masih kasar pada awalnya," jawab suster tersebut. Elena hanya mengangguk seolah paham, meskipun rasa sakit itu masih terasa. Di sisi lain, dia melihat Angel. Mat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments