Share

bab 2

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-30 11:37:24

Suara Glen dan Freya  menggema di kamar mewah itu. Sudah hampir dini hari, dan Freya merasa seolah waktu berjalan begitu cepat. Dia mendapati suaminya, yang tiba-tiba berubah ganas, mencumbunya dengan cara yang berbeda dari biasanya.

“Kamu puas sekarang?” tanya Glen dengan mata dingin, seolah pertanyaan itu tidak lebih dari sekadar formalitas. Freya hanya bisa mengangguk, matanya menatap dalam pada sosok yang bahkan tak mau menatapnya.

Ini pertama kalinya, setelah hampir dua tahun menikah, Glen mau berhubungan layaknya pasangan suami istri. Tapi, Freya tahu, itu tidaklah cukup.

Setelah itu, Glen langsung bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, tanpa menghiraukan Freya yang masih terbaring lemas di tempat tidur. Suara shower yang menyemprot keras menggusar suasana, menggambarkan penyesalan yang semakin mendalam, meski Glen enggan mengakuinya.

“Sialan…” bisik Glen, meninju udara seperti mencari pelampiasan atas kekesalannya.

Freya hanya diam, menatap tubuhnya yang masih terbaring lemas. Dia melihat bekas merah di dadanya, bekas dari perjuangannya untuk mendapatkan perhatian suaminya. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya, merasa sedikit bangga meski hatinya terluka.

Tak lama kemudian, Glen keluar dari kamar mandi dengan mengenakan celana panjang dan langsung mengambil kemeja putih dari lemari. Freya masih menatapnya dengan penuh harap, meskipun dia tahu betul bahwa harapannya sering kali tak pernah terbalas.

“Sayang, kamu nggak akan keluar hari ini, kan?” tanyanya dengan suara manja, mencoba merayu seperti biasanya.

Glen hanya melirik tanpa menoleh. “Aku ada urusan, mungkin sampai malam.”

Freya merasa wajahnya seketika berubah. “Tapi ini hari libur…” dia berusaha merayu, berjalan mendekati Glen dengan selimut yang melilit tubuhnya.

“Suamimu nggak kenal libur. Harusnya kamu tahu konsekuensinya.” Glen menjawab dengan nada yang datar, tanpa menatapnya.

Freya melepaskan tangannya yang semula menggenggam lengan Glen, merasa perasaan hangat yang tadi sempat ada menghilang begitu saja.

Glen terus melanjutkan, “Aku sudah transfer 100 juta ke rekeningmu. Bukankah kamu bilang mau ke salon hari ini?”

Freya menggeleng. “Cukup, sayang. Bukankah kamu suka aku apa adanya? Aku tak perlu banyak berubah.”

Glen tidak menghiraukan jawabannya. Dengan langkah cepat, ia meraih ponselnya dan berjalan menuju pintu kamar, meninggalkan Freya dengan perasaan yang semakin penuh dengan amarah.

Suara pintu yang tertutup keras itu hanya memperjelas ketidakpedulian Glen. Freya masih duduk di tepi tempat tidur, meremas selimut dengan sekuat tenaga.

“Tapi, bukankah ini kemajuan?” bisiknya pada dirinya sendiri, senyum tipis kembali muncul. “Setidaknya dia mau tidur bersamaku malam ini.”

*

Halda membuka kotak makan dan menyerahkannya pada Elena.

 “Aku dengar ikan laut baik untuk perkembangan janin,” katanya, sambil menatap Elena yang sedang menyiapkan diri untuk makan. Elena mengangguk, menunjukkan bahwa dia setuju.

“Mungkin lain kali aku bisa masak sendiri,” ujar Elena, berusaha terdengar santai. Namun, Halda langsung melotot padanya, seolah tidak setuju dengan apa yang baru saja diucapkan. Setelah itu, Halda melanjutkan sarapan, tanpa banyak kata.

“Kamu nggak perlu khawatir soal izin cuti. Aku sudah urus semuanya,” kata Halda lagi, mencoba menenangkan Elena yang tampak cemas.

“Terima kasih banyak, sayang,” jawab Elena, sambil memberikan senyum yang tampak begitu tulus. meskipun ada yang tidak enak terasa di dalam dada Halda. Namun, kemudian mereka tertawa bersama, mencairkan suasana sejenak.

“Aku sudah punya beberapa pekerjaan yang bisa mengisi waktu untuk menunggu kelahiran,” lanjut Elena, memecah keheningan.

Untung saja Elena cerdas. Dia sengaja membuat akun anonim dan membuka jasa pembuatan tugas kuliah. Meski uang yang ia hasilkan tidak sebanding dengan uang bulanan yang diberikan ayahnya. Tapi setidaknya, dia merasa sudah mengantisipasi banyak hal, terutama biaya yang akan datang menjelang kelahiran bayinya.

Halda hanya mendengus pelan. “Aku bisa menafkahi kamu sampai saat itu tiba,” katanya dengan nada yang agak sinis. Elena menatapnya, tampak kesal.

“Maafkan aku, Hal, tapi aku bukan wanita matre.” Dia mengucapkan kata-kata itu dengan senyum ejekan, mencoba mengalihkan perhatian. Halda hanya tersenyum tipis, Elenapun menanggapi dengan cara yang hampir sama.

“Saking nggak matrenya, kamu malah biarin pria itu menghamili kamu tanpa tanggung jawab,” balas Halda, dengan nada yang sedikit menusuk.

Elena memutar matanya, seolah lelah dengan percakapan ini. “Ah, kau bikin aku nggak nafsu makan,” katanya sambil tertawa canggung.

“Gak nafsu makan? Gara-gara dia? Hah, memuakkan. Kamu harus makan lebih banyak. Pikirkan gizi untuk bayimu. Buktikan sama dia bahwa kamu bisa hidup tanpa bantuan dia.” Halda mencoba berbicara serius, meskipun sedikit menghina.

Elena terdiam, perasaan berat mengendap di hatinya. “Nyatanya, aku memang harus berjuang sendirian. Tanpa keluarga, apalagi pertanggungjawaban dari dia.”

“Seperti apa yang aku bilang kemarin malam. Aku ingin lihat dia datang pagi ini. Apa dia benar-benar punya nyali unt2uk bertanggung jawab?” ujar Elena, tatapannya penuh tekad dan sedikit kekesalan.

Sedang di kediaman keluarga martin,  Rosa sengaja menyiapkan hidangan pagi dengan menu yang sangat banyak, hampir menyerupai perayaan kecil. Meja makan penuh dengan berbagai makanan, membuat suasana terasa istimewa.

“Kenapa kamu begitu bahagia pagi ini? Apa ada sesuatu yang spesial selain kejadian semalam?” bisik Rosa kepada Freya, yang duduk di kursinya dengan sikap anggun.

Freya tersenyum kecil, kemudian menurunkan kerah bajunya sedikit, memperlihatkan bekas merah samar di dadanya. Rosa, yang melihat itu, langsung membekap mulutnya dengan tangan, seolah tak percaya.

“Oh Tuhan, kau benar-benar melakukannya? Bagaimana rasanya? Bukankah ini berita bahagia?” Rosa berbisik penuh antusias, tatapannya bercahaya.

Freya tersipu malu, pipinya bersemu merah, lalu mengangguk pelan. Sebelum percakapan mereka berlanjut, salah satu pelayan mendekat ke arah Rosa.

“Nyonya, Tuan besar meminta agar sarapannya dibawa ke kamar,” kata pelayan itu sopan.

Rosa menghela napas panjang, lalu mengangguk dengan ekspresi sedikit kesal. “Baiklah. Katakan padanya bahwa aku akan menyusul sebentar lagi.”

Pelayan itu mengangguk patuh dan pergi. Rosa kemudian kembali memusatkan perhatian pada Freya.

“Sepertinya Tuhan benar-benar mendengar doa kita,” ujarnya, tersenyum lebar, seolah semua rencananya berjalan dengan sempurna.

Namun, senyum di wajah Freya memudar. “Tapi, Bu... Dia langsung pergi setelahnya. Padahal aku ingin menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Dia tidak mungkin pergi mencari Elena, kan?” Rosa terkejut mendengar nama itu disebut. Dia langsung meletakkan kedua sendoknya di meja dengan suara nyaring.

“Mana mungkin! Kenapa kamu membiarkannya pergi begitu saja? Kamu tahu, Freya, kamu akan sulit menjangkaunya jika dia sudah keluar dari sini. Bukankah kepergian Elena justru menjadi kesempatan besar untukmu?”

Freya mengepalkan kedua tangannya, menahan frustrasi. “Bagaimana aku bisa mencegahnya, Bu? Dia selalu dingin terhadapku. Aku takut dia masih memikirkan Elena.”

Rosa menatap Freya tajam, lalu menghela napas panjang. Dengan gerakan pelan namun tegas, dia menggenggam tangan Freya. “Kamu tenang saja, sayang. Ibu akan memastikan bahwa Elena tidak akan pernah bisa ditemukan.”

Rosa tersenyum, sebuah senyum yang mencerminkan kebencian yang mendalam. Amarah yang selama ini dipendam akhirnya muncul dalam bentuk rencana licik yang sudah disusun matang-matang.

Namun, di balik dinding ruang makan, tak ada yang menyadari bahwa seseorang tengah berdiri diam. Orang itu mendengar setiap kata yang baru saja diucapkan. Sebuah senyum misterius terlukis di wajahnya. Entah apa maksudnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ibu Susu Bayi CEO   bab 14

    “Lupakan, aku hanya bertanya saja.” Hana menundukkan sebagian tubuhnya untuk berpamitan sebelum akhirnya berbalik dan pergi.Sementara itu, Glen yang baru saja keluar dari kediaman Martin membuka map yang baru saja Patrick berikan. Dia memeriksa isinya dengan seksama, dahinya berkerut.“Kamu yakin?” tanyanya pada pria yang duduk di kursi kemudi. Matanya tajam menatap Patrick, menunggu kepastian.“Masih menunggu info valid, Tuan,” jawab Patrick tegas.Glen mengangguk paham. Dia membuka sebagian kaca jendela mobilnya, membiarkan udara luar masuk. Pandangannya menembus langit siang yang cerah dan terik. Nafasnya berat, seolah ada beban besar yang tengah menghimpit dadanya.Mobil hitam pekat itu melaju dengna cepat membelah jalanan kota norland dengan kecepatan tinggi.*Elena duduk di sofa dengan tubuh sedikit kaku, merasa sungkan di bawah tatapan tajam William. Sejak tadi, pria itu menat

  • Ibu Susu Bayi CEO   bab 13

    “Sayang, aku nggak mau bercerai denganmu. Aku mohon, jangan lakukan ini padaku.” Freya memohon dengan suara bergetar, air mata mengalir di wajahnya. Dia bahkan berlutut, memegang kaki Glen seolah itu satu-satunya cara untuk menghentikan keputusannya.Glen menghela napas panjang, lalu merogoh saku celananya. Dengan gerakan santai, dia mengeluarkan sebatang rokok dari kotaknya, menyalakan, dan menyesapnya perlahan. Asap putih mengepul di udara, menciptakan jarak tak kasatmata antara mereka.“Besok adalah acaramu, aku akan menundanya sampai lusa. Tapi jangan salah paham, Freya. Aku tetap tidak akan mengampunimu.” Tanpa ragu, dia menghempaskan Freya dengan kasar hingga tubuh perempuan itu terjatuh ke lantai.“Sayang, tunggu! Aku hamil!”Langkah Glen terhenti. Dengan gerakan lambat, dia menoleh dan menatap Freya yang masih terduduk di lantai. Mata perempuan itu berbinar penuh harap, yakin bahwa kata-katanya mampu membatalkan

  • Ibu Susu Bayi CEO   bab 12

    Halda membantu Elena berkemas. Tak ada alasan lagi untuk tetap tinggal di bangsal perawatan saat ini.“Aku sudah pergi ke ruang administrasi, dan kau pasti sudah tahu jawabannya.” Halda berbicara tanpa menoleh pada Elena. Mendengar itu, Elena langsung membanting selimutnya kasar di atas ranjang rumah sakit.“Tak ada gunanya kamu kesal. Mau kamu pergi ke ujung dunia mana pun, dia tetap tak akan membiarkanmu.”Elena mendengus kesal. Dia mengingat bagaimana Glen berubah sikap sejak menikah dengan kakak tirinya, Freya. Walaupun begitu, pria itu justru mencari celah, bahkan membuat Elena hamil.Saat mereka larut dalam keheningan, tiba-tiba suara deritan pintu yang terbuka memecah diamnya ruangan. Elena menoleh ke asal suara dan melihat Widya masuk dengan ragu.“Nona…” Widya memanggilnya pelan. Elena hanya tersenyum tipis, seolah membalas sapaan itu.“Aku turut berduka atas apa yang terjadi padamu.” Lalu Widya mendekat dan meraih tangan Elena, men

  • Ibu Susu Bayi CEO   bab 11

    Elena duduk di tepi ranjang rumah sakit. Di sampingnya, Glen berdiri diam. Tatapannya lekat, penuh dengan emosi yang sulit diartikan. Elena tahu pria itu ingin mengatakan sesuatu, tapi ia lebih memilih diam."Glen, aku mohon padamu, jangan semakin mempersulitku saat ini." Suara Elena lirih, penuh kepenatan.Glen tetap tak bergeming. Matanya menyusuri wajah Elena yang lelah. Seberapapun keras Elena berusaha mengusirnya, Glen tak akan pergi."Kamu tak bertanya tentang kabar ayahmu?" tanyanya pelan.Elena mendengar pertanyaan itu, tapi sengaja mengabaikannya. Jacob, ayahnya. Ia memang merindukan sosok tua itu, tetapi setiap kali mengingat amarah dan kekecewaan yang terpancar dari matanya terakhir kali mereka bertemu, Elena mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih jauh."Dia mungkin belum tahu. Kecuali ada yang memberitahunya, tapi aku yakin itu tak akan terjadi," lanjut Glen dengan nada samar.Dia mengulas senyum tipis, lalu tanpa izin mendeka

  • Ibu Susu Bayi CEO   bab 10

    Elena masih menatap lekat-lekat nominal pada cek di tangannya. Jumlahnya begitu besar, nyaris sulit dipercaya. Wanita tua itu benar-benar kaya raya.Suara derit pintu kamar membuatnya tersadar. Tanpa menoleh, ia melirik sekilas ke arah pintu dan mendapati sosok pria yang masuk dengan beberapa kantong belanjaan di tangannya. Dengan sigap, Elena segera menyelipkan cek itu ke dalam kantong mantelnya."Kamu benar-benar lebih suka melihatku sengsara, Kak." Ucapnya dengan nada setengah menyindir.Ia masih kesal dengan Glen. Pria itu sama sekali tak menggubris maksudnya saat mereka berbicara tadi siang. Bahkan sekarang, Glen datang tanpa mengganti pakaian, sepertinya benar-benar tak pulang ke rumah."Aku selalu konsisten dengan ucapanku." Glen menjawab singkat, lalu meletakkan kantong-kantong belanjaan itu ke atas meja.Tatapannya menyipit saat menyadari sesuatu. Di atas meja, sudah tersaji berbagai macam makanan dengan bran

  • Ibu Susu Bayi CEO   bab 9

    "Waktunya menyusui, Nona Angel." Seorang perawat datang memberitahu Elena. Elena yang paham langsung bangkit dan memberi kode pada Halda untuk segera pergi."Kembalilah besok pagi. Aku akan baik-baik saja di sini." Halda, yang melihat Elena cukup yakin, akhirnya mengangguk dan menurutinya. Lagi pula, ada urusan penting malam ini, jadi dia setuju untuk mengikuti permintaan Elena. Sementara itu, Elena melangkah masuk ke ruang khusus menyusui.Tak lama setelah itu, seorang perawat lain datang menggendong seorang bayi mungil dengan selimut pink yang tampak mahal."Suster, kenapa aku merasa sakit ketika dia menyusu?" Elena bertanya sambil menahan rasa sakit saat bibir mungil Angel menyentuh dadanya. Perawat muda itu tersenyum dan menjelaskan."Karena dia belum terbiasa, langit-langit mulut bayi kadang masih kasar pada awalnya," jawab suster tersebut. Elena hanya mengangguk seolah paham, meskipun rasa sakit itu masih terasa. Di sisi lain, dia melihat Angel. Mat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status