Pagi Pagi Pagi ^^ Boleh kah absen, ada yang baca sampai sini kah?
Yasmin pernah berharap putri kecilnya yang telah meninggal bisa hidup kembali lewat sebuah keajaiban. Nahas, harapan itu sudah lama dia kubur dalam-dalam. Itu mustahil.Dia masih ingat jelas betapa dinginnya kulit anaknya saat itu. Sarah bahkan langsung membawanya pergi untuk dimakamkan. Tidak masuk akal … bayinya bangkit dari kubur?Dia menggeleng pelan, menolak membuka luka lama. Matanya berkaca-kaca.“Tidak mungkin, dia masih hidup,” gumamnya, “saya sendiri yang lihat … bayi itu dikubur.”Suara Yasmin terdengar serak. Dia berusaha terlihat tegar, tetapi napasnya saja tersengal. Dia harus realistis, dan ini sudah hampir setahun berlalu.Barra masih menatap Yasmin lekat-lekat. Pria itu menyadari pertanyaannya barusan mungkin menyentuh luka yang belum sembuh. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia merangkul Yasmin dan mengusap pelan bahunya.“Maaf. Aku cuma tanya…,” bisiknya pelan, tulus.“Tolong jangan diungkit lagi, Mas.” Yasmin menahan senyum kecil, berusaha memperbaiki suasana. Dia tidak
"Ada apa? Aku melewatkan sesuatu?" Suara Barra terdengar tegas dan serius. Aura tegang terpancar dari wajahnya, dan dia tidak berusaha menutupi dari Samantha. Tatapan pria itu dingin, menciptakan suasana mencekam di dalam ruangan.Bagi Barra, Samantha bukan sekadar dokter kenalan keluarga. Dia menganggap wanita itu seperti ibunya sendiri, dan kelak—dokter cantik inilah yang dipercaya akan membantunya mengungkap semua kejanggalan."Sebelumnya ... Tante tidak tahu kalau wanita itu ibunya Bram," ucap Samantha perlahan. "Tapi belakangan ini, setelah foto dan videonya viral di media sosial, Tante jadi sadar."Barra masih menyimak. Dahi pria itu berkerut dalam, mencoba mencocokkan potongan informasi yang diberikan oleh Samantha. Namun belum ada yang benar-benar menjawab rasa curiganya.Samantha melanjutkan dengan nada lebih hati-hati, "Pagi itu, setelah Berliana melahirkan dan ... koma, mamanya Bram bertemu dengan Airin. Mereka berbincang cukup lama. Tapi Tante tidak tahu apa yang mereka ba
Mendengar pesan dari Kezia, seketika Barra memijat pelipisnya. Dini hari tadi, dia memang sempat mengetik pesan singkat pada Samantha. Namun, seingatnya pesan itu sudah dihapus dan tidak pernah dikirim. Jadi, kenapa sekarang dokter itu tiba-tiba datang?Kini, perhatian Yasmin tertuju pada Barra, sama halnya dengan Kezia yang tidak mengetahui apa pun tentang rencana putranya itu."Mas sakit?" tanya Yasmin, sigap berdiri dan memegang kening pria itu, memeriksa suhu tubuhnya.Kezia pun menimpali, "Kalau sakit, kenapa malah telepon Samantha?" Kening wanita itu mengerut, dan Yasmin pun mengangguk kecil, membenarkan.Merasa terpojok dengan dua pasang mata yang menuntut penjelasan, Barra memutar otak dengan cepat. Tatapannya berganti-ganti antara Yasmin dan mamanya."Cuma salah kirim. Tadi malam aku begadang, baca ulang kasus Cindy, mau kirim pesan ke Bahtiar, tapi ... malah ke Tante Samantha."Kezia dan Yasmin saling berpandangan. Penjelasan itu terdengar janggal. Barra dikenal sebagai soso
Belum juga reda sesak di dada akibat mengetahui penyebab kematian sang istri, kini Barra kembali dikejutkan oleh satu berkas yang sempat dia minta beberapa waktu lalu. Dia mendesah lelah, menyandarkan tubuh ke kursi kerja. Kesibukan menangani kasus Yasmin, ditambah tumpukan perkara dari klien-klien lain, membuatnya abai. Rekam medis itu seharusnya sudah dia buka sejak dulu.Tanpa sengaja, saat emosi melanda, berkas itu terbuka. Barra hampir menutupnya, tetapi kalimat di halaman pertama membuat alisnya bertaut dan rasa ingin tahunya terpacu. Mau tidak mau, dia membaca lebih rinci.Mata cokelatnya bergerak cepat dan cemas mengikuti baris demi baris catatan medis.Barra mendengkus. “Pantas saja dia tega bunuh Berliana,” gumamnya penuh amarah. “Mereka bukan saudara kandung .…”Di situ tertulis jelas, Cindy tidak memiliki hubungan darah langsung dengan Berliana. Fakta itu menghantam Barra bagai palu godam. Tidak hanya itu, dia juga menemukan catatan bahwa delapan tahun lalu, Cindy pernah m
Yasmin berjalan mondar-mandir di teras rumah. Setelah makan malam dan menyusui si kembar hingga mereka terlelap, perasaannya makin tak menentu. Barra—pria itu—tak kunjung pulang. Entah apa yang terjadi. Menghubungi Barra percuma saja, sebab tidak pernah diangkat. Pesan-pesan yang dikirim ke Bahtiar pun sama, tidak ada balasan."Apa dia baik-baik saja?" gumam Yasmin. Tatapannya berkali-kali tertuju ke arah pintu pagar yang tertutup rapat. Dia menanti, dalam dingin yang makin menusuk kulit seiring malam tambah larut.Kezia sudah beberapa kali keluar, membujuk agar Yasmin masuk. Namun, Yasmin bergeming. Seolah tubuhnya terpaku di teras itu, sulit beranjak, menunggu kehadiran seseorang.Akhirnya, pukul sebelas malam, pagar tinggi di depan rumah bergeser pelan, bergerak terbuka. Lampu sorot dari mobil perlahan menyapu halaman. Yasmin menahan napas, berharap yang datang adalah Barra.Benar. Rubicon putih itu masuk dan berhenti tepat di hadapan Yasmin. Namun, alih-alih lega, matanya membulat
“Mas yakin mau pergi sendirian?” tanya Yasmin, tepat saat Barra membuka pintu mobil untuknya, mempersilakan wanita itu turun.Setelah mengetahui beberapa fakta menarik tentang Cindy, pria itu memutuskan mengantar Yasmin pulang sebelum menuju kantor polisi.“Ya. Kamu tunggu di rumah. Main saja sama anak-anak,” kata Barra yang mencoba mengukir senyum. Meskipun Yasmin tahu pria itu sedang menahan sesuatu, tetapi demi menenangkan hati sang wanita, dia memaksakannya.Yasmin mengangguk perlahan. Keputusan Barra itu tidak bisa diganggu gugat.Sebelum pergi, pria itu merangkum lembut pipi Yasmin, lalu melabuhkan kecupan dalam di kening wanita itu. Ibu jarinya membelai pipi sang wanita dengan pelan.“Hati-hati, Mas. Umm … jangan sampai terpancing emosi,” pesan Yasmin, intonasinya lirih dan mengandung kecemasan. Namun, Barra tidak menanggapi.Pria itu langsung berlalu setelah mengecup kening Yasmin. Rubicon putihnya melaju dengan cepat, membuat sang wanita dilanda kegelisahan.Bahkan dia menghu
“Eh, aku pikir Mas Barra mau pulang duluan,” ucap Yasmin sambil tersenyum lebar, deretan gigi putihnya tampak jelas.Barra tidak membalas. Hanya desisan kecil terdengar dari mulutnya, dan rahangnya mengeras. Tatapan tajam bagai elang menyapu sekeliling Yasmin, seolah mencari seseorang yang bersembunyi.“Di mana Bagas? Tadi kamu sempat menyapanya?” tanya Barra dengan intonasi tajam. Dia melangkah makin dekat hingga Yasmin reflek mundur setapak. Senyumnya perlahan memudar, berganti raut gugup.Yasmin menggeleng pelan. “Ti—tidak,” jawabnya singkat.Tatapan Barra makin tajam. “Kamu bohong?” gumam pria itu, tetapi agak menekan. Napas yang diembuskan terdengar kasar, dan tanpa aba-aba, tangannya mencengkeram pergelangan tangan Yasmin. Lalu menyeretnya keluar menuju area parkir.“Umm … maaf, Mas. Aku cuma tidak suka Mas Barra kelihatan cuek kayak tadi,” suara Yasmin lirih, dia mencoba menenangkan suasana. “Aku minta maaf, ya. Aku tahu aku salah.”Barra hanya menggumam singkat, “Hmm.” Lalu di
“Aku juga,” ungkap Barra sambil menoleh sejenak pada Yasmin.Jawaban yang tak terduga itu membuat jantung Yasmin berdebar tidak keruan. Napasnya tersendat, tetapi sorot matanya sulit berpaling dari wajah Barra yang tampak begitu tenang, hingga membuatnya gugup.“Maaf, ya, Mas. Saya—”“Bukan masalah, aku suka,” sela Barra. Tangan pria itu tiba-tiba meraih jemari Yasmin yang berada di pangkuannya.Seketika Yasmin terkesiap, otaknya memerintah untuk menarik diri, tetapi tubuhnya justru membatu. Apa-apaan ini?Sentuhan itu hangat dan membius. Tidak munafik—relung hatinya bergetar pelan. Jujur, ada rasa nyaman. Bahkan senang, seperti disentuh lembut dari dalam.Genggaman itu tidak terlepas sampai Rubicon putih yang mereka tumpangi tiba di area kampus. Lebih dari itu, Barra justru turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Yasmin.Dia tercengang. Bukan cuma karena Barra bersikap begitu manis, tetapi perutnya terasa geli seakan penuh kupu-kupu yang beterbangan.“Ayo, masuk,” ajak Barra san
Mata Yasmin mengerjap beberapa kali. Dia sudah berguling di atas kasur, tetapi pikirannya masih dipenuhi dengan ucapan Barra barusan. Bahkan tangannya refleks menyentuh pipi yang terasa panas. Ini tidak wajar! Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia mulai membuka perasaannya lagi?Bukankah ini terlalu cepat?“Apa Mas Barra serius, ya?” gumam Yasmin, lalu menarik napas dalam-dalam sambil menatap langit-langit kamar dengan cahaya temaram.Akibat tak kunjung bisa tidur, dia turun dari ranjang. Langkahnya pelan saat menghampiri dua bayi kembar yang tampak nyenyak di dalam boks. Setelah kenyang menyusu, mereka terlelap tanpa gelisah. Justru Yasmin yang kini terserang insomnia.Tubuhnya terasa hangat, seperti demam ringan. Namun, dia enggan menyalakan pendingin ruangan. Dia memilih keluar, ke balkon. Berharap udara malam bisa menenangkan pikiran. Dari sana, iris hitamnya menangkap sosok pria yang baru saja memasuki Rubicon putih.Entah ke mana pria itu akan pergi.Rasa penasaran membuatnya