“Timothy Zahlee? Itu nama mahasiswa yang tinggal di sini sebelum aku. Sekarang aku yang menempati kamar ini, Kak,” ucap seorang pria muda berkacamata yang Vienna temui setelah mengetuk sebuah pintu kamar asrama mahasiswa Universitas Highvale.
Vienna mengernyitkan dahi. Dia ingat betul, hampir empat tahun lalu ikut mengantar Timothy ke tempat ini. Wanita itu pergi dengan langkah lebar dan menahan perasaan malu. Lalu Vienna juga mengirim pesan pada Timothy, “Kau tinggal di mana sekarang, Bajingan Kecil?!” Tidak lama kemudian, pesan yang sangat panjang dari Timothy masuk ke ponsel Vienna. Wanita itu sampai harus menghentikan langkah demi membaca satu paragraf penuh dari sang adik. [Kakak mengerti sekarang, kenapa aku lebih menyukai Kak Sydney daripada keluargaku sendiri? Baik Kak Vienna, Mama, dan Papa tidak pernah peduli aku tinggal di mana dan bagaimana kehidupanku. Kalian bahkan tidak tahu kalau aku sudah pindah ke tempat lKarena suasana menjadi tegang, Morgan meminta MC untuk kembali mengambil alih acara dan menghibur para tamu.“Ayo semua, jangan tegang begitu dong! Ini pesta bahagia, mari abaikan energi-energi negatif yang datang tanpa diundang!” seru MC dengan suara lantang yang memecah keheningan.Suara tawa palsu terdengar dari beberapa sisi taman. Para tamu tampak saling melirik, bingung antara ikut tertawa atau tetap menatap ke arah Vienna yang baru saja diseret mundur oleh suaminya.“Bagaimana kalau kita main game kecil-kecilan? Tapi jangan anggap remeh hadiahnya, ya!” MC mulai memancing supaya para tamu berhenti memperhatikan Vienna.Sejumlah tamu mulai bersorak pelan.“Sepuluh pemenang dengan jawaban tercepat dan tepat akan membawa pulang … emas batangan satu kilogram! Yes, emas sungguhan! Bukan hadiah diskon atau voucher makan!” seru MC penuh semangat. “Persembahan dari Nona Sydney dan Tuan Morgan, tentu saja!”Kerumunan sontak heboh. F
“Maaf aku datang terlambat, Sydney. Ah, kita memakai warna gaun yang sama!” cibir Vienna penuh kelembutan yang palsu. Vienna berdiri tegak di hadapan Sydney, seolah tidak sadar bahwa seluruh tamu pesta kini menatapnya dalam diam yang menegangkan. Sydney menatap sepupunya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu, wanita itu tertawa kecil dan lirih, hampir tidak terdengar oleh siapa pun selain Vienna dan Morgan. Lucu sekali. Bahkan sekarang pun, di hari yang seharusnya menjadi kejutan bahagia untuk dirinya, Vienna masih berusaha mencuri perhatian. Gaun putih dengan potongan serupa. Rambut gelombang terurai dengan aksen jepit perak di sisi kanan. Riasan tipis dengan highlight dan eyeliner persis seperti yang Sydney gunakan malam itu. Padahal sudah beberapa bulan Sydney mengganti teknik riasannya. Vienna pasti diam-diam mengamatinya. Sejak kecil, Vienna selalu ingin menjadi Sydney. Awalnya, Sy
“Siapa teman baikku yang kau maksud, Darling?” tanya Morgan sambil mencengkeram kedua bahu Sydney cukup kuat untuk membuat wanita itu menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres.Dari kejauhan, mungkin terlihat seperti adegan manis antara pasangan kekasih di panggung pesta. Namun hanya Sydney yang tahu, bahwa sorot mata Morgan masih mengandung awan kecurigaan yang belum menguap.Sydney tersenyum menenangkan. Senyuman khas yang kerap Sydney gunakan untuk melunakkan ego Morgan saat pria itu berada di ambang ledakan.“Tentu saja dokter Ken,” jawab Sydney lembut.Morgan tidak langsung bereaksi. Namun pandangan pria itu spontan menyapu kerumunan dan berhenti pada sosok di dekat dekorasi bunga, Ken.Ken yang menyaksikan dan mendengar ucapan Sydney, secara refleks menunjuk dirinya sendiri dengan tatapan bingung.“Aku?” Ken belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi.Morgan melirik tajam ke arah tempat Ken berdiri. “A
“Kau …” Sydney membelalak saat menatap Morgan sambil menahan napas. “Tentu saja aku ingat.”“Bagus.” Morgan hanya menaikkan satu alis dengan tatapan puas.Morgan dengan sengaja mengingatkan Sydney pada momen di Sweet Cafe, ketika di sudut bibirnya terdapat noda es krim. Dan Sydney, tanpa pikir panjang, membersihkan noda itu dengan bibirnya.Seketika, pipi Sydney memanas seperti terkena percikan api.Belum sempat Sydney membalas atau menampar dada Morgan yang kini tersenyum jail, suara dari pengeras suara menggema dari arah panggung.“Permisi!”Keduanya menoleh bersamaan.Di sana, berdiri seseorang yang sejak tadi tidak terlihat. Dengan gaun ungu dan rambut disanggul rapi, Zya. Wanita itu tampak percaya diri berdiri di atas panggung sambil memegang mic dan tersenyum.Morgan melonggarkan pelukannya dari pinggang Sydney. Pria itu menyipitkan mata.“Untuk apa dia di situ, Darling?” tanya Morgan pelan.Sydney sempat terdiam. Namun kemudian dia teringat sesuatu.“Oh,” sahut Sydney pelan. “B
“Aku tidak percaya kau menyisipkan kejutan ulang tahunku di tengah acara ini,” ujar Morgan datar dan tajam di saat yang sama, menelanjangi wajah Sydney. “Ini seharusnya perayaan untuk keberhasilanmu. Mengapa justru menjadi pesta kejutan ulang tahun untukku?” Sydney tetap tersenyum. Cahaya taman yang baru kembali menyala memantulkan kilau hangat di wajahnya. “Aku tidak akan sampai di titik ini tanpamu, Morgan,” sahut Sydney dengan lembut. “Jadi kejutan ulang tahunmu ini juga bagian dari perayaanku. Cepat ucapkan permintaan, tanganku mulai pegal.” Morgan mengembuskan napas, lalu mengambil kue dari tangan Sydney. Jemari mereka sekilas saling bersentuhan, hangat dan penuh perasaan. Kue itu kini berada di tangan Morgan. Pria itu tidak ingin tangan istrinya sakit. “Permintaan?” Morgan mengangkat sebelah alis. “Apalagi yang bisa aku minta kalau kau sudah berdiri di sampingku, Darling?” Pipi Sydney merona. Semburat merahnya nyaris menyaingi warna mawar di dekorasi belakang mereka.
“Aku tadi masih melihat Nona Sydney di panggung, tetapi sekarang dia sudah tidak ada!” bisik seorang tamu dengan panik.“Apa pengamanan pestanya cukup baik? Nona Sydney tidak diculik, bukan?” sahut yang lain sambil celingukan, mencoba mencari wajah familiar di tengah cahaya taman yang padam.Suara-suara cemas mulai mengisi udara, menggantikan alunan musik yang kembali menghilang begitu lampu padam. Taman yang semula dipenuhi tawa dan tepuk tangan kini terasa seperti labirin penuh ketegangan.“Sydney!!!” panggil Morgan menggema nyaring dan tajam.Pria itu berlari cepat ke arah panggung, melompati undakan dengan langkah besar. Napas pria itu memburu dan matanya liar menyisir setiap sudut panggung dan sekelilingnya.“Sydney, jawab aku! Di mana kau?!” teriak Morgan lagi.Morgan tidak peduli lagi pada tamu, reputasi, atau protokol. Hatinya mulai digerogoti kepanikan.Beberapa anak buah Morgan langsung bereaksi, bergerak cepat