"Aku tidak habis pikir," desis Morgan sembari menahan napasnya yang mulai memburu. "Kenapa cerita yang tersebar tidak seperti kejadian yang sebenarnya?!" Nada suara pria itu meninggi. Bukan karena marah semata, tetapi karena dadanya terasa sesak. Seolah-olah ada batu besar yang mengendap di rongga dada dan makin lama makin menekan paru-parunya dari dalam. Padahal anak buah Morgan bukan orang sembarangan. Informasi yang mereka gali sudah pasti berasal dari sumber-sumber yang kredibel. Namun, ternyata cerita yang asli adalah yang Morgan ketahui dari Jerry. Cerita yang terbangun selama ini di kepala Morgan, runtuh dalam sekejap begitu apa yang dikatakan Jerry, dikonfirmasi oleh pria tua ini. Abrar terkekeh pelan. Tawa getir itu keluar seperti dengung sumbang di ruangan yang makin sesak oleh ketegangan. “Ada kuasa Traverso di balik semua itu,” jawab Abrar pelan seraya menatap langit-langit. “Dia ta
"Aaakh! Kenapa Anda memukul saya?!" seru Abrar sembari berusaha bangkit dengan tertatih dari sisi ranjang. "Saya ini cuma orang tua! Tenaganya tidak sebanding dengan Anda!" Suara serak itu menggema di kamar kecil yang pengap. Siapa pun yang mendengar bisa tahu kalau Abrar bukan sedang mengeluh, tetapi lebih seperti panggilan meminta belas kasihan. Morgan menyandarkan satu tangan ke pinggang sambil terkekeh, kesal. Pria itu menyugar rambutnya yang jatuh ke belakang. "Selalu begitu, ya?" Morgan mengangkat alis, menatap dengan sinis. "Memanfaatkan usia untuk minta iba. Kau pikir itu bisa menyelamatkanmu dari segala dosa?!" Abrar meringis, tangan keriputnya masih menutupi pipi yang nyeri akibat pukulan barusan. Kulit wajah Abrar sudah menipis, dan bekas tinju itu mulai memerah. Morgan mendekat setengah langkah. "Apa yang kau ingat hanya Jerry?" desis Morgan. "Bagaimana dengan anak yang satu lagi?!" Abrar mengernyitkan dahi. Tatapannya kosong sesaat. Lalu perlahan, mat
“Pak Abrar.” Perawat itu memanggil pelan, sambil mendekati ranjang dan menyentuh pundak pria tua itu dengan hati-hati. “Ada yang ingin bertemu dengan Bapak.” Abrar menoleh pelan, kelopak matanya berat, seperti sedang menarik sisa-sisa kesadaran yang tersisa. “Siapa?” tanya Abrar dengan suara parau. Langkah kaki berat menggema di dalam ruangan. Morgan mendekat tanpa tergesa-gesa, dan dia berhenti di depan ranjang. “Anak yang kau jual ke Traverso Draxus!” jawab Morgan dengan tajam dan menusuk. Tatapan mata Morgan menatap Abrar penuh amarah. Mata Abrar langsung membulat. Napasnya tertahan. Wajah Abrar yang keriput membeku dalam kepanikan. Tubuh ringkih pria tua itu merosot ke belakang, dan tangan gemetarnya meremas baju sang perawat. “Tidak mau! Usir dia!” seru Abrar, suaranya meninggi seperti anak kecil yang ketakutan. “Ke
Tawa mereka baru mereda beberapa saat kemudian. "Aku serius. Tidak perlu bersaing." Sydney menaruh gelasnya ke atas meja, lalu mencondongkan tubuh. "Kita bekerja sama saja. Morgan hanya bisa mendonasikan uang, tapi kau bisa terjun langsung ke lapangan. Bertemu anak-anak itu dan melihat sendiri wajah mereka saat menerima bantuan." Nirina tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Dan kau,” tambah Nirina sambil menunjuk Sydney dengan jari telunjuknya, “bisa jadi magnet untuk para miliarder menyumbangkan lebih banyak harta. Teknik negosiasimu itu … gila.” Siapa pun tahu sejak dulu Sydney pandai dalam bernegosiasi. Kemampuan Sydney yang selalu dimanfaatkan oleh Lucas semasa mereka menikah hingga firma hukum pria itu bisa melejit naik. Dan sekarang saat menjadi istri Morgan, Sydney menggunakan kemampuannya itu untuk meredam amarah sang suami yang cepat tersulut seperti api. Mereka tertawa, kali ini lebih lembut. Tidak lagi meledak-ledak seperti tadi. Namun tawa mereka terhenti ketika seora
“Dokumen ini sudah saya gandakan,” sahut Varel masih dengan tenang. “Jika Anda membakarnya, saya masih punya dokumen lain untuk ditandatangani.”Morgan mendengkus. “Maksudku, yang kubakar adalah dirimu.”Tatapan Varel membeku. Sekilas, pria tua itu tampak kehilangan kata-kata.Namun Morgan justru menyeringai tajam, menatap seperti predator yang sedang mempermainkan buruannya.Suara gesekan lembut terdengar ketika Morgan melangkah maju. Morgan membuka jas hitamnya, menyelipkan tangan ke saku dalam, dan mengeluarkan sebuah pulpen logam berwarna perak.Sydney ikut mendekat, langkahnya lebih lambat.Namun mata wanita itu tidak pernah lepas dari gerak-gerik suaminya.Morgan meletakkan map yang berserakan, menyusun ulang halaman dengan gerakan cepat dan tegas.Tanpa duduk, Morgan mulai membubuhkan tanda tangan satu per satu.“Ini adalah peringatan. Jika kau berani muncul lagi untuk menggangguku, atau menyentuh keluargaku ... begitulah nasibmu.” Pulpen berhenti sejenak di atas garis terakhi
“Suami cenderung mendengar saran dari istri. Itu sebabnya saya mencoba menelepon di akhir pekan, dengan harapan Nyonya Sydney ada di sana saat Tuan Morgan menerima panggilan dari saya,” jawab Varel dengan santai, seolah perhitungannya hanyalah strategi profesional belaka.Sydney tidak menjawab.Tatapan wanita itu menajam, tetapi bibirnya tetap terkunci rapat.Sydney tidak suka ditarik ke dalam permainan ini, apalagi dijadikan alat pendekatan.Namun sekarang bukan saatnya memperdebatkan hal itu.Varel mengalihkan perhatiannya pada Morgan, menepikan semua basa-basi.“Tuan Morgan, ini adalah dokumen untuk Anda dari Tuan Traverso. Silakan dilihat, dan jika ada yang ingin ditanyakan, saya dengan senang hati akan menjawabnya,” ujar Varel sopan sambil menyodorkan sebuah map.Morgan menatap map cokelat yang diletakkan di atas meja, seperti menatap racun dalam cangkir kristal. Morgan tidak langsung menyentuhnya. Rahang pria itu mengeras dan dahinya berkerut.Namun akhirnya, dengan gerakan lam