Sydney menoleh dan melihat Morgan berdiri di sumber suara. Pria itu menutupi sebagian wajahnya dengan masker.
“Sialan! Bagaimana kau bisa masuk, Bajingan?!” Edgar membentak penuh kepanikan begitu melihat sosok Morgan berdiri tegak di ambang pintu. Morgan tidak menjawab. Dia melangkah lebar seperti singa yang baru saja menemukan pencabik sang betina. Tanpa memberi ruang pada Edgar untuk melarikan diri, Morgan langsung mencengkeram kerah baju pria itu dan menariknya mendekat. Bugh! Sebuah tinju keras menghantam wajah Edgar, membuat pria itu tersungkur ke belakang. Berbeda dengan Edgar, Morgan tidak perlu bantuan senjata untuk membuat pria itu koyak. “Bangsat!” Edgar berteriak kesakitan, darah segar mengucur dari sudut bibirnya. Morgan menoleh. Pandangannya jatuh pada tubuh Sydney yang terkulai di atas alat pemenggal kepala dengan tubuh penuh luka, wajah bengkak, darah mengering diTidak banyak yang tahu jika setelah menikah Sydney dan Morgan rajin mengetes kehamilan, tetapi hasilnya selalu berakhir satu garis.Dan sekarang, setelah mereka mengujinya beberapa kali, hasilnya tetap saja menunjukkan garis dua.“Sebelum memberikan test pack itu padamu di teras belakang, aku juga sudah mengulang tesnya beberapa kali, Honey,” rajuk Sydney sambil bersandar pada dinding kamar mandi yang dingin.Morgan tidak menjawab. Pria itu meremas pinggiran wastafel, sementara matanya terpaku pada deretan test pack yang terhampar rapi di atas handuk bersih.Semua menunjukkan dua garis. Wajah Morgan terlihat serius, tetapi tatapannya berkaca-kaca. Satu kata pun tidak lolos dari bibirnya.“Walau sebenarnya aku masih ragu karena aku tidak merasakan mual atau tanda hamil lainnya,” lanjut Sydney lirih.Tidak lama kemudian, Morgan menyadarkan diri dari lamunan. Tiba-tiba pria itu memutar tubuh menghadap Sydney dan mengangkat wanita it
“Aku pasti terlalu lelah mengurus Vienna, jadi sensitif padamu.” Ucapan itu meluncur dari bibir Lucas sambil mengembuskan napas berat.Seolah beban dunia bertengger di pundaknya, pria itu menunduk dan mengusap wajah dengan kedua tangan.Sydney yang mendengar itu, kembali mengukir senyum sinis.‘Ya. Kau pasti lelah. Ini pertama kalinya kau menemani wanita melahirkan. Kau tidak ada untukku saat itu, Lucas,’ batin Sydney dingin.Saat melahirkan, Sydney hanya ditemani oleh ibunya. Lucas bahkan baru menemui Isaac saat bayi itu berusia satu minggu.“Biar aku simpan parfum darimu untuk Vienna,” lanjut Lucas berusaha menahan Sydney supaya urung menutup teleponnya.‘Bagus sekali!’ Sydney hampir tertawa kecil. ‘Kau memang akan aku jadikan senjata untuk memberikan karma pada Vienna.’“Oke. Ada perlu lain?” tanya Sydney kemudian. “Aku agak sibuk.”Sydney kembali bersikap jual mahal. Dia menggunakan strategi dengan bermain tarik-ulur pada Lucas. Tentu saja kali ini Sydney yang memegang talinya.“U
Jantung Lucas berdegup kencang. Dia yakin, sepenuhnya yakin bahwa itu karena amarahnya terhadap Vienna.Agak lama, Sydney baru mengangkat telepon Lucas.“Halo, Lucas?” sapa Sydney penuh tanda tanya.Lucas tercekat.Sydney menggunakan suara yang sama saat dulu wanita itu selalu membangunkannya di pagi hari, menyebut namanya dengan senyum, lalu perlahan menjauh sejak rumah tangga mereka runtuh.Hanya dua kata, tetapi cukup untuk meruntuhkan pertahanan Lucas yang saat ini memang sedang rapuh.Lucas mengepalkan tangan dan mencengkeram lututnya yang terbuka di depan bangku taman rumah sakit. Napas pria itu tercekik sesaat.Lucas menunduk dan memejamkan mata, berusaha menyingkirkan kenangan yang mendadak datang seperti ombak deras.“Sydney.” Lucas perlahan membuka mulut. “Apa kau sedang bersama Tuan Morgan? Jika ya, aku akan bicara lain waktu.”Kalimat itu keluar begitu saja, terdengar terlalu ramah bahkan bagi diri Lucas sendiri. Pria itu sampai memutar matanya.‘Bodoh. Kenapa nada suaraku
Perawat itu tampak cemas. Bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tidak ada kata apa pun yang keluar.“Saya benar, kan? Kau tidak tahu siapa yang mengirim? Pergi! Bilang juga pada atasanmu kalau saya ingin ganti perawat!” bentak Vienna sambil melambaikan tangan dengan kasar.Perawat itu tersentak. Kedua tangannya refleks merapat ke dada.“Tapi, Bu—”“Kau tuli? Aku bilang bawa pergi! Keluar!” Vienna menunjuk pintu dengan tatapan menusuk.Suara wanita yang baru saja melahirkan melalui operasi itu menggema di dalam kamar VIP yang mewah.Perawat itu menunduk. Setelah menata langkah cepat-cepat, dia pun meninggalkan ruangan tanpa berani bicara sepatah kata lagi.Vienna mengembuskan napas dengan kesal. Dengan satu tangan yang masih lemah, dia membuka kotak beludru hitam yang barusan diberikan.Kilauan botol parfum berwarna amber dengan detail keemasan langsung menyambut mata Vienna. Bentuk elegan dan lekukannya sempurna, mengundang siapa saja untuk menyemprotkannya.Vie
Tidak lama kemudian, Sydney membuka pintu kamar. Dia ingin mandi dan menghilangkan keringat yang masih menempel di tubuhnya.Sydney baru saja hendak menyimpan tasnya di atas laci saat ponsel lama di dalam benda itu berdering.Wanita itu menghentikan langkah dan segera mengambil ponsel dari dalam tas itu. Bibir Sydney sedikit mengerucut saat dia mencoba menebak-nebak siapa yang meneleponnya.Ternyata si penelepon adalah Zya yang sedang bekerja di kantor. Sydney mengusap tombol hijau ke atas.“Ya. Ada apa, Zya?” tanya Sydney sambil menutup kembali tas dengan satu tangannya.“Nona,” sahut Zya dari seberang sedikit lega. “Saya menghubungi nomor baru Anda, tetapi Nona tidak mengangkatnya. Tidak saya sangka Nona sudah mendapat ponsel lama Nona kembali?”Kali ini Sydney benar-benar meletakkan tas di atas laci. Lalu Sydney mengempaskan diri ke sofa yang menghadap ke arah kebun belakang mansion.Sinar matahari pagi menyelinap masuk lewat tirai tipis, memantulkan bayangan lembut di wajah Sydney
Jade dan Jane yang pagi itu mengenakan pakaian berwarna pastel, memaksa naik ke pelukan ibu susunya bersamaan. Sydney yang baru saja turun dari treadmill hanya bisa menghela napas pendek sebelum berjongkok, lalu mengangkat si kembar penuh usaha. “Waktunya angkat beban,” tukas Sydney sambil mengecup ubun-ubun kedua anak itu. Keringat Sydney belum benar-benar kering dan wajahnya masih kemerahan. Namun melihat Jade dan Jane menatapnya penuh harap, Sydney tidak bisa menolak. "Jangan terlalu banyak bergerak, Mami masih belum begitu kuat," instruksi Sydney sambil melangkah ke ruang utama. Kedua bayi itu langsung menyandarkan kepala mungil mereka ke bahu Sydney, tetapi mata mereka tetap waspada memandangi para pria berbadan besar yang sedang memindahkan sejumlah kotak kardus melewati lorong mansion. Sydney mengawasi mereka sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya ringan agar Jade dan Jane nyaman di gendongannya. “Apa itu?” tanya Jade lirih dengan bibirnya yang basah sambil menunjuk para p
“Morgan.” Sydney mengerjap gugup ketika pria itu menyelipkan jemari ke sela-sela rambutnya dan menyibakkan beberapa helai yang mengganggu wajah.“Ken menemani orang tuanya menonton drama saat dia cuti beberapa waktu lalu,” ucap Morgan dengan lebih lembut daripada beberapa saat lalu.“Mengapa tiba-tiba kau mengungkit Ken?” Sydney mengernyitkan dahi sambil menatap Morgan heran.Morgan tersenyum tipis. Amarah yang tadi menyala di matanya kini telah padam sepenuhnya, tergantikan oleh kelembutan yang jarang Morgan tunjukkan.“Drama yang ditonton oleh Ken dan orang tuanya menceritakan tokoh utama wanita yang ditinggal meninggal oleh anaknya,” ujar Morgan pelan seraya menatap wajah Sydney. “Ken bilang, jika tidak menonton drama itu, akan sulit rasanya berempati pada seorang ibu yang kehilangan anak untuk selama-lamanya. Namun setelah menonton, siapa sangka playboy gadungan itu juga menangis?”Sydney membuka mulut hendak menjawab, tetapi urung. A
“Cepat, panggil ambulans! Ada wanita hamil besar pendarahan!” teriak seseorang yang tidak sengaja melihat.Beberapa pegawai yang masih berada di luar ruang rapat berlari menghampiri Vienna dan Lucas yang terduduk di lantai.Wajah Vienna sudah pucat, tetapi dia masih terlihat berusaha menekan perut sambil meringis menahan sakit.“Sabar, Ibu Vienna. Kami akan membantu Anda dan Pak Lucas,” kata salah satu staf sambil mengulurkan tangan.Lucas tidak sempat berkata apa-apa. Pria itu juga ikut panik melihat keadaan sang istri.Sementara itu, Sydney masih berdiri beberapa meter dari kerumunan itu. Dia hanya bisa melihat ketika lift terbuka dan kerumunan sudah membawa tubuh Vienna ke dalamnya.Sydney menunduk dan menyentuh dadanya yang berdebar hebat sekaligus merasa sesak.Perlahan, wanita itu melanjutkan langkahnya untuk menghindari beberapa orang yang masih ada di sana.‘Bagaimana bisa Vienna bertahan melakukan hal jahat selama ini? Apa dia tidak merasa bersalah seperti yang aku rasakan?’
“Kami sudah bebas!” Vienna menatap seluruh ruangan dengan rahang mengeras dan tangan mengepal di atas meja rapat. Beberapa orang saling melirik dan berbisik-bisik. Namun Sydney hanya memutar bola matanya dan mengembuskan napas pendek, jelas merasa jengah. “Pak Dean bilang memiliki catatan kriminal, bukan seorang narapidana,” ucap Sydney membenarkan. “Kami semua tahu kalian sudah bebas dan dinyatakan tidak bersalah, Vienna. Jangan terlalu defensif, kita sedang bicara soal perusahaan, bukan memainkan sebuah drama keluarga.” Beberapa eksekutif tertawa kecil menahan geli, meskipun cepat-cepat menunduk agar tidak terlihat tidak sopan. Lalu Sydney menoleh ke arah pemimpin rapat. Wajahnya kembali serius. “Tolong, kondisikan, dan jangan mengulur waktu terlalu lama. Kita harus menghargai waktu Bapak dan Ibu di ruangan ini,” pinta Sydney dengan tegas. Vienna mendesis pelan, tetapi sebelum dia bisa membal