Sydney menoleh dan melihat Morgan berdiri di sumber suara. Pria itu menutupi sebagian wajahnya dengan masker.
“Sialan! Bagaimana kau bisa masuk, Bajingan?!” Edgar membentak penuh kepanikan begitu melihat sosok Morgan berdiri tegak di ambang pintu. Morgan tidak menjawab. Dia melangkah lebar seperti singa yang baru saja menemukan pencabik sang betina. Tanpa memberi ruang pada Edgar untuk melarikan diri, Morgan langsung mencengkeram kerah baju pria itu dan menariknya mendekat. Bugh! Sebuah tinju keras menghantam wajah Edgar, membuat pria itu tersungkur ke belakang. Berbeda dengan Edgar, Morgan tidak perlu bantuan senjata untuk membuat pria itu koyak. “Bangsat!” Edgar berteriak kesakitan, darah segar mengucur dari sudut bibirnya. Morgan menoleh. Pandangannya jatuh pada tubuh Sydney yang terkulai di atas alat pemenggal kepala dengan tubuh penuh luka, wajah bengkak, darah mengering diAnton berdeham pelan. “Izinkan saya menyampaikan sesuatu, Nyonya,” ucap Anton dengan sopan. Sydney tidak berkata apa-apa. “Tuan Morgan dan Echelon Vanguard berhasil menang melawan Keluarga Draxus di Cordanze. Kini kami juga akan mengurus bisnis di Cordanze,” lanjut Anton datar. Air mata Sydney spontan berhenti. Wanita itu mengernyitkan dahi. Itu terdengar seperti kabar baik. Namun sedatar apa pun wajah Anton, Sydney masih bisa melihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres dari raut wajahnya. “Jadi, maksudmu, Morgan masih di Cordanze?” tebak Sydney seraya mengangkat kedua alisnya. Anton menunduk dalam. Perlahan, pria berseragam serba hitam itu mengangguk. Entah mengapa, Sydney masih tidak bisa bernapas lega. “Tapi ….” Anton kembali bersuara dan menatap Sydney. Sydney meremas tangannya. Tubuh wanita itu bekerja lebih cepat daripada pikirannya. Begitu kata ‘tapi’ terucap, dada Sydney mulai bergemuruh. “Kami tidak tahu di mana tepatnya keberadaan Tuan Morgan dan Jerry saat ini.
Sydney mengikuti acara pembukaan selama tiga jam penuh berbicara dengan banyak orang. Alhasil begitu sampai di rumah, tubuh Sydney menyerah. Wanita itu terbaring lemas di atas ranjang, setengah tidak sadarkan diri. “Padahal Primus sudah menawarkan bantuan untuk Nyonya. Jika Nyonya terlalu memaksakan diri, Tuan juga tidak akan suka,” omel Layla sambil mengompres dahi Sydney. Wanita paruh baya itu seakan lupa bahwa Sydney adalah majikan yang seharusnya tidak dia marahi. “Stok ASI di kulkas untuk Sereia dan Zaleia masih aman, kan, Bi?” Sydney bicara topik lain. “Nanti mereka minum dari sana dulu, ya. Aku istirahat sebentar.” Layla mendesah. Sydney selalu memikirkan orang lain lebih dulu sebelum dirinya sendiri. “Masih aman, Nyonya. Nyonya harus istirahat sampai sembuh,” sahut Layla sambil memijat kaki Sydney. Sydney memejamkan mata, tetapi kesadarannya masih bersama Layla. “Jika kondisi Nyonya tidak membaik, diizinkan atau tidak, saya akan menyuruh Primus membawa Nyonya ke ruma
Morgan memang menyediakan rumah dan mobil yang sederhana untuk keluarganya selama tinggal di Suri. Hal itu Morgan lakukan supaya keberadaan keluarganya tidak terdeteksi. Namun bukan berarti, isi rekening Sydney dan tabungan anak-anak juga sederhana. Bahkan jika Sydney tidak bekerja, jumlah uang di rekeningnya mampu membiayai kehidupan serta pendidikan cicit-cicit dari keempat anaknya kelak. “Ibu Sydney ….” Brigita kehabisan kata-kata saat membaca dokumen itu. “Ya?” sahut Sydney dingin. Brigita mendongak dan menatap Sydney. “Saya tidak bisa langsung memecat Miss Anastasya. Kami harus mendapatkan guru pengganti lebih dulu, kelas tidak mungkin kosong selama kami menunggu guru baru,” ucap Brigita sopan. “Aku paham, seharusnya prosedurnya seperti itu. Tapi jika Miss Anastasya masih di sini, beliau masih bisa mendekati Jade dan Jane. Hari ini Jane jatuh karena Miss Anastasya. Apa Miss Brigita bersedia bertanggung jawab jika terjadi sesuatu yang lebih parah karena mempertahankan Miss
Brigita menoleh heran pada Anya. “Di mana Ibu Sydney?” bisik Brigita pada Anya. Ini adalah sesuatu yang seharusnya dibicarakan oleh orang dewasa. Apalagi Jade dan Jane masih di bawah umur. Seorang anak kecil bicara soal pemecatan, itu tidak lazim bagi Brigita. Jade bicara seperti seorang pria dewasa di umurnya yang belum genap lima tahun. “Masih di jalan, Miss,” jawab Anya sambil memeriksa ponselnya. Sementara itu, Jane tersenyum bangga atas keberanian saudara kembarnya. “Aku setuju dengan Jade,” timpal bocah perempuan itu. Anastasya mengepalkan tangan. “Anak-anak kurang ajar!” makinya seraya memelototi Jade dan Jane. Namun keduanya tidak gentar. Jane bahkan berani menjulurkan lidahnya. Dia baru ber
Tatapan Anya pada Anastasya menajam. “Saya tidak bisa memberikan data pribadi wali murid pada pihak yang punya kepentingan pribadi, Miss,” tolak Anya dengan tegas. Walaupun sudah ditolak oleh Anya, Anastasya tidak patah semangat. Saat jam istirahat tiba, Anastasya sengaja menghampiri Jade dan Jane yang sedang makan. “Jade dan Jane,” sapa Anastasya seraya tersenyum ramah. Kedua anak kembar itu mengangkat kepalanya. Mata cokelat jernih mereka penuh tanya saat membalas tatapan Anastasya. Namun Jane mendengkus lebih dulu dan memutuskan tatapan itu. “Miss Anastasya lagi … Miss Anastasya lagi!” desah Jane lelah. “Ada apa, Miss?” Bertolak belakang dengan Jane, Jade bertanya dengan sopan. Anastasya memang tidak mengajar kelas mereka secara langsung. Namun Anya bilang, mereka berdua harus menghormati semua guru di sini. Walaupun sebenarnya Jade tahu bahwa Anastasya seperti punya maksud tertentu setiap mendekati mereka. Anastasya masih tersenyum ramah saat menarik kursi
“Secepatnya, Darling,” jawab Morgan lesu. Pria itu seperti tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Sydney bisa menangkap itu. Namun wanita itu tidak mempermasalahkannya. Sydney percaya perasaannya dengan Morgan sama. Mereka sama-sama ingin berkumpul bersama lagi. Cepat atau lambat, Morgan akan mengusahakan itu terjadi. “Kalau belum bisa dipastikan, jangan menggodaku, Tuan Morgan,” pinta Sydney meledek, menghibur Morgan. “Jemput kami, bawa kami pulang, baru setelah itu kau bisa menggodaku sepuasnya,” lanjut Sydney dengan nada manja. Morgan tertawa terbahak-bahak. Malam itu, Sydney banyak mengobrol dengan Morgan hingga pagi buta. Namun Morgan menolak saat Sydney meminta panggilan suara diubah menjadi video. Panggilan video lebih mudah dilacak. Tidak hanya lokasi Morgan, tetapi juga lokasi Sydney dan anak-anak. Banyak hal yang Sydney ceritakan. Dan Morgan mendengarkan itu hingga kantuk menyerang mereka. Ponsel Sydney mati saat wanita itu terbangun pagi harinya. Dia segera men