Ken terkekeh pelan sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Tangannya sedikit bergetar. “Kau pembaca ekspresi yang buruk!” sahut Ken mengejek. Senyum dan wajah riang khas pria itu kembali. “Ada apa?” tanya Morgan sambil membenarkan jasnya, lalu bersandar kembali ke kursi. Alih-alih menjawab Morgan, Ken mengeluarkan ponsel di sakunya dan menggulirkan layar. Beberapa saat kemudian, Ken menunjukkan layar ponselnya pada Morgan. “Lihatlah.” Morgan mengernyitkan dahi. Namun pria itu tetap menerima ponsel Ken. Layar ponsel Ken yang menyala, menampilkan tajuk berita yang membuat udara di antara mereka berubah tegang. “Pewaris sah Rumah Sakit Keluarga Cyrus resmi diumumkan, anak bungsu yang berhasil bersinar.” Suara Morgan datar saat membaca, tetapi pembuluh darah di pelipisnya mulai menonjol. Bibir pria itu menyeringai tajam, mengingat pembicaraannya dengan Andrew saat Ken dioperasi. Peringatan Morgan jika Andrew berani menyingkirkan nama Ken sebagai pewaris sah. Anak bungsu Keluarga
Mata Morgan menyipit tajam, menatap Anna dengan intensitas yang membuat udara di sekitar mereka terasa mencekik. Bagaimana bisa kebetulan terjadi selama dua kali berturut-turut? Pertama saat Anna dan Sydney bertemu di komunitas batita. Dan sekarang mereka bertemu lagi di Pusat Pendidikan Highvale, di hari yang sama setelah mereka memindahkan anak-anak dari komunitas lama. Anna pernah menolong Sydney saat berhadapan dengan orang tua murid yang arogan, Morgan sungguh berterima kasih. Namun, Morgan tidak bisa menghilangkan perasaan curiganya. “M-maaf, Tuan Morgan. Saya tidak mengerti maksud Anda,” sahut Anna berusaha tegas, walaupun ada getaran samar dalam suaranya. Anna menegakkan bahu. Sebagai desainer yang sering berhadapan dengan klien intimidatif, Anna telah terlatih menyembunyikan ketakutan di balik topeng profesional. “Jangan coba-coba membohongiku,” timpal Morgan tajam. Setiap kata yang keluar dari bibir Morgan terasa seperti pisau yang diarahkan tepat ke jantung. Morga
Anak buah itu menelan ludah dengan susah payah. Keringat dingin membasahi keningnya. "Keracunan, Tuan," jawab pria itu dengan suara bergetar. "Sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa dalangnya. Abrar menjadi kambing hitam dan dipenjara beberapa tahun." Mata Morgan bergerak gelisah ke segala arah. Otaknya berputar cepat, menyusun puzzle yang selama ini tercecer. Tiba-tiba Morgan terkekeh, suara yang terdengar lebih mengerikan daripada tawa. "Pasti ulah Si Tua," simpul Morgan, lalu menatap tajam anak buahnya. "Tugasmu sudah selesai. Pergi." Anak buah Morgan mengangguk cepat, membungkuk dalam, lalu melangkah pergi dengan langkah terburu-buru. "Kau yakin?" Sydney mengaitkan lengannya di lengan Morgan. Mata wanita itu menatap wajah suaminya yang mengeras. Morgan mengangguk tegas. "Tidak ada kandidat lain. Mungkin Si Tua benar-benar mencintai Ibu diam-diam. Lalu dia murka karena ada yang berani membunuh wanita itu." "Masuk akal juga." Sydney mengangguk pelan. Keduanya tahu merek
Sydney tersenyum tipis, jemarinya bergerak lembut mengusap rambut Morgan yang berantakan. "Kau baru saja terluka, tetapi yang kau pikirkan masih saja aku." Suara Sydney terdengar hangat, meski mata itu masih memerah bekas tangisan. "Sudahlah, jangan memarahi anak buahmu. Sudah sepantasnya aku sebagai istri diberitahu jika terjadi sesuatu padamu." Air mata yang sempat membasahi pipi Sydney kini mengering sepenuhnya. Morgan ada di hadapannya, hidup dan bernapas, meski lengan kiri terbalut perban dan jarum infus masih menancap di sana. Morgan terdiam. Mata pria itu tidak lepas dari wajah Sydney, seakan sedang menghafal setiap detail yang ada. Keheningan itu berlangsung terlalu lama. "Ada apa?" Sydney mengernyitkan dahi. Tangan Morgan yang bebas terangkat, jemarinya menelusuri garis rahang Sydney dengan sentuhan lembut yang hampir tidak terasa. "Aku tiba-tiba teringat saat kau masih bisu." Senyum tipis muncul di bibir Morgan, mata itu masih terpaku pada wajah sang istri. "Apa yan
"Aku tidak habis pikir," desis Morgan sembari menahan napasnya yang mulai memburu. "Kenapa cerita yang tersebar tidak seperti kejadian yang sebenarnya?!" Nada suara pria itu meninggi. Bukan karena marah semata, tetapi karena dadanya terasa sesak. Seolah-olah ada batu besar yang mengendap di rongga dada dan makin lama makin menekan paru-parunya dari dalam. Padahal anak buah Morgan bukan orang sembarangan. Informasi yang mereka gali sudah pasti berasal dari sumber-sumber yang kredibel. Namun, ternyata cerita yang asli adalah yang Morgan ketahui dari Jerry. Cerita yang terbangun selama ini di kepala Morgan, runtuh dalam sekejap begitu apa yang dikatakan Jerry, dikonfirmasi oleh pria tua ini. Abrar terkekeh pelan. Tawa getir itu keluar seperti dengung sumbang di ruangan yang makin sesak oleh ketegangan. “Ada kuasa Traverso di balik semua itu,” jawab Abrar pelan seraya menatap langit-langit. “Dia ta
"Aaakh! Kenapa Anda memukul saya?!" seru Abrar sembari berusaha bangkit dengan tertatih dari sisi ranjang. "Saya ini cuma orang tua! Tenaganya tidak sebanding dengan Anda!" Suara serak itu menggema di kamar kecil yang pengap. Siapa pun yang mendengar bisa tahu kalau Abrar bukan sedang mengeluh, tetapi lebih seperti panggilan meminta belas kasihan. Morgan menyandarkan satu tangan ke pinggang sambil terkekeh, kesal. Pria itu menyugar rambutnya yang jatuh ke belakang. "Selalu begitu, ya?" Morgan mengangkat alis, menatap dengan sinis. "Memanfaatkan usia untuk minta iba. Kau pikir itu bisa menyelamatkanmu dari segala dosa?!" Abrar meringis, tangan keriputnya masih menutupi pipi yang nyeri akibat pukulan barusan. Kulit wajah Abrar sudah menipis, dan bekas tinju itu mulai memerah. Morgan mendekat setengah langkah. "Apa yang kau ingat hanya Jerry?" desis Morgan. "Bagaimana dengan anak yang satu lagi?!" Abrar mengernyitkan dahi. Tatapannya kosong sesaat. Lalu perlahan, mat