“Apa bisa seorang wanita perusak rumah tangga orang mengaku sebagai orang tua?” Sydney menyeringai dingin. “Setelah kau mengambil suaminya, kau ambil juga anaknya? Apa Carlo tahu kalau kau bukan wanita yang melahirkannya?” Mendadak aula terasa begitu senyap sampai suara napas pun terasa berisik. Wanita di hadapan Sydney tampak terpaku, seperti tersambar petir. Wajahnya yang semula angkuh dan penuh ejekan, kini berubah pucat, lalu merah padam karena marah dan malu bercampur aduk. Tangan wanita itu mengepal kuat-kuat di sisi tubuh hingga jemarinya gemetar hebat. Kata-kata Sydney mengenai asal-usul Carlo bukan sekadar tuduhan kosong. Meski sibuk dengan pekerjaannya belakangan ini, Sydney telah meluangkan waktu untuk mempelajari semua latar belakang para orang tua dari calon teman-teman Jade dan Jane. Bukan karena Sydney curiga, tetapi karena dia ingin memastikan bahwa anak-anaknya dikelilingi oleh lingkungan yang sehat dan aman. Sydney bukan tipe yang suka menyebarkan rahasia kel
“Jangan lari-lari, Sayang. Nanti jatuh,” ujar Sydney lembut sambil membuka pintu mobil.Jade dan Jane langsung menghambur turun, sepatu kecil mereka menjejak lantai trotoar aula komunitas dengan suara berisik.Hari itu, mereka tidak ditemani pengasuh.Bukan karena tidak ada yang bisa mengantar, tetapi karena Sydney memutuskan untuk turun langsung.Pihak komunitas juga hanya memperbolehkan orang tua yang menemani anak-anak di hari pertama perkenalan.Dan Sydney ingin si kembar pertama belajar lepas dari ketergantungan terhadap Celia dan Miran.“Mami, apa di sini ada teman Papi?” tanya Jade sambil mengedarkan pandang ke sekeliling gedung aula.Sydney terkekeh.Sejak beberapa minggu terakhir, Jade selalu tertarik dengan teman papinya.Entah siapa pun pria dewasa yang mengenakan kemeja rapi dan bicara dengan nada serius, Jade akan langsung berkata, “Sepelti Papi!”Sydney mengusap lembut rambut anak laki-lakinya itu. “Teman Papi tidak ada di sini, Sayang. Kau dan Jane akan punya teman send
“Operasi Ken berhasil,” kata salah satu dokter yang menangani langsung, beberapa jam setelahnya. “Kondisinya stabil, hanya butuh waktu beberapa jam sampai efek biusnya benar-benar hilang.”Kini, saat matahari belum juga menunjukkan batang hidungnya, rumah sakit terasa hening dan sepi.Lorong-lorongnya hanya diisi suara kaki para petugas dan mesin-mesin yang berdengung pelan.Catherine duduk di sofa panjang ruang tunggu sambil menggenggam segelas kopi yang kini sudah dingin.Mata wanita paruh baya itu tetap terjaga, tetapi raut wajahnya terlihat kelelahan.“Ken akan tetap dirawat di rumah sakit ini,” ucap Catherine tegas saat Andrew sempat mengusulkan pemindahan. “Aku tidak akan mempercayakan anakku pada siapa pun kecuali tim dokter yang menangani operasi ini.”Andrew tidak menjawab.Mata pria paruh baya itu menyipit, penuh gejolak yang sudah tidak ingin dia lanjutkan.“Aku pulang dulu,” ucap Andrew akhirnya sambil berdiri. “Aku tidak mau berdebat pagi buta begini.”Tanpa menunggu jawa
Morgan menemukan Andrew berdiri menghadap ke jalanan di depan lobi rumah sakit. “Anda seorang Dokter. Seharusnya Anda tahu, area ini juga masih kawasan bebas asap rokok.” Suara tenang dan dingin Morgan memotong keheningan malam yang baru saja Andrew rasakan. Andrew yang sedang membungkuk, berusaha menyalakan korek api di bawah terpaan angin malam, langsung terkesiap. Korek yang berkali-kali gagal menyala kini terasa seperti benda paling memalukan di tangannya. Andrew cepat-cepat menyimpan rokok dan korek ke saku celana, lalu berdeham pelan seolah hendak menutupi rasa kikuknya. Andrew memutar tubuh perlahan sambil menyipitkan mata curiga. “Untuk apa kau mengikuti saya?!” Morgan menatap pria paruh baya itu dengan senyum sinis. “Pasti Om Andrew sangat kesal karena Tante Catherine membuka masa lalu yang sangat ingin Om sembunyikan,” tukas Morgan menyindir dengan santai. Morgan sedikit memiringkan kepalanya. “Tapi bukankah itu sedikit membantu Om Andrew?” tanya Morgan melanjutkan.
Andrew membelalak. “Apa maksudmu bicara seperti itu di depan orang lain?!” “Jangan membentakku,” sahut Catherine cepat, matanya menatap lurus tanpa emosi. Andrew maju selangkah, bahunya menegang. “Seharusnya kau tidak membuka aib keluarga pada sembarang orang!” Sydney menoleh cepat ke arah mereka. Zya menggenggam jemarinya lebih erat. Bahkan Morgan yang berdiri beberapa meter dari mereka hanya mengangkat alis dan tersenyum miring, penuh sindiran. Tidak ada yang menyela. Keheningan berubah jadi tekanan, membungkus mereka semua seperti kabut tebal. Namun, Catherine tidak mengindahkan bentakan suaminya. Wanita paruh baya itu menoleh kembali pada Zya. “Mungkin itu sebabnya Ken tidak pernah berpikir untuk menikah,” ucap Catherine lirih. “Pernikahan pertama yang seorang anak kenal adalah pernikahan orang tuanya. Dan kami gagal mencontohkan pernikahan yang harmonis pada Ken.” Zya membeku. Mata Zya membelalak menatap wanita yang sebelumnya menghujaninya dengan caci maki. Zya sedi
“Itu tadi yang ingin aku katakan, Tante,” ucap Sydney mengalun mantap. “Coba saja Tante buka kotak itu. Seharusnya ada nama Zya di dalam sana.”Sydney tahu dia sedang memaksakan peruntungannya dengan berkata seperti itu.Sejak perawat keluar membawa kotak itu, hati Sydney sudah bergemuruh tidak tenang.Ken hanya berkata pada Sydney bahwa dia akan melamar Zya setelah acara amal selesai.Ken tidak bicara apa-apa soal perhiasan.Namun Sydney yakin, jika kotak perhiasan itu adalah milik Ken, itu pasti untuk melamar Zya.Dan biasanya, perhiasan pasangan memiliki ukiran nama atau inisial.Zya menoleh dengan wajah sembab, tetapi alisnya terangkat pelan.Zya menepuk dadanya sekali dan bertanya lirih, “Nama saya, Nyonya?”Sydney menatap Zya lekat-lekat dan mengangguk dengan penuh keyakinan. “Ya. Namamu.”Semua mata kini tertuju pada Catherine yang masih menggenggam kotak beludru hitam itu.Wanita paruh baya itu sempat ragu, tetapi ego membuatnya enggan terlihat lemah di hadapan Sydney dan Zya.