“Tidak ada siapa pun di sini?” Morgan bertanya ke udara kosong. Mata pria itu menyisir cepat setiap sudut ruang belajar anak yang sepi dan terlalu rapi untuk ukuran tempat yang biasa dipakai Jade dan Jane bermain. Tidak ada suara maupun tawa. Bahkan, tidak ada remah biskuit di karpet. Ruangan yang Morgan siapkan sendiri sejak si kembar pertama masuk komunitas batita itu, kini hanya menyisakan sunyi dan perasaan tidak menyenangkan yang menghantam dadanya. Morgan memijat pelipis, mencoba berpikir jernih, tetapi amarahnya sudah lebih dulu menguasai kepala. Langkah-langkah tergesa terdengar dari arah lorong. Layla muncul dengan napas sedikit memburu. “Tuan Morgan,” sapa Layla sopan, meskipun wajahnya menunjukkan kegelisahan. Morgan menoleh cepat. Begitu melihat Layla, Morgan bertanya, “Di mana Sydney dan anak-anak? Apa mereka ada di kamar?!” Layla menunduk, tidak berani menatap pria itu. “Maaf, Tuan. Tidak. Mereka ... tidak ada di mansion sejak satu jam lalu.” “Apa?!”
Sydney tahu Morgan tidak bisa melihat ekspresinya di seberang sana, tetapi wanita itu tetap mengangguk pelan.Gerakan kecil itu seperti sedang menjawab pertanyaan yang hanya Sydney sendiri yang mengerti.Dengan lembut, Sydney menepuk-nepuk punggung Sereia yang sudah tertidur di pelukannya, berharap keresahannya tidak sampai menular ke bayi mungil itu.“Akhir-akhir ini banyak yang kita bicarakan sebelum tidur.” Morgan membuka suara, terdengar berat, seperti baru saja meneguk sesuatu yang pahit. “Tentang perusahaan kita, konflik-konflik bodoh di sekitar kita, dan semua tekanan yang kita hadapi ... dan untuk hal ini, aku memang lupa. Aku minta maaf, Darling.”Sydney menarik napas dalam-dalam, seolah sedang mencoba mendorong jauh-jauh sesak yang menempel di dadanya.Sydney mendengar suara gaduh di latar Morgan meredup perlahan.Tampaknya, pria itu menyingkir dari keramaian.“Miss Erica,” lanjut Morgan setelah jeda singkat. “
Sementara itu di mansion, Sydney sedang menemani Jade dan Jane menyiram tanaman hias di halaman belakang.“Jangan terlalu banyak menyiram mereka, Sayang. Secukupnya saja,” ucap Sydney sambil berjongkok di antara Jade dan Jane yang sibuk mengguyur bunga dengan penyiram tanaman kecil mereka.Sereia dan Zaleia duduk manis di stroller, diletakkan tidak jauh dari pagar tanaman rambat di sudut halaman belakang mansion.“Kenapa?” tanya Jade dengan dahi berkerut, suara kecilnya terdengar kritis, seperti sedang mempertanyakan logika hidup.Sydney menggigit bibir bawahnya, berpikir sejenak untuk mencari analogi yang mudah dimengerti oleh anak usia hampir tiga tahun itu.“Umm …” Sydney mulai perlahan, lalu tersenyum. “Bayangkan jika Mami terus menyuruhmu makan, padahal perutmu sudah penuh. Makanan yang masuk hanya akan membuatmu sakit, bukan?”Jade membulatkan mulutnya dan mengangguk mantap, seperti baru menemukan penemuan besar dalam hidup
“Si Tua sengaja melakukan itu, Morgan,” ucap Jerry dengan tatapan menusuk. “Jika kau sadar, beberapa anak yang tumbuh bersamamu di Keluarga Draxus merupakan darah dagingnya, dari beberapa wanita berbeda.” Morgan mematung. Urat di pelipisnya menegang. Pria itu menyipitkan mata dan bertanya lantang, “Apa?!” “Ini rencana jangka panjang Si Tua.” Jerry melanjutkan dengan lirih sekaligus tajam. “Tapi mereka semua gugur. Tidak satu pun mencapai standar minimum Keluarga Draxus. Mereka berakhir di pemakaman yang ada di belakang rumah Si Tua.” Jerry menyeringai penuh kegetiran yang mulai merayap ke dadanya setiap dia membahas Si Tua. “Hanya kau yang bertahan. Bahkan saat aku datang dan berusaha menjadi murid terbaiknya, dia bilang aku tetap tidak bisa melampauimu.” Jerry sedikit memiringkan kepalanya. “Sialan! Si Tua memang pantas mati!” Morgan berdiri tiba-tiba dan melangkah menjauh beberapa langkah. Suasana ruangan itu mendadak sesak meski udara dingin terus dipompa dari ventilas
“Aku tidak percaya seorang Morgan Draxus akan melontarkan pertanyaan yang begitu … emosional!” tukas Jerry menyindir. Jerry tertawa keras, begitu nyaring dan jahat hingga menggema di seluruh ruangan sempit itu. Tawa Jerry seperti beling yang digerus, menyayat dan menyakitkan. Jerry sedikit menunduk, menyembunyikan wajahnya yang merah, seolah Morgan baru saja melemparkan lelucon kelas dunia. Morgan tidak bersuara. Tidak satu pun otot wajahnya bergerak. Pria itu hanya duduk diam di seberang meja, tetapi sorot matanya menusuk tajam seperti peluru yang sudah dikokang. Jerry menghirup kasar udara di hidungnya, lalu mendongak. “Aku pikir … kau akan bertanya soal Echelon Vanguard,” ujar Jerry dengan senyum puas. “Atau … bagaimana caraku menemukan Ghina Zahlee?” Nada suara Jerry mengejek dan penuh cibiran. Lalu Jerry menambahkan, “Atau … apakah aku perlu membuat Fred Zahlee kembali juga? Aku tahu di mana dia berada.” Jerry bersandar santai, bibirnya terangkat miring. Dara
Sydney menarik napas sambil menggeleng pelan. Wanita itu perlahan duduk di salah satu kursi makan, sementara matanya memandangi si kembar yang sudah selesai makan dan tengah sibuk memainkan potongan roti menjadi puzzle. Morgan ikut duduk di kursi paling ujung meja makan. Sendok dan garpu di tangannya bergerak rapi, sementara mulutnya diam. Beberapa menit berlalu hanya dengan suara gelas yang bersentuhan dan piring yang bergesekan. “Hari ini kau akan pergi ke mana, Darling?” tanya Morgan akhirnya, memecah keheningan. Sydney meletakkan cangkir tehnya, lalu menjawab, “Tidak ke mana-mana. Aku sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama anak-anak. Lagipula, Zya sudah kembali bekerja di kantor.” Morgan mengangguk. “Kalau begitu, aku bisa langsung pergi ke tujuanku.” Sydney hanya mengangguk sambil tersenyum tipis dan kembali menatap si kembar yang kini saling berseru karena berebut potongan selai terakhir. Setelah sarapan usai, Morgan mencium kening anak-anaknya dan Sydney, lalu kelu