Udara terasa lembab, namun bukan karena hujan. Ada hawa ganjil yang Andini sendiri tak bisa jelaskan. Tangannya masih sedikit bergetar, sisa dari kejadian yang baru saja terjadi—kejadian yang nyaris merenggut nyawanya.Hannan berjalan setengah langkah lebih cepat dari Andini, menggendong Lingga yang masih tertidur di dadanya. Wajah pria itu nyaris tanpa ekspresi. Hening. Tapi mata tajamnya terus menelusuri sekitar. Sekilas, Hannan menoleh ke titik tempat motor berjaket hitam itu melintas, lalu lenyap. Tak ada suara kemarahan keluar dari mulutnya, tapi aura tubuhnya berbicara banyak—gelap, penuh tekanan.Andini memperhatikan langkah Hannan yang terasa lebih berat dari biasa. Pria itu memang tidak berkata apapun sejak menyelamatkannya. Tapi justru karena itu, dia tahu: sesuatu sedang bergerak di dalam kepala Hannan. Bukan sekadar marah. Melainkan lebih dari itu."Ada yang luka?" Hannan bertanya tanpa menoleh.Andini menggeleng pelan. "Enggak, Mas.""Masih shock? Yakin kuat jalan, atau m
Pagi itu, matahari belum tinggi ketika Hannan mengetuk pintu kamar. Ketukan pelan, tapi cukup untuk membangunkan Andini yang masih tidur sambil mendekap Lingga. Mata perempuan itu terbuka perlahan, melihat Hannan berdiri di ambang pintu dengan pakaian santai—kaus hitam, celana panjang kain, dan sepasang sepatu hitam yang tampak baru."Mas Hannan?""Selamat pagi.""Pagi. Tumben sekali rapi.""Kamu juga harus siap–siap. Kita mau pergi."Andini bangkit pelan dari tempat tidur, mengerjap. "Pergi? Masih jam enam. Mau pergi ke mana?""Nanti kamu tahu," jawab Hannan singkat. "Saya mau bawa kamu ke tempat penting."Andini ingin protes, tapi mengenal Hannan, dia tahu itu sia-sia. Beberapa puluh menit kemudian, mereka sudah berada dalam mobil. Hannan menyetir sendiri, dengan satu tangan menggenggam stir, sementara tangan lainnya meremas pelan jemari Andini. Lingga tertidur di kursi belakang dalam dekapan hangat selimut.Beberapa kali Andini mencuri pandang. Wajah Hannan terlihat tegang, tapi da
Andini menggeliat pelan di bawah selimut ketika merasakan matanya mulai terbuka. Ruangan masih dalam nuansa lembut—dinding bercat hangat, jendela terbuka menyuguhkan bias cahaya pagi yang baru saja menyentuh permukaan lantai kayu.Di sebelahnya, Hannan masih lelap. Napas pria itu teratur, lengan panjangnya masih melingkar di pinggang Andini dengan posesif yang khas. Seolah dunia tak boleh menyentuh calon istrinya—selain dia.Andini menyentuh pipi Hannan pelan, kemudian bangkit hati-hati. Namun, belum juga dia berdiri, jemari Hannan menangkap pergelangan tangannya."Mau kemana?" suara itu berat, baru bangun, tapi tetap terdengar dominan. "Mau mandi. Badanku lengket banget, Mas. Kamu masa nggak ngerasa?""Saya juga mau mandi," jawabnya sambil membuka satu matanya.Andini tertawa pelan, menepis tangan Hannan. "Kalau gitu kamu mandi duluan, aku mau cek Lingga. Gantian."Namun Hannan malah menarik selimut, dan dalam satu tarikan lembut namun pasti, Andini sudah kembali bersandar di dadany
Udara kamar menyisakan keheningan yang nyaris sempurna. Aromanya lembut—campuran lavender dari diffuser di sudut ruangan dan sisa aroma mint yang tertinggal di kulit pria itu. Andini menarik selimut hingga ke dada, mengira malam itu akan berakhir tenang, tanpa drama. Tapi hidup bersama Hannan Alfaruq tidak pernah sesederhana itu.Baru saja matanya mengatup, sebuah tangan berat meraih pinggangnya dan menarik tubuhnya perlahan. Hangat. Kuat. Dan sangat familiar. Punggung Andini bertemu dada bidang Hannan, lalu dagu lelaki itu mendarat santai di atas bahunya.“Mas ...,” desis Andini, matanya setengah terbuka. “Katanya mau tidur.”“Tidur, iya. Tapi peluk dulu,” balas Hannan dengan suara malas, berat, dan ... manja.Andini mengerucutkan bibir, menahan tawa. “Lho, dari tadi ini apa kalau bukan dipeluk?”“Pelukan biasa. Aku maunya yang spesial. Yang lengket. Yang lama.”Andini terkekeh pelan. “Kamu tuh ... bayi besar. Nggak ada capeknya.”Tawa kecil mengisi ruang. Tapi keheningan kembali men
Andini masuk ke dalam kamar utama—kamar Hannan, tapi pria itu tidak ada. Dia menebak kalau ayah Lingga tersebut pasti ada di ruang kerja. Pria itu selalu memastikan tidak ada pekerjaan yang terlewat sebelum tidur.Ibu susu Lingga itu duduk di pinggir kasur menunggu pria yang katanya ingin tidur dengannya. Tidak lama, pintu kamar terbuka. Hannan masuk dan menutup pintu kamar pelan, membiarkan suara hujan di luar menjadi latar dari malam yang terasa begitu ... berbeda.Ia melihat Andini duduk membelakangi arah pintu, memijat lengannya sendiri. Dari postur tubuhnya, Hannan tahu Andini sedang lelah. Tapi bukan itu yang membuatnya mendekat malam ini. Ada sesuatu yang lebih primal. Lebih dalam. Lebih mengganggu pikirannya sejak sore tadi.Andini baru saja menyusui Lingga. Itu yang Hannan tahu. Dan sejak ia tahu ... pikirannya tak berhenti memutar hal yang sama..ASI.Lingga.Dan betapa irasionalnya rasa cemburu yang ia rasakan terhadap bayi mereka sendiri."Belum tidur?" tanyanya pelan, be
Mobil sport berwarna hitam mengilap itu melesat tajam di jalanan kompleks elite kawasan ibu kota. Sinar matahari sore memantul sempurna di bodinya, memantulkan kilau mewah yang nyaris menyilaukan mata. Di balik kemudi, duduk Hannan Alfaruq. CEO muda yang dikenal bukan hanya karena kecerdasannya memimpin dunia bisnis, melainkan juga karena kharisma dan ketampanannya yang sulit ditandingi.Dengan satu tangan di kemudi dan tangan lain menggulung lengan kemeja putihnya ke siku, Hannan melesat tanpa ampun, menyusuri jalanan dengan kecepatan yang cukup membuat jantung orang biasa melompat ke tenggorokan.Saat mobil berhenti di depan rumah, Hannan turun dengan satu gerakan cepat, menutup pintu mobil tanpa suara. Langkahnya panjang, tegas, dan tak seorang pun berani menyapa ketika dia melintas di lorong rumah.Ira—sekretaris andalan yang baru kembali dari cuti panjangnya—menunduk sopan ketika Hannan menatapnya sekilas."Ruang kerja. Sekarang."Hanya dua kata, tapi cukup untuk membuat jantung