Senja jatuh pelan di balik tirai jendela kamar, menyisakan warna keemasan yang lembut membingkai wajah Hannan Alfaruq—lelaki dengan reputasi besi, namun hari itu, dia tak lain dari seorang ayah yang sedang berlutut di atas karpet, bermain dengan balita kecilnya yang kini tambah dewasa."Sini, Nak. Papa punya singa! Aaaarrghh!" serunya pelan, berpura-pura menjadi binatang buas yang mengejar–ngejar mainan plastik.Lingga tertawa cekikikan, hingga suara kecilnya pecah menjadi rengekan manja saat Hannan pura-pura menggigit kaki bonekanya.Andini langsung muncul dari balik pintu kamar mandi dengan handuk kecil tergantung di bahu. "Mas! Mainnya jangan galak gitu dong! Nangis, tuh, anaknya.""Itu latihan keberanian," jawab Hannan dengan wajah tak berdosa, menggendong Lingga dan mencium kening anak itu. "Tapi baiklah. Maaf, Pak Jagoan."Lingga, yang masih cemberut, tiba-tiba menggumam pelan, "Papa."Andini membeku. Matanya membulat, lalu menoleh cepat ke arah Hannan yang juga diam, seolah tak
Udara pagi itu sejuk, langit nyaris tak berawan. Jakarta seperti melunak sedikit, memberi ruang pada dua manusia yang sedang dalam perjalanan sunyi namun penuh makna.Hannan Alfaruq duduk tegak di atas motor klasiknya. Di belakang, Andini memeluk pinggang pria itu erat. Dia mengenakan helm putih, rambutnya dikuncir rendah, dan matanya menatap ke arah jalanan yang masih lengang. Ini bukan perjalanan biasa. Bukan juga liburan dadakan. Ini adalah bentuk baru dari dialog kehidupan."Kita mau ke mana?" tanya Andini, angin menerpa wajah cantiknya."Tour kecil. Saya mau kamu bertemu dengan beberapa orang," jawab Hannan tanpa menoleh."Siapa?" tanyanya lagi."Teman. Yang tidak peduli saya Alfaruq atau bukan."Mereka berhenti di sebuah toko buku tua di bilangan gedung ala kolonial Belanda. Toko itu sudah berdiri puluhan tahun, dengan papan nama kayu yang mulai memudar. Hannan membuka pintu kaca berderit dan membiarkan Andini masuk lebih dulu. Seorang pria tua yang mengenakan sweater rajut meny
Mentari pagi menyapu pelataran rumah mewah Alfaruq dengan semburat keemasan yang hangat. Di taman belakang, embun belum sepenuhnya menguap dari rumput yang baru saja diinjak oleh sepasang sepatu lari Hannan Alfaruq. Kemeja lengan panjang yang biasa menjadi ciri khas CEO Alfaruq Group pagi itu digantikan dengan kaos abu dan celana jogger hitam. Peluh membasahi pelipisnya, namun kegagahan lelaki itu tidak luntur sedikit pun di mata Andini.Dari jauh, Andini hanya bisa mematung. Sejak kapan melihat seseorang lari pagi bisa membuat jantung berdebar seperti baru jatuh cinta?"Pantas saja dia selalu percaya diri. Tuhan menciptakannya sesempurna itu," gumam perempuan yang jatuh dalam pesona Hannan.Pria yang sedang dibicarakan itu seolah sadar, berjalan santai ke arah Andini sambil menyeruput air mineral."Masih jam segini, Mas," gumam Andini. "Udah selesai maratonnya?"Hannan menatap tanpa senyum, namun ada cahaya lembut di matanya. "Saya tidak bisa lama-lama meninggalkan rumah kalau kamu a
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk lewat jendela kamar bayi, membias lembut di wajah Andini yang tengah menyusui Lingga. Bayi mungil itu tumbuh begitu cepat. Geraknya lincah, matanya cerdas, dan senyum kecilnya selalu berhasil mencairkan beban pikiran yang bersarang di kepala ibunya.Namun hari-hari Andini tidak hanya diisi dengan tangis, tawa, dan popok. Di sela waktu menyusui, di antara jadwal tidur Lingga yang tidak menentu, Andini memanfaatkan setiap celah untuk belajar. Dia menyusun rutinitasnya perlahan. Setiap pagi, setelah memastikan Lingga nyaman dan tidur nyenyak, dia akan membuka laptop.Di layar, tersusun rapi folder bertuliskan "Langkah Awal", "Konseling Bisnis", "Minat dan Bakat", dan "Peluang Usaha". Andini menonton video pendek dari pelaku UMKM, membaca e-book seputar strategi pemasaran digital, serta mengikuti kelas daring seputar pengembangan produk.Andini mulai dari pertanyaan sederhana: "Apa yang benar-benar aku sukai?"Andini mengumpulkan data, membuat diag
Senja menorehkan gradasi oranye pada kaca-kaca gedung pencakar langit. Di puncak menara Alfaruq Group, ruang kerja Hannan menyajikan panorama metropolis yang tak pernah tidur.Tirai kantor tersapu cahaya jingga dari matahari terbenam, memantulkan kilau lembut pada meja kayu tua yang selalu dipenuhi tumpukan berkas dan layar laptop. Di sudut ruangan, Ira—asisten pribadi sekaligus kepercayaan Hannan—duduk di kursi tamu, setengah bersandar, tablet di tangannya menampilkan laporan terakhir.Hannan menutup map kemudian menatap Ira dengan serius. Dia meninggalkan kursi kerjanya, lalu berjalan pelan menuju rak buku."Ira, ada kabar terbaru tentang pemegang saham?" tanyanya, suara datar namun jelas mengandung pertanyaan tajam.Ira mengamati ekspresi Hannan sejenak, lalu menjawab. "Beberapa saham utama sedang beralih tangan, Pak. Itu jadi topik terhangat di sidang dewan kemarin.""Pak, jika boleh berpendapat, menurut saya ini adalah kesempatan bagus untuk Andini mengambil posisi pemegang saham
Andini berdiri, mendekat. "Aku bukan orang besar, bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang ibu, seorang wanita biasa. Maka dari itu, jika aku harus masuk ke dunia kamu, aku harus tahu aku masuk bukan sebagai beban. Aku ingin punya pijakan sendiri, Mas. Aku ingin kamu izinkan aku tetap bekerja."Hannan terdiam. Rahangnya menegang. Bukan karena marah, melainkan sedang menimbang."Aku tidak minta dilindungi dari dunia kamu, Mas. Aku minta diperbolehkan berdiri sejajar, bahkan kalau suatu saat aku harus ikut jatuh. Aku mau jadi pasangan kamu, bukan pelengkap di kartu atau keadaan."Hannan menatap lama. Lalu perlahan, lelaki itu menghela napas dan mengangguk. Senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya.Hannan menarik napas pelan. "Saya tidak mencintai kamu karena kamu cukup, Andini. Saya mencintai kamu karena kamu adalah kamu. Kalau itu syaratmu, maka saya akan pastikan dunia membuka semua pintunya untuk kamu.""Syarat darimu saya anggap sudah dipenuhi. Kamu boleh bekerja. Tapi perlu diingat, di