Share

Bab 6 - ISKDT

Author: Pena_Zahra
last update Last Updated: 2023-11-11 14:45:15

Bab 6

"Kamu—?" Abra menghentikan kalimatnya, tangannya mengusap wajah frustasi.

"Kalau Bapak tidak bersedia, biar saya yang ceri sendiri, Pak," ucap Ayleen menahan malu. Ia kemudian turun dari ranjang dan berjalan terpincang-pincang menuju kamar mandi.

Dari tempatnya, Abraham memperhatikan Ayleen. Otaknya bekerja membayangkan bagaimana Ayleen akan berjalan mencari sesuatu yang dibutuhkannya itu. Tentu hal itu membuatnya segera merubah keputusan.

"Berapa ukurannya?" sambungnya cepat.

"Ah tidak usah, Pak ... biar saya cari sendiri," tolak Ayleen.

"Kamu mau mencarinya sendiri? dengan kaki yang pincang-pincang seperti itu? Butuh berapa lama waktu untuk kamu mendapatkan apa yang kamu butuhkan itu? sementara Putra saya Samuel, dia sudah menangis karena kehausan. Saya tidak mungkin membiarkannya lebih lama lagi untuk menunggu. Cepat katakan berapa ukurannya?!" titah Abraham.

Sejujurnya Ayleen malu mengatakan ukuran bra-nya pada Abraham, apalagi, ukuran buah dadanya meningkat dua kali lipat sejak melahirkan dan menyusui. Tidak seimbang dengan tubuh rampingnya.

Akan tetapi, tidak mengganti bra juga bukan solusi, bra itu sudah sangat kotor bercampur keringat dan asi, tentu tidak mungkin ia menggunakannya untuk menyusui Baby Samuel.

"Size 38 cup B, Pak," tutur Ayleen membuat Abraham cukup terkejut, bahkan ia sampai reflek mengarahkan pandangan ke dada Ayleen.

Abraham meneguk ludah, lalu segera mengalihkan pandangan. Terkejut tentu saja, sebagai mantan suami seorang model, ia cukup paham tentang ukuran Bra. Airin mantan istrinya, sering mengajaknya belanja pakaian dalam, dan selalu berhasil menguras kantongnya. Karena pakaian dalam Airin, berkali lipat lebih mahal harganya dibanding baju yang dikenakannya.

Katanya, bentuk tubuh adalah aset paling berharga bagi seorang model, sehingga harus sangat dijaga, termasuk salah satu alasan ia tidak bersedia menyusui Baby Samuel adalah untuk menjaga bentuk ideal PD-nya.

Padahal, secara selera, Abra menyukai yang lebih berisi, tak masalah tak ideal, asalkan memuaskan dan sesuai fungsinya.

Abraham segera menepis pikiran kotornya, kemudian berlalu pergi meninggalkan Ayleen. Sementara Ayleen tak ingin membuang waktu lagi, ia segera memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.

Keluar dari kamar mandi, Ayleeen mendapati di bed-nya sudah tersedia beberapa kantong berisi baju lengkap dengan semua keperluan menyusui. Tiga set baju menyusui, tiga set bra menyusui, juga apron beserta pompa asi dan botolnya.

Ayleen tersenyum, meraihnya salah satu untuk dikenakan, kemudian menyimpan yang lain.

"Ternyata Pak Abra baik juga, ya ... walaupun terkesan dingin dan cuek, tapi dia baik, bahkan sampai rela belanja barang-barang seperti ini demi memastikan anaknya mendapatkan asi yang bersih dan steril. Benar-benar ayah yang baik, sayang sekali, nasibnya tak sebaik perangainya." Ayleen bergumam, kemudian segera mengganti baju, dan bersiap menyusui Baby Samuel.

Kedatangan Ayleen disambut hangat oleh Bu Emil, ia segera menuntun Ayleen ke bed Samuel, kemudian memindahkan Samuel ke pangkuannya.

"Akhirnya kamu datang juga, Ayleen ... Samuel sudah tak sabar ingin minum," terang Bu Emil seraya memandang Samuel yang bergerak-gerak mencari sumber makanannya.

Ayleen tersenyum menatap bayi tiga bulan dalam gendongannya.

"Iya, Bu ... kalau begitu, bisa langsung saya mulai?" tanya Ayleen.

"Bisa-bisa, sebentar, biar Ibu tutup kordennya," ucap Bu Emil seraya menarik korden drngan bentuk rel melingkari bed di kamar itu. Sengaja ia melakukan itu, agar Ayleen nyaman, karena di ruangan itu ada Abra.

Ayleen memulai sesi menyusui dengan bismillah, dan Baby Samuel yang sudah kehausan pun segera menyambar sumber makanannya.

Mulanya bayi itu sempat bingung puting, akan tetapi Ayleen yang sudah cukup berpengalaman menyusui putranya, berhasil mengatasinya dengan baik. Kini, putra Abraham itu tengah menyusu dengan sangat bersemangat, bahkan badannya yang semula demam, mulai mengeluarkan keringat, pertanda metabolisme tubunya sedang bekerja.

Bu Emil memandang cucunya dengan pandangan puas, seolah ia sendiri yang tengah melepas dahaga.

"Asi kamu lancar sekali, Ayleen ...," puji Bu Emil.

"Iya, Bu ... bayi saya baru meninggal tiga hari yang lalu, dan sebelum ini, saya rutin memompanya, jadi produksi asinya memang masih sangat sehat. Apalagi sekarang kembali mendapatkan rangsangan dari baby Samuel.

MasyaAllah ... rasanya saya seperti sedang mendekap dan menyusui anak saya sendiri, Bu ... Baby Samuel menjadi obat rindu terhasap putra saya." Ayleen berucap dengan menyusut air mata yang mulai membasahi pipinya.

"Yang sabar ya, Ayleen ... insyaAllah, dia akan menjadi penolongmu kelak di surga. Sekarang, anggaplah Samuel seperti anakmu sendiri, sayangi dia sepenuh hati, karena kini, darah dan dagingnya terbentuk dari air susumu, itu artinya, kamu adalah ibunya." Bu Emil berucap sembari memeluk Ayleen dari samping.

Ayleen mulai terisak, entah mengapa, ia merasa begitu dekat dengan Samuel, bahkan mendekapnya mampu menghantarkan hangat ke dalam hatinya.

Kedua matanya memandang lekat dua manik mata Samuel yang pekat persis seperti milik daddy-nya, pandangan mereke bertemu, dan saling tatap dalam waktu yang cukup lama.

Bonding mereka sangat kuat, bahkan, Bu Emil yang melihat, bisa turut merasakannya. Perlahan, Ayleen mengarahkan bibir ke kening Samuel, mengecupnya penuh cinta seraya memejamkan mata. Cukup lama, hingga bayi itu menghentikan sedotan pada p*ting miliknya.

Ayleen tersenyum, dan senyum itu seolah menular pada Samuel.

"MasyaAllah ... dia menyukaimu, Ayleen," ucap Bu Emil.

Ayleen tersenyum, "Alhamdulillah, Bu ... saya juga sangat menyayanginya. Terima kasih karena telah memberi kesempatan saya untuk menyusui Baby Samuel. Mendekapnya seperti ini, mengobati kerinduam pada bayi saya, Bu," ungkap Ayleen untuk ke sekian kalinya.

Ia memang sesayang itu. Andai ia diminta menyusui bayi itu tanpa dibayar pun, dia akan dengan senang hati melakukannya. Karena Samuel talah mengobati kerinduannya terhadap sang putra.

"Semoga saja, proses menyusui Samuel akan berjalan lancar sampai sebulan ke depan, supaya kontrak kerja kamu diperpanjang oleh Abra," harap Bu Emil tulus, sementar Ayleen mengaminkannya.

Baby Samuel telah terlekap dalam dekapan Ayleen. Setelah sesi menyusui selesai, Ayleen segera menggendongnya dengan posisi berdiri, supaya bayi itu bersendawa, persis seperti yang diajarkan bidan padanya. Sementara Bu Emil, kembali membuka korden yang menjadi penutup.

Melihat korden telah terbuka, Abra yang sejak tadi menunggu, segera beranjak untuk mengecek kondisi putranya.

"Gimana, Ma? Semuanya aman?" tanyanya penuh selidik.

"Ya aman toh, aman banget, Abra. Lihatlah Samuel, dia sangat nyaman berada di dalam dekapan Ayleen, dia juga tadi nyusunya pinter banget loh, Abra. Lihat itu pelipisnya, masih penuh dengan keringat. Mama yakin, Samuel akan semakin tumbuh sehat setelah ini." Bu Emil menjelaskan dengan penuh semangat.

Kedua sudut bibir Abra terangkat, membentuk senyuman indah di wajahnya. Perlahan ia mendekati Samuel, megusap pelipisnya yang dipenugi butiran keringat. Aura puas terpancar dari wajahnya.

Pandangannya kemudian beralih pada Ayleen, menatapnya cukup lekat.

"Terima kasih, ya! Pastikan nutrisi kamu terpenuhi, sehingga kualitas asi kamu terjaga. Saya inginkan yang terbaik untuk putra saya," ucap Abraham pada Ayleen.

"Siap, Pak," sahut Ayleen mantap.

Bu Emil tersenyum, "yang bertugas memenuhi nutrisi Ayleen ya kamu, Abra! Tugas Ayleen hanya menyusui. Kamu harus penuhi kebutuhannya, tak hanya itu, kamu juga harus menjaga moodnya. Seorang wanita yang menyusui harus selalu bahagia, supaya kualitas asinya tetap terjaga," ucap Bu Emil mengingatkan.

"Saya akan lakukan yang terbaik, Ma, untuk Samuel, begitu pun untuk Ayleen, selama nutrisi untuk Samuel akan datang melalui asinya," tekad Abra membuat Bu Emil tersenyum lega.

Sementara di tempat lain. Erwin terbangun dari tidur panjangnya dengan penuh emosi. Mendapati di meja makan tidak ada makanan yanh tersaji.

"Bang_sat! Ke mana wanita pemalas itu? Kenapa dia tidak menyiapkan sarapan untukku?" gerutunya seraya membanting piring kosong di atas meja. Menimbulkan bunyi prang yang memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu, ia berteriak memanggil Ayleen dengan sekencang-kencangnya.

"Ayleen ...!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (20)
goodnovel comment avatar
Agus Cahya saputra
bab 7 keatas kok terkunci semua ya
goodnovel comment avatar
sofia bunda
cerita nya menarik
goodnovel comment avatar
japri RONI
ike bags ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 113

    Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 112

    Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 111

    Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 110

    Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 109

    Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam

  • Ibu Susu Kesayangan Duda Tampan   Bab 108

    "Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status