Bab 6
"Kamu—?" Abra menghentikan kalimatnya, tangannya mengusap wajah frustasi."Kalau Bapak tidak bersedia, biar saya yang ceri sendiri, Pak," ucap Ayleen menahan malu. Ia kemudian turun dari ranjang dan berjalan terpincang-pincang menuju kamar mandi.Dari tempatnya, Abraham memperhatikan Ayleen. Otaknya bekerja membayangkan bagaimana Ayleen akan berjalan mencari sesuatu yang dibutuhkannya itu. Tentu hal itu membuatnya segera merubah keputusan."Berapa ukurannya?" sambungnya cepat."Ah tidak usah, Pak ... biar saya cari sendiri," tolak Ayleen."Kamu mau mencarinya sendiri? dengan kaki yang pincang-pincang seperti itu? Butuh berapa lama waktu untuk kamu mendapatkan apa yang kamu butuhkan itu? sementara Putra saya Samuel, dia sudah menangis karena kehausan. Saya tidak mungkin membiarkannya lebih lama lagi untuk menunggu. Cepat katakan berapa ukurannya?!" titah Abraham.Sejujurnya Ayleen malu mengatakan ukuran bra-nya pada Abraham, apalagi, ukuran buah dadanya meningkat dua kali lipat sejak melahirkan dan menyusui. Tidak seimbang dengan tubuh rampingnya.Akan tetapi, tidak mengganti bra juga bukan solusi, bra itu sudah sangat kotor bercampur keringat dan asi, tentu tidak mungkin ia menggunakannya untuk menyusui Baby Samuel."Size 38 cup B, Pak," tutur Ayleen membuat Abraham cukup terkejut, bahkan ia sampai reflek mengarahkan pandangan ke dada Ayleen.Abraham meneguk ludah, lalu segera mengalihkan pandangan. Terkejut tentu saja, sebagai mantan suami seorang model, ia cukup paham tentang ukuran Bra. Airin mantan istrinya, sering mengajaknya belanja pakaian dalam, dan selalu berhasil menguras kantongnya. Karena pakaian dalam Airin, berkali lipat lebih mahal harganya dibanding baju yang dikenakannya.Katanya, bentuk tubuh adalah aset paling berharga bagi seorang model, sehingga harus sangat dijaga, termasuk salah satu alasan ia tidak bersedia menyusui Baby Samuel adalah untuk menjaga bentuk ideal PD-nya.Padahal, secara selera, Abra menyukai yang lebih berisi, tak masalah tak ideal, asalkan memuaskan dan sesuai fungsinya.Abraham segera menepis pikiran kotornya, kemudian berlalu pergi meninggalkan Ayleen. Sementara Ayleen tak ingin membuang waktu lagi, ia segera memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.Keluar dari kamar mandi, Ayleeen mendapati di bed-nya sudah tersedia beberapa kantong berisi baju lengkap dengan semua keperluan menyusui. Tiga set baju menyusui, tiga set bra menyusui, juga apron beserta pompa asi dan botolnya.Ayleen tersenyum, meraihnya salah satu untuk dikenakan, kemudian menyimpan yang lain."Ternyata Pak Abra baik juga, ya ... walaupun terkesan dingin dan cuek, tapi dia baik, bahkan sampai rela belanja barang-barang seperti ini demi memastikan anaknya mendapatkan asi yang bersih dan steril. Benar-benar ayah yang baik, sayang sekali, nasibnya tak sebaik perangainya." Ayleen bergumam, kemudian segera mengganti baju, dan bersiap menyusui Baby Samuel.Kedatangan Ayleen disambut hangat oleh Bu Emil, ia segera menuntun Ayleen ke bed Samuel, kemudian memindahkan Samuel ke pangkuannya."Akhirnya kamu datang juga, Ayleen ... Samuel sudah tak sabar ingin minum," terang Bu Emil seraya memandang Samuel yang bergerak-gerak mencari sumber makanannya.Ayleen tersenyum menatap bayi tiga bulan dalam gendongannya."Iya, Bu ... kalau begitu, bisa langsung saya mulai?" tanya Ayleen."Bisa-bisa, sebentar, biar Ibu tutup kordennya," ucap Bu Emil seraya menarik korden drngan bentuk rel melingkari bed di kamar itu. Sengaja ia melakukan itu, agar Ayleen nyaman, karena di ruangan itu ada Abra.Ayleen memulai sesi menyusui dengan bismillah, dan Baby Samuel yang sudah kehausan pun segera menyambar sumber makanannya.Mulanya bayi itu sempat bingung puting, akan tetapi Ayleen yang sudah cukup berpengalaman menyusui putranya, berhasil mengatasinya dengan baik. Kini, putra Abraham itu tengah menyusu dengan sangat bersemangat, bahkan badannya yang semula demam, mulai mengeluarkan keringat, pertanda metabolisme tubunya sedang bekerja.Bu Emil memandang cucunya dengan pandangan puas, seolah ia sendiri yang tengah melepas dahaga."Asi kamu lancar sekali, Ayleen ...," puji Bu Emil."Iya, Bu ... bayi saya baru meninggal tiga hari yang lalu, dan sebelum ini, saya rutin memompanya, jadi produksi asinya memang masih sangat sehat. Apalagi sekarang kembali mendapatkan rangsangan dari baby Samuel.MasyaAllah ... rasanya saya seperti sedang mendekap dan menyusui anak saya sendiri, Bu ... Baby Samuel menjadi obat rindu terhasap putra saya." Ayleen berucap dengan menyusut air mata yang mulai membasahi pipinya."Yang sabar ya, Ayleen ... insyaAllah, dia akan menjadi penolongmu kelak di surga. Sekarang, anggaplah Samuel seperti anakmu sendiri, sayangi dia sepenuh hati, karena kini, darah dan dagingnya terbentuk dari air susumu, itu artinya, kamu adalah ibunya." Bu Emil berucap sembari memeluk Ayleen dari samping.Ayleen mulai terisak, entah mengapa, ia merasa begitu dekat dengan Samuel, bahkan mendekapnya mampu menghantarkan hangat ke dalam hatinya.Kedua matanya memandang lekat dua manik mata Samuel yang pekat persis seperti milik daddy-nya, pandangan mereke bertemu, dan saling tatap dalam waktu yang cukup lama.Bonding mereka sangat kuat, bahkan, Bu Emil yang melihat, bisa turut merasakannya. Perlahan, Ayleen mengarahkan bibir ke kening Samuel, mengecupnya penuh cinta seraya memejamkan mata. Cukup lama, hingga bayi itu menghentikan sedotan pada p*ting miliknya.Ayleen tersenyum, dan senyum itu seolah menular pada Samuel."MasyaAllah ... dia menyukaimu, Ayleen," ucap Bu Emil.Ayleen tersenyum, "Alhamdulillah, Bu ... saya juga sangat menyayanginya. Terima kasih karena telah memberi kesempatan saya untuk menyusui Baby Samuel. Mendekapnya seperti ini, mengobati kerinduam pada bayi saya, Bu," ungkap Ayleen untuk ke sekian kalinya.Ia memang sesayang itu. Andai ia diminta menyusui bayi itu tanpa dibayar pun, dia akan dengan senang hati melakukannya. Karena Samuel talah mengobati kerinduannya terhadap sang putra."Semoga saja, proses menyusui Samuel akan berjalan lancar sampai sebulan ke depan, supaya kontrak kerja kamu diperpanjang oleh Abra," harap Bu Emil tulus, sementar Ayleen mengaminkannya.Baby Samuel telah terlekap dalam dekapan Ayleen. Setelah sesi menyusui selesai, Ayleen segera menggendongnya dengan posisi berdiri, supaya bayi itu bersendawa, persis seperti yang diajarkan bidan padanya. Sementara Bu Emil, kembali membuka korden yang menjadi penutup.Melihat korden telah terbuka, Abra yang sejak tadi menunggu, segera beranjak untuk mengecek kondisi putranya."Gimana, Ma? Semuanya aman?" tanyanya penuh selidik."Ya aman toh, aman banget, Abra. Lihatlah Samuel, dia sangat nyaman berada di dalam dekapan Ayleen, dia juga tadi nyusunya pinter banget loh, Abra. Lihat itu pelipisnya, masih penuh dengan keringat. Mama yakin, Samuel akan semakin tumbuh sehat setelah ini." Bu Emil menjelaskan dengan penuh semangat.Kedua sudut bibir Abra terangkat, membentuk senyuman indah di wajahnya. Perlahan ia mendekati Samuel, megusap pelipisnya yang dipenugi butiran keringat. Aura puas terpancar dari wajahnya.Pandangannya kemudian beralih pada Ayleen, menatapnya cukup lekat."Terima kasih, ya! Pastikan nutrisi kamu terpenuhi, sehingga kualitas asi kamu terjaga. Saya inginkan yang terbaik untuk putra saya," ucap Abraham pada Ayleen."Siap, Pak," sahut Ayleen mantap.Bu Emil tersenyum, "yang bertugas memenuhi nutrisi Ayleen ya kamu, Abra! Tugas Ayleen hanya menyusui. Kamu harus penuhi kebutuhannya, tak hanya itu, kamu juga harus menjaga moodnya. Seorang wanita yang menyusui harus selalu bahagia, supaya kualitas asinya tetap terjaga," ucap Bu Emil mengingatkan."Saya akan lakukan yang terbaik, Ma, untuk Samuel, begitu pun untuk Ayleen, selama nutrisi untuk Samuel akan datang melalui asinya," tekad Abra membuat Bu Emil tersenyum lega.Sementara di tempat lain. Erwin terbangun dari tidur panjangnya dengan penuh emosi. Mendapati di meja makan tidak ada makanan yanh tersaji."Bang_sat! Ke mana wanita pemalas itu? Kenapa dia tidak menyiapkan sarapan untukku?" gerutunya seraya membanting piring kosong di atas meja. Menimbulkan bunyi prang yang memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu, ia berteriak memanggil Ayleen dengan sekencang-kencangnya."Ayleen ...!"Bab 7Suara pintu yang digedor-gedor dengan keras diiringi teriakan yang memanggil-manggil nama Ayleen membuat Surya—ayah Ayleen terkejut dan terbangun dari tidurnya."Ada apa sih ribut-ribut?" gumamnya seraya berjalan ke arah pintu dengan sempoyongan, matanya bahkan masih tertutup sebelah, beberapa kali ia menguap, menimbulkan aroma tak sedap dari mulutnya.Surya membuka pintu dengan muka bantalnya, dan cukup terkejut, saat mendapati Erwin yang berada di sana."Juragan muda," ucapnya seraya menegakkan posisi dirinya."Ooohh, aku tau sekarang kenapa anakmu itu males kali jadi istri, ternyata emang turunan bapaknya. Pemalas! Sudah lah miskin bukannya sadar diri buat cari kerja, malah males-malesan, pantesan utang numpuk!" omel Erwin menumpahkan emosi pada mertuanya."Ngapunten Juragan muda, ada apa? Kenapa teriak-teriak di rumah saya?" tanya Surya berusaha tetap sopan di depan anak juragan yang sangat diseganinya. Sebenarnya ia tak begitu segan, hanya saja karena ia terikat banyak huta
Bab 8"Makan yang banyak, Ayleen! Sayurannya jangan lupa. Kamu butuh semua itu untuk asimu!" titah Abraham, kini mereka tengah berada di meja makan untuk makan malam.Ayleen tengah menikmati ayam panggang bumbu rujak lengkap beserta sayur urapnya. Makanan yang ia idam-idamkan sejak hamil namun baru terwujud sekarang.Meski Erwin seorang putra juragan, namun ia tak pernah memberi jatah makan Ayleen dengan layak. Alasannya karena keberadaan Ayleen hanya sebagai penebus hutang, sehingga, makanan yang disajikan di meja khusus untuknya, dan Ayleen hanya berhak memakan sisanya. Ia memperlakukan Ayleen layaknya seorang budak yang tiada harganya.Tak jarang Ayleen hanya makan dengan sisa sambel di cobek, asal perut terisi walau sering kali tak kenyang.Lalu hari ini ia seperti mimpi, tiba-tiba disuruh memilih menu kesukaan dan hanya dalam hitungan menit makanan itu telah tersaji di hadapan.Merasa terharu, beberapa kali Ayleen tampak menyusut air mata agar tak sampai tumpah. Ia menikmati deng
Bab 9Setelah sarapan dan memastikan Ayleen memenuhi kebutuhan nutrisinya dengan mengkonsumsi makanan sehat, susu dan juga multivitamin, Abra segera berpamit untuk pergi ke kantor."Saya ke kantor dulu ya, Ma ... sepertinya hari ini akan pulang terlambat, karena ada beberapa urusan yang harus diselesaikan." Abra berpamit pada mamanya."Ya sudah, hati-hati," ucap Bu Emil seraya memberikan tangannya, Abra segera menyambut dan menciumnya."Kalau ada apa-apa tolong dikabari ya, Ma ... titip Samuel," pesan Abra. Bu Emil mengangguk mengiyakan.Abraham kemudian beralih pada putranta yang tengah tertidur di dalam gendongan Ayleen. Ia menyentuh kepalanya, mengusap pelan rambut tipisnya, seraya mencium kening Sam dengan penuh cinta dan kelembutan."Saya titip Samuel ya, Ayleen. Pastikan kebutuhannya terpenuhi." Abra berpesan pada Ayleen."Baik, Pak," sahut Ayleen.Abra mencium sekali lagi pipi gembil Samuel, kemudian segera beranjak menuju kantornya.***"Permisi, Pak ... Anda memanggil saya?"
Bab 10Jelang Maghrib, Abra baru datang dari kerja. Seperti biasa, yang pertama dicarinya adalah Sam, putranya.Abra menemui mamanya yang sedang asyik menonton acara ajang memasak di TV, kemudian mencium tangannya sebagai bentuk hormat."Samuel mana, Ma? Hari ini dia rewel nggak?" tanya Abra pada mamanya."Samuel ada, dia nggak rewel kok, pinter banget malah hari ini. Semenjak ada Ayleen, Mama perhatikan dia lebih tenang. Mungkin dia nyaman, karena Ayleen selalu rutin menyusui dan mengecek popoknya. Mama lihat, Ayleen juga aktif mengajak Sam berkomunikasi, walau terlihat satu arah, tapi Sam menikmati itu, dia jadi happy dan nggak rewelan lagi," tutur Bu Emjl panjang lebar.Abra tersenyum puas mendengar penjelasan mamanya, tiada kabar yang lebih baik baginya saat pulang kerja kecuali kondisi Samuel yang aman dan tidak rewel, sesederhana itu kebahagiaan Abra."Saya jadi nggak sabar ingin ketemu, Sam," ucap Abra."Coba saja kamu temui di kamarnya, tadi selesai mandi, Ailin langsung membe
Bab 11Ayleen terdiam, memandang tuannya, mencerna maksud dari ucapannya."Hanya kalau kamu mau saja," lanjut Abraham."Terima kasih, sebelumnya, Pak ... tapi saya tidak ingin merepotkan Bapak," jawab Ayleen sungkan.Abraham mengangguk-angguk, "dari bahasamu bicara, saya bisa menyimpulkan, bahwa sebenarnya kamu butuh bantuan, hanya saja kamu sungkan." Abraham menimpali.Ayleen menautkan kedua alisnya, "dari mana Bapak bisa menyimpulkan demikian?" tanya Ayleen."Dari jawabanmu, karena jika memang tidak ada masalah dengan pernikahanmu, kamu pasti akan menjawab, 'tidak ada yang perlu dibantu, Pak, karena Alhamdulillah pernikahan kami baik-baik saja', tapi sayangnya jawaban kamu justru menggambarkan isi hati kamu." Abraham menjawab dengan menaikkan pangkal kedua alisnya, ekspresinya terlihat memojokkan Ayleen.Ayleen terdiam, dalam hati membenarkan ucapan Abraham, entah ia yang salah dalam berkata, atau Abraham yang memang kelewat peka."Kalau memang ada masalah, berbagilah! Terkadang kit
Bab 12"Ayleen, sore nanti kamu bersiap ya? Saya mau ngajak kamu dan Sam jalan keluar, sekalian ketemu sama pengacara," ucap Abraham sebelum berangkat kerja."Oh, iya, siap, Pak," sahut Ayleen."On time ya, saya pulang kerja, kamu harus sudah siap," pesan Abraham lagi."Baik, Pak," jawab Ayleen sembari menimang Sam. Seperti biasa, Abraham akan menyempatkan waktu untuk mengecup kening bayi itu sebelum meninggalkannya bekerja."Nitip Sam, ya?" ucapnya pada Ayleen, dan Ibu susu dari putranya itu hanya menjawab dengan senyuman, senyum yang mulai disukainya."Nggak biasanya loh, Ayleen, Abra itu bikin janji temu sama pengacara di luar begitu, biasanya dia akan datang ke kantornya, atau justru malah sebaliknya. Sepertinya dia hanya ingin mengajakmu jalan saja," tutur Bu Emil setelah memastikan mobil putranya melaju meninggalkan rumah.Ayleen tersenyum, "Ibu bisa saja, mungkin lebih tepatnya ingin mengajak Sam jalan, Bu, tapi saya otomatis ikut-ikutan, kan sepaket sama Sam," balas Ayleen tak
Bab 13“Ayleen …! Kamu sudah siap belum?” Teriak Abra seraya menggedor pintu kamar Ayleen.“Sudah, Pak … sebentar!” Sahut Ayleen dari dalam kamarnya.Tak berselang lama pintu kamar terbuka menampilkan dengan style yang berbeda. Wanita itu terlihat anggun dan menawan dalam balikan dress berwarna silver dengan jilbab senada. wajahnya juga terlihat lebih segar dan fresh dengan sapuan make up tipis yang baru kali ini digunakannya.Sesaat Abraham terpaku di tempatnya memandang Ayleen tak berkedip. Tak dapat ia pungkiri ia terkesima melihat kecantikan Ayleen yang semakin terpancar. Sementara Ayleen dia, jadi merasa salah tingkah dibuatnya.“Maaf, Pak … mau berangkat sekarang?” Tanya Ayleen menyadarkan Abraham.“Oh, iya. Kita berangkat sekarang, kamu sudah siap kan?” Tanya Abraham gelagapan.“Sudah, Pak,”“Kita mau ambilkan di kamarnya saya siapkan stroller nya, ya!” ucap Abraham memberikan perintah.“Siap, Pak.” Ayleen segera berlalu dari harapan Abraham, seketika lelaki itu menghembuskan n
Bab 14Ayleen terdiam beberapa saat, memandang Abraham yang tengah memotong-motong daging di piringnya."Biar saya sendiri saja, Pak," ucap Ayleen tak enak hati."Sebaiknya kamu perhatikan baik-baik cara saya memotong, supaya nanti saya tidak perlu memotong-motongkan kamu lagi," sahut Abraham.Ayleen mengangguk, dan memperhatikan setiap gerakan Abraham. Sekilas terlihat mudah, namun tangan kampungnya terlalu kaku untuk melakukannya.Kini daging itu sudah terpotong-potong menjadi beberapa bagian. "Sudah, silakan kamu makan," ucap Abraham. Lelaki itu kemudian beralih ke piringnya sendiri, seporsi menu yang sama dengan Ayleen juga ia pesan untuk dirinya sendiri."Sebentar, Pak," ucap Ayleen."Kenapa lagi? Itu tinggal kamu tusuk dengan garpu, lalu makan. Selesai!" ucap Abraham."Bukan itu maksud saya, Pak.""Lalu apa?" Abraham mengerutkan dahi."Punya Bapak, biar saya yang potongkan, supaya ilmu yang baru saja Bapak ajarkan bisa langsung saya praktikkan, dengan begitu saya tidak mudah lu