Bab 5
Suara tangis Baby Samuel membangunkan Abraham dan Bu Emil dari tidur mereka. Hari sudah pagi, namun karena semalaman begadang, keduanya tak dapat menahan kantuk lagi. Bahkan Abra sampai tidak ke kantor demi menjaga putra tercintanya.Baby Samuel sudah dipindahkan ke ruang perawatan, sehingga Abra dan mamanya bisa beristirahat dengan nyaman. Namun belum la mata terpejam, tangis bayi itu kembali terdengar. Gegas Abra menghampiri putra kesayangannya itu, lalu membawanya ke dalam gendongan."Cup cup cup, Sayang ... ini Daddy ... kamu tenang ya, Sam ...," ucapnya berusaha menenangkan Baby Samuel, namun sepertinya usahanya tak membuahkan hasil."Kenapa Samuel, Abra?" tanya Bu Emil yang belum sadar sepenuhnya. Ia berjalan gontai mendekati anak dan cucunya."Badannya panas lagi, Ma ... mending panggil doktet atau suster, deh, Ma ...," jawab Abraham panik."Sini biar Mama yang gendong, namanya lagi sakit, ya memang begini, Abra! Masa dikit-dikit manggil dokter, manggil suster? Mereka juga nggak bisa apa-apa, kan obat penurun demam juga sudah dikasih. Dia cuma butuh dikasih kenyamanan aja," tutur Bu Emil tak lelah mengajarkan ilmu parenting pada putra semata wayangnya yang kini menjadi single parent.Abraham memberikan Samuel pada mamanya, dan bayi itu terlihat lebih tenang."Kenapa dia lebih tenang sama Mama, padahal saya Daddy-nya?" tanya Abraham bingung."Karena dia nyaman sama Mama. Kenapa dia bisa nyaman? Karena Mama rilex, tidak panik. Bayi itu, makhluk paling peka di dunia, kalau kamu panik, dia akan lebih panik, tapi kalau kamu tenang, dia akan lebih tenang!" tutur Bu Emil menjelaskan.Abraham manggut-manggut, mencoba mencerna setiap yang disampaikan oleh mamanya. Terkadang otak bisnisnya menjadi semrawut kala dialih-fungsikam untuk mempelajari ilmu parenting yang benar-benar tak ia ketahui sebelumnya. Tak jaranng ia frustasi akibat gagal memahami bayi. Namun ia tak menyerah, sebagai orang tua tunggal, ia ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya.Baby Samuel sudah tak menangis lagi, namun ia masih terlihat gelisah dalam gendongan omanya."Sepertinya dia haus deh, Abra," ucap Bu Emil pada putranya."Saya buatin susu ya, Ma ...," sahut Abra cepat tanggap."Nggak usah, mending kamu bawa dia ke kamar Ayleen, kondisi lagi demam begini, bagusnya minum Asi, itu bisa membantu menurunkan demam juga," ucap Bu Emil memberi opsi lain.Abra terdiam, ia tampak menimbang."Biar Ayleen saja yang kemari, daripada Samuel yang harus dibawa-bawa," sahut Abra kemudian."Ya Mama juga bilang apa? Harusnya Sam dan Ayleen berada di satu ruangan, supaya lebih simple. Kamu yang nggak mau!" protes sang mama."Saya nggak nyaman aja, Ma ... kalau harus satu ruangan dengan Ayleen. Melihat Ayleen selalu membuat saya teringat Airin, dan itu sangat mengganggu," jelas lelaki 40 tahun itu."Ya sudah, buruan kamu panggil Ayleen!" titah Bu Emil.Abra mengangguk, sekilas mengecup kepala Samuel, kemudian berlalu ke kamar Ayleen.Berkali-kali Abra mengetuk pintu, namun tak ada sahutan dari dalam. Ia pun perlahan membuka pintu, dan memandang ke dalam. Ternyata, sang penghuni justru tengah terlelap dalam tidurnya. Rasa lelah tak lagi bisa dikalahkan oleh Ayleen, sekeras apapun ia berusaha terjaga, tetap saja rasa kantuk mengalahkannya."Ya ampun ... masih tidur lagi!" gerutu Abra. "Masa iya saya yang bangunin sih? Tapi kalau nggak, kasihan juga Sam, dia butuh Asi," gumam Abra. Ia jadi dilema.Tak mau berpikir lebih panjang lagi, ia pun memasuki ruangan Ayleen. Saat ini yang terpenting adalah kesembuhan Sam, jadi apapun akan ia lakukan demi kesembuhannya.Langkah Abra terhentu tepat di hadapan Ayleen yang sedang terlelap dalam tidurnya. Sesaat ia memandangi wajah Ayleen, dan sekali lagi ia mengakui, bahwa Ayleen memiliki wajah yang sangat mirip dengan mantan istrinya, Airin.Hanya saja, ia mulai dapat menemukan perbedaan. Wajah Ayleen, terlihat kusam dan tidak terawat, berbeda dengan Airin yang selalu merawat wajah dan tubuhnya karena tuntutan pekerjaan.Abra mulai membanding-bandingkan. Wajah Airin memang lebih terawat, tapi base wajah Ayleen jauh lebih berkualitas. Bulu matanya yang lebat dan lentik, hidung yang lebih runcing, juga bibir yang lebih berisi membuat Ayleen terlihat berbeda dari Airin. Andai wajah Ayleen dirawat, pastilah dia akan jauh lebih cantik dari Airin. Dan Abra mulai menyadari itu."Ah, kenapa pula saya harus membanding-bandingkan mereka?" tukasnya.Ia pun segera teringat akan tujuan utamanya menemui Ayleen. Abra menghela nafas bersiap memanggil Ayleen agar wanita itu terjaga dari tidurnya, namun belum spat bibirnya tergerak, Ayleen menggeliat, membuatnya membatalkan niat, dan lebih memilih untuk menunggu Ayleen bangun saja.Ayleen mengerjap, mengumpulkan kesadaran, akan tetapi, menyadari ada lelaki di sisinya, ia refelek berteriak dan menarik selimutnya. Seolah tengah memasang warning pada lelaki yang hanya berdiri tenang tak bergeming."Bisa nggak, ga usah teriak-teriak? Ini rumah sakit!" tegur Abra."Astaghfirullah, Pak Abra! Lagian ngapain Pak Abra di ruangan saya?" tanya Ayleen penuh selidik."Nggak usah mikir aneh-aneh! Memangnya menurut kamu saya mau ngapain?" balas Abra jutek.Ayleen terdiam, memandang penuh selidik majikannya."Saya sudah ketuk-ketuk pintu, tapi kamu nggak dengar!" lanjut Abra lagi.Ayleen menoleh ke arah pintu yang terbuka, jelas saja hal itu membuktikan, bahwa majikannya memang tak punya niat yang tidak-tidak. Ia pun bernafas lega."Maaf, Pak ... saya ketiduran," cicit Ayleen."Buruan mandi dan ganti bajumu, pastikan tubuhmu bersih. Karena Samuel butuh asimu! Jangan pakai lama!" titah Abra."Siap, Pak ... tapi—." Ayleen menjeda kalimatnya."Tapi apa?""Tapi, maaf, Pak ... saya nggak bawa baju ganti," jawab Ayleen tertunduk."Biar saya cari bajunya, kau mandilah. Supaya nggak kelamaan. Biasanya di rumah sakit disediakan keperluan menyusui. Apa ukuran bajumu?" tanya Abra."Saya L, Pak." Ayleen menjawab apa adanya.Abra terdiam, "sama seperti ukuran Airin," batinnya."Ya sudah, mandilah! Nanti bajunya saya taruh di ranjang ini, kalau sudah selesai, segera datang ke kamar Samuel, kamu tahu, kan di mana kamar Sam?" tanya Abra."Tahu, Pak ... VVIP 1.""Bagus. Saya tunggu!" ucap Abra kemudian berlalu.Akan tetapi, baru dua langkah kali Abra maju, tiba-tiba Ayleen memanggilnya lagi."Pak!"Abra menghentikan langkah, dan kembali memutar posisi."Apa lagi?" sahutnya malas.Ayleen terlihat bingung."Kamu butuh sesuatu? Katakan saja! Selama untuk kebutuhan Samuel, aku akan memenuhinya," lanjut Abraham."Mohon maaf, sebelumnya, Pak ... sebenarnya saya malu mau mengatakan ini, tapi saya tidak ada pilihan lain, karena—""Sudah, nggak usah basa-basi! Katakan saja apa yang kamu butuhkan! Terlalu panjang berbicara hanya akan membuang-buang waktu!" Abraham memotong ucapan Ayleen.Ayleen tertunduk, "saya ... saya bu–butuh untuk mengganti Bra, Pak!" cicit Ayleen menahan malu. Sementara Abraham, reflek membolakan kedua mata, bibirnya bergerak mengulang kata yang diucapkan Ayleen dengan nada tak percaya."Bra?"Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da
Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,
Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia
Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan
Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam
"Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s