LOGINPagi datang dengan sinar matahari yang menembus lembut lewat celah tirai. Aroma susu bayi bercampur dengan wangi lembut bedak memenuhi kamar.
Dania terbangun lebih dulu. Sekilas, ia menatap bayi di sisinya, lalu menyadari selimut yang menutup tubuhnya. Ia tak ingat pernah memakainya sendiri. Dahinya sedikit mengerut, tapi ia memilih mengabaikan dan bangkit perlahan. Namun begitu berdiri, kenangan samar tentang malam tadi menyeruak—tatapan Ardan di ambang pintu, langkahnya yang mendekat, lalu bayangan hangat di sisi ranjang. Hatinya berdebar aneh. Ia menggeleng pelan, menepis pikiran itu. “Jangan berlebihan, Dania,” gumamnya, mencoba menertawakan diri sendiri. Di sisi lain rumah, Ardan duduk di meja makan dengan wajah datar. Kopinya sudah dingin sejak setengah jam lalu, tapi ia belum meneguknya. Suara langkah Dania di lantai atas membuat dadanya menegang refleks. Ia tahu, cepat atau lambat mereka harus bertemu lagi. Tapi entah mengapa, pagi itu ia tak siap. Kejadian semalam menimbulkan setitik perasaan bersalah di dada. Ketika akhirnya Dania turun sambil menggendong Jayden, suasana seketika berubah canggung. Senyum tipis keduanya saling menyapa dengan kaku. Ardan berdeham kecil. “Tidurmu nyenyak?” tanyanya sekadar basa-basi. Dania mengangguk. “Lumayan. Jayden juga tenang semalaman.” Senyum kecil kembali muncul di wajah Ardan, tapi hanya sebentar. “Aku … sempat melihat kalian malam tadi,” katanya akhirnya, pelan dan hati-hati. Dania berhenti sejenak, menatapnya. “Kamu … yang menutup selimutku?” Ardan hanya menunduk, lalu mengangguk sekali. Keheningan kembali melingkupi mereka. Tapi di balik kesunyian itu, ada perasaan baru yang tumbuh—rapuh, samar, tapi nyata. "Ma-maaf, aku gak seharusnya masuk begitu saja. Semalam aku kira ...." "Gak apa-apa. Kamu pasti cuma mau melihat Jayden, 'kan? Aku gak masalah dengan itu." potong Dania segera, mengulum senyum tipisnya. Ardan mengatupkan bibirnya, lalu menunduk. Ada perasaan mengganjal saat moment yang ia lihat semalam kembali terbayang. Sesuatu yang tampak indah untuk setiap mata lelaki. Ia menelan ludahnya, mencoba menyingkirkan bayang-bayang keindahan milik Dania. "Duduk lalu makanlah, biar aku yang gendong Jayden," kata Ardan seraya bangkit. Tangannya terulur mengambil alih Jayden dari dekapan Dania. Ardan terlihat hangat saat menimang Jayden—sosok ayah yang penuh kasih dan sabar. Pemandangan itu sempat membuat Dania tersenyum, tetapi sesaat kemudian hatinya terasa perih. Bayangan mendiang bayinya kembali berkelebat di benaknya. Ia menunduk dalam, tanpa sadar tangannya terangkat, menyentuh perutnya yang dulu pernah menjadi rumah bagi kehidupan kecil itu. Dania mengulum senyum getir, berusaha untuk menguatkan diri. Di waktu yang sama, terdengar tangisan Jayden dari ruang tengah—membuat Dania sontak menoleh. Jiwa keibuannya terpanggil, ia baru saja bangkit saat Ardan muncul dari balik pintu—dengan Jayden yang masih menangis kencang. "Maaf, Dania, waktu makanmu jadi terganggu," kata Ardan tak enak hati. "Jayden sudah jadi tanggung jawabku sejak aku menyetujui tawaranmu kemarin. Jadi kamu gak perlu merasa sungkan." Dania melangkah mendekat, lalu mengulurkan tangannya pelan, memberi isyarat agar Ardan menyerahkan Jayden padanya. Perlahan Ardan menyerahkan Jayden pada Dania. Namun, tanpa sengaja tangan Ardan justru menyenggol sesuatu yang terasa empuk dan kenyal di sana, membuat keduanya saling bertatapan dalam diam. Suasana terasa beku, seolah tangisan Jayden enggan menggema di udara. Ardan segera menarik tangan lancangnya ketika tatapan Dania terarah ke bawah sana. Keduanya tampak kikuk. Namun Dania lebih cepat menenangkan diri dengan berpura-pura sibuk menatap Jayden. Sementara Ardan yang tak tahu harus bersikap apa memilih melengos ke arah lain—telinga sudah lebih dulu memerah. "A-aku kasih Jayden ASI dulu." Perkataan Dania tersebut membuat Ardan menoleh cepat, lalu mengangguk kaku. "A-aku tunggu di ruang tengah. Kalau sudah selesai bilang saja, biar kamu bisa melanjutkan makan." Dania memberi anggukan singkat. Butuh waktu selama lima belas menit untuk Jayden menikmati sumber kehidupannya, namun tak seperti yang Ardan bayangkan, nyatanya Jayden tak membiarkan Dania makan dengan mudah. Bayi itu merengek dan menangis saat berpindah ke dekapan Ardan, tetapi kembali tenang saat Dania yang menggendongnya. Tak tega melihat Dania yang belum sempat mengisi perutnya dengan benar, Ardan akhirnya meraih piring di atas meja, lalu menyuapkan sesuap makanan kepada Dania dengan gerakan lembut. Usai menyuapi Dania, Ardan tersenyum kecil. Tapi saat tangannya tak sengaja menyentuh sudut bibir Dania yang belepotan nasi, keduanya terpaku. Tatapan mereka bertemu, terlalu dekat. Namun sebelum sempat menjauh, suara langkah seseorang terdengar dari arah pintu. "Siapa perempuan itu, Ardan?""Apaan sih, kamu!" Didorongnya tubuh tegap yang ada di depan Dania itu. Wajahnya kini benar-benar merah seperti kepiting rebus. Senyum jahil masih bertengger di bibir Ardan.Meski didorong dengan tenaga, itu tak membuat Ardan benar-benar menjauh. Tubuhnya hanya bergeser beberapa senti, nyaris tak berarti.“Perasaan waktu mijet tadi kekuatan kamu besar, kenapa sekarang dorongan kamu pelan banget?" selorohnya santai.Tak ada jawaban. Dania hanya menoleh sekilas, wajahnya masih memerah karena malu sekaligus kesal.Ia lalu seperti teringat sesuatu. Alisnya mengernyit, matanya melirik ke arah pintu.“Daripada kamu di sini gangguin aku terus,” katanya sambil berdiri, “mending ambil sprei di Mbok Inem. Dari tadi orangnya gak datang-datang. Mungkin lupa, Ar."Ardan menatapnya sesaat, lalu terkekeh kecil. “Kalau aku maunya mijitin kamu gimana?"Detik itu juga Dania berdecak, tatapannya menghujam sinis. Sedang Ardan tetap santai saja.“Cepat ambil, Ar,” potong Dania sambil mendorong dada Ardan
"Enak sekali, Dan ... jago juga ya kamu." Dania terkekeh kecil mendengar pujian Ardan barusan, sementara kedua tangannya masih bergerak melakukan tugasnya.Di depan pintu, Mbok Inem berdiri mematung. Matanya mengerjap cepat, wajahnya memerah padam menahan malu. Percakapan yang melintas ke telinganya barusan, terdengar sangat tidak pantas.Ditatapnya sprei di tangan. Ia menjadi ragu, lebih baik pergi atau lanjut mengetuk pintu di depannya."Iya yang sebelah situ, Dan ... ah, enak banget." Mbok Inem makin merinding mendengarnya. Tanpa berani mengetuk, ia langsung memutar badan dan melipir pergi sambil membawa kembali sprei yang diminta oleh Ardan beberapa menit lalu.Dari pada mengganggu lalu akhirnya membuatnya malu sendiri, lebih baik ia menghindar saja—membiarkan dua manusia dewasa itu menuntaskan kegiatan yang—"Den Ardan benar-benar lupa diri. Kalau sampai Bibinya tahu, entahlah gimana nasib mbak Dania." Mbok Inem menggelengkan keras. Langkah ringkihnya perlahan menuruni tangga sa
"Mas ... kenapa sih, kamu kunciin aku segala? Aku kan pengen lihat laki-laki kaya itu!" protes Salsa sesaat setelah Bayu membukakan pintu. Wajahnya memberengut, tapi Bayu justru membalasnya dengan dengusan. "Terlalu beresiko kalau ada kamu tadi. Bisa-bisa kamu ngomong hal yang gak seharusnya diomongin." Bibir Salsa semakin mengerucut mendengar itu. "Emang kenapa sih, Mas, kamu harus nutupin kedatangan Dania?" Meski kesal, tapi rasa penasaran tak bisa ditampik begitu saja. Bayu menoleh sekilas tanpa menjawab pertanyaan Salsa. "Sudah lah, gak penting buat kamu tahu. Yang penting, sekarang aku sudah berhasil memegang kendali." Sudut bibir Bayu terangkat, tersenyum miring. Bayu melangkah masuk ke kamar dengan aura puas yang sulit disembunyikan. Tangannya langsung mengambil berkas perjanjian yang sejak tadi tergeletak di meja, surat yang telah ditandatangani Dania dalam kondisi terdesak. Ia mengangkat kertas itu setinggi dada, meneliti setiap tanda tangan di sana. Senyum mun
Sesaat setelah Bayu berdiri di depan Ardan, kepalanya melongok keluar melihat kanan kiri."Mana istriku? Aku kira kamu ke sini mau antar dia?" Mendengar itu kening Ardan sontak mengerut. Matanya melebar."Jadi ... Dania gak ada di sini?" cetus Ardan memicingkan mata, menatap dua orang di hadapannya curiga."Lah, bukannya dia sama kamu?" Suara Bayu meninggi, matanya mendelik."Oh ini laki-laki selingkuhan Dania?" sambar ibunya Bayu sewot.Ardan menghela napas, mengusak rambutnya kasar."Terus kamu ada di mana, Dania ...?" lirih Ardan tak mengindahkan tuduhan yang dilayangkan padanya.Tetapi ia tak mau percaya begitu saja. Ardan melangkah maju satu langkah, menatap Bayu dan ibunya dengan sorot mata tajam yang tak bisa ditawar."Kalian gak lagi sembunyiin Dania kan?" Bayu mendengus, "Mau sembunyiin atau gak, itu adalah hakku, karena dia adalah istriku. Sedangkan kamu ...." Ia menjeda ucapannya, berdecih sambil menghujamkan tatapan merendahkan."Apa hakmu mencari dia ke rumah suaminya?
"Mbok juga gak tahu, Den. Mbak Dania cuma bilang mau ketemu teman lama." Ardan mengusap wajahnya, kian gusar. Dua jam lalu ia tiba di kediamannya. Selama itu pula ia menunggu Dania. Tapi saat Dania tak kunjung kembali, Ardan mulai diserang cemas.Dan tadi itu adalah jawaban yang sama dari Mbok Inem saat dua kali ditanyai dengan pertanyaan yang sama oleh Ardan."Apa gak bisa dihubungi, Den?" lirih Mbok Inem penuh hati-hati. Ardan menggeleng sambil mendesah berat."Apa jangan-jangan—" ucapan Ardan terhenti, lalu langsung menyambar kunci mobil di atas meja."Aku keluar dulu. Titip Jayden ya, Mbok," katanya.Mbok Inem mengangguk cepat tanpa bertanya banyak hal soal kepergian majikannya itu.Ardan membawa langkah panjangnya menuju garasi sambil terus menghubungi Dania.Entah kenapa tiba-tiba saja Ardan kepikiran soal Bayu.Secepat kilat pertemuannya dengan Bayu di rumah sakit hari itu menyeruak ke dalam ingatannya.Bagaimana jika Dania tak sengaja bertemu dengan lelaki itu lalu dipaksa un
Dania menggedor pintu sekuat tenaga hingga membuat tangannya memerah. Sudah lebih dari 3 jam ia dikurung, tapi tak ada sedikitpun tanda-tanda Bayu akan membukanya."Mas, buka! Hari sudah mulai gelap, aku harus kembali kerja!""Salsa, bukain pintunya! Bilang sama Mas Bayu, suruh cepat bawa surat perjanjiannya!"Dania menggedor lebih keras, napasnya mulai tersengal. “Salsa! Kamu denger kan? Tolong bilang sama Mas—”Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, suara langkah cepat terdengar dari arah luar. Lalu tak lama terdengar seseorang membuka kunci. Dania langsung menghela napas lega. Tak lama, muncul sosok yang ia tunggu sejak tadi. Bayu berdiri tegap di balik pintu. Pintu tidak dibuka lebar, hanya setengahnya saja—seolah Dania merupakan seorang tahanan. Tak dibiarkan keluar bebas.Setelah melangkah masuk, Bayu menutup pintu di belakangnya—dan tanpa kesulitan sama sekali, jari panjangnya memutar kunci kembali.Pintu terkunci lagi.Dania spontan menatapnya tajam. "Kenapa dikunci lagi







