Share

Bab 5

Author: Kimkimi
last update Last Updated: 2025-10-04 17:55:25

Dania berdiri mematung di dekat box bayi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca saat melihat makhluk mungil dalam box itu. Ada getaran aneh yang ia rasakan di dada.

Bayi itu, mengingatkan Dania pada bayinya yang telah berpulang beberapa hari lalu. Buliran bening dari pelupuk matanya jatuh begitu saja saat ia menunduk.

Tepukan dari mbok Inem di bahunya membuatnya sontak menoleh.

"Mbok tahu dari Pak Ardan, kalau kamu baru kehilangan bayimu. Yang sabar ya, Nduk. Melihat Den Jayden pasti bikin kamu ingat lagi sama bayimu."

Dania mengangguk. "Aku cuma gak nyangka, Mbok, sekarang aku bisa merasakan menggendong dan menyusui meskipun bukan bayiku," lirihnya sambil sibuk mengelap air matanya.

"Den Jayden juga pasti akan senang karena bisa kembali merasakan ASI."

"Coba lah, Nduk, gendong dia," lanjutnya lembut sembari mengarahkan dagunya pada si bayi.

Tepat ketika mbok Inem selesai bicara, bayi Jayden menggeliat pelan. Tubuh mungilnya bergerak mencari kenyamanan, disertai rengekan yang terdengar lirih, seolah tengah mencari sumber kehidupannya.

Dania mendekat dengan ragu. Jemarinya sedikit gemetar saat menyentuh pipi halus Jayden.

Sentuhan hangat itu kembali membuat air matanya menetes karena haru yang menyelimuti hatinya.

"Hai, Jayden ... aku Dania, mulai hari ini aku akan memberikanmu ASI yang layak," bisiknya sambil terus mengusap pipi Jayden dengan telunjuknya.

"Kamu boleh panggil aku ibu kalau mau," lanjutnya sambil mengulum senyum getir.

Bibir mungil bayi itu terbuka, lalu kepalanya bergerak mengikuti gerakan telunjuk Dania, seolah itu lah sumber kehidupannya.

Dania menatap mbok Inem sekilas, lalu mengangguk kecil.

Dengan hati-hati Dania mengangkat tubuh mungil Jayden dari box bayi. Ia menatap wajah polosnya sesaat sebelum akhirnya melangkah pelan menuju sofa yang ada di sisi kanan dalam kamar itu, lalu duduk dengan sangat hati-hati sambil mendekap Jayden di pelukannya.

Dania menatap Jayden yang kini terlelap di pelukannya. Wajah mungil itu begitu tenang, seolah menemukan kehangatan yang lama hilang.

Senyum tipis terbit di wajahnya, namun sesaat kemudian ia menunduk. Ada luka yang kembali terbuka di dada.

Tangannya menepuk punggung kecil Jayden pelan.

“Kamu beruntung punya ayah sebaik Ardan,” bisiknya lirih.

Pelan-pelan, air mata kembali turun tanpa ia sadari.

Suara langkah lembut terdengar di ambang pintu.

Tanpa mengetuk, Ardan berdiri di sana. Kemejanya masih rapi, tapi wajahnya menegang saat melihat pemandangan di depannya.

Dania belum sadar kehadirannya. Ia masih dalam posisi duduk di sofa, tubuh sedikit condong ke depan, Dania membuka kancing kemeja yang ia kenakan. Udara dingin kamar langsung menyentuh kulitnya, membuatnya menarik napas pelan. Kegugupan seketika menyerangnya.

Dania membenarkan posisi kepala Jayden agar bisa menyusu dengan nyaman. Saat kulit mereka bersentuhan, ada sensasi aneh yang membuat mata Dania berkaca-kaca. Rengekan kecil Jayden perlahan menghilang berganti menjadi keheningan yang terasa damai.

Isapan Jayden lembut, teratur dan menimbulkan rasa yang sulit dijelaskan. Yang jelas, kehadiran Jayden seolah memberi kesembuhan atas luka-luka masa lalu Dania.

Ardan tercekat.

Ada sesuatu yang menghangat di dadanya— Bibirnya terkatup rapat. Ia tahu, seharusnya ia berbalik dan pergi. Tapi matanya tak mau berpaling saat ada sesuatu yang menggantung. Tapi matanya tak mau berpaling.

Saat itu juga, Jayden melepaskan hisapannya dan menggumam kecil. Dania menatap wajah si bayi, lalu menepuk punggungnya perlahan.

"Sepertinya Jayden cocok dengan ASI-mu, Dania. Biasanya Jayden cuma mau menyusu sebentar, apalagi susu fosfor.”

Refleks, Dania menoleh—dan jantungnya serasa copot.

“Ardan?” suaranya tercekat.

Ardan baru sadar napasnya sendiri berat. Ia langsung berbalik, nyaris menjatuhkan pegangan di pintu. “A-aku nggak… aku cuma mau memastikan Jayden sudah tidur."

Suara itu pelan tapi parau.

Dania buru-buru merapatkan kancing bajunya, wajahnya memerah hebat.

“Tadi Jayden belum selesai, aku nggak sempat—”

“Gak apa-apa,” potong Ardan cepat, masih membelakangi.

Suasana langsung sunyi.

Hanya terdengar detak jam dan napas mereka yang saling menahan.

Dania menatap punggung Ardan—tegap, tapi kaku. Ada rasa aneh yang menyeruak di dadanya.

Ia ingin marah karena malu, tapi juga merasa bersalah karena tahu Ardan tak bermaksud begitu.

Perlahan ia berdiri, menidurkan Jayden ke box bayi.

“Sekarang sudah tidur,” katanya, berusaha terdengar biasa.

Ardan menoleh perlahan. Sekilas, mata mereka bertemu.

Ada sesuatu yang tersampaikan di sana—bukan kata, bukan tatapan biasa.

Sesuatu yang membuat udara di antara mereka menegang.

“Terima kasih, Dania,” ucap Ardan akhirnya, suaranya rendah tapi dalam.

“Jayden… beruntung punya kamu.”

Dania hanya menunduk. “Aku yang beruntung, Ar. Karena bisa merasakan jadi ibu… meski cuma sebentar.”

Kalimat itu menggantung di udara. Ardan nyaris mengatakan sesuatu, tapi akhirnya memilih diam.

Ia berbalik dan berjalan keluar, tapi langkahnya berhenti sesaat di ambang pintu.

“Kalau kamu butuh apa-apa, panggil aku.”

Nada suaranya berat—dan ada sesuatu di dalamnya yang bahkan ia sendiri tak bisa jelaskan.

Begitu Ardan pergi, Dania menatap bayangan punggungnya yang menghilang di balik pintu.

Jantungnya berdetak tak karuan. Bukan karena malu, tapi karena sensasi lain yang ia tak berani namai.

***

Ardan mondar-mandir di depan kamar Jayden, menatap pintu itu dengan ragu. Entah sudah berapa kali ia berhenti, mengangkat tangan, lalu menurunkannya lagi tanpa jadi mengetuk.

Suara tangisan bayi tadi sudah reda, tapi keinginannya untuk memastikan semuanya baik-baik saja tak juga hilang.

Baru saat langkah Mbok Inem terdengar dari tangga, ia sedikit tersadar. Perempuan tua itu muncul sambil membawa setumpuk sprei dan selimut.

“Mau pasang sprei, Mbok?” tanyanya cepat.

Mbok Inem mengangguk. “Iya, Tuan. Mau saya pasang di kamar Jayden.”

Ardan spontan mengambil alih. “Biar saya saja. Mbok lanjutkan saja pekerjaan lain, ya.”

Meski sempat heran, Mbok Inem akhirnya menurut. Begitu wanita itu pergi, Ardan berdiri diam sejenak sambil menatap sprei di tangannya. Alasan sudah ada—setidaknya itu cukup masuk akal untuknya sendiri.

Ia mengetuk pelan. Tak ada jawaban. Pintu sedikit terbuka, dan Ardan mencondongkan tubuh, menyembulkan kepala.

“Dan, kau sedang apa? Aku bawakan sprei dan selimut,” gumamnya hati-hati.

Tak ada suara. Hanya napas pelan dan ritme tenang dari dalam ruangan.

Langkahnya maju perlahan.

Pandangannya langsung jatuh pada sosok Dania yang terbaring di sisi ranjang, memeluk Jayden erat.

Bayi itu sudah tertidur pulas, dan bagian atas tubuh Dania sedikit terbuka, memperlihatkan kulit lembut yang membuat dada Ardan sesak seketika.

Ia menelan ludah, mencoba mengalihkan pandangan, tapi gagal. Ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berpaling. Mungkin karena ia belum pernah melihat sisi lembut itu dari Dania—perempuan yang dulu keras kepala, kini begitu damai dan rapuh di waktu yang sama.

Langkahnya mendekat, nyaris tanpa suara. Ia ingin menutupi tubuh itu dengan selimut, hanya itu niat awalnya.

Namun begitu jarak di antara mereka lenyap, napasnya tercekat.

Mulut Jayden sudah terlepas dari sumber kehidupannya, membuat pemandangan itu semakin nyata. Ardan memejamkan mata sesaat, mencoba menahan desiran yang tiba-tiba naik begitu kuat.

Bodohnya, bukannya berbalik, ia justru berjongkok di tepi ranjang. Tangannya bergerak pelan—sekadar ingin menarik selimut ke atas bahu Dania. Tapi kulit mereka bersentuhan, dan di detik itu, semua niat baiknya porak-poranda.

Sentuhan itu membuat jantungnya berdetak tak karuan. Hela napasnya berat, jemarinya berhenti di sana lebih lama dari seharusnya.

Perlahan, ia mengusap lengan Dania, gerakannya begitu hati-hati, nyaris seperti takut membangunkan. Ia bahkan tak sadar sedang menelusuri pelipisnya, turun ke pipi, lalu berhenti di bibir yang lembut dan penuh.

Jemarinya bergerak refleks, mengusap lembut permukaan itu. Napas Ardan tersangkut. Di dalam kepalanya, semua suara sirna—yang tersisa hanya keheningan dan debar yang menggila.

Namun di saat yang sama, Dania bergerak kecil. Sekadar tarikan napas atau refleks dari tidur, tapi cukup untuk membuat Ardan tersentak. Ia segera menarik tangannya, mundur satu langkah, lalu dua.

Matanya terbelalak, dan ia menatap telapak tangannya sendiri seolah baru saja menyentuh api.

“Apa yang barusan aku—” suaranya nyaris tak keluar. Ia memalingkan wajah, menunduk dalam-dalam, berusaha mengatur napas.

Di hadapannya, Dania masih tidur, memeluk bayi kecil itu dengan damai. Pemandangan yang seharusnya menenangkan, tapi justru membuatnya semakin kacau.

Ardan menatap keduanya lama. Ada rasa bersalah yang menghantam, bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang ia tak ingin akui.

Perlahan, ia akhirnya menarik selimut dan menutup tubuh Dania dengan hati-hati. Ia memastikan Jayden tetap nyaman di pelukannya, lalu berdiri dengan langkah ringan agar tak menimbulkan suara.

Sebelum keluar, ia menatap mereka sekali lagi. Bibirnya terkatup rapat, matanya sedikit memanas. “Aku nggak boleh kayak gini lagi,” gumamnya pelan.

Begitu pintu menutup, Ardan bersandar di sana. Kedua tangannya menutupi wajah, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya masih berdegup kencang, seolah tubuhnya baru saja melewati sesuatu yang lebih menegangkan daripada perang.

Di dalam kamar, suara napas lembut Dania dan Jayden berpadu dalam irama tenang.

Sementara di balik pintu, Ardan memejamkan mata, membiarkan satu hembusan nafas panjang keluar bersama kalimat yang ia ucapkan nyaris tanpa suara—

“Maaf, Dania.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 49

    "Apaan sih, kamu!" Didorongnya tubuh tegap yang ada di depan Dania itu. Wajahnya kini benar-benar merah seperti kepiting rebus. Senyum jahil masih bertengger di bibir Ardan.Meski didorong dengan tenaga, itu tak membuat Ardan benar-benar menjauh. Tubuhnya hanya bergeser beberapa senti, nyaris tak berarti.“Perasaan waktu mijet tadi kekuatan kamu besar, kenapa sekarang dorongan kamu pelan banget?" selorohnya santai.Tak ada jawaban. Dania hanya menoleh sekilas, wajahnya masih memerah karena malu sekaligus kesal.Ia lalu seperti teringat sesuatu. Alisnya mengernyit, matanya melirik ke arah pintu.“Daripada kamu di sini gangguin aku terus,” katanya sambil berdiri, “mending ambil sprei di Mbok Inem. Dari tadi orangnya gak datang-datang. Mungkin lupa, Ar."Ardan menatapnya sesaat, lalu terkekeh kecil. “Kalau aku maunya mijitin kamu gimana?"Detik itu juga Dania berdecak, tatapannya menghujam sinis. Sedang Ardan tetap santai saja.“Cepat ambil, Ar,” potong Dania sambil mendorong dada Ardan

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 48

    "Enak sekali, Dan ... jago juga ya kamu." Dania terkekeh kecil mendengar pujian Ardan barusan, sementara kedua tangannya masih bergerak melakukan tugasnya.Di depan pintu, Mbok Inem berdiri mematung. Matanya mengerjap cepat, wajahnya memerah padam menahan malu. Percakapan yang melintas ke telinganya barusan, terdengar sangat tidak pantas.Ditatapnya sprei di tangan. Ia menjadi ragu, lebih baik pergi atau lanjut mengetuk pintu di depannya."Iya yang sebelah situ, Dan ... ah, enak banget." Mbok Inem makin merinding mendengarnya. Tanpa berani mengetuk, ia langsung memutar badan dan melipir pergi sambil membawa kembali sprei yang diminta oleh Ardan beberapa menit lalu.Dari pada mengganggu lalu akhirnya membuatnya malu sendiri, lebih baik ia menghindar saja—membiarkan dua manusia dewasa itu menuntaskan kegiatan yang—"Den Ardan benar-benar lupa diri. Kalau sampai Bibinya tahu, entahlah gimana nasib mbak Dania." Mbok Inem menggelengkan keras. Langkah ringkihnya perlahan menuruni tangga sa

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 47

    "Mas ... kenapa sih, kamu kunciin aku segala? Aku kan pengen lihat laki-laki kaya itu!" protes Salsa sesaat setelah Bayu membukakan pintu. Wajahnya memberengut, tapi Bayu justru membalasnya dengan dengusan. "Terlalu beresiko kalau ada kamu tadi. Bisa-bisa kamu ngomong hal yang gak seharusnya diomongin." Bibir Salsa semakin mengerucut mendengar itu. "Emang kenapa sih, Mas, kamu harus nutupin kedatangan Dania?" Meski kesal, tapi rasa penasaran tak bisa ditampik begitu saja. Bayu menoleh sekilas tanpa menjawab pertanyaan Salsa. "Sudah lah, gak penting buat kamu tahu. Yang penting, sekarang aku sudah berhasil memegang kendali." Sudut bibir Bayu terangkat, tersenyum miring. Bayu melangkah masuk ke kamar dengan aura puas yang sulit disembunyikan. Tangannya langsung mengambil berkas perjanjian yang sejak tadi tergeletak di meja, surat yang telah ditandatangani Dania dalam kondisi terdesak. Ia mengangkat kertas itu setinggi dada, meneliti setiap tanda tangan di sana. Senyum mun

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 46

    Sesaat setelah Bayu berdiri di depan Ardan, kepalanya melongok keluar melihat kanan kiri."Mana istriku? Aku kira kamu ke sini mau antar dia?" Mendengar itu kening Ardan sontak mengerut. Matanya melebar."Jadi ... Dania gak ada di sini?" cetus Ardan memicingkan mata, menatap dua orang di hadapannya curiga."Lah, bukannya dia sama kamu?" Suara Bayu meninggi, matanya mendelik."Oh ini laki-laki selingkuhan Dania?" sambar ibunya Bayu sewot.Ardan menghela napas, mengusak rambutnya kasar."Terus kamu ada di mana, Dania ...?" lirih Ardan tak mengindahkan tuduhan yang dilayangkan padanya.Tetapi ia tak mau percaya begitu saja. Ardan melangkah maju satu langkah, menatap Bayu dan ibunya dengan sorot mata tajam yang tak bisa ditawar."Kalian gak lagi sembunyiin Dania kan?" Bayu mendengus, "Mau sembunyiin atau gak, itu adalah hakku, karena dia adalah istriku. Sedangkan kamu ...." Ia menjeda ucapannya, berdecih sambil menghujamkan tatapan merendahkan."Apa hakmu mencari dia ke rumah suaminya?

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 45. Jebakan?

    "Mbok juga gak tahu, Den. Mbak Dania cuma bilang mau ketemu teman lama." Ardan mengusap wajahnya, kian gusar. Dua jam lalu ia tiba di kediamannya. Selama itu pula ia menunggu Dania. Tapi saat Dania tak kunjung kembali, Ardan mulai diserang cemas.Dan tadi itu adalah jawaban yang sama dari Mbok Inem saat dua kali ditanyai dengan pertanyaan yang sama oleh Ardan."Apa gak bisa dihubungi, Den?" lirih Mbok Inem penuh hati-hati. Ardan menggeleng sambil mendesah berat."Apa jangan-jangan—" ucapan Ardan terhenti, lalu langsung menyambar kunci mobil di atas meja."Aku keluar dulu. Titip Jayden ya, Mbok," katanya.Mbok Inem mengangguk cepat tanpa bertanya banyak hal soal kepergian majikannya itu.Ardan membawa langkah panjangnya menuju garasi sambil terus menghubungi Dania.Entah kenapa tiba-tiba saja Ardan kepikiran soal Bayu.Secepat kilat pertemuannya dengan Bayu di rumah sakit hari itu menyeruak ke dalam ingatannya.Bagaimana jika Dania tak sengaja bertemu dengan lelaki itu lalu dipaksa un

  • Ibu Susu Kesayangan Mantan   Bab 44. Ancaman

    Dania menggedor pintu sekuat tenaga hingga membuat tangannya memerah. Sudah lebih dari 3 jam ia dikurung, tapi tak ada sedikitpun tanda-tanda Bayu akan membukanya."Mas, buka! Hari sudah mulai gelap, aku harus kembali kerja!""Salsa, bukain pintunya! Bilang sama Mas Bayu, suruh cepat bawa surat perjanjiannya!"Dania menggedor lebih keras, napasnya mulai tersengal. “Salsa! Kamu denger kan? Tolong bilang sama Mas—”Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, suara langkah cepat terdengar dari arah luar. Lalu tak lama terdengar seseorang membuka kunci. Dania langsung menghela napas lega. Tak lama, muncul sosok yang ia tunggu sejak tadi. Bayu berdiri tegap di balik pintu. Pintu tidak dibuka lebar, hanya setengahnya saja—seolah Dania merupakan seorang tahanan. Tak dibiarkan keluar bebas.Setelah melangkah masuk, Bayu menutup pintu di belakangnya—dan tanpa kesulitan sama sekali, jari panjangnya memutar kunci kembali.Pintu terkunci lagi.Dania spontan menatapnya tajam. "Kenapa dikunci lagi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status