Se connecterDania berdiri mematung di dekat box bayi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca saat melihat makhluk mungil dalam box itu. Ada getaran aneh yang ia rasakan di dada.
Bayi itu, mengingatkan Dania pada bayinya yang telah berpulang beberapa hari lalu. Buliran bening dari pelupuk matanya jatuh begitu saja saat ia menunduk. Tepukan dari mbok Inem di bahunya membuatnya sontak menoleh. "Mbok tahu dari Pak Ardan, kalau kamu baru kehilangan bayimu. Yang sabar ya, Nduk. Melihat Den Jayden pasti bikin kamu ingat lagi sama bayimu." Dania mengangguk. "Aku cuma gak nyangka, Mbok, sekarang aku bisa merasakan menggendong dan menyusui meskipun bukan bayiku," lirihnya sambil sibuk mengelap air matanya. "Den Jayden juga pasti akan senang karena bisa kembali merasakan ASI." "Coba lah, Nduk, gendong dia," lanjutnya lembut sembari mengarahkan dagunya pada si bayi. Tepat ketika mbok Inem selesai bicara, bayi Jayden menggeliat pelan. Tubuh mungilnya bergerak mencari kenyamanan, disertai rengekan yang terdengar lirih, seolah tengah mencari sumber kehidupannya. Dania mendekat dengan ragu. Jemarinya sedikit gemetar saat menyentuh pipi halus Jayden. Sentuhan hangat itu kembali membuat air matanya menetes karena haru yang menyelimuti hatinya. "Hai, Jayden ... aku Dania, mulai hari ini aku akan memberikanmu ASI yang layak," bisiknya sambil terus mengusap pipi Jayden dengan telunjuknya. "Kamu boleh panggil aku ibu kalau mau," lanjutnya sambil mengulum senyum getir. Bibir mungil bayi itu terbuka, lalu kepalanya bergerak mengikuti gerakan telunjuk Dania, seolah itu lah sumber kehidupannya. Dania menatap mbok Inem sekilas, lalu mengangguk kecil. Dengan hati-hati Dania mengangkat tubuh mungil Jayden dari box bayi. Ia menatap wajah polosnya sesaat sebelum akhirnya melangkah pelan menuju sofa yang ada di sisi kanan dalam kamar itu, lalu duduk dengan sangat hati-hati sambil mendekap Jayden di pelukannya. Dania menatap Jayden yang kini terlelap di pelukannya. Wajah mungil itu begitu tenang, seolah menemukan kehangatan yang lama hilang. Senyum tipis terbit di wajahnya, namun sesaat kemudian ia menunduk. Ada luka yang kembali terbuka di dada. Tangannya menepuk punggung kecil Jayden pelan. “Kamu beruntung punya ayah sebaik Ardan,” bisiknya lirih. Pelan-pelan, air mata kembali turun tanpa ia sadari. Suara langkah lembut terdengar di ambang pintu. Tanpa mengetuk, Ardan berdiri di sana. Kemejanya masih rapi, tapi wajahnya menegang saat melihat pemandangan di depannya. Dania belum sadar kehadirannya. Ia masih dalam posisi duduk di sofa, tubuh sedikit condong ke depan, Dania membuka kancing kemeja yang ia kenakan. Udara dingin kamar langsung menyentuh kulitnya, membuatnya menarik napas pelan. Kegugupan seketika menyerangnya. Dania membenarkan posisi kepala Jayden agar bisa menyusu dengan nyaman. Saat kulit mereka bersentuhan, ada sensasi aneh yang membuat mata Dania berkaca-kaca. Rengekan kecil Jayden perlahan menghilang berganti menjadi keheningan yang terasa damai. Isapan Jayden lembut, teratur dan menimbulkan rasa yang sulit dijelaskan. Yang jelas, kehadiran Jayden seolah memberi kesembuhan atas luka-luka masa lalu Dania. Ardan tercekat. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya— Bibirnya terkatup rapat. Ia tahu, seharusnya ia berbalik dan pergi. Tapi matanya tak mau berpaling saat ada sesuatu yang menggantung. Tapi matanya tak mau berpaling. Saat itu juga, Jayden melepaskan hisapannya dan menggumam kecil. Dania menatap wajah si bayi, lalu menepuk punggungnya perlahan. "Sepertinya Jayden cocok dengan ASI-mu, Dania. Biasanya Jayden cuma mau menyusu sebentar, apalagi susu fosfor.” Refleks, Dania menoleh—dan jantungnya serasa copot. “Ardan?” suaranya tercekat. Ardan baru sadar napasnya sendiri berat. Ia langsung berbalik, nyaris menjatuhkan pegangan di pintu. “A-aku nggak… aku cuma mau memastikan Jayden sudah tidur." Suara itu pelan tapi parau. Dania buru-buru merapatkan kancing bajunya, wajahnya memerah hebat. “Tadi Jayden belum selesai, aku nggak sempat—” “Gak apa-apa,” potong Ardan cepat, masih membelakangi. Suasana langsung sunyi. Hanya terdengar detak jam dan napas mereka yang saling menahan. Dania menatap punggung Ardan—tegap, tapi kaku. Ada rasa aneh yang menyeruak di dadanya. Ia ingin marah karena malu, tapi juga merasa bersalah karena tahu Ardan tak bermaksud begitu. Perlahan ia berdiri, menidurkan Jayden ke box bayi. “Sekarang sudah tidur,” katanya, berusaha terdengar biasa. Ardan menoleh perlahan. Sekilas, mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang tersampaikan di sana—bukan kata, bukan tatapan biasa. Sesuatu yang membuat udara di antara mereka menegang. “Terima kasih, Dania,” ucap Ardan akhirnya, suaranya rendah tapi dalam. “Jayden… beruntung punya kamu.” Dania hanya menunduk. “Aku yang beruntung, Ar. Karena bisa merasakan jadi ibu… meski cuma sebentar.” Kalimat itu menggantung di udara. Ardan nyaris mengatakan sesuatu, tapi akhirnya memilih diam. Ia berbalik dan berjalan keluar, tapi langkahnya berhenti sesaat di ambang pintu. “Kalau kamu butuh apa-apa, panggil aku.” Nada suaranya berat—dan ada sesuatu di dalamnya yang bahkan ia sendiri tak bisa jelaskan. Begitu Ardan pergi, Dania menatap bayangan punggungnya yang menghilang di balik pintu. Jantungnya berdetak tak karuan. Bukan karena malu, tapi karena sensasi lain yang ia tak berani namai. *** Ardan mondar-mandir di depan kamar Jayden, menatap pintu itu dengan ragu. Entah sudah berapa kali ia berhenti, mengangkat tangan, lalu menurunkannya lagi tanpa jadi mengetuk. Suara tangisan bayi tadi sudah reda, tapi keinginannya untuk memastikan semuanya baik-baik saja tak juga hilang. Baru saat langkah Mbok Inem terdengar dari tangga, ia sedikit tersadar. Perempuan tua itu muncul sambil membawa setumpuk sprei dan selimut. “Mau pasang sprei, Mbok?” tanyanya cepat. Mbok Inem mengangguk. “Iya, Tuan. Mau saya pasang di kamar Jayden.” Ardan spontan mengambil alih. “Biar saya saja. Mbok lanjutkan saja pekerjaan lain, ya.” Meski sempat heran, Mbok Inem akhirnya menurut. Begitu wanita itu pergi, Ardan berdiri diam sejenak sambil menatap sprei di tangannya. Alasan sudah ada—setidaknya itu cukup masuk akal untuknya sendiri. Ia mengetuk pelan. Tak ada jawaban. Pintu sedikit terbuka, dan Ardan mencondongkan tubuh, menyembulkan kepala. “Dan, kau sedang apa? Aku bawakan sprei dan selimut,” gumamnya hati-hati. Tak ada suara. Hanya napas pelan dan ritme tenang dari dalam ruangan. Langkahnya maju perlahan. Pandangannya langsung jatuh pada sosok Dania yang terbaring di sisi ranjang, memeluk Jayden erat. Bayi itu sudah tertidur pulas, dan bagian atas tubuh Dania sedikit terbuka, memperlihatkan kulit lembut yang membuat dada Ardan sesak seketika. Ia menelan ludah, mencoba mengalihkan pandangan, tapi gagal. Ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berpaling. Mungkin karena ia belum pernah melihat sisi lembut itu dari Dania—perempuan yang dulu keras kepala, kini begitu damai dan rapuh di waktu yang sama. Langkahnya mendekat, nyaris tanpa suara. Ia ingin menutupi tubuh itu dengan selimut, hanya itu niat awalnya. Namun begitu jarak di antara mereka lenyap, napasnya tercekat. Mulut Jayden sudah terlepas dari sumber kehidupannya, membuat pemandangan itu semakin nyata. Ardan memejamkan mata sesaat, mencoba menahan desiran yang tiba-tiba naik begitu kuat. Bodohnya, bukannya berbalik, ia justru berjongkok di tepi ranjang. Tangannya bergerak pelan—sekadar ingin menarik selimut ke atas bahu Dania. Tapi kulit mereka bersentuhan, dan di detik itu, semua niat baiknya porak-poranda. Sentuhan itu membuat jantungnya berdetak tak karuan. Hela napasnya berat, jemarinya berhenti di sana lebih lama dari seharusnya. Perlahan, ia mengusap lengan Dania, gerakannya begitu hati-hati, nyaris seperti takut membangunkan. Ia bahkan tak sadar sedang menelusuri pelipisnya, turun ke pipi, lalu berhenti di bibir yang lembut dan penuh. Jemarinya bergerak refleks, mengusap lembut permukaan itu. Napas Ardan tersangkut. Di dalam kepalanya, semua suara sirna—yang tersisa hanya keheningan dan debar yang menggila. Namun di saat yang sama, Dania bergerak kecil. Sekadar tarikan napas atau refleks dari tidur, tapi cukup untuk membuat Ardan tersentak. Ia segera menarik tangannya, mundur satu langkah, lalu dua. Matanya terbelalak, dan ia menatap telapak tangannya sendiri seolah baru saja menyentuh api. “Apa yang barusan aku—” suaranya nyaris tak keluar. Ia memalingkan wajah, menunduk dalam-dalam, berusaha mengatur napas. Di hadapannya, Dania masih tidur, memeluk bayi kecil itu dengan damai. Pemandangan yang seharusnya menenangkan, tapi justru membuatnya semakin kacau. Ardan menatap keduanya lama. Ada rasa bersalah yang menghantam, bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang ia tak ingin akui. Perlahan, ia akhirnya menarik selimut dan menutup tubuh Dania dengan hati-hati. Ia memastikan Jayden tetap nyaman di pelukannya, lalu berdiri dengan langkah ringan agar tak menimbulkan suara. Sebelum keluar, ia menatap mereka sekali lagi. Bibirnya terkatup rapat, matanya sedikit memanas. “Aku nggak boleh kayak gini lagi,” gumamnya pelan. Begitu pintu menutup, Ardan bersandar di sana. Kedua tangannya menutupi wajah, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya masih berdegup kencang, seolah tubuhnya baru saja melewati sesuatu yang lebih menegangkan daripada perang. Di dalam kamar, suara napas lembut Dania dan Jayden berpadu dalam irama tenang. Sementara di balik pintu, Ardan memejamkan mata, membiarkan satu hembusan nafas panjang keluar bersama kalimat yang ia ucapkan nyaris tanpa suara— “Maaf, Dania.”Pagi datang dengan sinar matahari yang menembus lembut lewat celah tirai. Aroma susu bayi bercampur dengan wangi lembut bedak memenuhi kamar.Dania terbangun lebih dulu. Sekilas, ia menatap bayi di sisinya, lalu menyadari selimut yang menutup tubuhnya.Ia tak ingat pernah memakainya sendiri. Dahinya sedikit mengerut, tapi ia memilih mengabaikan dan bangkit perlahan.Namun begitu berdiri, kenangan samar tentang malam tadi menyeruak—tatapan Ardan di ambang pintu, langkahnya yang mendekat, lalu bayangan hangat di sisi ranjang.Hatinya berdebar aneh. Ia menggeleng pelan, menepis pikiran itu.“Jangan berlebihan, Dania,” gumamnya, mencoba menertawakan diri sendiri.Di sisi lain rumah, Ardan duduk di meja makan dengan wajah datar. Kopinya sudah dingin sejak setengah jam lalu, tapi ia belum meneguknya. Suara langkah Dania di lantai atas membuat dadanya menegang refleks.Ia tahu, cepat atau lambat mereka harus bertemu lagi. Tapi entah mengapa, pagi itu ia tak siap. Kejadian semalam menimbulkan
Dania berdiri mematung di dekat box bayi. Kedua matanya mulai berkaca-kaca saat melihat makhluk mungil dalam box itu. Ada getaran aneh yang ia rasakan di dada.Bayi itu, mengingatkan Dania pada bayinya yang telah berpulang beberapa hari lalu. Buliran bening dari pelupuk matanya jatuh begitu saja saat ia menunduk.Tepukan dari mbok Inem di bahunya membuatnya sontak menoleh. "Mbok tahu dari Pak Ardan, kalau kamu baru kehilangan bayimu. Yang sabar ya, Nduk. Melihat Den Jayden pasti bikin kamu ingat lagi sama bayimu."Dania mengangguk. "Aku cuma gak nyangka, Mbok, sekarang aku bisa merasakan menggendong dan menyusui meskipun bukan bayiku," lirihnya sambil sibuk mengelap air matanya."Den Jayden juga pasti akan senang karena bisa kembali merasakan ASI.""Coba lah, Nduk, gendong dia," lanjutnya lembut sembari mengarahkan dagunya pada si bayi.Tepat ketika mbok Inem selesai bicara, bayi Jayden menggeliat pelan. Tubuh mungilnya bergerak mencari kenyamanan, disertai rengekan yang terdengar li
Di depan jendela kaca, Dania berdiri bersisian dengan Ardan. Mereka menatap ke arah yang sama — tubuh Melinda yang terbaring lemah di dalam ruang ICU.Matanya terpejam rapat, bibirnya kering, kulitnya pucat seputih sprei. Mesin-mesin di sekitarnya berdentang pelan, menandakan hidup yang masih bertahan karena alat.Dania menarik napas panjang. Udara rumah sakit terasa dingin dan asing. Entah mengapa, dada kirinya ikut sesak setiap kali melihat sorot muram di mata Ardan.“Yang sabar, ya, Ar… semoga Melinda cepat sadar.”Tangannya terulur, menyentuh pelan bahu lelaki itu.Ardan mengangguk lemah. “Aku cuma khawatir sama bayinya. Dia belum sempat—”“Ssst,” potong Dania pelan. “Melinda akan segera sehat.”Senyumnya lembut, tapi suaranya bergetar tipis. Ada bagian dalam dirinya yang berusaha terlihat kuat, padahal hatinya sendiri sedang hancur.Ardan menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat. “Terima kasih, Dania. Kamu mau aku antar pulang?”Dania tak langsung menjawab. Tatapannya masih te
Dania berdiri lama di depan kasir rumah sakit, menatap angka di lembar tagihan yang terasa tak masuk akal.Jumlah itu sudah berkurang karena bantuan pria itu, tapi tetap saja membuatnya sesak.“Kalau bisa jangan stress ya, Bu,” kata petugas dengan suara pelan.Dania mengangguk, padahal matanya masih buram. Ia tidak tahu bagaimana membayar sisa itu. Semua tabungan habis untuk biaya inkubator… yang akhirnya tak menyelamatkan siapa pun.Bayi itu sudah tiada.Ia bahkan belum sempat menimangnya lama.Langkah Dania keluar dari ruang administrasi seperti melayang. Dunia terasa ringan tapi kosong.Udara sore yang sejuk justru menamparnya dengan kenyataan bahwa tidak ada lagi yang menunggunya di kamar pasien. Tidak ada tangisan kecil. Tidak ada alasan untuk bertahan di tempat ini.Ia berjalan ke arah lift, memeluk map dokumen dan kantong obat.Dadanya perih, masih nyut-nyutan setiap kali tersentuh kain. Tubuhnya belum benar-benar pulih, tapi yang paling sakit bukan luka fisik — melainkan rasa
Suara detak jarum jam dan aroma obat-obatan menyambut Dania begitu ia membuka mata. Pandangannya buram sesaat, sebelum cahaya putih dari langit-langit rumah sakit menyilaukan matanya.Ia menarik napas panjang, namun dada terasa sesak. Rasa nyeri masih menempel di seluruh tubuhnya, terutama di bagian perut—bekas operasi caesar yang gagal menyelamatkan bayinya.Tangannya refleks meraba sisi ranjang yang kosong. Kosong.Tak ada suara tangisan bayi. Tak ada genggaman mungil yang seharusnya ia rasakan di sana. Yang tersisa hanya keheningan yang memekakkan telinga.Air matanya mengalir begitu saja. Entah sudah berapa kali ia menangis sejak dua hari lalu. Semua orang bilang, waktu akan menyembuhkan. Tapi bagi Dania, waktu justru terasa seperti musuh yang memperpanjang penderitaannya.Ia menatap jendela kamar rawatnya yang terbuka sedikit. Cahaya matahari pagi masuk, hangat di kulit, tapi dingin di hati.Ia masih ingat sempat menabrak seseorang sebelum kesadarannya menghilang. Dan entah menga
"Aku mau nikah lagi."Kalimat itu bagaikan sembilu yang menusuk tepat di jantung Dania, disusul dengan suara menggema akibat ponsel yang jatuh dari tangannya.Dania mengalihkan pandangan dengan mata berkaca. "Jadi yang dikatakan Ibumu benar, Mas?" Suaranya bergetar, bahkan sesuatu yang menggenang di pelupuk mata tak lagi bisa ia tahan. "Tega sekali kamu. Aku kira ...."Ucapan Dania terpotong oleh suara langkah kaki yang mendekat dari arah pintu. Ibu mertuanya muncul dari balik pintu."Ya, memang benar!""Seharusnya kamu sadar, semua ini karena ulahmu sendiri!" Wanita paruh baya bertubuh gemuk itu mendekat, tatapan sinisnya menghujam Dania. Ada senyum kemenangan di wajahnya. "Ini semua gara-gara kamu, Dania! Kalau saja kamu becus menjaga kandunganmu, anakmu pasti gak akan lahir prematur, dan gak akan berakhir meninggal seperti ini!""Bayu gak akan menikah lagi kalau saja kamu becus!”"Cucuku tuh meninggal gara-gara kamu!" Ucapan pedas itu meluncur dari mulut ibu mertua, menusuk hati







