LOGINSepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Matilda lebih banyak diam. Tidak ada celoteh seperti biasanya, tidak ada komentar tentang macetnya Jakarta, bahkan keluhan soal parfum mobil baru Pak Gani pun tak ada. Ia duduk tegak, menatap lurus ke depan, sesekali memejamkan mata beberapa detik—lalu membukanya lagi, seolah sedang menahan sesuatu yang tak ingin jatuh ke permukaan.Nayla menangkap setiap gerak-gerik itu dari kursi belakang. Kegelisahan pelan-pelan merayap, membuat jemarinya refleks mengusap punggung Matteo yang terlelap di gendongan. Ada firasat tak enak menggelitik hatinya.“Mama sudah sarapan?” tanya Nayla membuka obrolan.“Sudah, Nay,” jawab Matilda singkat, tanpa menoleh.“Telur dadar? Toast? Smoothies?” Nayla menyebutkan menu favorit Matilda, berharap mendapat respons yang lebih hidup.“Rebusan daun sirsak.” Matilda menghela napas pendek.Nayla melongo. Ia menahan komentar, hanya menelan ludah pelan. Rebusan daun sirsak? Dia ingat sekali, dulu Mbah Putri juga suka minum r
Akhir minggu yang sibuk...Nayla sudah mondar-mandir sejak subuh, memastikan semua siap—tas kecil berisi botol minum, snack ringan, bantal leher, sampai syal tipis yang sengaja ia lipat rapi untuk berjaga-jaga kalau ruang tunggu rumah sakit terlalu dingin untuk Matilda.***Dua hari yang lalu, Matilda sempat mengeluh badannya pegal-pegal. Linu menjalar sampai ke punggung, sendi-sendinya terasa kaku saat bangun tidur, dan malamnya suhu tubuhnya naik sedikit—tidak tinggi, tapi cukup membuat semua orang waspada.Tapi...Alih-alih mengakui tubuhnya butuh istirahat, karena usia dan padatnya acara beberapa waktu lalu, wanita itu justru mendesah kesal saat menelepon video ke ponsel Nayla.“This is because of you two,” katanya sambil menunjuk Leo dan Nayla di layar. “Gara-gara kalian melarang Mama ke luar negeri. Lihat kan... Mama jadi pegel-pegel. Nggak bisa Mama kelamaan duduk di sofa, lebih cocok duduk di kursi pesawat."Nayla yang sedang menyusui Matteo hanya dapat tersenyum sabar. Leo me
Dan—tentu saja—harapan Surti harus kandas sebelum sempat bersemi.Sorot lampu mobil Leo menyapu halaman rumah, memecah gelap malam. Begitu mesin dimatikan, pintu belakang terbuka dan Emily melompat turun dengan langkah ringan, membawa seluruh energi pasar malam di tubuhnya. Tanpa ragu, gadis itu langsung masuk ke rumah, menghampiri pria berbadan kekar yang berdiri sigap di dekat pintu.“Thank you for waiting, Julian,” ucap Emily riang gembira. “We go back to the hotel now.”“Hah? Udah mau ke hotel aja?” tanya Surti, terkejut kecewa. “Nggak… minum teh dulu gitu? Om bodyguard mau teh, kopi apa susu?"Emily menoleh, tersenyum lebar. “No, thank you, Surti,” sahutnya ramah. “Aku sudah minum banyaaak sekali minuman malam ini. Es ini, es itu... dari manis, asem...” Ia tertawa kecil, menepuk perutnya sendiri.Julian hanya berdiri tenang di belakangnya, kembali memasang kacamata hitamnya.“Then..." lanjut Emily lagi, “kami harus berangkat tengah malam ini. Flight back to England.”Surti membeku
Belum sempat Emily melanjutkan kalimatnya, langkah Leo sudah terdengar mendekat. Tangannya penuh—dua plastik bening berisi es cekek yang dingin berembun dan satu bungkus martabak mini yang masih hangat, aromanya manis bercampur mentega.“Minum dulu,” ujar Leo singkat, menyodorkan satu plastik ke arah Nayla, lalu satu lagi ke Emily. “Dan ini makanan penutup kita—martabak mini pisang cokelat.”Emily menerima es cekek itu, matanya berbinar… lalu seketika mengerut. “No,” protesnya spontan, sudah kembali menjadi anak kecil yang super rese. “Aku masih mau coba yang itu... itu... dan itu..." Jarinya menunjuk-nunjuk ke segala arah.Leo menghela napas panjang—kali ini sudah benar-benar capek. Ia mengusap tengkuknya. “Kaki aku sudah pegal, perut sudah kenyang. Kita pulang sekarang,” katanya.Emily mencebik. “Nggak mau.” Lalu, ia segera menoleh Nayla yang sedang menyedot es-nya. “Nayla, temani aku ke sana…” perintahnya.Nayla menatap Leo yang menggeleng kecil. Namun, Nayla malah tersenyum kecil
Tanpa terasa, mereka sudah berpindah dari satu gerobak ke gerobak lain. Lima—bahkan mungkin lebih—kuliner sudah mereka cicipi. Keringat mengucur dari kening sampai leher dan terus meluncur ke punggu Leo, sebelum akhirnya ia menyerah, melepas jas dan menyampirkannya di lengan. Kemeja putihnya kini tergulung rapi sampai siku, dasinya sudah lama ia lepaskan entah sejak gorengan keberapa.Nayla tertawa kecil sambil mengusap perut. Ia dan Leo sudah berada di titik cukup kenyang. Sebaliknya, Emily justru terlihat seperti baru memulai. Gadis berambut pirang itu melangkah cepat menyisir barisan gerobak, matanya berbinar setiap kali membaca papan menu.“Oh! What is that?”“And this smells amazing!”“Leo, Nayla, lihat... kue-pan-cong-lu-mer?!” bacanya, dengan aksen yang lucu.Punggung Emily yang bergerak lincah di antara keramaian tertangkap jelas oleh pandangan Nayla. Gadis itu tampak begitu antusias, seolah dunia malam Jakarta adalah taman bermain barunya. Dan entah kenapa, di tengah riuh taw
Sejak roda mobil Leo meninggalkan halaman rumah, Emily sudah tak bisa diam.“So… where are we going?” tanyanya antusias, duduk tegak di kursi belakang, matanya berbinar. "Aku cari di google... ada fine dining in SCBD. Review bagus, bintang lima. Atau... rooftop restaurant? With city view? Oh! Or Japanese omakase—”“No,” jawab Nayla singkat, sambil memeriksa lipstiknya di kaca kecil.Emily berkedip. “Okay… how about Italian? Pasta, wine—”“No.”“French?”“No.”Leo yang menyetir melirik sekilas ke spion, menahan senyum. Emily mulai tertawa kecil, mengira itu bercanda.“You’re joking, right? Kita mau dinner, kan?""Yes," sahut Nayla, melempar tatapan ke luar jendela.Emily cemberut di kursi belakang, lalu bergumam kecil, "Then where? Kita makan apa?"Nayla hanya tersenyum misterius. Leo fokus ke jalan, pura-pura serius, padahal bahunya sedikit bergetar menahan tawa.Mobil terus melaju, meninggalkan deretan gedung tinggi dan lampu-lampu elegan. Lalu perlahan, suasana berubah. Jalanan maki







