Leo berjalan kembali ke ruang perawatan Nayla. Langkahnya sempat terhenti di depan pintu ruang perawatan Nayla, berpapasan dengan seorang perawat yang baru keluar sambil mendorong troli obat."Lho, Sus? Ada apa?" tanya Leo khawatir."Tidak ada masalah, Pak Leo. Saya hanya mengecek infusan Ibu Nayla, ternyata belum habis, masih cukup sampai besok pagi. Ibu Nayla tidurnya nyenyak sekali ya," ucap si perawat, tersenyum singkat sebelum berlalu.Leo mengangguk. "Iya, Sus. Habis minum obat terus tidur," sahutnya.Namun alih-alih langsung masuk, Leo malah berdiri kaku beberapa detik. Matanya menatap gagang pintu, ada perasaan aneh yang menyelinap. Seolah udara di koridor itu masih menyimpan jejak langkah lain selain perawat barusan.Perasaan itu makin menguat saat ia membuka pintu. Begitu masuk, Leo berdiri terpaku. Matanya berkeliling, menyapu setiap sudut ruangan. Selang infus bergerak pelan, seperti baru saja disentuh. Aroma samar cologne yang tak dikenalnya sekelebat sempat menyusupi ron
Jax menahan tawa sinis ketika Leo berjalan tergesa melewati dirinya. Informasi dari resepsionis rumah sakit tadi tidak salah—nomor kamar ini memang milik seorang wanita bernama Nayla. Dan jelas sekali ia melihat Leo keluar dari ruangan itu. Tepat di depan pintu, Jax berhenti. Senyum tipis terbit di balik masker yang menutupi sebagian wajahnya. Ia memutar gagang perlahan, derit halus pintu menyeruak, dan seketika sunyi menyergapnya. Lampu ruangan menyala redup, hanya menyisakan cahaya pucat yang jatuh di atas ranjang pasien. Di sana, seorang wanita tampak terlelap, tubuhnya miring, rambut panjangnya tergerai acak menutupi sebagian wajah. Jax menyipitkan mata. Samar-samar, garis rahang lembut dan kulit pucat itu membuat dadanya bergetar sesuatu yang seharusnya tidak ia rasakan saat hendak melaksanakan tugas kotor. "Aku nggak peduli kamu pakai cara apa! Habisi dia, Jax!" suara Arlene menggema dalam kepalanya. "Habisi?!" batin Jax menaikkan alisnya, meledek ucapan Arlene yang diangga
Di kamar sempit dan pengap itu, Jax tidur menelungkup di ranjang. Lantai kamar dipenuhi puntung rokok, bau alkohol menusuk, dan tirai kusut menggantung asal-asalan, setengah menutupi jendela yang gagal ditembus cahaya pagi. Lelaki itu masih teler sehabis menenggak berbotol-botol, sampai raungan ponsel membangunkannya. Dengan wajah sembab, pipi bengkak, dan mata merah, Jax mengumpat serak, lalu meraih ponsel tanpa peduli siapa peneleponnya.“Halo... siapa sih? Ganggu orang tidur aja!” suaranya parau, berat, diselingi sisa dengkuran.Namun begitu mendengar suara Arlene dari seberang, matanya kontan terbuka. “Hah? Arlene? Oohhh... Arlene sayang... hahaha... ada apa nih nelpon malem-malem? Kangen, ya? Bilang aja kalau kangen...”“MALAM?!” bentak Arlene, sampai Jax menjauhkan ponsel dari telinga. “Dasar pengangguran nggak tahu diri! Ini udah PAGI! P-A-G-I! Kamu abis mabok, ya?! Bareng cewek itu? Enak banget yang udah ketemuan!"Jax mendecih, kepalanya terhuyung. Ia menelentangkan tubuhnya
Desti nyeret kopernya sepanjang jalan komplek perumahan mewah itu. Mukanya ditekuk habis-habisan, bibir manyun, kaki nendang-nendang kerikil kecil. Kesal karena jurus air mata buayanya tidak mempan sama sekali di depan Matilda, malah membuat dirinya semakin dimarahi habis-habisan. Padahal ia sudah sengaja bangun lebih awal, dan berniat menyiapkan sarapan spesial untuk Nayla, eehhh.... tahu-tahu ada bayangan wanita paruh baya yang berdiri di tengah ruang tamu, sedang menggendong Matteo. "Ibu Matilda baru datang? Kangen sama cucu ya, Bu?" sapa Desti, sok ramah. "Heh, kamu!" sahut Matilda, menoleh dengan sorot mata tajam. "Leo mana? Nayla mana? Kamu tahu tidak mereka di mana?" Desti yang semalam tidur nyenyak sekali seolah tanpa rasa bersalah telah membuat Nayla sakit, hanya bisa planga-plongo. Dia tak tahu sama sekali apa yang terjadi semalam. Bahkan, suara teriakan panik Leo seolah teredam selimut yang membungkus mimpinya. "Pak Leo... Pak Leo mungkin udah berangkat kerja, Bu. Kal
Mulut mungil Matteo menyambut puting Nayla dengan rakus. Hisapan kecil itu begitu kuat. Nayla menatap lega Matteo, akhirnya bibir mungil itu kembali menemukan sumber kenyamanan dari tubuhnya. Sementara itu, Leo yang sudah tersingkir satu langkah dari tepi ranjang, semakin terdesak mundur hingga terduduk di sofa. "Minum yang banyak ya, Teo.." bisik Nayla, jemarinya mengusap lembut rambut Matteo. "Syukurlah..." ucap perawat yang ikut merasa lega. "Kalau begitu, saya tinggal dulu ya. Masih ada pasien lain yang harus saya tangani." "Thank you ya, Sus..." sahut Matilda, tersenyum lega. Tinggallah Nayla dan Matilda, ditemani suara hisapan Matteo. Matilda duduk santai di dekat ranjang, tatapannya tak lepas dari cucunya. Lalu, sebuah nostalgia muncul kembali dalam ingatannya. "Mama jadi inget deh waktu dulu nyusuin Leo..." ucap Matilda tersenyum tipis. “Leo itu, waktu bayi dulu, kalau menyusu juga kuat sekali. Saking kuatnya, puting Mama bisa sampai sakit berhari-hari. Terus pas waktuny
Nayla menggigit bibir bawahnya saat tangan perawat itu dengan telaten memijat di sekitar payudaranya. Urat-urat halus terasa ditarik, diputar, ditekan lembut—dan meskipun pijatan itu bertujuan medis, tubuhnya tetap memberi respons yang membuat pipinya memanas.Ia tahu benar, pijat laktasi bukanlah sesuatu yang erotis. Ini tentang kesehatan, tentang menjaga kelancaran ASI untuk Matteo. Namun tetap saja, ia merasa malu, terlebih lagi... ada Leo di sana.Nayla bisa melihat kalau pria itu sudah sekuat tenaga menunduk, pura-pura sibuk memandangi layar ponselnya. Dan, Nayla tentu saja berharap Leo terus menunduk sampai sesi pijat itu selesai. Tetapi harapannya kandas begitu Matilda dengan nada usil menegur Leo. Kini—meski tak berani menatap langsung—Nayla bisa merasakan tatapan Leo. Tak hanya sekilas melirik, tapi terpaku… pada dadanya… bagian tubuh yang kini jadi pusat pijatan.“Haduuuhhh…” Nayla mendesah dalam hati, pipinya panas.Selesai memberi contoh, perawat itu kembali menoleh ke ara