Ruang pertemuan sore itu terasa berat oleh tatapan serius yang beradu di sekeliling meja panjang. Di ujungnya, Leo duduk tenang dengan sweater hitam dan celana jins, sama sekali bukan busana untuk pertemuan penting. Penampilannya sangat kontras dengan kemeja batik dan seragam rapi para tamu yang menatapnya tajam. “Pak Leo,” suara Pak Darma, tokoh masyarakat, membuka dengan nada menekan. “Dua hari lalu kami terima laporan—plus foto-foto—tentang kerusakan akibat proyek Apartemen Emerald. Saluran air mampet, pohon ditebang, debu di mana-mana. Warga sudah ribut, Pak.” Seorang aktivis LSM menepuk berkas di tangannya. “Tidak perlu basa-basi terlalu panjang! Proyek itu sudah jelas merugikan masyarakat. Kami minta proyek dihentikan sampai ada peninjauan ulang dari dinas lingkungan hidup. Kalau tidak, Bapak siap-siap saja!" Suasana makin panas, gumaman protes terdengar di meja. Semua mata menunggu reaksi Leo. Ia menyandarkan tubuhnya, lalu merapatkan kedua tangan di atas meja. Tatapannya te
Putra yang sedang mondar-mandir sambil membawa map tebal mendadak menghentikan langkah ketika pintu ruang kerja Leo terbuka.“Pak Leo, akhirnya—” ucapnya, seketika membeku.Mata Putra terbelalak melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Bukan Leo, melainkan seorang perempuan muda dengan wajah lugu, tubuh mungil, cantik... tentu saja, dan bayi mungil di pelukan.Putra mengerjap beberapa kali. “Ibu, nyari siapa, ya?” tanyanya dengan nada heran. "Kantor marketing ada di lantai dua, kalau ibu mau beli unit apartemen."Resepsionis yang mengantar Nayla, buru-buru menjelaskan. “Oh, Pak Putra ada di sini? Ini... barusan Ibu ini datang bareng Pak Leo. Tapi, Pak Leo langsung ke ruang pertemuan, dan beliau minta Ibu ini tunggu di ruang kerja.”“Hah? Dateng bareng Pak Boss?" Putra menarik napas panjang, mencoba mencerna, tapi rasa penasarannya justru makin besar. Matanya bergerak ke arah Nayla, lalu menunduk menatap bayi di pelukan wanita muda itu.“Hei, tunggu… kamu—” Putra menunjuk dengan jar
Nayla masih sibuk merapikan gendongan Matteo di pangkuannya, ketika Leo menyalakan mesin mobil, dan memberikan petuah dengan guratan resah di wajahnya.“Omongan Adrian nggak usah terlalu didengerin, Nay. Dari dulu dia kalau ngomong emang suka ngasal. Omongan benernya cuma kalau di depan pasien,” ujar Leo sambil merapatkan sabuk pengamannya.Nayla menoleh sebentar, lalu mengangguk santai. “Iya, saya tahu… tapi dokter Adrian itu orangnya lucu ya. Pasti fansnya banyak deh."Leo mendengus pendek, sudut bibirnya terangkat sinis. “Nggak usah muji-muji dia, Nay. Nanti hidungnya tambah tinggi ke langit."Nayla menahan senyum, jemarinya mengusap kepala Matteo yang terlelap. “Oke deh, Pak Boss..." godanya ringan.Mobil meluncur keluar dari area rumah sakit, bergabung dengan kemacetan kota yang seperti tidak ada solusi pasti. Dari sudut matanya, sesekali Nayla mencuri pandang pada Leo, mengintip kegelisahan, entah apa, yang tersirat dari sorot matanya.Di pertengahan jalan, nada dering nyaring m
Dan kini, di dalam kamar gelapnya, Jax kembali menatap liontin itu. Pandangannya hampa, tapi hatinya menggelegak di antara cinta, kehilangan, dan obsesi yang tak lagi bisa ia bedakan. Jemarinya meraba-raba permukaan liontin berbentuk mawar itu, seolah mencari kebenaran dari sosok yang terus menghantui pikirannya. "Nay…" suaranya parau, nyaris pecah. “…aku sudah berjanji. Kamu harus jadi milik aku, selamanya. Tidak boleh ada orang lain… termasuk dia.” Bayangan di ruangan perawatan rumah sakit itu menyala di kepalanya. Kepalanya berdenyut. Apakah benar wanita yang ia lihat di sana adalah Nanay? Jika iya, maka semesta sialan benar-benar sedang mempermainkannya—menaruh gadis itu begitu dekat, tetapi juga begitu jauh darinya. “Aku yang pertama kenal kamu. Aku yang menjaga kamu. Aku yang sudah berjanji sama kamu… BUKAN DIA!” Jax menghantam keras dinding dengan tinjunya. Giginya bergemeletuk, menahan amarah yang terus mendidih. Dalam kepalanya, bayangan lelaki itu—Leo—muncul seperti duri
Liontin kecil berbentuk bunga itu berkilau redup di tangannya. Jax menatapnya lama, matanya kosong namun penuh gejolak. “Kalau benar itu kamu, Nay… kamu pasti lagi nyari kalung ini…” bisiknya.Dan pikirannya pun kembali—ke sore, tepat seratus hari setelah kepergian Mbah Putri. Membuat vila tua itu semakin terasa muram. Kalau bukan karena pemandangan indah yang hanya bisa didapatkan dari salah satu sudut di area vila, mungkin vila itu sudah tidak ada peminatnya lagi.***Jax masih ingat betul bagaimana wajah Nayla kala itu. Pucat, mata sembab, seolah semua warna dunia ikut mati bersama wanita tua yang merawatnya sejak bayi itu. Nayla masih sangat berduka, hingga tak membuka pintu menyambut kedatangan Jax."Hei, Nanay! Tuh kan nangis lagi... udah dong, Nay..." ujar Jax, sambil duduk di samping Nayla, di tangga teras memandangi sumur tua di depan rumah kecil Mbah Putri.Nanay menggeleng lemah, bibirnya seolah rapat oleh duka yang tak juga usai."Nay... kalau kamu terus begini, Mbah Putri
Surti menatap Leo dengan mata membesar, masih tidak percaya dengan tawaran yang barusan ia dengar. Jujur saja, ia tidak pernah bermimpi bisa dapat gaji lebih besar lagi dari sekarang. Bahkan, menurut survei pribadinya, gaji dia ini sudah lebih dari gaji rata-rata pembantu rumah tangga.Dua kali pindah kerja, baru kali ini gajinya cukup untuk biaya hidup dan menyekolahkan adiknya. Tetapi, siapa sangka untuk gaji besar itu ia harus berhadapan dengan nyonya rumah yang kadang emosinya berlebihan.Sesaat, bibirnya bergetar, seperti ingin berkata ya. Namun tak lama, ia menggeleng lagi, dan butiran air mata kembali jatuh."Enggak, Pak Leo… saya nggak bisa. Dua bulan lalu, saya baru aja minjem uang buat benerin rumah orang tua. Saya pinjam lumayan besar, Pak. Rumah orang tua saya udah mau roboh..." ucapnya parau.Nayla tercekat bingung. “Ti! Tolong pikirin tawaran Leo, ya? Supaya kamu bisa keluar dari rumah itu, nggak disiksa lagi, dan hidup kamu lebih tenang—”Surti menarik napas panjang, la