Sengaja Bimo pulang melewati jalan depan rumah Tsani. Jalan alternatif menuju perkotaan. Sekalian ingin memanggil tukang pasang CCTV yang kebetulan tetangga rumah Tsani.Mobil sudah terparkir di depan rumah jasa pasang dan service CCTV."Pak, lagi sibuk nih?"Bimo menyapa seorang laki-laki berumur 45 tahun yang sedang berkutat dengan laptopnya."Eh, Mas Bimo. Apa kabar? Sudah lama banget tidak bertemu. Sini-sini duduk."Warga di kampungnya memang banyak yang mengenal Bimo. Secara Bimo adalah anak orang terpandang dan dulu sewaktu masih bujangan Bimo juga sering bergaul dengan muda-mudi di kampung. Dari segi itu sudah bisa membuat Bimo terkenal, terlebih lagi dengan kasus rumah tangganya dengan Tsani satu tahun yang lalu. Kasus yang tidak bisa disembunyikan karena Tsani juga termauk gadis yang banyak dikenal warga sebab keramahannya."Kabar saya baik, Pak. Bapak sendiri bagaimana?""Alhamdulillah ... baik juga, Mas.""Alhamdulillah. Oh, ya, Pak. Nanti sore bisa ke rumah tidak? Saya mau
"Lancang kamu bicara seperti itu, Tsan!"Tangan Bimo seketika melayang di udara hampir mendarat ke pipi Tsani. Tinggal sejengkal lagi tato merah cap lima jari menempel di sana. Beruntung sekali, ada tangan malaikat tak bersayap datang di waktu yang tepat."Jangan pernah kasar kepada wanita, Bung!"Dengan cepat tangan kekar Bimo dicengkram erat lalu diputar ke belakang tubuhnya. Sampai ia meringis kesakitan. Bimo juga belum sempat melihat wajah sosok lelaki yang datang itu."Siapa Anda!" tanya Bimo kepada yang datang.Tsani yang merasa ketakutan, masih menutupi sebagian wajahnya. Selang beberapa detik Tsani angkat bicara."Pakdhe Tresno.""Kau sudah diapakan lagi sama orang ini Tsani?""A-aku baik-baik saja, Pakdhe. Beruntung Pakdhe datang tepat waktu," jawab Tsani sedikit lega.Lelaki brewok itu melepaskan genggamannya terhadap Bimo. Bimo masih merasa kesakitan. Cengkeraman erat Pakdhe Tresno sampai membekas merah melingkar di tangan kanan Bimo.Pakdhe Tresno adalah kakak dari ayah Ts
"Apa maksud Anda berbicara seperti itu?" tanya Mamah Astrid dengan penuh keheranan."Tanyakan saja sendiri kepada suamimu itu! Kami permisi." "Tunggu, Tsan. Ini ada obat antibiotik untuk Melani dan kebutuhan dapur untuk kamu."Bimo menyerahkan semua yang sudah ia beli untuk Melani dan Tsani. Akan tetapi, ditolak oleh Pakdhe Tresno."Ambillah! Kami bisa membelinya sendiri. Jangan kalian pikir dengan membelikan itu semua bisa meredamkan rasa kecewa kami ini. Kalian sudah tidak bisa lagi dipercaya mengurus Melani. Kami permisi!"Pakdhe Tresno menggandeng Tsani ke luar menuju halaman rumah di mana mobilnya terparkir di sana. Namun, sesampainya di dalam mobil. Pakdhe kembali ke luar lalu masuk ke dalam rumah Bimo."Tsani, kamu tunggu di sini saja. Ada yang perlu Pakdhe sampaikan kepada mereka," perintah Pakdhe."Baik, Pakdhe."Pakdhe baru saja sampai di ambang pintu, tetapi kegaduhan sudah terdengar. Pakdhe memilih untuk berhenti dan mendengarkan ocehan demi ocehan ketiga orang di dalam s
Lelaki brewok itu sudah masuk ke mobilnya."Ayo kita pulang, Tsan. Kelamaan di rumah mertuamu ini bikin Pakdhe kebakaran bewok.""Jenggot, Pakdhe," protes Tsani sambil tertawa kecil."Aih ... sama saja, sama-sama rambut.""Iya deh, sama. Oh ya. Kok, tadi di dalam lama banget Pakdhe, sampai Melani tidur pulas sekali."Tsani menatap ke arah pakdhenya yang sedang fokus ke kaca spion mengeluarkan mobil dari parkiran."Duh, maaf ya Tsan. Tadi sebenarnya juga belum kelar, tapi takut situasi dan kondisi Mamah Mertuamu makin memburuk. Nanti malah Pakdhe yang ketempuhan.""Memangnya apa yang tadi dibahas, Pakdhe?""Iya, Pakdhe cuma bilang kalau Pakdhemu ini tidak setuju jika kamu masih harus memberi ASI untuk anak hasil pengkhianatan mantan suamimu itu. Mereka pikir keponakan Pakdhe yang sholihah ini perempuan apaan. Lagian kamu sih, mau pula diperbudak sama mereka. Jangan terlalu pakai hati, Tsani. Cerdaslah sedikit.""Bukannya begitu, Pakdhe. Tsani hanya kasihan sama bayi itu. Mungkin, kalau
Rumah Papah Rusli.Bimo menghampiri Mamah Astrid yang sedang kuwalahan menangani Anita yang terus menangis karena kehausan. "Kamu ke mana saja sih, Bim? Apa tidak dengar Anita menangis?""Maaf, Mah. Tadi Bimo ada urusan sama Papah di gazebo depan.""Sekarang di mana papahmu?""Masih di sana kayaknya, Mah."Mamah Astrid keluar dari kamar, sedangkan Bimo lanjut mengurus Anita, memberikan ASI kepada putri keduanya."Cup cup cup ... anak Ayah jangan nangis lagi, sekarang mimi susu dulu ya, Sayang."Bimo memang sudah luwes mengurus Anita karena selama hidup bersama Dini, Bimolah yang sering mengurusnya. Sehari-harinya Dini memang sibuk dengan jualan online-nya. Tidak jarang pula, Dini meninggalkan Anita di rumah bersama Bimo untuk melakukan COD dengan pelanggan.Waktu demi waktu, usaha Dini berkembang pesat. Banyak reseller-reseller yang mengambil barang jualan dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi, Dini belum begitu mahir me-manage keuangan bisnisnya sehingga setiap bulannya Bimo harus m
Bimo sangat kalut, tidak mau terjadi apa-apa dengan putri keduanya itu. Dengan kecepatan tinggi Bimo melajukan motornya. Sekarang yang ada dalam pikirannya hanyalah Anita.Sesampainya di rumah Bimo langsung menghampiri Mamah Astrid. Dilihatnya Anita sudah lemas dan badannya sangat panas. Thermometer pun menunjukkan angka 39°."Mah, Anita kenapa sampai bisa begini, Mah?"Bimo sangat panik dengan kondisi bayinya."Tadi Anita muntah-muntah setelah minum susu formula yang kamu beli tadi, Bim.""Ah, yang benar, Mah?""Iya, Bim. Apa mungkin Anita tidak cocok dengan susu sapi ya?""Bimo juga tidak paham, Mah. Mamah tadi bikin susunya sesuai takaran, kan?""Iya, sesuai takaran yang tertera di box susu itu.""Mah, kain Mah."Anita muntah lagi, sekujur tubuhnya basah. Bimo pun mengganti keseluruhan pakaian Anita."Apa Anita kekenyangan ya, Bim?""Bisa jadi. Tapi ini muntahan keberapa, Mah?""Kelima ini, Bim.""Mah, sebaiknya kita bawa Anita ke bidan desa dulu, Mah. Kasihan kalau harus ke rumah
"Aku mohon, Mas. Jangan main-main. Aku bisa ini semua kepadamu. Ini-ini tidak seperti yang kamu bayangkan."Dini terus melangkah mundur menjauhi Bimo yang terus maju menghampiri dirinya. Sampai tubuh Dini mentok ke dinding ruang tamu. Tangan Bimo memainkan belati kecil dengan lincahnya. Tersenyum menyeringai kepada Dini, Bimo siap menguliti Dini habis-habisan malam ini.Tubuh mereka kini berhadapan. Dini tidak ada percobaan perlawanan. Benda kecil yang tajam itu disentuhkan ke wajah, lalu turun ke leher, ke tubuh Dini dan naik lagi berhenti tepat di depan mata Dini. Keringat sehabis perang bersama lelaki lain, kini bercampur dengan keringat dingin yang Bimo ciptakan."Wajah kamu makin cantik saja, Sayang. Pantas saja ada lelaki yang sampai mau membayar tubuh kamu."Pujian itu sama sekali tidak membuat Dini tersanjung, tetapi malah sebaliknya. Napasnya terpenggal-penggal, tidak beraturan."Katakan padaku, siapa laki-laki itu!" bentak Bimo, "beraninya kau bermain di belakangku, Dini!"
"Tsan, Tsani ... aku mohon rujuklah denganku. Kita mulai lembaran hidup yang baru. Tolong maafkan semua kesalahanku. Aku sungguh menyesal telah meninggalkanmu demi wanita itu. Ternyata dia tak sebaik yang aku kira. Aku menyesal. Kembalilah padaku Tsan, Tsani ...."Dekapannya makin erat, membuat Dini pun susah bernapas. Ternyata sesakit ini merasakan hangatnya pelukan, tetapi raga orang lain yang diharapkan, bahkan dalam tidurnya yang lelap pun masih bisa mengigo sepanjang itu. Lebih-lebih lelaki yang berada tepat di bawahnya itu sangat fasih dalam membandingkan dirinya dengan wanita lain."Kamu keterlaluan, Mas Bimo," Dini menggerutu.Ingin rasanya melayangkan kepalan yang keras untuk Bimo. Namun, Dini enggan melakukannya karena jika ia nekad hanya akan membangunkan Bimo ,bahkan orang seisi rumah dan lebih fatalnya lagi semua rencananya pasti akan gagal.Pelukan Bimo sekarang mengendur dan Dini pun terlepas secara perlahan. Bimo juga kembali tertidur pulas seperti awal tadi.Ponsel Bi