Perasaan Dini mulai tidak tenang, wanita itu takut apa yang ia pikirkan selama ini akan terjadi hari ini.Dini dengan tangan gemetar mulai mengambil berkas yang sudah di depan matanya."Buka berkas itu dan jangan lupa tanda tangani segera," perintah ulang si Bimo."Aku baca dulu, ya, Mas.""Oh, tidak perlu."Dini bisa membaca sekilas ejaan demi ejaan yang tertulis di berkas."Mas, kamu mau menjual rumah yang sudah kamu belikan untukku? Kenapa Mas?"Dini terkekeh setelah berhasil menangkap beberapa deret kalimat yang tertera."Iya, karena kamu, kan, sudah harus ikut aku di sini. Rumah ini juga luas, bukan? Bahkan kamu juga disediakan kamar sendiri. Tidak harus sekamar denganku. Lagi pula, kalau kita balik ke rumah itu pasti laki-laki hidung belang itu akan dengan mudah menemuimu, dan aku takut kamu akan bermain api lagi di belakangku di rumah itu. Jadi, terpaksa aku jual."Alasan Bimo membuat Dini terdiam sejenak."Tapi, kan, kita bisa ngontrakin itu rumah, Mas. Tidak perlu harus dijua
Di tempat lain ...Rentetan-rentetan peristiwa hari ini cukup melelahkan. Sangat menguras energi, dan lupa akan waktu hingga tak terasa hari sudah menjelang sore, tetapi Anjas dan Tsani ternyata belum memberikan sesuap nasi untuk cacing-cacing di perut mereka. Sehingga perut Anjas pun keroncongan dan tercipta bunyi dari sana."Eh, bunyi apa itu, Mas?""Hei, itu bunyi perutku."Tsani yang mendengar bunyi tersebut tertawa kecil, Anjas pun tersipu malu dibuatnya."Tsan, mampir makan yuk. Aku sudah sudah terlalu lapar, nih.""Makan ditempat, Mas?""Iya, kalau kamu mau. Nanti kita makan nasi padang di depan. Terkenal enak di situ.""Tidak dibungkus saja, Mas? Aku sudah terlalu lama nitipin Melani, takut dia mencariku.""Coba kamu hubungi Dendi, Melani rewel atau tidak?"Anjas memang berencana ingin berbincang dengan Tsani. Jarang-jarang bisa keluar berdua dengan wanita pujaannya seperti hari ini. Keduanya disibukkan dengan rutinitas harian masing-masing. Terlebih lagi Tsani yang memang san
"Ternyata seperti ini jati diri kamu sebenarnya," Anjas bergumam dalam hati.Tsani telah kembali dari toilet. Anjas yang sudah tidak lagi nafsu untuk melanjutkan makan, memutuskan untuk mengajak Tsani pulang. Wanita yang memang sedang tak enak hati kepada Anjas pun menuruti ajakannya. Padahal, makanan belum juga habis.Setelah Anjas melakukan pembayaran di kasir untuk 4 porsi nasi padang dan dua gelas es teh, Anjas segera menuju ke mobil. Tsani sudah terlebih dulu manunggu di sana."Kita langsung pulang, kan, Tsan?""Iya, Mas. Sudah sore juga. Aku kepikiran sama Melani di rumah."Tanpa ada basa basi lagi dari keduanya. Anjas tancap gas meninggalkan rumah makan padang. Selama perjalanan pun tiada percakapan apapun.Sesampainya di rumah Tsani.Tsani tidak langsung turun karena tangan Anjas menahannya. Debaran dalam jantungnya begitu cepat. Cinta yang sama-sama dirasakan oleh keduanya entah akan bermuara ke mana."Tsan, aku tidak akan merasa sakit jika harus terus menerus menerima penola
Selepas kepergian kedua orang tuanya, Tsani dipaksa menikah dengan anak rentenir yang meminjamkan hutang kepada orang tuanya. Tsani yang tidak bisa melunasi sisa hutang orang tuanya itu akhirnya menyetujui syarat pelunasan tersebut. Namun, sayangnya pernikahannya dengan Bimo, anak sang rentenir itu tidak bertahan lama. Lika-liku rumah tangga pun kian mendera, saat Bimo mengkhianati pernikahannya. Bimo lebih memilih Dini, cinta di masa lalunya dan meninggalkan Tsani serta anaknya yang masih berusia satu tahun.“Mas ... aku mohon tetaplah di sini, lihat anak kita, lihatlah aku, Mas .... Terserah jika Mas mau menikah lagi dengannya, aku rela. Asalkan Mas tetap bersama kami. Melani butuh kamu, Melani butuh kita, aku mo---hon, Mas ---,” tangisan Tsani bak pengemis 1 tahun yang lalu masih terekam jelas dalam memorinya. Sangat menyayat.Tsani, wanita yang bergelar istri sah sampai merendahkan harga dirinya di depan Dini demi mempertahankan rumah tangganya. Namun, semuanya sia-sia. Tetap saja
Selepas kepergian kedua orang tuanya, Tsani dipaksa menikah dengan anak rentenir yang meminjamkan hutang kepada orang tuanya. Tsani yang tidak bisa melunasi sisa hutang orang tuanya itu akhirnya menyetujui syarat pelunasan tersebut. Namun, sayangnya pernikahannya dengan Bimo, anak sang rentenir itu tidak bertahan lama. Lika-liku rumah tangga pun kian mendera, saat Bimo mengkhianati pernikahannya. Bimo lebih memilih Dini, cinta di masa lalunya dan meninggalkan Tsani serta anaknya yang masih berusia satu tahun.💙💙💙“Akhirnya, kamu membukakan pintu untuk kami juga, Tsan.” Bimo terharu dan bersyukur sekali Tsani mau menerima kedatangannya.“Apa tujuan Anda berani menginjakkan kaki di rumahku!” Dengan ketusnya Tsani bertanya.“Tsan, aku meminta maaf tulus kepadamu.”Masih di ambang pintu, Bimo melakukan tindakan yang tak diduga oleh Tsani sehingga Tsani mundur dua langkah.“Jika harus dengan bersujud di hadapanmu bisa membuat kamu memaafkan dosa-dosaku, akan aku lakukan selama apapun yan
Tsani dan Bu Rosi saling menatap. Ibu Rosi pun menggelengkan kepala. Mereka berdua sama-sama terherannya terhadap Melani yang berbicara seperti itu.“Melani, Sayang. Ayah Melani kan sudah pergi. Ayah Melani sudah bobok panjang, tidak mungkin bisa dipeluk sama Melani."Rayuan Tsani kali ini benar-benar kelewatan. Hatinya sudah termakan kebencian terhadap Bimo.“Yayah ada, Mah, Yayah ada ...” rengek Melani sambil menunjuk ruang tamu yang hanya berbatas satu tembok dengan kamar Tsani.“Sudah Melani, diam!” bentakan Tsani membuat Melani terkekeh dan menangis.“Mamah no no ayang Meyani ...,” tangis gadis bermata belo itu makin menjadi. Kini dia dipeluk oleh Bu Rosi.“Mbak, sudah. Jangan marah-marah, kasihan Melani,” ujar Bu Rosi sembari memeluk Melani.“Aku sudah tidak sudi, Bu jika lelaki itu menyusup lagi di kehidupan kami. Kami sudah sangat bahagia hanya hidup berdua saja, tetapi mengapa dia h
“Bimo tidak akan membawa Melani, kecuali dia mau kembali kepada Tsani.”Suara lelaki yang terdengar dari balik tembok pembatas ruang tamu dan teras. Hanya terdengar suaranya, tetapi sosoknya belum juga nampak. Semua mata tertuju ke arah sumber suara, seakan menantikan kemunculan lelaki tersebut.“Saya tidak merelakan cucu kesayangan saya diambil oleh anak saya sendiri,” ucap ulang lelaki itu.Kini sosoknya sudah terlihat. Lelaki paruh baya yang menggandeng wanitanya masuk ke rumah Tsani.“Papah, Mamah,” ucap Bimo dan Tsani bersamaan.Melihat kedatangan kedua orang tua Bimo, Pak RT, Bu Rosi dan Bu Farida serta Mita berpamitan pulang.“Sepertinya sudah saatnya saya permisi, Pak, Bu,” pamit Pak RT.“Silakan, Pak. Terima kasih sebelumnya sudah direpotkan atas masalah anak-anak kami,” sahut ayah Bimo.Sampai detik ini suasana rumah Tsani masih begitu tegang, bahkan le
Di malam hari setelah insiden yang sangat menguras emosi dan air mata itu berlalu, Tsani terlihat sangat murung. Tidak seperti malam-malam biasanya. Sebelumnya ibu satu anak ini tidak pernah absen membacakan buku dongeng untuk Melani sebagai penghantar tidur anak kesayangannya. Malam ini ia begitu kalut. Ia berada di satu persimpangan jalan mana yang harus ia pilih. Rujuk kembali atau mundur dari kehidupan Bimo.Luka trauma yang telah Bimo berikan masih begitu menancap dalam batinnya. Laki-laki yang ia harap bisa berubah setelah kehadiran putri pertama mereka, justru makin tidak bertanggung jawab. Tsani seakan kehilangan penopang dalam hidupnya. Setelah kehilangan kedua orang tuanya. Tsani harus bekerja keras untuk menyambung hidup bersama adiknya, Dendi. Sebelum akhirnya Tsani diminta untuk menikah dengan Bimo.Semenjak kericuhan di rumah Tsani, Bimo dan bayinya tinggal di rumah Papah Rusli. Terhitung sudah lima hari berlalu, hitungan yang sama pula kun