"Apakah pakaianmu semua seperti ini?" tanya Mr. Wei dengan nada yang masih penuh skeptisisme. Aku merasa jantungku berdegup kencang, berpikir sejenak untuk merespons.
"Saya selalu berusaha untuk tampil nyaman dan profesional sesuai dengan pengalaman yang saya miliki, Mr," jawabku dengan suara tegas meskipun terasa bergetar. "Tapi saya juga terbuka untuk saran mengenai cara berpakaian yang lebih sesuai dengan ekspektasi di kantor ini."
Mr. Wei lalu berjalan keluar ketika di pintu. "Ikut dengan saya," perintahnya. Aku merasa sedikit terkejut, namun segera mengikuti langkahnya. Kami berjalan menyusuri koridor yang dipenuhi dengan gambar-gambar karyawan yang berprestasi dan penghargaan yang diraih oleh perusahaan.
Aku mengikuti Mr. Wei dengan langkah ragu, menahan rasa cemas yang menyelimuti pikiranku. Saat kami tiba di area parkir, Mr. Wei langsung menuju mobil hitam yang terparkir rapi. Begitu dia membuka pintu, sopirnya segera mendekat dan bertanya, "Mau ke mana, Mr?"
Mr. Wei menjawab santai, "Mango, tempat biasa Nyonyamu buang duit," sambil menatapku di luar mobil. Suaranya tegas dan membuatku tertekan. "Berapa kali saya harus bilang? Jika saya minta kamu ikut, ya ikutlah!" tegurnya dengan marah. Rasa malu dan ketidaknyamanan melanda diriku, tapi aku berusaha menekan perasaan itu dan segera masuk ke mobil.
Setelah tiba di outlet Mango, Mr. Wei langsung dihampiri oleh pramuniaga yang jelas mengenalnya dengan baik. Mereka berdua berbincang dengan nada rendah, berbisik seakan-akan sedang berbagi rahasia penting. Setelah beberapa saat, pramuniaga itu menghampiriku dengan senyuman ramah, "Selamat datang, saya akan membantu Anda," ujarnya sebelum membawaku ke ruang ganti yang luas dan nyaman.
Di ruang ganti, dia membawa berbagai pakaian kerja yang sensual, seperti rok mini ketat, blus snug, dan gaun pendek glamor. Setiap item menggugah rasa percaya diriku, namun juga membuatku tidak nyaman dengan penampilan seperti itu di tempat kerja.
Pramuniaga itu memaksaku untuk mencoba dan memilih semua pakaian tanpa persetujuanku, membuatku semakin tidak nyaman dengan rok mini yang terlalu ketat dan blus yang terasa terlalu terbuka. Aku berdiri di depan cermin, kebingungan. Pakaian-pakaian ini seolah dirancang untuk menarik perhatian dengan cara yang tidak pantas.
Akhirnya, pramuniaga itu membawaku ke kasir dengan sembilan tas belanja Mango yang berisi pakaian-pakaian yang tidak mencerminkan diriku. Yang mengejutkan, pramuniaga itu tersenyum lebar dan memasukkan selusin thong lining underwear ke dalam tas belanja. "Ini adalah koleksi terbaru kami, pasti Anda akan menyukainya!" katanya dengan antusias. Rasa malu membakar pipiku, dan aku hanya bisa menganggukkan kepala, berusaha tenang meski hatiku berdebar dengan perasaan campur aduk. Kenapa situasi ini semakin membuatku tidak nyaman?
Aku terkejut melihat total tagihan di layar kasir, lebih dari 30 juta. Aku menatap Mr. Wei dengan mulut hampir terbuka. Namun, yang terjadi malah membuatku semakin kagum dan bingung. Dengan tenang, Mr. Wei mengeluarkan Black Cardnya, dan ketenangannya membuatku terpesona. Seolah-olah ia tidak hanya membayar barang-barang, Mr. Wei menegaskan kekuasaannya, sementara aku merasa terjebak dalam dunia yang berbeda dari yang aku kenal.
Mr. Wei mendekat dan dengan tegas berkata, "Jika saya melihatmu mengenakan pakaian aneh lagi, tagihan ini akan memotong gajimu." Suara dan tatapannya menambah ketegangan yang sudah terasa di udara.
"Tunggu apa lagi? Ganti bajumu sekarang," perintahnya, suaranya tegas dan tidak memberi ruang untuk perdebatan. Aku hanya bisa mengangguk, merasakan tekanan di dadaku, dan segera berbalik menuju ruang ganti.
Kecemasan menyelimuti pikiranku saat aku berusaha melepas pakaian yang baru saja dianggapnya tidak pantas. Dalam hatiku, aku merancang berbagai cara untuk menghadapi situasi ini, berusaha mempertahankan profesionalisme meski perasaanku dipenuhi dengan ketidaknyamanan.
Setelah mengganti pakaian dan menatap cermin, aku merasa seperti pelacur kantoran yang elit. Rok yang lebih pendek dari biasanya dan blus yang ketat membuatku merasa rentan dan tidak nyaman. Rasa malu dan ketidakpastian memenuhi pikiranku saat aku berusaha menyesuaikan diri dengan harapan Mr. Wei.
Saat di mobil, aku merasa risih dengan posisi dudukku yang merasa terlalu terbuka. Mr. Wei memandangku dengan tatapan datar, hanya sedikit mengangguk seolah-olah menilai penampilanku. Rasa cemas kembali menggelayuti pikiranku, membuatku ingin menyusut ke dalam jok dan menghilang.
"Ke mana sekarang, Mr?" tanya Pak Ano, sopir Mr. Wei.
"Langham, saya lelah," jawab Mr. Wei dengan nada tegas. Mendengar nama Langham, aku tersentak, menyadari bahwa itu adalah salah satu apartemen termahal di Jakarta. Rasa gugup dan bingung kembali menyergapku.
Untuk apa kami pergi ke apartemen tersebut? Pikiranku berputar, menciptakan berbagai spekulasi. Apakah akan ada pertemuan bisnis di sana? Atau mungkin Mr. Wei memiliki rencana lain yang lebih pribadi? Perasaan cemas membanjiriku, dan aku berusaha mempertahankan ekspresi tenang meskipun di dalam hati, aku merasa terjebak dalam situasi yang semakin tidak jelas.
//DUA TAHUN KEMUDIANDi kantor pusat WeiLife Corp di Hong Kong, Sonia berjalan menyusuri koridor panjang dengan dua suster di belakangnya, masing-masing membawa stroller bayi kembar mereka yang berusia tiga bulan. Gedung pencakar langit itu penuh dengan kesibukan, tetapi Sonia melangkah dengan tenang, auranya penuh percaya diri sebagai CEO WeiLife Beauty dan ibu dari dua anak.Sonia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah para suster. “Tolong, bawa mereka ke ruangan khusus untuk merawat bayi,” katanya lembut. Kedua suster mengangguk, lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan Sonia, sementara dia melanjutkan langkahnya menuju kantor Mr. Wei.Saat mendekati pintu ruangan Mr. Wei, Sonia tiba-tiba melihat seorang wanita muda, salah satu karyawan, keluar dari ruangannya dengan ekspresi gugup. Wanita itu membersihkan bajunya, seperti sedang menutupi sesuatu. Kenangan dari masa lalu tiba-tiba menyeruak di benaknya, mengingat situasi serupa yang pernah terjadi.Rasa curiga muncul sejenak di hati
Akhir pekan itu terasa seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Hari pernikahan kami di Bali, yang sudah lama kutunggu-tunggu, kini tiba. Ini adalah akhir pekan tergugup dalam hidupku. Di tengah udara segar Pulau Dewata, semuanya tampak begitu sempurna. Acara ini akan diadakan di lokasi outdoor, di salah satu resort mewah di tepi pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.Pernikahan ini kami rancang dengan sederhana namun tetap anggun. Dikelilingi oleh pemandangan alam yang menakjubkan—pohon kelapa yang menjulang tinggi, pasir putih yang menghampar, dan lautan biru yang tenang. Tenda putih besar didirikan di pinggir pantai dengan dekorasi bunga berwarna krem dan putih yang memberikan kesan lembut dan elegan. Sebuah altar kayu sederhana berdiri di bawah kanopi bunga, tempat kami akan mengucapkan janji suci.Pagi itu, tim dari
Aku tersenyum tipis, melihat ini sebagai upaya untuk memperlambat proses yang sedang kujalankan. “Tentu saja, Pak Djoko. Namun, kita tidak punya banyak waktu jika ingin tetap bersaing di pasar. Fleurs de Luxe membutuhkan perubahan cepat dan tepat. Setiap hari yang kita tunda, adalah kerugian bagi perusahaan.”Setelah perdebatan yang cukup panjang, pertemuan berakhir dengan suasana tegang. Beberapa board members terlihat mendukung langkahku, sementara yang lain, terutama Mama Hilda dan Djoko Pramono, masih mempertahankan ekspresi mereka yang sinis. Namun, aku tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai.Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan ruangan dengan perasaan lega, meski tahu masih
Mami melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini. "Mami selalu memantau dari kejauhan, Sonia. Meskipun Mami tidak ada di sisimu, Mami sering mendengar kabar tentangmu dari nenek. Lalu, baru-baru ini, Mami melihat namamu di berita. Kamu jadi CEO termuda di Indonesia, kamu luar biasa, sayang." Ada kebanggaan dalam suaranya, tapi aku merasakan itu seperti pujian dari seseorang yang tidak pernah benar-benar ada dalam hidupku."Aku melihat semua prestasimu, perjuanganmu. Kamu membangun sesuatu yang sangat besar dengan tanganmu sendiri. Mami sangat bangga, Sonia. Kamu sukses… kamu membuktikan dirimu. Dan ketika Mami melihat itu, Mami sadar, Mami tidak bisa terus menghindar. Mami harus bertemu denganmu, harus memperbaiki hubungan kita."Aku terdiam lagi, tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari diriku merasa hangat mendengar kata-kata itu, mendengar pujian yang selam
Executive Meeting di WeiLife TowerKami naik ke lantai eksekutif, di mana Executive Meeting diadakan. Di sana, puluhan CEO dari berbagai anak perusahaan WeiLife yang tersebar di seluruh dunia telah berkumpul. Ruangan pertemuan itu luas, dinding kaca dari lantai hingga langit-langit memberikan pemandangan panorama kota Hong Kong yang spektakuler. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan aura profesionalisme dan kekuasaan.Para CEO yang hadir datang dari berbagai negara, masing-masing mewakili divisi mereka yang penting. Di antara mereka ada wajah-wajah baru yang segera akan diperkenalkan dalam pertemuan malam nanti. Suasana diskusi terasa intens, namun penuh antisipasi. Semua ini adalah tentang menentukan arah masa d
The Executive Meeting di WeiLife Tower, Hong Kong: 6 Hari Setelah Gala DinnerMr. Wei, Joshua, dan aku berada di pesawat jet pribadi Mr. Wei, menuju Hong Kong untuk menghadiri pertemuan penting di WeiLife Tower. Suasana di dalam jet terasa nyaman dan eksklusif, tetapi pikiranku dipenuhi pertanyaan tentang perusahaan besar yang kini kutangani sebagai CEO. Dengan pemandangan awan di luar jendela dan suara mesin yang lembut, aku merasa ini adalah waktu yang tepat untuk meminta penjelasan.Aku menoleh ke Mr. Wei yang sedang santai membaca dokumen di sebelahku. "Sayang, aku tidak mengerti sepenuhnya tentang WeiLife Corp. Bisa tolong dijelaskan?" tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.Mr. Wei menutup dokumennya dan tersenyum lembut, seolah sudah menduga pert