Aku, Sonia, seorang wanita berusia 23 tahun, terjebak dalam masalah keuangan yang parah akibat hutang pengobatan anakku yang mengidap Thalassemia dan harus menjalani perawatan medis yang sangat mahal dan berkelanjutan. Hidupku yang penuh kesulitan berubah drastis ketika aku bekerja dengan Mr. Wei, seorang CEO sukses berusia 45 tahun. Di tengah kemelut keuangan dan tekanan emosional, aku menemukan pelarian dalam pelukan Mr. Wei. Kehangatan dan dukungan yang dia berikan membuatku merasa dihargai dan dicintai, sesuatu yang telah lama hilang dalam pernikahanku. Namun, kebahagiaan kami tidak lepas dari konflik; suamiku mulai curiga dan berbagai rintangan muncul, menguji keteguhan hati kami. Cerita ini menggambarkan dinamika cinta yang penuh gairah dan sakit hati, pengkhianatan yang menyakitkan, serta pencarian jati diri dan pengampunan. Dengan latar belakang kehidupan kami yang kontras, aku dan Mr. Wei harus menghadapi pilihan-pilihan sulit dan mempertanyakan nilai-nilai yang kami anut. Akankah cinta kami mampu mengatasi semua rintangan? atau akankah kami terperangkap dalam lingkaran drama dan penderitaan?
View MoreDinding kaca yang dingin ini terasa seperti cermin raksasa yang memantulkan kehampaanku. Aku terisolasi, terkungkung dalam kotak transparan ini, sementara dunia di luar sana berputar tanpa peduli pada nasibku. Detak jam di pergelangan tangan terasa seperti palu yang berdentum di dalam kepalaku, mengiringi irama debar jantungku yang tak menentu.
Tatapanku terpaku pada pintu kaca yang menjadi satu-satunya penghubungku dengan dunia luar. Di baliknya, koridor panjang membentang, dihiasi deretan pintu-pintu identik yang menyembunyikan nasib para kandidat lainnya. Aku membayangkan mereka, masing-masing tengah bergulat dengan kecemasan yang sama sepertiku.
Sebuah bayangan gelap melintas di balik kaca. Sosok itu semakin dekat, langkahnya pasti dan penuh kuasa. Pemimpin. Jantungku berpacu kencang. Ia adalah sosok yang selama ini menjadi idola sekaligus momok bagiku. Wajahnya yang tegas dan tatapan matanya yang tajam selalu berhasil membuatku bergidik.
Staff HRD, seorang wanita dengan tatapan datar, mengikutinya dari belakang. Ia membawa setumpuk berkas—nasib kami tertulis di sana. Mataku mengikuti setiap gerakannya, berharap ada keajaiban yang akan terjadi. Namun, harapan itu sirna seketika ketika pemimpin itu berhenti di depan salah satu berkas. Ia membolak-balik halaman demi halaman, tatapannya fokus dan tajam.
Sebuah firasat buruk mulai menyelimutiku. Aku tahu, saat itu juga, bahwa keputusan telah diambil. Detik berikutnya, ia berbisik sesuatu kepada Staff HRD. Tatapanku tak lepas dari mereka saat Staff HRD itu menoleh ke arahku. Anggukan kecilnya menjadi pertanda bahwa nasibku telah ditentukan.
Langkah kaki mendekat. Pintu kaca terbuka perlahan. Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Pintu ruang isolasi terbuka perlahan, dan staff HRD itu masuk dengan senyum tipis di wajahnya. "Selamat, kamu terpilih dari puluhan kandidat untuk langsung diwawancarai oleh Mr. Wei. Beliau sedang menanti di kantornya saat ini," katanya dengan nada resmi.
Jantungku berdebar semakin kencang. Ini adalah kesempatan yang selama ini kuimpikan. Dengan tangan sedikit gemetar, aku beranjak dari dudukku dan melangkah menuju pintu. Namun, sebelum aku sempat membuka pintu itu, Staff HRD menahanku.
"Sebentar, Sonia," katanya dengan suara yang lebih lembut namun serius. "Ada penawaran khusus dari Mr. Wei untukmu. Gaji yang ditawarkan empat kali lipat dari yang sebelumnya."
Aku mengerutkan kening, bingung namun penasaran. "Apa maksudnya?" tanyaku dengan hati-hati.
"Mr. Wei memiliki permintaan khusus," jawab Staff HRD sambil menatap mataku dengan intens.
"Apa permintaan khusus itu?" tanyaku, berusaha menahan getir di tenggorokan.
"Permintaan khusus itu," ia melanjutkan, suaranya bergetar di udara yang tegang, "adalah kamu harus bersedia menyusui."
Dunia seakan berhenti berputar. Tawaran itu begitu menggiurkan, tetapi juga sangat mengejutkan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mencerna informasi yang baru saja kudengar. Dengan penghasilan sebesar itu, aku bisa memberikan perawatan terbaik untuk anakku yang mengidap thalasemia. Namun, harga yang harus kubayar terasa begitu mahal.
Aku teringat wajah polos anakku yang selalu ceria, meski harus berjuang melawan penyakitnya. Hatiku tercabik-cabik. Di satu sisi, aku ingin memberikan yang terbaik untuknya. Di sisi lain, aku merasa dilema dengan permintaan yang begitu tidak biasa.
"Aku butuh waktu untuk berpikir," kataku akhirnya, suara ku terdengar lirih.
Staff HRD mengangguk mengerti. "Tentu saja, Sonia. Pikirkanlah baik-baik. File ini berisi detail lengkap tentang penawaran ini. Mr. Wei menunggumu di kantornya." Ia menyerahkan file itu padaku, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan.
Aku menatap file di tanganku, perasaan campur aduk memenuhi hatiku. Keputusan ini akan mengubah hidupku selamanya. Aku harus memilih antara ambisi karirku dan kesejahteraan anakku. Jalan mana yang akan kuambil?
***
"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debar jantungku yang tak terkendali. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku. Semakin dekat aku dengan ruangan Mr. Wei, semakin kuat pula rasa cemas yang menyelimutiku.
Bayangan anakku yang terbaring lemah di rumah sakit kembali menghantuiku. Penyakitnya yang langka membuatku merasa begitu kecil dan tidak berdaya. Aku pernah berjanji pada diri sendiri akan melakukan apa saja untuk menyembuhkannya, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan segalanya.
Tiba di depan pintu, aku ragu-ragu untuk mengetuk. Apa yang akan kutemukan di balik pintu ini? Apakah ini benar-benar jalan keluar dari semua masalahku? Atau justru akan menjadi awal dari penderitaan yang lebih besar? Segala macam pertanyaan berputar-putar di kepalaku.
//DUA TAHUN KEMUDIANDi kantor pusat WeiLife Corp di Hong Kong, Sonia berjalan menyusuri koridor panjang dengan dua suster di belakangnya, masing-masing membawa stroller bayi kembar mereka yang berusia tiga bulan. Gedung pencakar langit itu penuh dengan kesibukan, tetapi Sonia melangkah dengan tenang, auranya penuh percaya diri sebagai CEO WeiLife Beauty dan ibu dari dua anak.Sonia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah para suster. “Tolong, bawa mereka ke ruangan khusus untuk merawat bayi,” katanya lembut. Kedua suster mengangguk, lalu berjalan ke arah yang ditunjukkan Sonia, sementara dia melanjutkan langkahnya menuju kantor Mr. Wei.Saat mendekati pintu ruangan Mr. Wei, Sonia tiba-tiba melihat seorang wanita muda, salah satu karyawan, keluar dari ruangannya dengan ekspresi gugup. Wanita itu membersihkan bajunya, seperti sedang menutupi sesuatu. Kenangan dari masa lalu tiba-tiba menyeruak di benaknya, mengingat situasi serupa yang pernah terjadi.Rasa curiga muncul sejenak di hati
Akhir pekan itu terasa seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Hari pernikahan kami di Bali, yang sudah lama kutunggu-tunggu, kini tiba. Ini adalah akhir pekan tergugup dalam hidupku. Di tengah udara segar Pulau Dewata, semuanya tampak begitu sempurna. Acara ini akan diadakan di lokasi outdoor, di salah satu resort mewah di tepi pantai yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.Pernikahan ini kami rancang dengan sederhana namun tetap anggun. Dikelilingi oleh pemandangan alam yang menakjubkan—pohon kelapa yang menjulang tinggi, pasir putih yang menghampar, dan lautan biru yang tenang. Tenda putih besar didirikan di pinggir pantai dengan dekorasi bunga berwarna krem dan putih yang memberikan kesan lembut dan elegan. Sebuah altar kayu sederhana berdiri di bawah kanopi bunga, tempat kami akan mengucapkan janji suci.Pagi itu, tim dari
Aku tersenyum tipis, melihat ini sebagai upaya untuk memperlambat proses yang sedang kujalankan. “Tentu saja, Pak Djoko. Namun, kita tidak punya banyak waktu jika ingin tetap bersaing di pasar. Fleurs de Luxe membutuhkan perubahan cepat dan tepat. Setiap hari yang kita tunda, adalah kerugian bagi perusahaan.”Setelah perdebatan yang cukup panjang, pertemuan berakhir dengan suasana tegang. Beberapa board members terlihat mendukung langkahku, sementara yang lain, terutama Mama Hilda dan Djoko Pramono, masih mempertahankan ekspresi mereka yang sinis. Namun, aku tahu bahwa pertempuran ini baru saja dimulai.Saat pertemuan selesai, aku meninggalkan ruangan dengan perasaan lega, meski tahu masih
Mami melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini. "Mami selalu memantau dari kejauhan, Sonia. Meskipun Mami tidak ada di sisimu, Mami sering mendengar kabar tentangmu dari nenek. Lalu, baru-baru ini, Mami melihat namamu di berita. Kamu jadi CEO termuda di Indonesia, kamu luar biasa, sayang." Ada kebanggaan dalam suaranya, tapi aku merasakan itu seperti pujian dari seseorang yang tidak pernah benar-benar ada dalam hidupku."Aku melihat semua prestasimu, perjuanganmu. Kamu membangun sesuatu yang sangat besar dengan tanganmu sendiri. Mami sangat bangga, Sonia. Kamu sukses… kamu membuktikan dirimu. Dan ketika Mami melihat itu, Mami sadar, Mami tidak bisa terus menghindar. Mami harus bertemu denganmu, harus memperbaiki hubungan kita."Aku terdiam lagi, tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari diriku merasa hangat mendengar kata-kata itu, mendengar pujian yang selam
Executive Meeting di WeiLife TowerKami naik ke lantai eksekutif, di mana Executive Meeting diadakan. Di sana, puluhan CEO dari berbagai anak perusahaan WeiLife yang tersebar di seluruh dunia telah berkumpul. Ruangan pertemuan itu luas, dinding kaca dari lantai hingga langit-langit memberikan pemandangan panorama kota Hong Kong yang spektakuler. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan aura profesionalisme dan kekuasaan.Para CEO yang hadir datang dari berbagai negara, masing-masing mewakili divisi mereka yang penting. Di antara mereka ada wajah-wajah baru yang segera akan diperkenalkan dalam pertemuan malam nanti. Suasana diskusi terasa intens, namun penuh antisipasi. Semua ini adalah tentang menentukan arah masa d
The Executive Meeting di WeiLife Tower, Hong Kong: 6 Hari Setelah Gala DinnerMr. Wei, Joshua, dan aku berada di pesawat jet pribadi Mr. Wei, menuju Hong Kong untuk menghadiri pertemuan penting di WeiLife Tower. Suasana di dalam jet terasa nyaman dan eksklusif, tetapi pikiranku dipenuhi pertanyaan tentang perusahaan besar yang kini kutangani sebagai CEO. Dengan pemandangan awan di luar jendela dan suara mesin yang lembut, aku merasa ini adalah waktu yang tepat untuk meminta penjelasan.Aku menoleh ke Mr. Wei yang sedang santai membaca dokumen di sebelahku. "Sayang, aku tidak mengerti sepenuhnya tentang WeiLife Corp. Bisa tolong dijelaskan?" tanyaku, mencoba menggali lebih dalam.Mr. Wei menutup dokumennya dan tersenyum lembut, seolah sudah menduga pert
Mr. Wei menurunkan satu kakinya ke tanah, dan dalam gerakan perlahan namun penuh makna, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari saku jasnya. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang, seolah tahu apa yang akan terjadi. Mataku mulai berkaca-kaca bahkan sebelum dia berkata apa-apa."Sonia," ucapnya pelan, suaranya penuh dengan perasaan yang mendalam. "Aku pernah berjanji, setelah semua ini selesai..."Perasaan campur aduk mulai memenuhi dadaku—antara kebahagiaan yang memuncak, keterkejutan, dan rasa cinta yang begitu besar. Aku hampir tidak bisa bernapas, tenggelam dalam momen ini. Air mata menggenang di mataku, perasaanku bergemuruh, jantungku berdebar kencang. Ini adalah momen yang selama ini aku impikan, dan sekarang semuanya terjadi di hadapanku.Mr. Wei membuka kotak itu dengan perlahan, memperli
"Ga masalah, santai aja. Malah bebanku sekarang lebih ringan, hahahaha," katanya, dengan ekspresi yang membuatku merasa lebih santai. Aldo memang selalu tahu cara menghilangkan ketegangan.Tak lama, aku merasakan kehadiran Mr. Wei di belakangku. Aldo yang melihatnya langsung menunduk-nunduk sedikit, sementara Mr. Wei menepuk-nepuk bahunya dengan penuh penghargaan."Terima kasih kerjasamanya selama ini, Aldo. Saya harap kamu bisa bantu Sonia di WeiLife Beauty," kata Mr. Wei dengan nada ramah, meski tetap menunjukkan wibawa sebagai seorang pemimpin."Baik, Mr. Wei," balas Aldo, sebelum melanjutkan dengan senyum. "Saya yakin, dengan Ibu Son—""Halah, Aldo, jangan panggil aku ibu...,
Meja di bagian tengah diisi oleh para manajemen utama dari WeiLife Corp. Kebanyakan dari mereka adalah orang asing—beberapa berasal dari Asia, Amerika, dan Eropa. Mereka tampak profesional dan formal, dengan pandangan tajam yang menunjukkan bahwa mereka adalah pemegang kekuasaan besar di perusahaan ini. Setiap orang yang duduk di meja ini tampak tenang namun penuh kendali, seolah memahami tanggung jawab besar yang kini ada di pundak mereka.Di sebelah kiri, meja lain dipenuhi oleh petinggi manajemen dari WeiLife Science. Beberapa wajah yang duduk di sana adalah orang-orang yang pernah kukenal saat masih bekerja dengan Mr. Wei dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Ada rasa nostalgia yang aneh melihat mereka lagi, meskipun banyak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments