“Tante Selena pengen main. Gimana? Boleh tidak?”
Suara lembut Alya memecah keheningan taman belakang sore itu. Ia berjongkok di antara keempat anaknya, berusaha tersenyum serileks mungkin walau ada rasa was-was di dadanya.
Keempat anak itu serempak menoleh ke arah Selena yang berdiri tak jauh dari mereka. Selena tersenyum kecil, wajahnya penuh harap.
Beberapa detik hening.
Lalu suara kecil Ruelle, si bungsu perempuan, memecahnya.
“Boleh… boleh,” katanya dengan mata bulat yang berkilat penasaran.
Selena menatap anak itu dan tertawa kecil. “Terima kasih, Sayang.”
Tak lama kemudian, Leon dan Renzo ikut mengangguk. Rey, yang duduk di kursi rotan dengan mobil mainan di tangannya, sempat melirik Alya dulu sebelum akhirnya berkata, “Asal Tante nggak marah kalau aku menang, ya.”
“Tante nggak bakal marah, kok.”
Selena melangkah mendekat perlahan, lalu ikut berjong
Pagi itu di villa terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma aneka sarapan, roti panggang dan kopi memenuhi udara, bercampur dengan suara tawa kecil dari ruang makan yang terbuka menghadap laut. Sinar matahari menembus tirai besar, menyoroti meja panjang yang kini dipenuhi hampir seluruh anggota keluarga. Alya duduk di samping Sean, membantu Ruelle menyuapkan potongan kecil omelet ke mulutnya. Di seberang meja, Adrian dan Utari sudah datang lebih pagi. Perut Utari yang membulat tampak jelas di balik gaun santainya. Wajahnya sedikit tegang, tapi tetap tersenyum sopan saat Miranda menyambutnya dengan pelukan hangat.“Terima kasih sudah mau sarapan bersama kami,” ujar Miranda tulus.“Harusnya kami yang berterima kasih, Bu,” balas Utari. “Kami benar-benar dijamu seperti keluarga sendiri.”&ldquo
Alya menoleh. Sosok perempuan berperut buncit berdiri di sana, mengenakan dress krem sederhana dan syal tipis di bahu. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya terlihat letih tapi lembut. Dia adalah Utari. Perempuan itu berhenti di ambang pintu, matanya langsung menemukan Adrian, lalu beralih ke Rey yang bersembunyi setengah di balik tubuh Alya.“Oh,” katanya pelan, seolah tak yakin harus maju atau mundur. “Aku… maaf. Aku tadinya tidak bermaksud mengganggu.”Alya menatapnya sebentar. “Tidak apa,” ucapnya tenang, meski hatinya sempat bergetar. Ia tahu pertemuan ini cepat atau lambat memang harus terjadi.Rey menggenggam jari ibunya lebih erat. “Itu… tante yang kemarin sama Papa?”
Keheningan menelan udara vila itu. Hanya suara ombak yang datang dan pergi, seolah menjadi saksi dari pertemuan tiga hati yang pernah saling menyatu, lalu tercerai karena waktu dan keputusan yang keliru. Rey masih berdiri di dekat pintu belakang, mengepalkan erat tangannya. Tatapan matanya beralih dari Alya ke Adrian bergantian. Ia ragu, tapi juga dipenuhi sesuatu yang nyaris menyerupai harapan.“Papa?” ulangnya pelan, seperti takut kata itu hanya akan menguap. Adrian melangkah satu langkah mendekat, namun berhenti di tengah jalan. Matanya merah, suaranya parau.“Iya, Nak… ini Papa.”Rey menatapnya tanpa berkedip. Hujan kecil
Pagi di vila tepi pantai itu tak seindah biasanya. Hembusan angin laut membawa aroma asin yang seolah menempel di dada Alya, menyesakkan. Ia duduk di tepi meja makan, menatap secangkir kopi yang sudah dingin sejak setengah jam lalu. Suara ombak dari luar jendela hanya menambah sunyi, bukan menenangkan. Sean berdiri di balkon, punggungnya menghadap ke arah Alya. Pakaian yang dikenakannya rapi, tapi wajahnya belum sepenuhnya segar. Sejak semalam, Alya tahu suaminya belum benar-benar tidur.“Dia akan datang pagi ini,” ucap Sean tiba-tiba, tanpa menoleh.Alya mengangkat wajahnya perlahan. “Apa?”“Adrian,” lanjut Sean datar. “Aku sudah bicara dengannya barusan. Dia ingin bertemu.”&nb
“Sayang, kau duluan masuk kamar saja ya.”“Kau yakin?” tanya Utari yang terdengar ragu.Adrian mengangguk sembari mengelus punggung tangan istrinya. “Kau harus istirahat karena bayi kita pasti kelelahan juga di dalam sana.” Adrian menegakkan badan untuk menyambut kedatangan orang tadi. Suara langkah berat memecah kesunyian di tepi jalan berbatu. Lampu taman di luar kafe itu berpendar lembut, menyorot dua sosok pria yang berdiri saling berhadapan di bawah langit malam yang nyaris tanpa bintang. Adrian menatap Sean dengan sorot mata lelah, seperti seseorang yang sudah terlalu lama dihantui masa lalu. Tangannya menggenggam erat ponsel di saku, sementara napasnya masih berat karena kejutan mendengar panggilan tadi. Sean
Langit malam menaburkan cahaya keperakan di atas halaman kecil kafe yang tenang.Udaranya terasa lembap, dan aroma cokelat hangat bercampur wangi tanah basah setelah hujan sore tadi. Adrian duduk di seberang meja, menatap perempuan yang kini tengah menikmati sendok terakhir es krim vanila di tangannya.“Bayinya aktif banget malam ini,” ujar perempuan itu pelan, menatap Adrian dengan mata berbinar. “Tiap kali aku makan yang manis, pasti dianya langsung nendang.”Adrian mengangkat alis, tersenyum sekilas. “Mungkin dia tahu ibunya terlalu suka gula, tapi jangan berlebihan ya. Ingatlah kata dokter, Utari Sayang.”“Eh, kau juga dulu yang nyuruh aku makan es krim biar gak stres, kan?” sergah perempuan bernama Utari tersebut menimpali, terkekeh pelan. “Lagipula dokter bila