Setelah Luna dipindahkan ke box terbuka, kini rutinitas Kira setiap hari adalah datang ke rumah sakit untuk memberikan ASI-nya, karena kebutuhan ASI untuk Luna semakin meningkat.Kini, Kira sedang menatap bayi mungil itu dengan tatapan sendu. Mata Luna terbuka sedikit, menatap Kira sambil mengerjap pelan.“Halo, Luna,” bisik Kira sambil menjulurkan tangannya, mengenggam tangan mungil Luna yang semakin hari semakin berisi. “Aku datang lagi.”Kira tersenyum kecil saat jari-jari mungil Luna menggenggam satu jarinya dengan erat. Bayi itu masih tampak rapuh, tetapi perkembangannya sangat pesat dibandingkan saat pertama kali Kira melihatnya.“Kamu semakin kuat, ya?” bisik Kira lagi, suaranya terdengar lembut. Ia menunduk, menatap bayi itu dengan perasaan campur aduk. “Mama bangga padamu.”Namun, setelah kata-kata itu keluar, Kira terdiam. Ia menatap Luna dengan tatapan kosong, menyadari kekeliruannya sendiri. Luna bukan anaknya. Luna adalah putri Kai dan Violet. Bukan putrinya.“Semoga kamu
Kai tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Kira yang tersenyum pada pria itu. Senyum yang terlihat begitu tulus dan lepas, sesuatu yang hampir tidak pernah ia lihat sejak pernikahan mereka.“Siapa pria itu?” gumam Kai tanpa sadar.Violet yang masih menempel di bahunya ikut melirik ke arah coffee shop, mencoba melihat lebih jelas siapa lelaki yang sedang bersama Kira. “Aku juga nggak tahu. Tapi sepertinya mereka akrab. Lihat saja cara Kira tersenyum padanya.”Rahang Kai semakin mengeras. Violet mengalihkan tatapannya dari Kira, ke arah Kai. Lantas Violet mengerutkan kening melihat Kai tampak tegang.“Kenapa kamu peduli, Honey?” tanya Violet dengan nada menggoda sambil menyusuri dada Kai dengan jemarinya. “Bukannya kamu nggak menganggap dia istrimu?”Kai mengerjap. Seolah baru tersadar bahwa ekspresi wajahnya menegang. Ia cepat-cepat menetralkan kembali ekspresinya dan melajukan kendaraan karena klakson mobil di belakangnya sudah ‘berteriak’ nyaring.“Aku nggak peduli, Sayang,” ucap K
Julian menepati janjinya untuk ‘menculik’ Kira sebentar saja. Setelah menerima kartu nama Julian, mereka pun mengobrol ringan sebentar sebelum akhirnya mereka berpisah. Kira menumpangi taksi online untuk pulang ke rumah. Lebih tepatnya rumah Kai. Siang ini Reno—mantan asisten pribadi Kai, akan datang lagi ke rumah untuk mengajari Kira cara menjadi asisten pribadi. Saat taksi yang ditumpangi Kira masuk ke komplek dan melewati rumah Violet, tiba-tiba Kira menegakkan punggung saat ia melihat mobil yang sangat ia kenali berhenti di depan rumah Violet. Itu mobil Kai. Taksi terus maju. Kira menoleh ke belakang, ia melihat Kai turun dari sana, disusul dengan Violet dan seorang wanita muda yang menggendong bayi. “Itu pasti Luna,” gumam Kira nyaris tak terdengar. Ia tersenyum karena Luna akhirnya dibawa pulang. Namun, senyumannya perlahan lenyap kala mengingat Kai dan Violet yang tampak seperti suami istri sungguhan. Sejak awal, Kira hanyalah orang ketiga di antara mereka. Entah mengapa
Rumah sakit? Mengobrol?Kira bertanya-tanya dalam hati dengan kening berkerut. Lalu dengan polosnya ia menjawab, “Aku cuma ngobrol sama perawat di rumah sakit.”Rahang Kai berkedut, matanya menatap Kira lurus-lurus. “Maksudku di luar rumah sakit.”Di luar rumah sakit?Lalu Kira teringat akan pertemuannya dengan Julian. Namun, haruskah ia cerita pada Kai? Lagi pula kenapa pria itu bertanya? Apa mungkin Kai melihatnya.“Oh, itu. Bukan urusan kamu, Mas,” jawab Kira akhirnya dengan berani.Wajah Kai semakin mengeras. “Tentu itu urusanku, Kira,” desisnya, “kamu istriku dan aku berhak tahu.”Kira tersenyum kecut. “Kamu lupa dengan perjanjian baru kita, Mas?” tanyanya sambil menatap Kai tanpa ragu. “Dengan siapa aku pergi atau bertemu, kamu nggak berhak ikut campur, Mas, sebagaimana aku nggak boleh ikut campur urusan kamu sama kekasihmu! Jangan lupakan itu!”Setelah mengatakan kalimat tersebut, Kira pun memilih pergi dari hadapan Kai sebelum emosinya meluap-luap.Sementara itu, Kai seketika
“Aku juga harus pulang, Vi. Untuk memastikan Kira aman sampai rumah,” ujar Kai pada Violet, yang membuat Kira cukup terkejut mendengarnya.Kira mengepalkan kedua belah telapak tangannya. “Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri. Kamu di sini aja temani Violet,” ucapnya dengan tenang, akan tetapi jauh di lubuk hati Kira merasakan sakit yang teramat perih.Setelah mengatakan kalimat tersebut, Kira pun pergi meninggalkan mereka berdua.“Tunggu, Kira!” ucap Kai dengan suara baritonnya, akan tetapi Kira tidak menghiraukan.Kai akan pergi menyusul Kira, akan tetapi Violet menahan tangan Kai.“Honey, kamu dengar ‘kan apa kata Kira? Dia bisa pulang sendiri,” ucap Violet dengan lembut. “Lagi pula sekarang sudah mulai siang, kok.”Violet benar, pikir Kai. Kira bukan anak kecil lagi yang perlu ditemani pulang. Dan untuk apa juga Kai peduli pada Kira?Namun, ada satu bagian dari dalam diri Kai yang merasa khawatir, dan Kai tidak bisa mengabaikan hal itu. Sial. Entah apa yang terjadi pada dirinya
Kai mengembuskan napas berat. Lalu berjalan sambil memandangi punggung Kira yang berjalan cepat di hadapannya dengan tatapan sulit diterjemahkan.Kira sampai di rumah lebih dulu. Ia langsung masuk ke dalam kamarnya, berusaha meredakan emosi yang menguasai dada. Kai selalu menyalahkannya, meskipun itu bukan kesalahan Kira.Seperti di masa lalu, saat Kira meminta pertanggungjawaban Kai atas kehamilannya, Kai malah menyalahkan Kira yang—menurut Kai, seharusnya Kira menggugurkan kandungannya.Setelah emosinya mereda, Kira lantas memompa ASI untuk stok yang akan ia berikan pada Luna hari ini.Selesai memompa dan mendapatkan beberapa kantong ASI perah, Kira turun ke dapur dan menaruhnya di freezer.Pada saat yang sama terdengar langkah kaki berat yang sedang menghampirinya.“Aku ingin sarapan,” ucap Kai dengan nada suara yang agak rendah.Kira menoleh dan mendapati pria itu sudah mandi. “Minta Ani yang buatkan saja, atau minta Violet sekalian.”Rahang Kai seketika mengeras, tapi alih-alih m
“Aku sudah selesai mengajari Violet, dan sepertinya dia langsung paham,” ujar Kira pada Kai. “Sekarang aku akan pulang. Dan mulai besok, aku sudah mulai bekerja, jadi setiap pagi aku akan menyerahkan ASI perah, lalu sorenya aku akan menyusui Luna secara langsung.”Kai menatap Kira lama dengan tatapan sulit diartikan. Lalu mengangguk. “Baiklah.”Violet tiba-tiba datang, menghampiri Kai dan duduk di sampingnya. “Honey, anak kita bangun? Ya ampun... makin hari dia makin mirip kamu aja,” ujar Violet sambil tersenyum lebar, kata-katanya seolah ingin menunjukkan dominasinya atas diri Kai.Kai menatap Kira lagi, tatapan mereka bertemu, lalu Kai sedikit menjauhkan dirinya dari Violet.Kira tersenyum kecut. Lalu ia pergi saat itu juga tanpa mengatakan apa-apa lagi.Kai menatap kepergian Kira. Violet melihat tatapan Kai tampak lain saat menatap punggung Kira yang sudah pergi menjauh. Lagi-lagi Violet merasa terancam dengan tatapan Kai tersebut.“Honey, mulai besok aku akan bekerja lagi, ya?” Vi
Kira mengembuskan napas berkali-kali untuk menghalau perasaan gugup. Pagi ini hari pertamanya bekerja sebagai asisten pribadi Kaisar Antariksa Milard, seorang CEO dari Milard Corp.Kira menatap pantulan dirinya di cermin. Ia mengenakan celana hitam dan kemeja putih, lalu dilapisi blazer hitam. Sementara rambut panjangnya ia ikat ala ponytail.Pakaian ini adalah pakaian yang dipilihkan oleh Kai kemarin, setelah Kira bergonta-ganti pakaian dan ditolak semua oleh Kai, hingga akhirnya ke lima setel pakaian formal yang Kira beli merupakan celana panjang, tidak ada rok sama sekali.Blazer itu memeluk tubuh Kira begitu pas, dan celana hitamnya menampilkan siluet kaki jenjangnya.Ani membantu merias wajah Kira dengan riasan sederhana, sekaligus Kira belajar bagaimana cara ber-make up.“Non cantik sekali, Tuan Kai—maksud saya, orang-orang di kantor akan terpesona oleh penampilan Non Kira,” ucap Ani sambil merapikan peralatan make up.Kira hanya tersenyum kecil menanggapi pujian Ani yang menuru
Kai berjalan mondar-mandir di bawah tangga. Sesekali mengusap tengkuk. Sesekali menghela napas resah seraya menatap pintu kamar Kira di lantai dua.Sejak kemarin sore, Kira tidak keluar kamar selain hanya untuk makan. Itupun saat makan bersama, Kira tidak banyak bicara. Kira hanya bersuara ketika Kai bertanya, membuat Kai dirundung perasaan gelisah.“Astaga… apa yang harus kulakukan?” erang Kai sembari meraup wajahnya dengan kedua tangan, lalu menghela napas kasar.Kai lalu duduk di sofa dengan kedua siku bertumpu di lutut, sementara jari jemarinya saling bertaut di bawah dagu.Ia tengah berusaha meraba-raba perasaannya. Sebenarnya bagaimana perasaannya terhadap Kira dan Violet? Siapa yang kini lebih ia cintai?Jika itu dulu, setiap kali bersama Violet, ada perasaan senang yang menyelimuti hati. Namun sekarang, ia merasa lebih tenang dan nyaman ketika sedang bersama Kira. Sudah tidak ada lagi debar untuk Violet setiap kali mereka bersama.‘Apa perasaanku untuk Violet sudah hilang?’ ba
Kai menatap kepergian Kira dengan rahang mengeras. Ia berbalik menatap ibunya. “Mami sudah keterlaluan,” ucapnya, dingin. Tanpa sempat menunggu tanggapan dari sang ibu, saat itu juga Kai pergi menyusul Kira. Dengan langkah setengah berlari ia keluar dari rumah Violet, membiarkan pintu di belakangnya terbuka tanpa sempat menutupnya. Kai menyapukan pandangannya ke sekeliling jalanan komplek, ia menemukan Kira yang sedang berjalan cepat di hadapannya. Bergegas Kai menghampiri wanita itu. “Kira, tunggu…!” seru Kai sambil berlari. Namun, Kira seolah tidak memedulikan seruan Kai. Kira terus saja melangkah tanpa menoleh ke belakang. “Kira….” Kai akhirnya berhasil meraih tangan Kira, membuat langkah kaki wanita itu seketika terhenti. Lalu Kai memutar tubuh Kira dan ia tertegun kala melihat mata Kira yang berkaca-kaca. “Kira, maafkan aku,” gumam Kai dengan tenggorokan tercekat. Kira membuang muka, berul
Seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan tengah duduk di sofa ruang tamu. Kai langsung mengernyit, langkahnya terhenti seketika. Tangannya yang menggenggam tangan Kira mengencang tanpa sadar.Sementara Kira… hanya diam mematung dengan ekspresi terkejut yang berusaha ia sembunyikan. Kira menatap wanita itu dan Violet–yang duduk saling berhadapan, dengan tatapan penuh kebingungan dan keterkejutan.“Mami,” gumam Kai nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Kenapa Mami ada di sini?”Ya, wanita paruh baya itu adalah Grace.Grace tersenyum tipis. Namun, itu bukan senyuman hangat. Melainkan senyuman yang seolah menyimpan sesuatu.“Kebetulan sekali kalian datang,” kata Grace dengan tenang. Ia sama sekali tidak melirik Kira. “Ada yang ingin Mami bicarakan sama kamu, Kai.”Kai melirik Violet yang tampak seperti habis menangis. Violet seketika memalingkan wajahnya dari Kai. Tatapan Kai lalu tertuju pada Kira yang masih terdiam.“Ayo, kita duduk,” ucap Kai pada Kira.Kira menganggu
“Mana kopiku?” bisik Kai di dekat telinga Kira sambil memeluk Kira dari belakang. Kira sempat terkesiap sesaat, sebelum akhirnya ia sedikit menelengkan kepala agar bisa menatap suaminya. “Sebentar lagi selesai, Mas,” kata Kira sambil menunjuk mesin pembuat kopi yang sedang bekerja. Kai tersenyum kecil, lalu menaruh dagu di pundak Kira sambil memperhatikan mesin kopi dengan saksama. Seharian ini Kai diam di rumah, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Kira. Dan ternyata berinteraksi dengan Kira tanpa adanya ketegangan, terasa begitu menyenangkan dan menenangkan. Jika itu dulu, setiap kali libur kerja, Kai lebih memilih menyibukkan diri di ruangan kerjanya atau pergi bersama Violet. Namun hari ini berbeda. Sejak bangun pagi tadi, Kai belum melepaskan Kira dari pandangannya. Bahkan ketika Kira turun ke dapur untuk membuat sarapan, Kai tetap mengikutinya seperti bayangan yang enggan berpisah. Saat Kira pergi ke perpustakaan di rumahnya untuk membaca buku, Kai mengikutinya dan pu
Hal pertama yang Kira dapati saat ia membuka mata pagi itu adalah wajah Kaisar. Napas hangat Kai menerpa wajah Kira. Pelukan eratnya membuat Kira terkungkung dan sulit bergerak. ‘Kenapa jantungku selalu berdebar-debar?’ batin Kira seraya memandangi wajah Kai dengan tatapan dalam. Kira tidak tahu perasaan apa yang tengah ia rasakan saat ini. Yang jelas, perasaan itu terasa asing tapi menyenangkan. Dan entah sejak kapan memandangi wajah suaminya terasa begitu menenangkan. Tangan kanan Kira terangkat, ia menyapukan jemarinya dengan gerakan seringan kapas di pipi Kai yang ditumbuhi rambut-rambut halus. Kira tersenyum kecil saat mengingat bagaimana tegasnya wajah Kai ketika mengumumkan status pernikahan mereka tadi malam. “Terima kasih,” bisik Kira nyaris tak terdengar. Jemari Kira kini bergerak ke hidung tinggi Kaisar, lalu berakhir di bibir tipis yang semalam memagutnya habis-habisan. Mengingat apa yang Kai lakukan di lantai dansa, dan di kamar ini tadi malam, pipi Kira seketika m
Selama acara berlangsung, Kai benar-benar tidak melepaskan Kira dari genggamannya.Lelaki itu selalu membawa Kira ke manapun ia pergi. Kai menyapa para kolega yang datang, dan Kira selalu menemaninya.Hampir semua yang mereka temui memuji kecantikan Kira, dan hal itu membuat Kai semakin merangkul Kira dengan posesif.Apalagi saat Kai bertemu dengan Julian, ia semakin protektif pada Kira.Sementara itu, para wanita banyak yang menatap iri pada Kira, sebab Kira bisa menjadi pendamping seorang Kaisar yang digilai banyak wanita.Julian yang sedang menatap Kira dan Kai dari kejauhan, hanya tersenyum samar. Ia tak menyangka bahwa malam ini Kai akan membuat semua orang terkejut dengan pengakuannya tadi.“Kai… kurasa kamu benar-benar sudah berubah,” gumam Julian sebelum menyesap minumannya. “Tapi aku nggak akan tinggal diam kalau kamu sampai menyakitinya lagi.”“Pak Julian?” Seseorang menyapa Julian, membuat Julian sontak mengalihkan tatapannya ke arah kenalannya itu. Dan seketika Julian pun
Meski kepercayaan dirinya merosot, Kira tetap menegakkan kepalanya, tersenyum ramah pada kedua mertuanya yang masih ternganga melihat kedatangannya.“Selamat malam, Mi, Pi,” sapa Kai, “terima kasih sudah datang.”Ameer Milard–ayah Kai, yang tengah duduk menyesap minumannya hanya mengangguk.“Selamat malam, Kai, buat anak Mami satu-satunya ini nggak mungkin kami nggak datang.” Grace keluar dari ketersimaannya, lalu tersenyum sebelum memeluk Kai.Kai dengan terpaksa melepaskan tangan dari pinggang Kira demi memeluk sang ibu.“Kenapa kamu membawa Kira?” bisik Grace.Kai melepaskan pelukannya, lalu kembali merangkul Kira sambil tersenyum samar. “Kira istriku, Mi. Aku nggak mungkin meninggalkan dia sendirian di rumah.”Grace terkejut mendengarnya. Tadinya ia akan mengabaikan Kira, tapi karena ada kamera wartawan yang tengah menyorot mereka, Grace pun menyunggingkan senyuman lalu memeluk Kira.Kira yang menyadari bahw
“Kamu cantik sekali,” puji Kai untuk ke sekian kalinya malam itu.Ugh! Kira mengipasi pipinya yang mendadak panas. Entah mengapa setiap pujian yang keluar dari mulut Kai selalu membuat pipinya memanas dan jantungnya berdebar-debar. Padahal Kira ingat, lelaki itulah yang dulu memperlakukannya dengan dingin dan kejam.“Mas, berhenti memuji aku terus. Kamu terlalu berlebihan,” elak Kira.“Aku nggak berlebihan, Kira,” sanggah Kaisar seraya menatap Kira dengan tatapan sulit diartikan. “Bahkan, kata-kata cantik saja sama sekali nggak bisa mewakili kecantikan kamu.”Kira seketika mengalihkan pandangannya ke luar jendela, demi menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah semerah tomat sekarang.Melihat ekspresi Kira, Kai terkekeh kecil. Tangannya terulur, meraih tangan Kira dan menggenggamnya. Jari jemari panjangnya mengisi sela-sela jari Kira yang lentik.Sementara itu sopir tak berani mencuri-curi pandang melalui kaca spion, ia berusaha menulikan telinga karena sejak tadi majikannya itu terus m
Hari Sabtu siang, Kira baru saja selesai menyusui Luna, sebab sore ini ia tidak bisa menyusui bayi itu jadi jadwalnya dimajukan ke siang. Sore ini Kira akan menghadiri acara ulang tahun Milard Corp yang ke-50.“Sudah selesai?” bisik Kai yang duduk di belakang Kira, ia menaruh dagunya di bahu Kira dengan tatapan tertuju pada Luna yang tampak anteng di pelukan wanita itu.“Sudah, Mas. Luna kayaknya sudah kenyang.” Kira tersenyum menatap Luna, ibu jarinya menjawil pipi anak itu dengan gemas. Luna menggeliatkan tangannya ke atas sambil menguap.“Boleh aku gendong dia?”“Tentu saja. Kamu ayahnya.” Kira berdecak lidah sambil menoleh ke arah Kaisar.Kira memutar tubuhnya menghadap sang suami, lalu ia menyerahkan Luna ke pangkuan lelaki itu.Kai menerima Luna dengan hati-hati seolah tidak ingin menyakitinya. Tubuh gempal Luna tenggelam dalam pelukan sang ayah. Kai berdiri sambil meninabobokan putrinya.Pemandangan itu membuat hati Kira tiba-tiba diserang perasaan nyeri yang sulit ia jabarkan