Kira tidak mengerti apa yang merasuki atasan sekaligus suaminya itu. Wajah Kai tetap saja merengut.Bahkan saat berjalan kaki menuju ruangannya, Kai mengibaskan bagian bawah jas hitam yang ia kenakan ke belakang dengan kasar.Setiap karyawan yang ia lewati dan yang menatap Kira lebih dari dua kali, selalu mendapatkan tatapan tajam dari Kai.“Hari ini benar-benar melelahkan,” keluh Kira sambil mengempaskan tubuhnya di kursi yang ada di dalam ruangannya.CEO-nya yang hobinya mengamuk itu sudah masuk ke ruangannya beberapa saat yang lalu sambil membanting pintu.“Kira, gimana? Pertemuannya lancar?” tanya Lia yang menghampiri Kira dengan senyuman lebar. Lia menarik kursi, duduk di depan meja Kira.“Mm-hm. Diskusinya berjalan sedikit alot tapi semuanya lancar.” Kecuali mood bosnya yang sulit ditebak bagai cuaca akhir-akhir ini, lanjut Kira dalam hati.“Aku tahu kamu pasti bisa diandalkan, Kira.” Lia menatap pintu ruangan CEO dengan kening b
Rutinitas Kira sepulang kerja hari ini tidak jauh berbeda dengan kemarin-kemarin. Ia pulang bersama Kai–yang masih merengut. Lalu mandi dan makan malam. Setelah itu Kira akan pergi ke rumah Violet untuk menemui Luna dan memberikan stok ASI perah yang ia pompa siang tadi. Dan seperti biasa, Luna sedang menangis saat Kira datang, lalu tangisannya berhenti saat Luna berpindah ke pangkuan Kira. “Tadi siang anteng-anteng aja, Non. Tapi begitu jam lima, Luna langsung nangis kejer, kayaknya Luna tahu kalau Non Kira bakal datang. Mungkin kangen kali ya?” Rina menyampaikan kondisi Luna dengan jujur. Kira yang tengah menyusui Luna di dalam kamar pun tersenyum. Ia menunduk menatap wajah bayi yang semakin hari semakin berisi. Bahkan pipinya sudah terlihat agak chubby. “Beneran kamu kangen aku?” goda Kira sambil menjawil pipi Luna. “Udah mulai manja ya sekarang?” Kira terkekeh kecil. Mata Luna mengerjap pelan, s
“Honey, aku datang,” ucap Violet dengan suara yang lebih pelan sambil menghampiri Kai dan Kira. “Kamu nggak menyadari kedatanganku, ya?” Kai mengerjap. Ia menoleh dan terkejut seolah-olah baru menyadari bahwa Violet sudah pulang. Secara spontan Kai menarik tangan kanannya dari kepala Kira, membuat Kira terantuk lalu terbangun. “Oh? Sayang, aku pikir kamu nggak akan pulang,” gumam Kai sambil memundurkan tubuhnya dari Kira. Violet tersenyum. Ia bergelayut manja di lengan Kai. “Aku pulang karena aku kangen kamu dan Luna.” Kira yang baru terjaga pun mengerjapkan matanya. Lalu, ia tercenung begitu melihat pemandangan di hadapannya. “Violet, kamu sudah pulang?” ucap Kira dengan suara serak khas orang bangun tidur. Ia membetulkan posisi tubuhnya dan sempat mengecek Luna yang terlelap dalam pangkuannya. “Iya, tadinya aku masih ada kerjaan, tapi aku kangen Luna.” Violet tersenyum. “Terima kasih, Kira. Aku nggak tahu harus berbuat apa untuk mengungkapkan rasa terima kasihku.” Satu sudut
Entah perasaan Kira saja atau bukan, tapi Kira merasa… tatapan Julian sering tertuju ke arahnya selama rapat berlangsung. Kira sendiri memilih fokus pada catatan di tangannya–menulis poin-poin penting dalam pertemuan pagi itu. Saat Kira mendongak, ia melihat Julian tersenyum kecil ke arahnya, sebelum akhirnya Julian mengalihkan pandangan ke arah lain. Hal itu terjadi beberapa kali. Sementara di samping Kira, Kai berdiskusi dengan Julian dan juga seorang arsitek, membahas project rumah sakit yang akan mereka bangun bersama. Kai menyadari tatapan Julian sering tertuju pada Kira. Ia berusaha untuk tidak peduli. Toh, di kantor Kira hanyalah bawahannya. Namun, entah mengapa, tatapan intens Julian pada Kira lama kelamaan membuat Kai terusik. Saat coffee break berlangsung, ketiga pria di ruangan rapat itu mengobrol ringan. Kai menatap Julian yang tersenyum samar pada Kira, lalu Kai mengalihkan tatapannya ke arah Kira yang juga sedang tersenyum kikuk pada Julian. Julian dan Kira sal
[Jangan lupa makan biskuitnya untuk mengganjal perut.]Kira tersenyum kala membaca pesan yang baru saja dikirimkan Julian padanya. Julian sudah pergi hampir dua puluh menit yang lalu.Kira kemudian memotret plastik biskuit yang sudah habis ia makan, lalu mengirimkannya pada Julian.[Sudah aku habiskan. Terima kasih :).][Sama-sama. Setelah laporannya selesai, langsung cari makan. Jangan ngebiarin perut kosong,] balas Julian.Kira terkekeh kala membaca pesan tersebut. Memang tidak ada yang lucu dari pesan Julian, tapi Kira merasa senang saat membacanya. Walaupun hanya kata-kata sederhana, tapi selama ini Kira tidak pernah mendapatkan perhatian sekecil itu dari suaminya sendiri.[Siap, Bapak Julian yang terhormat :-D.] Kira membalas dan dibubuhi emot tertawa diakhir kalimat.Kira menaruh ponselnya kembali ke atas meja dan ia fokus mengerjakan laporan yang diminta Kai. Namun, belum sempat Kira mengetik, interkom di sudut mejanya berbunyi.“Kira, masuk ke ruanganku. Sekarang!” Siapa lagi
“Duduk!” titah Kai begitu Kira menutup pintu di belakangnya. “Temani aku makan.” “A-Apa?” Kira terperangah. Ia menatap Kai dengan tatapan tak percaya, lalu menatap makanan dari warteg yang sudah dihidangkan di atas piring. “Makan siang bersama Anda?” Kai mengempaskan bokongnya di sofa. “Ya. Kenapa? Keberatan?” tanyanya dengan suara yang terdengar jauh lebih rendah. Tentu saja Kira keberatan. Berada di dekat Kai saja sudah membuatnya jengkel dan lelah, apalagi jika harus makan bersama? Namun, sebagai asisten pribadi yang ingin mempertahankan profesionalitasnya, Kira lantas menjawab, “Tentu saja tidak, Tuan.” “Duduklah. Mau sampai kapan terus berdiri di situ?” Satu alis Kai terangkat sambil menatap Kira. “Itu makanan untukmu.” Kira akhirnya duduk di hadapan Kai. Ia sempat tertegun karena ternyata makanan yang ia pesan dari warteg itu adalah untuk dirinya. ‘Pantas saja dia nggak protes tadi,’ batin Kira sembari meraih sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi. Lantas keduanya
Kira menaruh ponselnya di atas meja, lalu ia menuangkan air ke dalam gelas dan meneguknya hingga habis.Ia baru saja pulang dari rumah Violet setelah menyusui Luna, oleh karena itu Kira merasa haus.Pada saat yang sama, Kai pun tiba di rumah. Pria itu baru saja pulang, entah dari mana. Sebab sore tadi Kai dan Kira tidak pulang bersama dari kantor.Kira pulang bersama sopir pukul empat sore. Sementara Kai pergi sendiri dan sempat berkata pada Kira bahwa ia akan pergi ke suatu tempat terlebih dulu. Namun, Kira yakin Kai bukan bertemu dengan Violet. Sebab Violet barusan ada di rumahnya.Kai mendekati Kira.Tanpa perlu menoleh, Kira sudah tahu Kai tengah menghampirinya dan menatap punggungnya.“Kamu baru saja pulang dari rumah Violet?” Suara bariton Kai terdengar di arah belakang.“Iya,” jawab Kira sebelum meneguk air putihnya lagi.“Bagaimana Luna?”“Kamu nggak tanya ke kekasihmu langsung, Mas?”Kai berdecak lidah. Ia berdiri menjulang di samping Kira. Mata elangnya menatap Kira dengan t
“Ini semua gara-gara kamu. Kalau sesuatu terjadi pada anakku, kamu harus bertanggung jawab!”Setelah mengatakan kalimat tersebut, Kai pun pergi bersama Violet dan Rina yang tengah menggendong Luna. Meninggalkan Kira yang tercenung sendirian. Dengan menggunakan mobil Violet, mereka pergi ke rumah sakit.Sementara itu, Kira masih berdiri membeku di tempatnya dengan perasaan nyeri saat melihat bagaimana Kai khawatir dan panik pada Luna.Tanpa sadar, kepalan tangan Kira mengepal kuat. Ingatannya kembali terbayang ke masa lalu, saat ia berjuang sendirian melahirkan Aksa dan Kai sama sekali tidak peduli di saat Aksa akan dimakamkan. Mengingat hal itu, mata Kira berkaca-kaca.‘Apa ini salahku?’ batin Kira dengan dada yang bergemuruh hebat. ‘Luna sakit karena aku?’Kira jadi menyalahkan diri sendiri. Ia melihat ke sekeliling dan rumah itu terasa sepi. Kai bahkan mengabaikannya.Kira lantas keluar dari rumah tersebut, tapi ia tidak ingin pulang ke rumah Kai.Dengan mata yang menggenang, Kira p
Seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan tengah duduk di sofa ruang tamu. Kai langsung mengernyit, langkahnya terhenti seketika. Tangannya yang menggenggam tangan Kira mengencang tanpa sadar.Sementara Kira… hanya diam mematung dengan ekspresi terkejut yang berusaha ia sembunyikan. Kira menatap wanita itu dan Violet–yang duduk saling berhadapan, dengan tatapan penuh kebingungan dan keterkejutan.“Mami,” gumam Kai nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Kenapa Mami ada di sini?”Ya, wanita paruh baya itu adalah Grace.Grace tersenyum tipis. Namun, itu bukan senyuman hangat. Melainkan senyuman yang seolah menyimpan sesuatu.“Kebetulan sekali kalian datang,” kata Grace dengan tenang. Ia sama sekali tidak melirik Kira. “Ada yang ingin Mami bicarakan sama kamu, Kai.”Kai melirik Violet yang tampak seperti habis menangis. Violet seketika memalingkan wajahnya dari Kai. Tatapan Kai lalu tertuju pada Kira yang masih terdiam.“Ayo, kita duduk,” ucap Kai pada Kira.Kira menganggu
“Mana kopiku?” bisik Kai di dekat telinga Kira sambil memeluk Kira dari belakang. Kira sempat terkesiap sesaat, sebelum akhirnya ia sedikit menelengkan kepala agar bisa menatap suaminya. “Sebentar lagi selesai, Mas,” kata Kira sambil menunjuk mesin pembuat kopi yang sedang bekerja. Kai tersenyum kecil, lalu menaruh dagu di pundak Kira sambil memperhatikan mesin kopi dengan saksama. Seharian ini Kai diam di rumah, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Kira. Dan ternyata berinteraksi dengan Kira tanpa adanya ketegangan, terasa begitu menyenangkan dan menenangkan. Jika itu dulu, setiap kali libur kerja, Kai lebih memilih menyibukkan diri di ruangan kerjanya atau pergi bersama Violet. Namun hari ini berbeda. Sejak bangun pagi tadi, Kai belum melepaskan Kira dari pandangannya. Bahkan ketika Kira turun ke dapur untuk membuat sarapan, Kai tetap mengikutinya seperti bayangan yang enggan berpisah. Saat Kira pergi ke perpustakaan di rumahnya untuk membaca buku, Kai mengikutinya dan pu
Hal pertama yang Kira dapati saat ia membuka mata pagi itu adalah wajah Kaisar. Napas hangat Kai menerpa wajah Kira. Pelukan eratnya membuat Kira terkungkung dan sulit bergerak. ‘Kenapa jantungku selalu berdebar-debar?’ batin Kira seraya memandangi wajah Kai dengan tatapan dalam. Kira tidak tahu perasaan apa yang tengah ia rasakan saat ini. Yang jelas, perasaan itu terasa asing tapi menyenangkan. Dan entah sejak kapan memandangi wajah suaminya terasa begitu menenangkan. Tangan kanan Kira terangkat, ia menyapukan jemarinya dengan gerakan seringan kapas di pipi Kai yang ditumbuhi rambut-rambut halus. Kira tersenyum kecil saat mengingat bagaimana tegasnya wajah Kai ketika mengumumkan status pernikahan mereka tadi malam. “Terima kasih,” bisik Kira nyaris tak terdengar. Jemari Kira kini bergerak ke hidung tinggi Kaisar, lalu berakhir di bibir tipis yang semalam memagutnya habis-habisan. Mengingat apa yang Kai lakukan di lantai dansa, dan di kamar ini tadi malam, pipi Kira seketika m
Selama acara berlangsung, Kai benar-benar tidak melepaskan Kira dari genggamannya.Lelaki itu selalu membawa Kira ke manapun ia pergi. Kai menyapa para kolega yang datang, dan Kira selalu menemaninya.Hampir semua yang mereka temui memuji kecantikan Kira, dan hal itu membuat Kai semakin merangkul Kira dengan posesif.Apalagi saat Kai bertemu dengan Julian, ia semakin protektif pada Kira.Sementara itu, para wanita banyak yang menatap iri pada Kira, sebab Kira bisa menjadi pendamping seorang Kaisar yang digilai banyak wanita.Julian yang sedang menatap Kira dan Kai dari kejauhan, hanya tersenyum samar. Ia tak menyangka bahwa malam ini Kai akan membuat semua orang terkejut dengan pengakuannya tadi.“Kai… kurasa kamu benar-benar sudah berubah,” gumam Julian sebelum menyesap minumannya. “Tapi aku nggak akan tinggal diam kalau kamu sampai menyakitinya lagi.”“Pak Julian?” Seseorang menyapa Julian, membuat Julian sontak mengalihkan tatapannya ke arah kenalannya itu. Dan seketika Julian pun
Meski kepercayaan dirinya merosot, Kira tetap menegakkan kepalanya, tersenyum ramah pada kedua mertuanya yang masih ternganga melihat kedatangannya.“Selamat malam, Mi, Pi,” sapa Kai, “terima kasih sudah datang.”Ameer Milard–ayah Kai, yang tengah duduk menyesap minumannya hanya mengangguk.“Selamat malam, Kai, buat anak Mami satu-satunya ini nggak mungkin kami nggak datang.” Grace keluar dari ketersimaannya, lalu tersenyum sebelum memeluk Kai.Kai dengan terpaksa melepaskan tangan dari pinggang Kira demi memeluk sang ibu.“Kenapa kamu membawa Kira?” bisik Grace.Kai melepaskan pelukannya, lalu kembali merangkul Kira sambil tersenyum samar. “Kira istriku, Mi. Aku nggak mungkin meninggalkan dia sendirian di rumah.”Grace terkejut mendengarnya. Tadinya ia akan mengabaikan Kira, tapi karena ada kamera wartawan yang tengah menyorot mereka, Grace pun menyunggingkan senyuman lalu memeluk Kira.Kira yang menyadari bahw
“Kamu cantik sekali,” puji Kai untuk ke sekian kalinya malam itu.Ugh! Kira mengipasi pipinya yang mendadak panas. Entah mengapa setiap pujian yang keluar dari mulut Kai selalu membuat pipinya memanas dan jantungnya berdebar-debar. Padahal Kira ingat, lelaki itulah yang dulu memperlakukannya dengan dingin dan kejam.“Mas, berhenti memuji aku terus. Kamu terlalu berlebihan,” elak Kira.“Aku nggak berlebihan, Kira,” sanggah Kaisar seraya menatap Kira dengan tatapan sulit diartikan. “Bahkan, kata-kata cantik saja sama sekali nggak bisa mewakili kecantikan kamu.”Kira seketika mengalihkan pandangannya ke luar jendela, demi menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah semerah tomat sekarang.Melihat ekspresi Kira, Kai terkekeh kecil. Tangannya terulur, meraih tangan Kira dan menggenggamnya. Jari jemari panjangnya mengisi sela-sela jari Kira yang lentik.Sementara itu sopir tak berani mencuri-curi pandang melalui kaca spion, ia berusaha menulikan telinga karena sejak tadi majikannya itu terus m
Hari Sabtu siang, Kira baru saja selesai menyusui Luna, sebab sore ini ia tidak bisa menyusui bayi itu jadi jadwalnya dimajukan ke siang. Sore ini Kira akan menghadiri acara ulang tahun Milard Corp yang ke-50.“Sudah selesai?” bisik Kai yang duduk di belakang Kira, ia menaruh dagunya di bahu Kira dengan tatapan tertuju pada Luna yang tampak anteng di pelukan wanita itu.“Sudah, Mas. Luna kayaknya sudah kenyang.” Kira tersenyum menatap Luna, ibu jarinya menjawil pipi anak itu dengan gemas. Luna menggeliatkan tangannya ke atas sambil menguap.“Boleh aku gendong dia?”“Tentu saja. Kamu ayahnya.” Kira berdecak lidah sambil menoleh ke arah Kaisar.Kira memutar tubuhnya menghadap sang suami, lalu ia menyerahkan Luna ke pangkuan lelaki itu.Kai menerima Luna dengan hati-hati seolah tidak ingin menyakitinya. Tubuh gempal Luna tenggelam dalam pelukan sang ayah. Kai berdiri sambil meninabobokan putrinya.Pemandangan itu membuat hati Kira tiba-tiba diserang perasaan nyeri yang sulit ia jabarkan
“Sekarang… aku boleh tidur di sini?” Kira menatap Kai dengan mata disipitkan. “Oh, makan malam tadi itu sogokan, ya?” “Tentu saja bukan,” sanggah Kai dengan cepat, seolah khawatir Kira akan salah paham. “Aku memang malu mengakui ini, tapi aku benar-benar nggak bisa tidur kalau sendirian lagi.” Mendengarnya, Kira terperangah. Sejak kapan Kai tidak bisa tidur sendiri? Bukankah dulu Kai setiap malam selalu tidur sendirian? Sekali lagi Kira menyipitkan mata, berusaha mencari-cari kebohongan dari raut muka suaminya. Namun, mata merah dan lingkaran hitam di bawah mata membuat Kira yakin bahwa Kai kurang tidur. “Baiklah,” ucap Kira akhirnya sambil membuka pintu lebar-lebar. “Kamu boleh masuk.” Sudut-sudut bibir Kai terangkat, membentuk senyuman kecil. Pria itu dengan cepat melenggang memasuki kamar sebelum Kira berubah pikiran. Lalu Kai merebahkan tubuhnya, berbaring miring sambil menopang kepala dengan satu tangan yang ditekuk. Tangannya yang terbebas menepuk space kosong di sebelahny
Kira baru keluar dari keterpakuannya saat tangannya digenggam oleh sebuah tangan yang lebar dan hangat. Ia mendongak, menatap suaminya yang saat itu tengah menatapnya.“Ayo,” ucap Kai sekali lagi sambil mengeratkan genggamannya, seolah-olah khawatir Kira akan menarik tangannya kembali.Lidah Kira mendadak terasa kelu seakan kehabisan kata-kata. Kakinya melangkah mengimbangi langkah kaki Kaisar yang pelan.Tatapan Kira kembali terpaku pada sebuah yacht yang menepi di dermaga. Kira sama sekali tidak menduga bahwa mereka akan makan malam di atas yacht yang sudah dihiasi lampu-lampu di sekelilingnya.Saat yacht itu sudah ada di hadapan mereka, terpaksa Kai melepaskan tangannya dan membiarkan Kira berjalan lebih dulu.“Hati-hati,” ucap Kai.Kira mengangguk, ia menaiki tangga yacht dengan jantung yang mendadak berdebar-debar. Ini pengalaman baru baginya. Bahkan sebelumnya Kira tak pernah berani bermimpi akan makan malam di tempat yang unik seperti ini.Tiba di dek atas, Kira terperangah mel