"Oh ... tadi habis ngajak Axelle jalan-jalan di halaman belakang."Marsel mengeryit. Dia menengok sebentar ke arah belakang. Rumput-rumput liar itu masih ada. Bahkan belum tampak berkurang."Katanya tadi mau bersih-bersih?""Belum sempat. Axelle rewel. Kan katamu kalau Axelle rewel aku harus pending pekerjaan lainnya."Marsel mengangguk ringan. Tapi dia tetap menaruh curiga pada Nawang. Diperhatikannya Nawang beserta Axelle. Marsel mencari hal yang bisa saja memberikan petunjuk. "Ya sudah. Aku mandiin Axelle dulu ya," pamit Nawang lalu melenggang pergi. Dia mengangkat tubuh Axelle dari dalam stroller lalu membawanya ke kamar mandi sambil menenteng sebuah kantong plastik berwarna hitam. "Apa isi dari kantong plastik itu ya?" pikir Marsel. Saat hendak berjalan pergi, tanpa sengaja dia kakinya tersandung roda stroller anaknya. "Aduh!" pekik Marsel sambil mengangkat sebelah kakinya ke atas. Dia lalu memandang ke bawah. Matanya melihat ceceran tanah di atas lantai. Marsel berjongkok.
"Kan ibu sendiri yang nyuruh Pak Marsel buat jangan belikan saya makanan yang mahal-mahal," sambar Nawang langsung. "Ya tapi ..." "Tapi apa, Bu?" Nawang tersenyum lebar. Sengaja dia menggoda perempuan itu. "Sini kalau ibu nggak doyan makanannya. Biar saya yang makan." Nawang hendak meraih makanan itu. Tapi Intan segera menjauhkannya dari jangkauan tangan Nawang. "Enak saja. Saya nggak akan kasih kamu makanan ini. Biar saja kamu mati kelaparan di sini," jawabnya kejam. Entah seberapa banyak umpatan yang tertahan di mulut Nawang. Ingin rasanya dia mengucap sumpah serapah untuk perempuan itu. Tak habis pikir rasanya. Selama ini dia sudah bekerja dengan baik merawat cucunya, tapi dia tidak pernah diberikan sebungkus makanan pun oleh perempuan itu.Intan pergi sambil menenteng kantong kresek berisi makanan-makanan yang baru saja dibeli oleh Marsel. Sampai di depan rumah, dia membuang semua makanan itu ke tong sampah. Lalu meninggalkannya pulang ke rumah. Nawang mulai berurai air mata
Riuh tawa menggema di sudut Restoran Piring Mas, sebuah restoran mahal di pusat kota. Langit-langit tinggi itu dihiasi lampu kristal. Empat perempuan duduk mengelilingi meja bundar dengan piring-piring porselen berisi hidangan mahal : foie gras, lobster thermidor dan salad yang lebih banyak hiasan daripada sayur. Intan memulai percakapan. Seperti biasanya, dia selalu membahas soal Nawang. Selalu dan tak pernah bosan. "Aku heran deh sama si Nawang," mulainya. Teman-temannya pun mulai menyimak. Mereka selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap keluhan Intan. "Heran kenapa lagi?" sahut Maria dengan santai sambil melahap makanannya. "Dia kayak nggak tersiksa gitu. Padahal setiap hari makanannya selalu aku ambil. Tapi dia nggak kelihatan lemas atau kelaparan," gumamnya lagi. "Kayak tahan banting gitu ya," sahut yang lain. "Iya. Padahal aku tahu dia nggak pernah megang uang. Gaji dia sudah dibayar di awal oleh Marsel. Untuk biaya operasi anaknya yang gagal itu.""Aku kalau lihat s
Setengah jam Intan hanya mendiamkan makanan tersebut. Dia berpikir keras. Mau diapakan makanan sebanyak itu sedangkan dia enggan memakannya. Jika dia memberikan makanan itu pada suaminya pun, suaminya akan curiga. Karena Intan jarang membeli makanan murah seperti itu. Biasanya selera Intan selalu tinggi. Tak ada pilihan lain selain membuangnya. Intan segera membawa makanan itu ke belakang sebelum ketahuan oleh suaminya. Kakinya melangkah dengan hati-hati. Untuk sampai di halaman belakang, Intan harus melewati kamar mandi. Dan suaminya sedang ada di dalam kamar mandi. Dia berjalan mengendap-ngendap seperti maling di rumahnya sendiri. Sesampainya di halaman belakang, tangan Intan segera mengangkat tutup tong sampah pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara. Saat Intan mengangkat kantong plastik besar berisi makanan itu dari tanah, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Lagi ngapain kamu?" Intan langsung menelan ludah saat mendengar suara itu. "Suamiku. Mampus aku!" rutuknya dal
Intan memandangi layar ponselnya dengan sorot mata menyala. Sebuah foto terpampang jelas, menampilkan sosok Nawang sedang mengendara motor matic sambil membawa satu kantong plastik besar berisi nasi kotak. Rahangnya mengeras. Napasnya memburu cepat. Jadi benar. Perempuan itu punya pekerjaan sampingan. Dia pikir Nawang akan terpuruk setelah diperlakukan tidak baik oleh dirinya. Tapi nyatanya, dia masih punya akal untuk mencari penghidupan lain.Intan menggertakkan gigi. Itu berarti rencananya selama ini untuk membuat Nawang menyerah dan minta pergi dari rumah Marsel gagal total. Perempuan itu ternyata lebih tangguh dari yang ia bayangkan. Dan itu membuatnya geram bukan main.Dengan cepat, ia meraih tas kecilnya dan bergegas ke pintu. Ia sudah bertekad untuk pergi ke rumah Marsel dan langsung melabrak Nawang. Akan dia buat Nawang menyesal karena berani melangkah di luar aturan yang Marsel buat.Namun langkahnya terhenti saat suara berat suaminya terdengar dari belakang. "Mau ke mana k
Intan menggenggam setir dengan erat. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Matanya fokus ke jalan tapi pikirannya menggelegak penuh amarah. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, mendumel sendiri meluapkan kekesalannya. Jalanan yang seharusnya menjadi jalur pulang biasa terasa seperti arena peperangan batin baginya. "Sialan, Maria!" gerutunya "Katanya foto itu adalah Nawang. Dia kerja nganterin makanan. Tapi kok tadi dia di rumah. Bikin aku malu saja. Untung aku belum maki-maki dia."Tanpa berpikir panjang, dia meraih handphone lalu menggeser layar, mencari nama Maria. Dering pertama belum selesai tapi Maria langsung menjawab. "Iya, gimana, Tan? Sudah puas melabrak si Nawang?" tanyanya sambil tertawa lepas. "Apanya yang dilabrak? Orang dia ada di rumah. Nggak kemana-mana. Kamu sengaja nipu aku ya," bentak Intan dengan kasar. "Nipu apaan? Orang bener kok yang aku lihat tadi si Nawang. Meskipun dia pakai helm dan aku foto dari samping. Tapi aku yakin itu si Nawang. Oh ... harusnya aku t
Bab 37 :Udara malam terasa dingin menusuk kulit saat Nawang dan Marsel akhirnya memutuskan untuk pulang. Axelle kecil, yang sejak sore tampak ceria, kini mulai menguap lebar, matanya yang bulat nyaris terpejam dalam gendongan Nawang. Marsel segera mengambil alih, membopong putranya dengan hati-hati. Ia tahu, udara malam yang seperti ini tidak baik untuk anak kecil, apalagi Axelle memang sedikit sensitif terhadap perubahan cuaca."Cepat masuk, Na. Udara makin dingin," perintah Marsel sambil membukakan pintu mobil. Mobil segera melaju pergi meninggalkan lapak penjual nasi goreng tersebut. Namun mereka berjanji akan datang kembali mengingat kelezatan rasa nasi goreng itu. Setelah mobil memasuki halaman, Nawang bergegas masuk sambil memeluk Axelle dengan erat. Axelle hanya meringkuk kecil di dada Nawang. Matanya sudah benar-benar tertutup. Nafasnya teratur dan tenang. "Langsung tidurkan saja di kamarnya. Terus kamu segera istirahat," perintah Marsel sekali lagi. Nawang pun mengangguk
Suasana restoran tampak elegan seperti biasa. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan bergaya kontemporer, lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan yang hangat, dan musik jazz lembut mengalun mengiringi perbincangan para tamu yang sebagian besar adalah kalangan elite kota ini. Di salah satu sudut, beberapa wanita duduk melingkar mengelilingi meja bundar berlapis marmer, dihiasi rangkaian bunga segar.Intan datang dengan langkah percaya diri, high heels-nya berdenting halus di atas lantai kayu. Tas desainer menggantung di lengannya, dan wangi parfum mahalnya menyertai setiap gerakannya. Dia tersenyum lebar, menyapa tiga sahabatnya yang sudah lebih dulu datang.“Sorry ya, agak telat. Ada urusan sebentar tadi,” kata Intan sambil menarik kursi dan duduk."Nggak apa-apa, Tan," jawab Lita, wanita berambut sebahu yang dikenal paling kalem di antara mereka. "Urusan apa, Tan? Memangnya apa aja kerjaanmu di rumah selain makan dan tidur?" timpal yang lain. "Eh ... enak saja. Aku ini peremp
Jepret ... jepret ... jepret ...Intan tersenyum puas sambil menatap layar handphone miliknya. Jaraknya memang cukup jauh. Namun kecanggihan handphone miliknya sanggup menangkap gambar Nawang dengan jelas yang sedang melayani beberapa pembeli. Seperti orang yang selalu menunggu waktu kemenangan, Intan membusungkan dada. "Siapa suruh melawanku. Sekarang terimalah akibatnya. Hahaha ..." Intan tertawa lebar. Seperti berhasil menangkap basah seorang pencuri. Foto-foto itu akan menjadi senjata pamungkas untuk menyingkirkan Nawang selama-lamanya dari rumah Marsel. "Setelah ini, kamu nggak akan pernah bisa lagi menginjakkan kaki di rumah anakku, Nawang. Nggak akan ada lagi kesempatan buat kamu deketin dia." Senyum di bibirnya mengembang. Setelah dirasa cukup, Intan kembali memacu mobilnya ke arah pulang. Dia tidak langsung pergi ke rumah Marsel. Percuma, Marsel belum ada di rumah jam segini. Sesampainya di rumah, dia kembali membuka galeri. Menelusuri foto-foto itu satu per satu. Ada y
Suasana restoran tampak elegan seperti biasa. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan bergaya kontemporer, lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan yang hangat, dan musik jazz lembut mengalun mengiringi perbincangan para tamu yang sebagian besar adalah kalangan elite kota ini. Di salah satu sudut, beberapa wanita duduk melingkar mengelilingi meja bundar berlapis marmer, dihiasi rangkaian bunga segar.Intan datang dengan langkah percaya diri, high heels-nya berdenting halus di atas lantai kayu. Tas desainer menggantung di lengannya, dan wangi parfum mahalnya menyertai setiap gerakannya. Dia tersenyum lebar, menyapa tiga sahabatnya yang sudah lebih dulu datang.“Sorry ya, agak telat. Ada urusan sebentar tadi,” kata Intan sambil menarik kursi dan duduk."Nggak apa-apa, Tan," jawab Lita, wanita berambut sebahu yang dikenal paling kalem di antara mereka. "Urusan apa, Tan? Memangnya apa aja kerjaanmu di rumah selain makan dan tidur?" timpal yang lain. "Eh ... enak saja. Aku ini peremp
Bab 37 :Udara malam terasa dingin menusuk kulit saat Nawang dan Marsel akhirnya memutuskan untuk pulang. Axelle kecil, yang sejak sore tampak ceria, kini mulai menguap lebar, matanya yang bulat nyaris terpejam dalam gendongan Nawang. Marsel segera mengambil alih, membopong putranya dengan hati-hati. Ia tahu, udara malam yang seperti ini tidak baik untuk anak kecil, apalagi Axelle memang sedikit sensitif terhadap perubahan cuaca."Cepat masuk, Na. Udara makin dingin," perintah Marsel sambil membukakan pintu mobil. Mobil segera melaju pergi meninggalkan lapak penjual nasi goreng tersebut. Namun mereka berjanji akan datang kembali mengingat kelezatan rasa nasi goreng itu. Setelah mobil memasuki halaman, Nawang bergegas masuk sambil memeluk Axelle dengan erat. Axelle hanya meringkuk kecil di dada Nawang. Matanya sudah benar-benar tertutup. Nafasnya teratur dan tenang. "Langsung tidurkan saja di kamarnya. Terus kamu segera istirahat," perintah Marsel sekali lagi. Nawang pun mengangguk
Intan menggenggam setir dengan erat. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Matanya fokus ke jalan tapi pikirannya menggelegak penuh amarah. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, mendumel sendiri meluapkan kekesalannya. Jalanan yang seharusnya menjadi jalur pulang biasa terasa seperti arena peperangan batin baginya. "Sialan, Maria!" gerutunya "Katanya foto itu adalah Nawang. Dia kerja nganterin makanan. Tapi kok tadi dia di rumah. Bikin aku malu saja. Untung aku belum maki-maki dia."Tanpa berpikir panjang, dia meraih handphone lalu menggeser layar, mencari nama Maria. Dering pertama belum selesai tapi Maria langsung menjawab. "Iya, gimana, Tan? Sudah puas melabrak si Nawang?" tanyanya sambil tertawa lepas. "Apanya yang dilabrak? Orang dia ada di rumah. Nggak kemana-mana. Kamu sengaja nipu aku ya," bentak Intan dengan kasar. "Nipu apaan? Orang bener kok yang aku lihat tadi si Nawang. Meskipun dia pakai helm dan aku foto dari samping. Tapi aku yakin itu si Nawang. Oh ... harusnya aku t
Intan memandangi layar ponselnya dengan sorot mata menyala. Sebuah foto terpampang jelas, menampilkan sosok Nawang sedang mengendara motor matic sambil membawa satu kantong plastik besar berisi nasi kotak. Rahangnya mengeras. Napasnya memburu cepat. Jadi benar. Perempuan itu punya pekerjaan sampingan. Dia pikir Nawang akan terpuruk setelah diperlakukan tidak baik oleh dirinya. Tapi nyatanya, dia masih punya akal untuk mencari penghidupan lain.Intan menggertakkan gigi. Itu berarti rencananya selama ini untuk membuat Nawang menyerah dan minta pergi dari rumah Marsel gagal total. Perempuan itu ternyata lebih tangguh dari yang ia bayangkan. Dan itu membuatnya geram bukan main.Dengan cepat, ia meraih tas kecilnya dan bergegas ke pintu. Ia sudah bertekad untuk pergi ke rumah Marsel dan langsung melabrak Nawang. Akan dia buat Nawang menyesal karena berani melangkah di luar aturan yang Marsel buat.Namun langkahnya terhenti saat suara berat suaminya terdengar dari belakang. "Mau ke mana k
Setengah jam Intan hanya mendiamkan makanan tersebut. Dia berpikir keras. Mau diapakan makanan sebanyak itu sedangkan dia enggan memakannya. Jika dia memberikan makanan itu pada suaminya pun, suaminya akan curiga. Karena Intan jarang membeli makanan murah seperti itu. Biasanya selera Intan selalu tinggi. Tak ada pilihan lain selain membuangnya. Intan segera membawa makanan itu ke belakang sebelum ketahuan oleh suaminya. Kakinya melangkah dengan hati-hati. Untuk sampai di halaman belakang, Intan harus melewati kamar mandi. Dan suaminya sedang ada di dalam kamar mandi. Dia berjalan mengendap-ngendap seperti maling di rumahnya sendiri. Sesampainya di halaman belakang, tangan Intan segera mengangkat tutup tong sampah pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara. Saat Intan mengangkat kantong plastik besar berisi makanan itu dari tanah, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. "Lagi ngapain kamu?" Intan langsung menelan ludah saat mendengar suara itu. "Suamiku. Mampus aku!" rutuknya dal
Riuh tawa menggema di sudut Restoran Piring Mas, sebuah restoran mahal di pusat kota. Langit-langit tinggi itu dihiasi lampu kristal. Empat perempuan duduk mengelilingi meja bundar dengan piring-piring porselen berisi hidangan mahal : foie gras, lobster thermidor dan salad yang lebih banyak hiasan daripada sayur. Intan memulai percakapan. Seperti biasanya, dia selalu membahas soal Nawang. Selalu dan tak pernah bosan. "Aku heran deh sama si Nawang," mulainya. Teman-temannya pun mulai menyimak. Mereka selalu menjadi pendengar yang baik untuk setiap keluhan Intan. "Heran kenapa lagi?" sahut Maria dengan santai sambil melahap makanannya. "Dia kayak nggak tersiksa gitu. Padahal setiap hari makanannya selalu aku ambil. Tapi dia nggak kelihatan lemas atau kelaparan," gumamnya lagi. "Kayak tahan banting gitu ya," sahut yang lain. "Iya. Padahal aku tahu dia nggak pernah megang uang. Gaji dia sudah dibayar di awal oleh Marsel. Untuk biaya operasi anaknya yang gagal itu.""Aku kalau lihat s
"Kan ibu sendiri yang nyuruh Pak Marsel buat jangan belikan saya makanan yang mahal-mahal," sambar Nawang langsung. "Ya tapi ..." "Tapi apa, Bu?" Nawang tersenyum lebar. Sengaja dia menggoda perempuan itu. "Sini kalau ibu nggak doyan makanannya. Biar saya yang makan." Nawang hendak meraih makanan itu. Tapi Intan segera menjauhkannya dari jangkauan tangan Nawang. "Enak saja. Saya nggak akan kasih kamu makanan ini. Biar saja kamu mati kelaparan di sini," jawabnya kejam. Entah seberapa banyak umpatan yang tertahan di mulut Nawang. Ingin rasanya dia mengucap sumpah serapah untuk perempuan itu. Tak habis pikir rasanya. Selama ini dia sudah bekerja dengan baik merawat cucunya, tapi dia tidak pernah diberikan sebungkus makanan pun oleh perempuan itu.Intan pergi sambil menenteng kantong kresek berisi makanan-makanan yang baru saja dibeli oleh Marsel. Sampai di depan rumah, dia membuang semua makanan itu ke tong sampah. Lalu meninggalkannya pulang ke rumah. Nawang mulai berurai air mata
"Oh ... tadi habis ngajak Axelle jalan-jalan di halaman belakang."Marsel mengeryit. Dia menengok sebentar ke arah belakang. Rumput-rumput liar itu masih ada. Bahkan belum tampak berkurang."Katanya tadi mau bersih-bersih?""Belum sempat. Axelle rewel. Kan katamu kalau Axelle rewel aku harus pending pekerjaan lainnya."Marsel mengangguk ringan. Tapi dia tetap menaruh curiga pada Nawang. Diperhatikannya Nawang beserta Axelle. Marsel mencari hal yang bisa saja memberikan petunjuk. "Ya sudah. Aku mandiin Axelle dulu ya," pamit Nawang lalu melenggang pergi. Dia mengangkat tubuh Axelle dari dalam stroller lalu membawanya ke kamar mandi sambil menenteng sebuah kantong plastik berwarna hitam. "Apa isi dari kantong plastik itu ya?" pikir Marsel. Saat hendak berjalan pergi, tanpa sengaja dia kakinya tersandung roda stroller anaknya. "Aduh!" pekik Marsel sambil mengangkat sebelah kakinya ke atas. Dia lalu memandang ke bawah. Matanya melihat ceceran tanah di atas lantai. Marsel berjongkok.