Nawang harus mencari uang dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat untuk biaya operasi anaknya. Dia mendengar informasi bahwa direktur rumah sakit tempat anaknya dirawat mempunyai bayi prematur yang membutuhkan ibu susu. Tapi ketika Nawang melamar sebagai ibu susu bayi tersebut dia terkejut karena ayah dari bayi itu adalah mantan kekasih yang dulu lamarannya pernah dia tolak. Apakah Nawang akan diterima sebagai ibu susu dari anak direktur tersebut?
Lihat lebih banyak"Setelah dilakukan pemeriksaan, bayi ibu mengalami kesulitan bernafas karena penyakit jantung bocor bawaan yang dideritanya sejak lahir. Saya sarankan agar anak ibu segera dioperasi." Ucapan dokter itu membuat Nawang hanya bisa meneguk ludah sendiri. Satu yang membuat kepalanya hampir pecah. Darimana dia bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi?
"Kira-kira berapa biaya operasinya, Dok?" tanya Nawang dengan sudut mata yang mulai basah.
"Mungkin sekitar dua ratus sampai lima ratus juta. Untuk rinciannya, ibu bisa tanya ke bagian resepsionis," jelas dokter itu lagi. Sedangkan Nawang hanya bisa menghela nafas panjang.
"Maaf, Bu, apa ibu punya BPJS?" Dokter tersebut mencoba memberikan solusi.
Nawang menggeleng pelan, "Nggak punya, Dok."
"Wah ... sayang sekali, Bu. Padahal jika ibu punya, itu bisa sedikit meringankan biaya operasi. Setidaknya mungkin bisa diusahakan untuk dicover separuhnya. Suami ibu kemana? Mungkin bisa dibicarakan dengan suami lagi soal saran saya ini."
Nawang merasa kedua pipinya mulai basah, "Suami saya sudah meninggal karena kecelekaan, Dok."
Satu bulan yang lalu dia baru saja berduka. Suami yang menjadi tulang punggung keluarga meninggal akibat kecelakaan tragis saat bekerja. Dia bekerja sebagai seorang ojek online. Entah karena mengantuk atau kelelahan, motor yang dia kendarai masuk ke kolong kontainer. Separuh badan lelaki itu pun hancur. Nawang bahkan langsung jatuh pingsan setelah mendatangi tempat kejadian.
Padahal mereka baru saja dikaruniai seorang anak. Bahkan anak mereka baru saja genap berusia satu bulan. Belum puas menimang anaknya, naas, lelaki itu harus meregang nyawa di tengah mengupayakan nafkah untuk keluarganya.
"Oh ... maaf, Bu. Saya tidak tahu." Raut wajah sang dokter berubah dipenuhi rasa bersalah.
"Nggak apa-apa, Dok. Kalau begitu saya permisi keluar dulu. Saya akan usahakan dapat uang secepatnya agar anak saya bisa cepat ditangani."
Nawang duduk lemas di lantai rumah sakit setelah keluar dari ruangan dokter. Sembari menatap handphone yang layarnya sudah retak di beberapa bagian, otaknya berpikir keras. Jangankan untuk biaya operasi yang jumlahnya ratusan juta, untuk membeli handphone baru yang sederhana saja dia tidak mampu. Handphone keluaran lama dalam genggamannya itu akan dia pertahankan selama masih bisa berfungsi.
"Aku harus nyari uang dimana untuk biaya operasi anakku?" Nawang mengulang kalimat itu di dalam kepala. Lambat laun, kepalanya semakin terasa berat.
Sejak pagi, perutnya belum terisi makanan. Lalu bunyi keroncongan pun terdengar. Nawang hanya bisa mengusap perutnya pelan. Dia merogoh saku. Hanya tersisa uang dua ribu rupiah saja di dalamnya.
"Bahkan nasi bungkus pun harganya masih lima ribu. Dua ribu cuma dapat apa?" Nawang menyapu wajahnya dengan telapak tangan yang kosong. Lagi-lagi dia harus menahan lapar.
Saat Nawang tengah dalam keputus-asaan, dua orang perawat melewatinya. Mereka berjalan sambil berbicara pelan. Namun telinga Nawang berhasil mendengar obrolan mereka.
"Eh ... kamu tahu nggak kalau istri direktur rumah sakit baru saja meninggal?" ucap perawat bertubuh gembul sambil sibuk mengunyah kue basah di mulutnya.
"Tahu sih. Terus gimana dengan anaknya ya? Perasaan dia baru saja melahirkan anak prematur," sambung perempuan bertubuh tinggi langsing di sampingnya.
"Nah ... itu yang lagi heboh. Masak kamu nggak denger kabar sama sekali?"
"Apaan? Kepo nih!"
"Si pak direktur lagi buka lowongan buat jadi ibu susu anaknya. Bayi prematur kan butuh ASI. Gimana? Kamu tertarik?" ucapnya sembari mengangkat sebelah alisnya.
"Gila kamu! Aku nikah aja belum gimana mau jadi ibu susu. Ngerasain hamil aja belum pernah."
Seketika Nawang bangkit berdiri. Dia merasa mendapatkan jalan keluar dari masalahnya. Lekas dia berlari mengejar dua perawat itu. Kebetulan mereka berjalan belum terlalu jauh.
"Mbak ... mbak perawat ... tunggu!" Nawang mencoba memanggil dua perawat tersebut.
Merasa ada yang memanggil, mereka pun menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.
"Ibu manggil kita?" tanya perawat gendut tersebut.
"Iya. Maaf saya mau bertanya sama kalian. Tadi saya dengar ada yang lagi nyari ibu susu. Boleh saya minta kontaknya?" tanya Nawang dengan tatapan penuh harapan. Lalu anggukan dua perawat tersebut terasa bagai oase yang menyejukkan baginya.
***
Mata Nawang menatap takjub bangunan rumah mewah bernuansa putih di hadapannya. Rumah dua lantai itu berdiri megah, berada di tengah kawasan elit orang-orang berduit. Nawang mendekatkan diri ke depan pagar. Dari luar dia bisa melihat halaman depan yang begitu luas. Beberapa karangan bunga berisi ucapan bela sungkawa atas kepergian sang istri masih tertata rapi.
"Maaf, Mbak, nyari siapa?" tanya seorang security setelah membukakan pagar.
"Saya dengar disini lagi buka lowongan, Pak. Tuan rumah butuh ibu susu untuk anaknya. Apa lowongannya masih ada? Saya mau melamarnya."
Security itu menatap Nawang dari atas ke bawah. Dia agak heran melihat perempuan polos tersebut. Tak ada make up yang menyapu wajahnya. Bahkan baju yang dia kenakan pun terlihat kusut dengan beberapa bagian yang dijahit seadannya demi menutup bagian yang sobek.
Dia datang hanya mengenakan sendal jepit yang permukannya sudah menipis. Tertusuk duri kecil saja pasti akan langsung melukai kakinya. Keadaannya memprihatinkan. Tapi dia tak pernah mempedulikan diri sendiri. Yang ada di pikiran dia saat ini adalah bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang singkat.
"Masih, Mbak. Mari saya antar bertemu tuan rumah."
Nawang segera berjalan mengekor security tersebut dengan langkah hati-hati. Sedangkan matanya tidak berhenti memperhatikan sekeliling.
Keduanya sampai di depan pintu. Security tersebut menyuruh Nawang menunggu sebentar sementara security itu memanggil majikannya. Tak lama kemudian seorang pria tampan keluar dari dalam rumah.
Seketika kaki Nawang serasa membeku. Lidahnya terasa kelu. Dia sampai tak bisa berkata-kata. Begitu juga dengan pria tersebut. Tak menyangka bahwa dia akan bertemu dengan perempuan itu dalam situasi seperti ini.
"Nawang!"
"Marsel!"
Keduanya saling menyebut nama lawan bicaranya. Sedangkan security itu hanya terpaku dengan mulut melongo.
"Lho, bapak kenal dengan perempuan ini?" dia tampak tak percaya.
Bukan hanya sekedar saling kenal. Nawang adalah perempuan yang dulu pernah menolak lamaran Marsel. Merasa pernah dipatahkan hatinya, rasanya enggan sekali Marsel melihat kembali wajah itu. Dulu Nawang adalah pujaan hatinya. Tapi sekarang dia tak lebih dari sekedar pemberi luka.
"Aku ingin melamar pekerjaan menjadi ibu susu untuk anakmu," Nawang akhirnya mengatakan tujuannya.
Marsel semakin bimbang. Haruskah dia menerima Nawang sebagai ibu susu untuk anaknya? Sedangkan luka lama yang ditorehkan oleh Nawang masih terasa menyakitkan sampai sekarang.
***
"Apa Marsel akan menerima perempuan itu menjadi istrinya?" Nawang duduk sambil memeluk lutut di atas lantai kamar Axelle. Tembok bercat putih di hadapannya menjadi saksi kegelisahan hatinya. "Kalau iya, berarti aku sudah nggak ada kesempatan buat kembali sama dia," pikirnya lagi. Benih cinta yang mulai tumbuh kembali di antara mereka kembali membuat suasana hatinya ditumbuhi rasa cemburu. "Ah ... kenapa aku jadi mikir begini? Jelas saja Marsel akan menerima perempuan itu. Sudah cantik, kaya dan yang pasti direstui sama mamanya. Sadar diri dong, Nawang. Kamu ini siapa. Hanya pembantu di rumah ini." Nawang terus merutuki dirinya sendiri dalam hati. Meski dia sudah mengakui akan perasaan yang mulai kembali berkembang itu, Nawang harus tetap memiliki pikiran untuk sadar diri. Sementara suasana di ruang tamu berubah menjadi tegang. Bahkan Marsel berusaha menghindari kontak mata dengan Luna. Bukan karena dia takut akan jatuh cinta dengan Luna, tapi karena dia tidak nyaman duduk bersama
"Selamat pagi, Tante!" Intan langsung membelalak melihat siapa yang berdiri di depannya setelah pintu terbuka. Luna tersenyum lebar dan terlihat begitu manis. "Wah ... pagi-pagi aku kedatangan tamu istimewa. Yuk masuk, Lun!" Intan menyambutnya dengan suka cita. "Duduk sebentar! Kamu mau minum apa? Biar Tante buatkan.""Apa saja, Tante.""Mau susu atau jus?""Em ... jus juga boleh, Tante.""Oke. Tante buatkan jus alpukat khusus buat kamu.""Terima kasih banyak, Tante. Maaf kalau merepotkan.""Ah ... nggak apa-apa. Justru Tante senang sekali kamu mau main ke sini. Karena itu tandanya ..." Intan tak melanjutkan ucapannya. Tapi wajahnya bersemu merah. Dia tahu ini artinya Luna menyetujui tawaran dia tempo hari. Intan melangkah penuh semangat menuju dapur, memilih buah alpukat terbaik di dalam kulkas dan menghaluskannya dengan blender. Dia sedang menyiapkan minuman spesial untuk calon menantu kesayangannya. "Bikin jus buat siapa? Kenapa sambil senyum-senyum gitu? Bikinin juga buat aku
"Lho, Pak Marsel, mau ke mana?" sergah kedua anak buahnya saat Marsel hendak menuju sebuah toko perhiasan di depannya. "Mau ke sana," tunjuknya. Mereka berdua sejenak saling pandang. "Jadinya mau dibelikan perhiasan emas, Pak?" tanya mereka seolah tak percaya. Marsel mengangguk. "Iya. Kalian tunggu di sini saja!" perintahnya. "Baik, Pak," jawab mereka serempak. Setelah Marsel melangkah pergi, mereka berdua mulai membicarakan bosnya tersebut."Baru kali ini ada pembantu ulang tahun dikasih perhiasan emas sama bosnya," ujar pria pertama. "Iya. Aku juga. Ini si Nawang yang beruntung apa Pak Marsel sih yang ...""Yang apa?""Em ... anu ..." dia garuk-garuk kepala "Kamu ngerasa ada yang aneh nggak sih di antara mereka?""Iya sih. Jangan-jangan mereka pacaran!""Bisa jadi. Kalau emang iya, wah ... tuh perempuan hokinya dobel.""Nggak heran sih. Dia memang cantik, anggun, baik, telaten, sayang sama Axelle. Minusnya satu saja.""Apa?""Nggak punya harta. Kayak kita.""Mangkanya mamanya
Dahi Luna mengeryit. Memang dulu dia sempat naksir dengan mantan suami kakaknya itu. Tapi apa turun ranjang adalah pilihan terbaik? "Tapi Kak Marsel mana mau dengan saya, Tante?" "Ah ... pasti mau. Dia itu nurut kalau sama tante. Lagian masak iya dia mau nolak perempuan cantik kayak kamu begini," jawab Intan begitu percaya diri. "Nanti saya pikir-pikir lagi ya, Te. Saya bicarakan dulu sama orang tua saya.""Iya nggak apa-apa. Tapi kalau bisa jangan lama-lama ya mikirnya.""Memangnya kenapa, Tante?""Marsel itu udah ngebet pengin nikah lagi. Daripada dia salah orang. Ya kan?"Luna hanya tersenyum simpul. Dalam hati dia sedikit risih karena terus didesak untuk segera memberi keputusan. Seolah memutuskan untuk menikah dengan seseorang segampang memilih jeruk satu kilo di tukang buah. "Oiya ... Tante boleh minta nomor teleponmu? Atau kamu save kontak tante." Intan dengan sigap menyodorkan ponselnya pada Luna. Luna pun tak enak hati untuk menolaknya. "Kak Marsel ganteng sih tapi maman
"Yang pasti dia yang bibit bebet bobotnya bagus. Nggak kayak si Nawang."Marsel mendesis pelan. Rencana apalagi yang sedang mamanya susun untuknya? Padahal benih-benih cinta antara Nawang dengan Marsel sudah mulai tumbuh kembali. "Jangan asal bicara! Aku ingin tahu siapa orangnya. Biar aku nilai seberapa pantas dia buat Marsel," sahut suaminya. Intan yang semula percaya diri mendadak lesu. Sebenarnya dia sendiri belum mendapatkan siapa perempuan yang kira-kira cocok untuk menjadi pendamping hidup Marsel. Tapi dia sudah terlanjur keceplosan akan mencarikannya. "Tenang saja. Nanti akan ku bawa dia ke hadapanmu," ucap Intan sambil berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Oke. Aku tunggu. Tenang saja, Sel, papa akan menilai dengan sportif. Kalau papa nggak cocok, papa nggak akan rekomendasikan ke kamu," ujar laki-laki itu sambil menatap wajah istrinya dengan tajam. "Ah ... sudahlah. Mama sama papa ini malah lama-lama ngaco. Siapa juga yang mau nikah lagi. Orang aku masih sibuk sama ke
"Kamu mau ikut?" Marsel menawari Nawang. "Nggak usah. Selesaikan saja urusan ini dengan mamamu sendirian. Aku malas," tolak Nawang. Dia memang tidak mau berurusan lagi dengan Intan. Perempuan tua itu sudah membuat hidupnya susah. "Ya sudah kalau gitu. Kamu jagain saja Axelle di rumah. Ingat, jangan kerja di warung itu lagi! Sekarang nggak akan ada yang berani ngambil jatah makanmu lagi. Aku jamin!" Pesan Marsel sebelum pergi."Iya. Siap bos!" Nawang mengangkat telapak tangannya di samping pelipis.Mobil Marsel berjalan pergi meninggalkan rumah. Selama di perjalanan, Marsel banyak memikirkan Nawang. Rasa bersalah terus menghujaninya. "Andai aku bisa membongkar kelakuan mama dari dulu. Nawang nggak perlu susah-susah kerja di tempat lain. Bawa Axelle pula. Dan salutnya, dia nggak pernah bilang ke aku tentang apa yang dia alami. Hanya karena dia nggak mau pisah sama Axelle. Nawang ... setulus itu kasih sayangmu pada anakku." Marsel terus bergumam sendiri. Ketulusan hati Nawang semakin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen