"Perbanyak lagi usaha mencari ibu susu untuk anakku! Harus dapat hari ini juga!" Perintah Marsel pada dua anak buahnya.
"Tapi, Pak, kita sudah berusaha semaksimal mungkin," jawab salah satu anak buahnya sembari menunduk takut.
"Tinggikan lagi imbalannya. Masak masih nggak ada yang mau?" Marsel menghembuskan nafas kesal. Pikirannya mulai buntu.
"Mau ditinggikan berapa lagi, Pak?"
"Berapa saja akan saya bayar," tegas Marsel sekali lagi.
"Sebar pengumuman lebih banyak lagi di media. Datangi stasiun televisi dan radio-radio. Pokoknya bagaimana pun caranya hari ini anak saya harus cepat dapat ASI."
Marsel mulai gundah. Rasa khawatir pada anaknya menekan pikirannya dengan kuat. Sebenarnya ada setitik rasa sesal kenapa waktu itu dia menolak Nawang. Sekarang dia mulai kebingungan sendiri karena tak kunjung mendapatkan ibu susu untuk anaknya. Kadang rasa gengsi memang bisa menyesatkan diri sendiri.
Dua laki-laki itu pergi dari hadapan Marsel untuk segera melaksanakan perintah. Sambil berjalan keluar rumah, mereka saling mendumel.
"Enak ya jadi orang kaya. Butuh apa-apa tinggal merintah saja. Emangnya gampang apa nyari ibu susu buat anaknya?" ucap laki-laki bertubuh jangkung yang berjalan di sebelah kiri.
"Dulu Pak Marsel nggak kayak gitu kok. Aku udah lama kerja sama dia. Mungkin sekarang emang pikirannya lagi sumpek saja. Maklum lah. Pertama kali punya anak, langsung keturutan dapat anak laki-laki, eh ... istrinya meninggal. Siapa yang nggak bingung coba?" sambung laki-laki satunya.
"Tapi kemarin aku dengar dari pak satpam, sudah ada perempuan yang kesini buat melamar jadi ibu susu."
"Ah ... yang benar? Terus mana dia?"
"Nggak tahu. Coba deh tanya sama pak satpam?"
Kedua laki-laki itu berhenti tepat di depan pos satpam. Melihat dua anak buah bos-nya celingukan, pak satpam langsung keluar dari ruangan kecil tempatnya bekerja itu.
"Ada apa kalian celingukan?"
"Eh ... Pak, kita mau tanya. Apa benar kemarin sudah ada perempuan yang melamar jadi ibu susu kesini?" tanyanya langsung menjurus.
"Iya benar. Tapi kan sudah dapat kata Pak Marsel."
Dua laki-laki itu tampak bingung. Mereka saling tatap dengan alis mengkerut.
"Dapat apanya? Ini kita disuruh nyari. Hari ini harus dapat. Terus kita harus nyari kemana?"
"Lah ... saya nggak tahu. Orang Pak Marsel bilang sendiri di depan mata saya kalau dia katanya sudah dapat ibu susu. Sumpah." Pak satpam mengangkat dua jarinya ke udara.
"Emang aneh itu bos kita. Pas ada yang datang ngelamar, ditolak. Terus sekarang kita disuruh nyari lagi. Emang nyari ibu susu spek yang gimana sih?" gerutunya.
"Yang kayak Ariel Tatum kali," canda teman di sampingnya. Mereka bertiga saling menggeleng-gelengkan kepala.
Dua orang suruhannya pergi mengelilingi stasiun televisi dan radio di kota, membawa pengumuman lowongan untuk menjadi ibu susu tersebut. Mereka juga menambahkan, untuk masalah imbalan bisa dibicarakan jika sang pelamar meminta imbalan dalam jumlah tinggi.
Sementara itu, Marsel mengendari mobil menuju rumah sakit dengan konsentrasi terpecah. Bagaimana kalau dia telat mendapat ibu susu? Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengan anaknya?
Marsel memukul-mukul setir dengan tangan kosong. Dia mendadak merasa seperti orang bodoh. Kenapa dia tidak berpikir panjang sewaktu menolak Nawang? Kenapa dia termakan gengsi dan tidak memprioritaskan kepentingan anaknya? Satu per satu sesal datang menghujani pikiran Marsel.
"Haruskah darah orang yang sudah menyakitiku mengalir di dalam tubuh anakku?" Pikiran Marsel terus berperang.
Mobil berbelok ke area rumah sakit. Marsel segera berjalan masuk setelah memarkirkan mobil di barisan parkir dokter. Dia berjalan tergesa-gesa menuju ruangan dimana anaknya dirawat. Namun langkahnya terhenti saat melihat Nawang sedang tertidur dengan raut wajah lelah. Beralaskan tikar seadanya tanpa bantal dan selimut. Nawang tidur meringkuk sambil menahan dinginnya lantai rumah sakit.
Marsel berjalan pelan agar suara langkah kakinya tidak mengganggu istirahat Nawang. Tapi hatinya pelan-pelan mulai terketuk. Dia memanggil perawat yang sedang bertugas di dalam ruang NICU untuk bertanya beberapa hal.
"Sus, anaknya ibu itu sakit apa ya?" Marsel akhirnya membulatkan tekat untuk bertanya hal tersebut. Sebelumnya memang dia abai, tak peduli dengan apa yang Nawang alami. Tapi lama kelamaan, hati nuraninya mulai berbicara agar dia mau menolong Nawang.
"Jantung bocor, Dok. Sebenarnya dokter sudah menyuruh operasi. Tapi orang tuanya belum punya uang. Kenapa memangnya, Pak?"
Marsel meneguk ludah. Dia menoleh dan menatap wajah Nawang sekali lagi. Wajah itu tampak begitu lelah. Pakaian yang dia kenakan juga masih sama seperti hari-hari lalu. Jilbabnya lusuh. Mungkin dia tak terpikir lagi untuk mengganti pakaian. Semua pikirannya sudah habis untuk memikirkan kesembuhan anaknya.
"Jadi itu alasan dia melamar sebagai ibu susu anakku?" pikir Marsel dalam hati. Ingin sekali dia mendekati Nawang. Namun dia tak ingin mengganggu tidurnya. Sepertinya dia tertidur juga karena sudah benar-benar lelah.
Marsel berjalan pergi meninggalkan ruang PICU NICU. Dia menuju ruang kerjanya lalu menelepon anak buahnya. Menanyakan perkembangan dari usaha mereka. Apakah sudah membuahkan hasil atau belum?
"Hallo, Pak! Ada apa?" tanya Rendy, salah satu anak buah Marsel.
"Posisimu sekarang dimana?"
"Saya lagi di radio Gema Suara, Pak."
"Gimana? Apa sudah ada perkembangan?"
"Maaf, Pak. Belum ada. Bahkan kontak saya sudah saya sebar. Barangkali ada yang mau bisa langsung menghubungi saya."
Marsel menarik nafas dalam. Lalu menghembuskannya dengan kasar. Dia harus cepat mendapatkan ibu susu untuk anaknya hari ini. Dan pilihan satu-satunya hanya Nawang.
Setelah menimang beberapa kali, akhirnya dia mengambil keputusan final. Dia akan pergi menemui Nawang untuk menerimanya sebagai ibu susu.
"Hentikan pencarian! Saya sudah mendapatkan ibu susu tersebut," perintah Marsel sekali lagi pada Rendy.
"Ha? Bapak serius? Nemu dimana, Pak?" Rendy penasaran.
"Sudah. Jangan banyak tanya! Lebih baik sekarang kamu cepat ke rumah sakit. Bawa surat perjanjian kontrak yang akan dia tanda tangani. Jangan lupa kasih materai!"
"Baik, Pak. Siap. Laksanakan!"
Setelah mematikan telepon, dia segera meminta salah satu perawat untuk memberitahu Nawang agar menemui Marsel di ruangannya. Keduanya sedang dalam keadaan terhimpit. Mungkin ini saatnya keduanya saling membantu.
Lima menit kemudian, Nawang mengetuk pintu ruangan Marsel. Marsel pun menyuruhnya untuk masuk.
"Ba ... bapak manggil saya?" tanya Nawang tergagap. Dia masih tidak menyangka, Marsel tiba-tiba memanggilnya.
"Iya. Duduklah! Ada yang mau saya bicarakan."
Nawang duduk dengan hati-hati. Badannya mulai panas dingin. Bahkan dia mengeratkan kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri.
"Saya kemarin tanya ke perawat tentang penyakit anakmu. Kata dokter, dia harus segera dioperasi. Benar begitu?" tanya Marsel sedikit berbasa-basi.
Nawang mengangguk, "Iya, Pak. Tapi saya nggak punya uang buat bayar biaya operasinya."
Marsel mengangguk. Dan tanpa dijelaskan pun, Marsel paham mengapa Nawang melakukannya.
Marsel menatap lurus kedua mata Nawang. "Jadi sekarang apa kamu masih mau menjadi ibu susu untuk anakku?"
***
Luna memalingkan wajah sejenak sambil cemberut. Tangannya ditekuk di depan dada. Diam-diam dia menghembuskan napas kesal. "Sial! Ternyata dia curiga kalau itu bukan masakanku," gerutunya dalam hati. Tapi tekat untuk meluluhkan hati Marsel tidak pudar. "Masak Kak Marsel nggak percaya sih? Tadi aku beneran belajar masak dengan mamaku," kilahnya. Dia tidak begitu saja putus asa. Meski Marsel belum sepenuhnya percaya, dia memberi anggukan kecil sekedar untuk menghargai."Oke lah. Aku makan ya." Marsel mulai menyendok makanan itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia tampak mengunyah sambil mengoreksi rasanya. "Rasanya lumayan. Enak juga," ucapnya sambil manggut-manggut "Mamamu pintar masak ya?"Luna langsung tersenyum lebar. Wajahnya sumringah. Walaupun itu sebuah kebohongan, tak apa. Yang penting Marsel tampak menyukai makanan yang dia bawa. "Syukurlah kalau Kak Marsel suka. Besok aku bawain makan siang lagi ya. Mau aku masakin apa?" tanyanya dengan antusias. "Oh ... nggak usah rep
"Eng-enggak apa-apa kok, Kak. Cuma ngobrol biasa. Tante tanya gimana kabarku selama ini," kilah Luna. Matanya tak berani menatap Marsel lama. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain setelah menjawab pertanyaan Marsel. "Yakin? Aku lihat kalian ngobrol serius banget lho," tanya Marsel lagi sambil bersendekap dada. "Iya, Kak. Memangnya Kak Marsel mikirnya kita lagi ngobrolin apa?" Marsel membuang napas kecil. "Nggak apa-apa. Ya sudah. Lupakan saja.""Kalau gitu aku pamit dulu ya, Kak," ujar Luna buru-buru. Dia bergegas keluar rumah dan masuk ke dalam mobil. "Hampir saja aku ketahuan. Aku harus menghubungi Tante Intan lagi buat menyusun rencana selanjutnya," ucap Luna sendiri sambil fokus mengemudi. ***Hari demi hari, Luna semakin berambisi untuk mendapatkan Marsel. Dia semakin tertantang dan tidak rela jika posisi kakaknya digantikan oleh seorang pembantu. "Apa yang harus saya lakukan, Tante?" tanya Luna saat mengajak Intan bertemu di sebuah restoran mewah untuk makan siang bersama
Lama-lama rasa penasaran Luna pun mulai terpatik. Dia yang dulu memang pernah naksir dengan Marsel mulai tertarik untuk bersaing dengan Nawang. "Kayaknya seru nih kalau aku rebut Kak Marsel dari Nawang. Lagian nggak ada salahnya kan? Mereka belum menikah. Dan Kak Marsel lebih cocok bersanding denganku daripada sama si pembantu itu." Rencana jahat mulai muncul di kepala Luna. "Aku harus temui Tante Intan lagi." Luna bergegas kembali mencari mamanya Marsel. Dia berjalan sembari tersenyum lebar. Seolah kemenangan sudah pasti berada di tangannya. "Tante!" panggilnya, saat Intan sedang asyik melihat bunga-bunga mawar yang bermekaran di taman depan rumah. "Eh ... Luna. Kenapa? Udah selesai kelilingnya?" tanya Intan balik. "Sudah, Tante. Tapi, Te, tadi aku lihat Kak Marsel lagi berduaan sama Nawang di kamar Axelle. Mereka lagi ngobrol apa ya? Apa lagi bahas aku ya? Aku jadi nggak enak nih, Te," pancing Luna. Seketika wajah Intan pun merah padam. "Apa? Mereka lagi berduaan? Ini nggak bi
"Apa Marsel akan menerima perempuan itu menjadi istrinya?" Nawang duduk sambil memeluk lutut di atas lantai kamar Axelle. Tembok bercat putih di hadapannya menjadi saksi kegelisahan hatinya. "Kalau iya, berarti aku sudah nggak ada kesempatan buat kembali sama dia," pikirnya lagi. Benih cinta yang mulai tumbuh kembali di antara mereka kembali membuat suasana hatinya ditumbuhi rasa cemburu. "Ah ... kenapa aku jadi mikir begini? Jelas saja Marsel akan menerima perempuan itu. Sudah cantik, kaya dan yang pasti direstui sama mamanya. Sadar diri dong, Nawang. Kamu ini siapa. Hanya pembantu di rumah ini." Nawang terus merutuki dirinya sendiri dalam hati. Meski dia sudah mengakui akan perasaan yang mulai kembali berkembang itu, Nawang harus tetap memiliki pikiran untuk sadar diri. Sementara suasana di ruang tamu berubah menjadi tegang. Bahkan Marsel berusaha menghindari kontak mata dengan Luna. Bukan karena dia takut akan jatuh cinta dengan Luna, tapi karena dia tidak nyaman duduk bersama
"Selamat pagi, Tante!" Intan langsung membelalak melihat siapa yang berdiri di depannya setelah pintu terbuka. Luna tersenyum lebar dan terlihat begitu manis. "Wah ... pagi-pagi aku kedatangan tamu istimewa. Yuk masuk, Lun!" Intan menyambutnya dengan suka cita. "Duduk sebentar! Kamu mau minum apa? Biar Tante buatkan.""Apa saja, Tante.""Mau susu atau jus?""Em ... jus juga boleh, Tante.""Oke. Tante buatkan jus alpukat khusus buat kamu.""Terima kasih banyak, Tante. Maaf kalau merepotkan.""Ah ... nggak apa-apa. Justru Tante senang sekali kamu mau main ke sini. Karena itu tandanya ..." Intan tak melanjutkan ucapannya. Tapi wajahnya bersemu merah. Dia tahu ini artinya Luna menyetujui tawaran dia tempo hari. Intan melangkah penuh semangat menuju dapur, memilih buah alpukat terbaik di dalam kulkas dan menghaluskannya dengan blender. Dia sedang menyiapkan minuman spesial untuk calon menantu kesayangannya. "Bikin jus buat siapa? Kenapa sambil senyum-senyum gitu? Bikinin juga buat aku
"Lho, Pak Marsel, mau ke mana?" sergah kedua anak buahnya saat Marsel hendak menuju sebuah toko perhiasan di depannya. "Mau ke sana," tunjuknya. Mereka berdua sejenak saling pandang. "Jadinya mau dibelikan perhiasan emas, Pak?" tanya mereka seolah tak percaya. Marsel mengangguk. "Iya. Kalian tunggu di sini saja!" perintahnya. "Baik, Pak," jawab mereka serempak. Setelah Marsel melangkah pergi, mereka berdua mulai membicarakan bosnya tersebut."Baru kali ini ada pembantu ulang tahun dikasih perhiasan emas sama bosnya," ujar pria pertama. "Iya. Aku juga. Ini si Nawang yang beruntung apa Pak Marsel sih yang ...""Yang apa?""Em ... anu ..." dia garuk-garuk kepala "Kamu ngerasa ada yang aneh nggak sih di antara mereka?""Iya sih. Jangan-jangan mereka pacaran!""Bisa jadi. Kalau emang iya, wah ... tuh perempuan hokinya dobel.""Nggak heran sih. Dia memang cantik, anggun, baik, telaten, sayang sama Axelle. Minusnya satu saja.""Apa?""Nggak punya harta. Kayak kita.""Mangkanya mamanya