Share

5. Kesempatan Kedua

Author: Devie Putri
last update Last Updated: 2025-01-27 14:19:47

"Perbanyak lagi usaha mencari ibu susu untuk anakku! Harus dapat hari ini juga!" Perintah Marsel pada dua anak buahnya. 

"Tapi, Pak, kita sudah berusaha semaksimal mungkin," jawab salah satu anak buahnya sembari menunduk takut. 

"Tinggikan lagi imbalannya. Masak masih nggak ada yang mau?" Marsel menghembuskan nafas kesal. Pikirannya mulai buntu. 

"Mau ditinggikan berapa lagi, Pak?"

"Berapa saja akan saya bayar," tegas Marsel sekali lagi. 

"Sebar pengumuman lebih banyak lagi di media. Datangi stasiun televisi dan radio-radio. Pokoknya bagaimana pun caranya hari ini anak saya harus cepat dapat ASI."

Marsel mulai gundah. Rasa khawatir pada anaknya menekan pikirannya dengan kuat. Sebenarnya ada setitik rasa sesal kenapa waktu itu dia menolak Nawang. Sekarang dia mulai kebingungan sendiri karena tak kunjung mendapatkan ibu susu untuk anaknya. Kadang rasa gengsi memang bisa menyesatkan diri sendiri. 

Dua laki-laki itu pergi dari hadapan Marsel untuk segera melaksanakan perintah. Sambil berjalan keluar rumah, mereka saling mendumel. 

"Enak ya jadi orang kaya. Butuh apa-apa tinggal merintah saja. Emangnya gampang apa nyari ibu susu buat anaknya?" ucap laki-laki bertubuh jangkung yang berjalan di sebelah kiri. 

"Dulu Pak Marsel nggak kayak gitu kok. Aku udah lama kerja sama dia. Mungkin sekarang emang pikirannya lagi sumpek saja. Maklum lah. Pertama kali punya anak, langsung keturutan dapat anak laki-laki, eh ... istrinya meninggal. Siapa yang nggak bingung coba?" sambung laki-laki satunya. 

"Tapi kemarin aku dengar dari pak satpam, sudah ada perempuan yang kesini buat melamar jadi ibu susu."

"Ah ... yang benar? Terus mana dia?"

"Nggak tahu. Coba deh tanya sama pak satpam?" 

Kedua laki-laki itu berhenti tepat di depan pos satpam. Melihat dua anak buah bos-nya celingukan, pak satpam langsung keluar dari ruangan kecil tempatnya bekerja itu. 

"Ada apa kalian celingukan?"

"Eh ... Pak, kita mau tanya. Apa benar kemarin sudah ada perempuan yang melamar jadi ibu susu kesini?" tanyanya langsung menjurus. 

"Iya benar. Tapi kan sudah dapat kata Pak Marsel."

Dua laki-laki itu tampak bingung. Mereka saling tatap dengan alis mengkerut.

"Dapat apanya? Ini kita disuruh nyari. Hari ini harus dapat. Terus kita harus nyari kemana?"

"Lah ... saya nggak tahu. Orang Pak Marsel bilang sendiri di depan mata saya kalau dia katanya sudah dapat ibu susu. Sumpah." Pak satpam mengangkat dua jarinya ke udara. 

"Emang aneh itu bos kita. Pas ada yang datang ngelamar, ditolak. Terus sekarang kita disuruh nyari lagi. Emang nyari ibu susu spek yang gimana sih?" gerutunya. 

"Yang kayak Ariel Tatum kali," canda teman di sampingnya. Mereka bertiga saling menggeleng-gelengkan kepala. 

Dua orang suruhannya pergi mengelilingi stasiun televisi dan radio di kota, membawa pengumuman lowongan untuk menjadi ibu susu tersebut. Mereka juga menambahkan, untuk masalah imbalan bisa dibicarakan jika sang pelamar meminta imbalan dalam jumlah tinggi. 

Sementara itu, Marsel mengendari mobil menuju rumah sakit dengan konsentrasi terpecah. Bagaimana kalau dia telat mendapat ibu susu? Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengan anaknya?

Marsel memukul-mukul setir dengan tangan kosong. Dia mendadak merasa seperti orang bodoh. Kenapa dia tidak berpikir panjang sewaktu menolak Nawang? Kenapa dia termakan gengsi dan tidak memprioritaskan kepentingan anaknya? Satu per satu sesal datang menghujani pikiran Marsel. 

"Haruskah darah orang yang sudah menyakitiku mengalir di dalam tubuh anakku?" Pikiran Marsel terus berperang. 

Mobil berbelok ke area rumah sakit. Marsel segera berjalan masuk setelah memarkirkan mobil di barisan parkir dokter. Dia berjalan tergesa-gesa menuju ruangan dimana anaknya dirawat. Namun langkahnya terhenti saat melihat Nawang sedang tertidur dengan raut wajah lelah. Beralaskan tikar seadanya tanpa bantal dan selimut. Nawang tidur meringkuk sambil menahan dinginnya lantai rumah sakit. 

Marsel berjalan pelan agar suara langkah kakinya tidak mengganggu istirahat Nawang. Tapi hatinya pelan-pelan mulai terketuk. Dia memanggil perawat yang sedang bertugas di dalam ruang NICU untuk bertanya beberapa hal. 

"Sus, anaknya ibu itu sakit apa ya?" Marsel akhirnya membulatkan tekat untuk bertanya hal tersebut. Sebelumnya memang dia abai, tak peduli dengan apa yang Nawang alami. Tapi lama kelamaan, hati nuraninya mulai berbicara agar dia mau menolong Nawang. 

"Jantung bocor, Dok. Sebenarnya dokter sudah menyuruh operasi. Tapi orang tuanya belum punya uang. Kenapa memangnya, Pak?"

Marsel meneguk ludah. Dia menoleh dan menatap wajah Nawang sekali lagi. Wajah itu tampak begitu lelah. Pakaian yang dia kenakan juga masih sama seperti hari-hari lalu. Jilbabnya lusuh. Mungkin dia tak terpikir lagi untuk mengganti pakaian. Semua pikirannya sudah habis untuk memikirkan kesembuhan anaknya. 

"Jadi itu alasan dia melamar sebagai ibu susu anakku?" pikir Marsel dalam hati. Ingin sekali dia mendekati Nawang. Namun dia tak ingin mengganggu tidurnya. Sepertinya dia tertidur juga karena sudah benar-benar lelah. 

Marsel berjalan pergi meninggalkan ruang PICU NICU. Dia menuju ruang kerjanya lalu menelepon anak buahnya. Menanyakan perkembangan dari usaha mereka. Apakah sudah membuahkan hasil atau belum? 

"Hallo, Pak! Ada apa?" tanya Rendy, salah satu anak buah Marsel. 

"Posisimu sekarang dimana?" 

"Saya lagi di radio Gema Suara, Pak."

"Gimana? Apa sudah ada perkembangan?"

"Maaf, Pak. Belum ada. Bahkan kontak saya sudah saya sebar. Barangkali ada yang mau bisa langsung menghubungi saya."

Marsel menarik nafas dalam. Lalu menghembuskannya dengan kasar. Dia harus cepat mendapatkan ibu susu untuk anaknya hari ini. Dan pilihan satu-satunya hanya Nawang. 

Setelah menimang beberapa kali, akhirnya dia mengambil keputusan final. Dia akan pergi menemui Nawang untuk menerimanya sebagai ibu susu. 

"Hentikan pencarian! Saya sudah mendapatkan ibu susu tersebut," perintah Marsel sekali lagi pada Rendy. 

"Ha? Bapak serius? Nemu dimana, Pak?" Rendy penasaran. 

"Sudah. Jangan banyak tanya! Lebih baik sekarang kamu cepat ke rumah sakit. Bawa surat perjanjian kontrak yang akan dia tanda tangani. Jangan lupa kasih materai!"

"Baik, Pak. Siap. Laksanakan!"

Setelah mematikan telepon, dia segera meminta salah satu perawat untuk memberitahu Nawang agar menemui Marsel di ruangannya. Keduanya sedang dalam keadaan terhimpit. Mungkin ini saatnya keduanya saling membantu. 

Lima menit kemudian, Nawang mengetuk pintu ruangan Marsel. Marsel pun menyuruhnya untuk masuk. 

"Ba ... bapak manggil saya?" tanya Nawang tergagap. Dia masih tidak menyangka, Marsel tiba-tiba memanggilnya. 

"Iya. Duduklah! Ada yang mau saya bicarakan."

Nawang duduk dengan hati-hati. Badannya mulai panas dingin. Bahkan dia mengeratkan kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri. 

"Saya kemarin tanya ke perawat tentang penyakit anakmu. Kata dokter, dia harus segera dioperasi. Benar begitu?" tanya Marsel sedikit berbasa-basi. 

Nawang mengangguk, "Iya, Pak. Tapi saya nggak punya uang buat bayar biaya operasinya."

Marsel mengangguk. Dan tanpa dijelaskan pun, Marsel paham mengapa Nawang melakukannya. 

Marsel menatap lurus kedua mata Nawang. "Jadi sekarang apa kamu masih mau menjadi ibu susu untuk anakku?"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   46. Rencana Pernikahan Marsel dan Luna

    "Selamat pagi, Tante!" Intan langsung membelalak melihat siapa yang berdiri di depannya setelah pintu terbuka. Luna tersenyum lebar dan terlihat begitu manis. "Wah ... pagi-pagi aku kedatangan tamu istimewa. Yuk masuk, Lun!" Intan menyambutnya dengan suka cita. "Duduk sebentar! Kamu mau minum apa? Biar Tante buatkan.""Apa saja, Tante.""Mau susu atau jus?""Em ... jus juga boleh, Tante.""Oke. Tante buatkan jus alpukat khusus buat kamu.""Terima kasih banyak, Tante. Maaf kalau merepotkan.""Ah ... nggak apa-apa. Justru Tante senang sekali kamu mau main ke sini. Karena itu tandanya ..." Intan tak melanjutkan ucapannya. Tapi wajahnya bersemu merah. Dia tahu ini artinya Luna menyetujui tawaran dia tempo hari. Intan melangkah penuh semangat menuju dapur, memilih buah alpukat terbaik di dalam kulkas dan menghaluskannya dengan blender. Dia sedang menyiapkan minuman spesial untuk calon menantu kesayangannya. "Bikin jus buat siapa? Kenapa sambil senyum-senyum gitu? Bikinin juga buat aku

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   45. Dia Masih Sama

    "Lho, Pak Marsel, mau ke mana?" sergah kedua anak buahnya saat Marsel hendak menuju sebuah toko perhiasan di depannya. "Mau ke sana," tunjuknya. Mereka berdua sejenak saling pandang. "Jadinya mau dibelikan perhiasan emas, Pak?" tanya mereka seolah tak percaya. Marsel mengangguk. "Iya. Kalian tunggu di sini saja!" perintahnya. "Baik, Pak," jawab mereka serempak. Setelah Marsel melangkah pergi, mereka berdua mulai membicarakan bosnya tersebut."Baru kali ini ada pembantu ulang tahun dikasih perhiasan emas sama bosnya," ujar pria pertama. "Iya. Aku juga. Ini si Nawang yang beruntung apa Pak Marsel sih yang ...""Yang apa?""Em ... anu ..." dia garuk-garuk kepala "Kamu ngerasa ada yang aneh nggak sih di antara mereka?""Iya sih. Jangan-jangan mereka pacaran!""Bisa jadi. Kalau emang iya, wah ... tuh perempuan hokinya dobel.""Nggak heran sih. Dia memang cantik, anggun, baik, telaten, sayang sama Axelle. Minusnya satu saja.""Apa?""Nggak punya harta. Kayak kita.""Mangkanya mamanya

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   44. Kado Ulang Tahun untuk Nawang

    Dahi Luna mengeryit. Memang dulu dia sempat naksir dengan mantan suami kakaknya itu. Tapi apa turun ranjang adalah pilihan terbaik? "Tapi Kak Marsel mana mau dengan saya, Tante?" "Ah ... pasti mau. Dia itu nurut kalau sama tante. Lagian masak iya dia mau nolak perempuan cantik kayak kamu begini," jawab Intan begitu percaya diri. "Nanti saya pikir-pikir lagi ya, Te. Saya bicarakan dulu sama orang tua saya.""Iya nggak apa-apa. Tapi kalau bisa jangan lama-lama ya mikirnya.""Memangnya kenapa, Tante?""Marsel itu udah ngebet pengin nikah lagi. Daripada dia salah orang. Ya kan?"Luna hanya tersenyum simpul. Dalam hati dia sedikit risih karena terus didesak untuk segera memberi keputusan. Seolah memutuskan untuk menikah dengan seseorang segampang memilih jeruk satu kilo di tukang buah. "Oiya ... Tante boleh minta nomor teleponmu? Atau kamu save kontak tante." Intan dengan sigap menyodorkan ponselnya pada Luna. Luna pun tak enak hati untuk menolaknya. "Kak Marsel ganteng sih tapi maman

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   43. Rencana yang Dirancang Oleh Intan

    "Yang pasti dia yang bibit bebet bobotnya bagus. Nggak kayak si Nawang."Marsel mendesis pelan. Rencana apalagi yang sedang mamanya susun untuknya? Padahal benih-benih cinta antara Nawang dengan Marsel sudah mulai tumbuh kembali. "Jangan asal bicara! Aku ingin tahu siapa orangnya. Biar aku nilai seberapa pantas dia buat Marsel," sahut suaminya. Intan yang semula percaya diri mendadak lesu. Sebenarnya dia sendiri belum mendapatkan siapa perempuan yang kira-kira cocok untuk menjadi pendamping hidup Marsel. Tapi dia sudah terlanjur keceplosan akan mencarikannya. "Tenang saja. Nanti akan ku bawa dia ke hadapanmu," ucap Intan sambil berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Oke. Aku tunggu. Tenang saja, Sel, papa akan menilai dengan sportif. Kalau papa nggak cocok, papa nggak akan rekomendasikan ke kamu," ujar laki-laki itu sambil menatap wajah istrinya dengan tajam. "Ah ... sudahlah. Mama sama papa ini malah lama-lama ngaco. Siapa juga yang mau nikah lagi. Orang aku masih sibuk sama ke

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   42. Jodoh Untuk Marsel

    "Kamu mau ikut?" Marsel menawari Nawang. "Nggak usah. Selesaikan saja urusan ini dengan mamamu sendirian. Aku malas," tolak Nawang. Dia memang tidak mau berurusan lagi dengan Intan. Perempuan tua itu sudah membuat hidupnya susah. "Ya sudah kalau gitu. Kamu jagain saja Axelle di rumah. Ingat, jangan kerja di warung itu lagi! Sekarang nggak akan ada yang berani ngambil jatah makanmu lagi. Aku jamin!" Pesan Marsel sebelum pergi."Iya. Siap bos!" Nawang mengangkat telapak tangannya di samping pelipis.Mobil Marsel berjalan pergi meninggalkan rumah. Selama di perjalanan, Marsel banyak memikirkan Nawang. Rasa bersalah terus menghujaninya. "Andai aku bisa membongkar kelakuan mama dari dulu. Nawang nggak perlu susah-susah kerja di tempat lain. Bawa Axelle pula. Dan salutnya, dia nggak pernah bilang ke aku tentang apa yang dia alami. Hanya karena dia nggak mau pisah sama Axelle. Nawang ... setulus itu kasih sayangmu pada anakku." Marsel terus bergumam sendiri. Ketulusan hati Nawang semakin

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   41. Rekaman CCTV

    "Apa rencanamu?" Marsel mengeryitkan dahi. "Kita pasang CCTV di rumah ini. Mulai depan sampai di dalam. Biar semua gerak-gerik mamamu terekam semua. Dan kamu nggak bisa bilang lagi kalau aku memfitnah mamamu. Bagaimana?" Nawang mengangkat sebelah alisnya. Marsel berpikir sejenak. "Apa iya kita harus melakukan itu?"Nawang membuang nafas tipis. "Kenapa? Mikir biaya? Masak sekelas direktur rumah sakit nggak punya uang buat masang CCTV? Lagian aku baru tahu di sini, rumah semewah ini nggak ada benda yang namanya CCTV."Merasa diremehkan, Marsel pun langsung meng-iya-kan saran dari Nawang. "Enak saja. Oke, kita pasang CCTV sekarang."Marsel langsung menelepon anak buahnya untuk mencarikan orang yang bisa memasang CCTV di rumahnya. "Tolong pasang di sebelah sana, sana dan terakhir nanti di dapur ya, Mas," perintah Marsel pada dua orang pria muda yang dibawa oleh anak buahnya. "Baik, Pak," jawab mereka serempak sambil menganggukkan kepala. "Nanti sekalian tolong settingkan biar tersam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status