Home / Romansa / Ibu Susu untuk Sang Pewaris / 6. Surat Perjanjian Kerja

Share

6. Surat Perjanjian Kerja

Author: Devie Putri
last update Last Updated: 2025-03-04 21:35:40

Nawang menatap mata itu dengan perasaan campur aduk. Dia lalu mengangguk, menerima tawaran pekerjaan sebagai ibu susu untuk anaknya Marsel.

"Iya. Aku mau."

Dua orang pria, anak buah Marsel baru saja datang. Mereka membawa surat perjanjian yang harus Nawang tanda tangani. 

"Kalau gitu, tanda tangan disini!" Marsel meletakkan surat perjanjian tersebut ke atas meja. 

Nawang mulai membuka map berisi lembaran kertas yang menjelaskan perjanjian yang harus dia patuhi. 

"Baca semuanya! Jangan sampai ada yang terlewat. Aku nggak mau suatu hari nanti kamu protes. Pahami betul-betul apa isi dari semua perjanjian itu!" perintah Marsel lagi. 

Nawang menghela nafas sejenak. Sebenarnya dia sebal dengan sikap sombong dan angkuhnya Marsel, tapi dia tidak punya pilihan. Hanya dengan mengambil pekerjaan tersebut, anaknya bisa menjalani operasi. 

Mata Nawang mulai fokus menatap lembar demi lembar di hadapannya. Dibacanya satu per satu perjanjian yang Marsel buat. Diantaranya adalah semua gaji Nawang akan dibayar di muka. Marsel menyanggupi seluruh biaya operasi anaknya Nawang. Tapi dengan konsekuensi, Nawang tidak lagi menerima gaji tiap bulan. Dan dia akan bekerja dengan Marsel sampai anak Marsel berusia dua tahun. 

Nawang berhenti sejenak. Dia lalu menatap Marsel. Mulutnya ingin sekali bertanya sesuatu. Tapi rasanya Nawang kehilangan kata-kata. Diserang rasa gugup dan bingung. 

"Kenapa? Ada yang mau ditanyakan?" Marsel ternyata menangkap kegelisahan Nawang. 

Nawang menelan ludah. "I ... ini beneran aku nggak dapat gaji bulanan sedikit pun?"  

Marsel mengangguk. "Iya betul. Kan gajimu sudah dipakai buat biaya operasi anakmu. Memangnya kamu pikir uang lima ratus juta itu sedikit? Kalau aku harus bayar biaya operasi anakmu terus kamu masih terima gaji tiap bulan, rugi di aku dong."

Nawang kembali menarik nafas. Sebenarnya dia bimbang. Lalu bagaimana dia bisa mencukupi kebutuhan dia dan anaknya sehari-hari kalau dia tidak digaji?

Tapi alasan Marsel ada benarnya juga. Dia sudah keluar uang banyak untuk membiayai operasi anaknya. Bahkan terhitung lebih daripada gaji babysitter selama dua tahun. 

"Baiklah. Aku mengerti."

Nawang kembali melanjutkan membaca surat perjanjian tersebut. Di beberapa poin selanjutnya, Marsel menulis bahwa dia meminta Nawang untuk tinggal di rumahnya. Karena selain menjadi ibu susu, Nawang juga disuruh untuk menjadi babysitter. Nawang mendongak tepat saat Marsel menatapnya. 

"Kenapa lagi? Ada yang membuatmu keberatan?" 

Nawang menggeleng pelan. Sebenarnya bukan hal buruk untuk diminta tinggal di rumah gedongan milik Marsel. Tentu rasanya lebih nyaman daripada sepetak rumah kontrakan yang selama ini dia tempati dengan almarhum suaminya. Tapi masalahnya itu artinya Nawang harus mengasuh dua bayi sekaligus. Apakah Marsel tidak keberatan?

"Apa aku boleh membawa bayiku? Maaf. Soalnya dia sudah nggak punya siapa-siapa lagi selain aku. Suamiku juga sudah meninggal."

"Tentu saja. Kamu pikir aku akan tega memisahkan kamu dengan anakmu. Aku nggak sekejam itu jadi orang."

Nawang menghembuskan nafas lega. Namun tetap masih ada yang mengganjal pikirannya. 

"Maaf aku bertanya lagi. Ini kan aku sama sekali nggak terima gaji tiap bulan. Kamu juga nyuruh aku tinggal di rumahmu. Terus bagaimana kebutuhanku dengan anakku? Kalau aku nggak bisa kerja di luar rumah."

"Masalah itu kamu nggak usah khawatir. Soal makan, aku akan mencukupinya. Jadi kamu nggak perlu kerja yang lain. Semua kebutuhanmu akan aku cukupi. Yang penting kamu fokus ngurus anakku saja. Dan satu lagi, jangan pernah buat aku kecewa."

Nawang mengangguk lalu menarik nafas panjang. Merasa puas dengan jawaban Marsel. Jadi dia tidak akan hidup terlunta-lunta lagi. 

"Jadi gimana? Apa kamu sudah membaca semuanya? Jika ada yang membuatmu keberatan, silakan mundur! Aku akan cari orang lain."

"Oh ... enggak kok. Aku setuju. Setuju sama semua perjanjian itu," sahut Nawang dengan cepat. 

"Kalau gitu cepat tanda tangan. Setelah itu aku akan perintahkan dokter untuk mengoperasi anakmu."

Nawang mulai berurai air mata. Dia tak henti-hentinya mengucap syukur dan berterima kasih pada Marsel. 

"Terima kasih banyak bantuannya." 

"Sama-sama."

Setelah Nawang menandatangani surat tersebut, dia segera diajak ke ruang bayi. Bayi laki-laki itu sudah kehausan. Dia bahkan menangis dengan kencang setibanya Nawang dan Marsel di ruang bayi. 

"Berikan bayi saya ke dia. Biar dia susui" perintah Marsel pada perawat. 

Bayi itu langsung Nawang dekap dengan penuh cinta kasih layaknya anak kandung sendiri. Awalnya dia agak kesulitan menemukan letak put*ng karena tidak terbiasa menyusu langsung. Biasanya dia menyusu memakai dot. Tapi para perawat melatihnya dengan sabar hingga dia bisa menyusu dengan tepat. 

"Anakmu akan segera ditangani sama dokter hari ini. Banyak berdoa semoga operasinya berhasil. Aku pergi dulu. Kalau ada apa-apa kabari saja." 

Marsel menyerahkan selembar kartu nama lengkap dengan kontak yang bisa dihubungi. Aku lekas memasukkannya ke dalam saku. Dia kemudian pergi meninggalkan ruang bayi. 

Nawang menatap lekat wajah bayi laki-laki dalam pelukannya. Air matanya menetes lagi. Dia merindukan anaknya. Sudah lama anak itu kritis. Jangankan tawanya, tangisannya saja begitu Nawang rindukan. 

"Setelah ini, kamu akan punya teman main di rumahmu, Nak. Anaknya ibu Nawang. Kakak Kinar namanya. Semoga kalian bisa saling menyayangi seperti saudara sendiri," ucap Nawang lirih. Dia mengajak bayi mungil itu berbicara. 

Bayi laki-laki itu sudah terlelap. Dia sudah berhenti menyusu. Bahkan dia terdengar bersendawa keras. Nawang tersenyum melihat sisa ASI yang menempel di sudut bibir bayi mungil itu. Nawang mengusapnya dengan lembut. 

Setelah tugasnya selesai, dia kembali menyerahkan bayi itu pada perawat. Nawang sudah tak sabar untuk pergi ke ruang operasi. Dia ingin menunggu anaknya. 

"Akhirnya anak pak direktur dapat ibu susu juga." Nawang mendengar beberapa petugas rumah sakit sedang membicarakannya. 

"Dan yang menjadi ibu susu adalah perempuan yang anaknya kena jantung bocor itu," sahut yang lain. 

"Iya. Nggak nyangka ya."

"Sudah rejeki dia. Kalau nggak gitu, anaknya nggak akan bisa dioperasi. Biaya operasi anaknya kan mahal."

Nawang beberapa kali mengusap wajahnya yang kering. Ternyata berita soal dia yang menjadi ibu susu untuk anaknya Marsel menyebar dengan cepat. Tapi tak apa, Nawang tidak keberatan kalau pun dijadikan buah bibir oleh banyak orang. Lagian tidak ada yang salah bekerja menjadi seorang ibu susu bukan?

Nawang akhirnya sampai di depan ruang operasi. Dia berdiri dengan cemas sembari menatap ruang operasi yang tertutup. Namun dari kaca bagian atas, dia bisa melihat lampu operasi mulai dinyalakan. Jantungnya berdebar hebat. Membayangkan seperti apa keadaan di dalam. 

"Semoga usaha ibu kali ini tidak sia-sia, Nak. Sembuhlah dan kembalilah dalam pelukan ibu. Ibu janji akan mengupayakan apapun demi kamu." 

Setitik air mata jatuh lagi. Bersamaan dengan doa dan harapan yang tak henti dia panjatkan.

"Ya Allah ... lancarkanlah operasi anakku. Hanya dia harta satu-satunya yang ku punya saat ini." 

Dia mengulang doa tersebut beberapa kali sembari berjalan mondar-mandir seorang diri dengan setumpuk rasa cemas yang memenuhi pikirannya. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   44. Kado Ulang Tahun untuk Nawang

    Dahi Luna mengeryit. Memang dulu dia sempat naksir dengan mantan suami kakaknya itu. Tapi apa turun ranjang adalah pilihan terbaik? "Tapi Kak Marsel mana mau dengan saya, Tante?" "Ah ... pasti mau. Dia itu nurut kalau sama tante. Lagian masak iya dia mau nolak perempuan cantik kayak kamu begini," jawab Intan begitu percaya diri. "Nanti saya pikir-pikir lagi ya, Te. Saya bicarakan dulu sama orang tua saya.""Iya nggak apa-apa. Tapi kalau bisa jangan lama-lama ya mikirnya.""Memangnya kenapa, Tante?""Marsel itu udah ngebet pengin nikah lagi. Daripada dia salah orang. Ya kan?"Luna hanya tersenyum simpul. Dalam hati dia sedikit risih karena terus didesak untuk segera memberi keputusan. Seolah memutuskan untuk menikah dengan seseorang segampang memilih jeruk satu kilo di tukang buah. "Oiya ... Tante boleh minta nomor teleponmu? Atau kamu save kontak tante." Intan dengan sigap menyodorkan ponselnya pada Luna. Luna pun tak enak hati untuk menolaknya. "Kak Marsel ganteng sih tapi maman

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   43. Rencana yang Dirancang Oleh Intan

    "Yang pasti dia yang bibit bebet bobotnya bagus. Nggak kayak si Nawang."Marsel mendesis pelan. Rencana apalagi yang sedang mamanya susun untuknya? Padahal benih-benih cinta antara Nawang dengan Marsel sudah mulai tumbuh kembali. "Jangan asal bicara! Aku ingin tahu siapa orangnya. Biar aku nilai seberapa pantas dia buat Marsel," sahut suaminya. Intan yang semula percaya diri mendadak lesu. Sebenarnya dia sendiri belum mendapatkan siapa perempuan yang kira-kira cocok untuk menjadi pendamping hidup Marsel. Tapi dia sudah terlanjur keceplosan akan mencarikannya. "Tenang saja. Nanti akan ku bawa dia ke hadapanmu," ucap Intan sambil berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Oke. Aku tunggu. Tenang saja, Sel, papa akan menilai dengan sportif. Kalau papa nggak cocok, papa nggak akan rekomendasikan ke kamu," ujar laki-laki itu sambil menatap wajah istrinya dengan tajam. "Ah ... sudahlah. Mama sama papa ini malah lama-lama ngaco. Siapa juga yang mau nikah lagi. Orang aku masih sibuk sama ke

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   42. Jodoh Untuk Marsel

    "Kamu mau ikut?" Marsel menawari Nawang. "Nggak usah. Selesaikan saja urusan ini dengan mamamu sendirian. Aku malas," tolak Nawang. Dia memang tidak mau berurusan lagi dengan Intan. Perempuan tua itu sudah membuat hidupnya susah. "Ya sudah kalau gitu. Kamu jagain saja Axelle di rumah. Ingat, jangan kerja di warung itu lagi! Sekarang nggak akan ada yang berani ngambil jatah makanmu lagi. Aku jamin!" Pesan Marsel sebelum pergi."Iya. Siap bos!" Nawang mengangkat telapak tangannya di samping pelipis.Mobil Marsel berjalan pergi meninggalkan rumah. Selama di perjalanan, Marsel banyak memikirkan Nawang. Rasa bersalah terus menghujaninya. "Andai aku bisa membongkar kelakuan mama dari dulu. Nawang nggak perlu susah-susah kerja di tempat lain. Bawa Axelle pula. Dan salutnya, dia nggak pernah bilang ke aku tentang apa yang dia alami. Hanya karena dia nggak mau pisah sama Axelle. Nawang ... setulus itu kasih sayangmu pada anakku." Marsel terus bergumam sendiri. Ketulusan hati Nawang semakin

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   41. Rekaman CCTV

    "Apa rencanamu?" Marsel mengeryitkan dahi. "Kita pasang CCTV di rumah ini. Mulai depan sampai di dalam. Biar semua gerak-gerik mamamu terekam semua. Dan kamu nggak bisa bilang lagi kalau aku memfitnah mamamu. Bagaimana?" Nawang mengangkat sebelah alisnya. Marsel berpikir sejenak. "Apa iya kita harus melakukan itu?"Nawang membuang nafas tipis. "Kenapa? Mikir biaya? Masak sekelas direktur rumah sakit nggak punya uang buat masang CCTV? Lagian aku baru tahu di sini, rumah semewah ini nggak ada benda yang namanya CCTV."Merasa diremehkan, Marsel pun langsung meng-iya-kan saran dari Nawang. "Enak saja. Oke, kita pasang CCTV sekarang."Marsel langsung menelepon anak buahnya untuk mencarikan orang yang bisa memasang CCTV di rumahnya. "Tolong pasang di sebelah sana, sana dan terakhir nanti di dapur ya, Mas," perintah Marsel pada dua orang pria muda yang dibawa oleh anak buahnya. "Baik, Pak," jawab mereka serempak sambil menganggukkan kepala. "Nanti sekalian tolong settingkan biar tersam

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   40. Mengungkap Kebenaran

    Ruang tamu itu sangat luas, tapi udara di sekitarnya terasa menghimpit dada Nawang hingga sesak. Tatapan tajam yang diberikan oleh Marsel, semakin membuat Nawang tidak nyaman. Bahkan dia tidak bisa duduk dengan tenang. Ruangan yang biasanya hangat berubah mencekam layaknya ruang persidangan."Jelaskan sama aku tentang semua foto-foto ini!" pinta Marsel dengan nada dingin namun penuh penekanan. Beberapa detik berlalu, tak juga ada jawaban yang keluar dari mulut Nawang. Bahkan suara yang tersisa di ruangan tersebut hanya suara denting jam dinding. Semua terasa seperti hitungan mundur menuju ledakan yang tak terelakkan. "Kenapa susah sekali untuk menjawabnya? Kamu tinggal jelaskan apa yang kamu lakukan di sana selama ini? Dan di mana kamu letakkan Axelle selama kamu di sana?" hardik Marsel sekali lagi. Nawang langsung begidik sendiri. Nawang menarik nafas panjang. "Itu karena ..." Ucapan Nawang menggantung. Dia bingung bagaimana harus menjelaskan semuanya. Marsel duduk di sofa, pungg

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   39. Bayangan Perpisahan dengan Axelle

    Jepret ... jepret ... jepret ...Intan tersenyum puas sambil menatap layar handphone miliknya. Jaraknya memang cukup jauh. Namun kecanggihan handphone miliknya sanggup menangkap gambar Nawang dengan jelas yang sedang melayani beberapa pembeli. Seperti orang yang selalu menunggu waktu kemenangan, Intan membusungkan dada. "Siapa suruh melawanku. Sekarang terimalah akibatnya. Hahaha ..." Intan tertawa lebar. Seperti berhasil menangkap basah seorang pencuri. Foto-foto itu akan menjadi senjata pamungkas untuk menyingkirkan Nawang selama-lamanya dari rumah Marsel. "Setelah ini, kamu nggak akan pernah bisa lagi menginjakkan kaki di rumah anakku, Nawang. Nggak akan ada lagi kesempatan buat kamu deketin dia." Senyum di bibirnya mengembang. Setelah dirasa cukup, Intan kembali memacu mobilnya ke arah pulang. Dia tidak langsung pergi ke rumah Marsel. Percuma, Marsel belum ada di rumah jam segini. Sesampainya di rumah, dia kembali membuka galeri. Menelusuri foto-foto itu satu per satu. Ada y

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   38. Kebenaran yang Terungkap

    Suasana restoran tampak elegan seperti biasa. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan bergaya kontemporer, lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan yang hangat, dan musik jazz lembut mengalun mengiringi perbincangan para tamu yang sebagian besar adalah kalangan elite kota ini. Di salah satu sudut, beberapa wanita duduk melingkar mengelilingi meja bundar berlapis marmer, dihiasi rangkaian bunga segar.Intan datang dengan langkah percaya diri, high heels-nya berdenting halus di atas lantai kayu. Tas desainer menggantung di lengannya, dan wangi parfum mahalnya menyertai setiap gerakannya. Dia tersenyum lebar, menyapa tiga sahabatnya yang sudah lebih dulu datang.“Sorry ya, agak telat. Ada urusan sebentar tadi,” kata Intan sambil menarik kursi dan duduk."Nggak apa-apa, Tan," jawab Lita, wanita berambut sebahu yang dikenal paling kalem di antara mereka. "Urusan apa, Tan? Memangnya apa aja kerjaanmu di rumah selain makan dan tidur?" timpal yang lain. "Eh ... enak saja. Aku ini peremp

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   37. Kerinduan Seorang Suami

    Bab 37 :Udara malam terasa dingin menusuk kulit saat Nawang dan Marsel akhirnya memutuskan untuk pulang. Axelle kecil, yang sejak sore tampak ceria, kini mulai menguap lebar, matanya yang bulat nyaris terpejam dalam gendongan Nawang. Marsel segera mengambil alih, membopong putranya dengan hati-hati. Ia tahu, udara malam yang seperti ini tidak baik untuk anak kecil, apalagi Axelle memang sedikit sensitif terhadap perubahan cuaca."Cepat masuk, Na. Udara makin dingin," perintah Marsel sambil membukakan pintu mobil. Mobil segera melaju pergi meninggalkan lapak penjual nasi goreng tersebut. Namun mereka berjanji akan datang kembali mengingat kelezatan rasa nasi goreng itu. Setelah mobil memasuki halaman, Nawang bergegas masuk sambil memeluk Axelle dengan erat. Axelle hanya meringkuk kecil di dada Nawang. Matanya sudah benar-benar tertutup. Nafasnya teratur dan tenang. "Langsung tidurkan saja di kamarnya. Terus kamu segera istirahat," perintah Marsel sekali lagi. Nawang pun mengangguk

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   36. Cinta Itu Datang Lagi

    Intan menggenggam setir dengan erat. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Matanya fokus ke jalan tapi pikirannya menggelegak penuh amarah. Sesekali bibirnya bergerak-gerak, mendumel sendiri meluapkan kekesalannya. Jalanan yang seharusnya menjadi jalur pulang biasa terasa seperti arena peperangan batin baginya. "Sialan, Maria!" gerutunya "Katanya foto itu adalah Nawang. Dia kerja nganterin makanan. Tapi kok tadi dia di rumah. Bikin aku malu saja. Untung aku belum maki-maki dia."Tanpa berpikir panjang, dia meraih handphone lalu menggeser layar, mencari nama Maria. Dering pertama belum selesai tapi Maria langsung menjawab. "Iya, gimana, Tan? Sudah puas melabrak si Nawang?" tanyanya sambil tertawa lepas. "Apanya yang dilabrak? Orang dia ada di rumah. Nggak kemana-mana. Kamu sengaja nipu aku ya," bentak Intan dengan kasar. "Nipu apaan? Orang bener kok yang aku lihat tadi si Nawang. Meskipun dia pakai helm dan aku foto dari samping. Tapi aku yakin itu si Nawang. Oh ... harusnya aku t

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status