Home / Romansa / Ibu Susu untuk Sang Pewaris / 4. Kebohongan Marsel

Share

4. Kebohongan Marsel

Author: Devie Putri
last update Last Updated: 2025-01-27 14:15:58

Nawang segera berlari menuju ruangan dokter tanpa menghiraukan lagi rasa perih di kakinya. Bahkan luka yang sudah setengah kering itu kembali meneteskan darah. 

"Apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?" 

Nawang duduk dengan nafas terengah-engah. Dokter yang menangani keadaan putrinya sampai iba melihatnya. Terlihat sekali perempuan itu sudah berjuang habis-habisan. 

"Keadaan anak ibu semakin kritis. Operasi harus segera dilakukan. Atau kalau tidak ..."

"Kalau tidak kenapa, Dok?" 

"Dia tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi," ucap dokter itu dengan lemas. Sebenarnya dia tidak tega menyampaikannya. Namun mau tidak mau, perempuan itu harus tahu bagaimana keadaan anaknya. 

"Tapi saya belum dapat uangnya, Dok," ucap Nawang dengan dada menahan sesak. Dia merasa gagal menjadi seorang ibu. 

"Maaf, Bu, saya hanya sekedar menyampaikan saja."

Dengan lesu, Nawang duduk di lantai depan ruang PICU. Air mata mulai menganak sungai di kedua pipinya. Nawang merasa semua jalan telah buntu. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa untuk bisa menolong anaknya. 

Adzan isya' mulai dikumandangkan. Nawang memilih pergi ke mushola rumah sakit untuk menunaikan sholat bersama keluarga pasien yang lain. 

Tak bisa lagi dia menahan air mata kala doa-doa itu dia panjatkan. Nawang merasa hidupnya berada pada titik terendah. Maka segala kesedihan dan kebimbangan itu dia tumpahkan dalam sujudnya. Dia tak tahu lagi harus mengadu pada siapa selain kepada Tuhan. Bukan kah Dia Maha Penentu Segalanya? 

Selesai sholat, Nawang tidak langsung pergi. Dia memilih bertahan sembari merapal dzikir. Kiranya dengan begitu dia sedikit bisa lebih tenang. 

"Ya Allah, jika memang waktuku dengan anakku telah habis, aku ikhlaskan dia pergi. Namun jika masih ada jalan untuk aku memperjuangkannya, tolong tunjukkan. Karena dia adalah satu-satunya harta yang aku punya saat ini." Sebait doa itu terpanjat bersamaan dengan puluhan tetes air mata yang jatuh di atas sajadah. 

Puas mencurahkan isi hati lewat doa, Nawang bangkit berdiri. Dia melepas mukena dan melipatnya kembali dengan rapi. Tak lupa dia mengembalikannya lagi ke lemari mushola. 

Nawang keluar mushola, kembali memakai sendal yang sudah membuat kakinya terluka. Namun luka akibat goresan pecahan kaca itu tak seberapa sakitnya. Masih jauh lebih sakit menerima kenyataan buruk keadaan anaknya. 

Dengan langkah gontai, Nawang kembali ke ruang PICU. Dia duduk di atas lantai yang dingin tanpa alas apapun. Dibukanya bungkusan nasi pemberian ibu warung tadi siang. Nawang mencium aroma kurang sedap. 

"Nasi dan lauknya sudah hampir basi. Tapi hanya ini satu-satunya makanan yang aku punya." 

Nawang terpaksa memakan makanan yang hampir basi itu. Tak apa, yang penting perutnya terisi. 

Saat Nawang tengah memakan makanannya, Marsel berjalan melewatinya. Dia sedikit terkejut melihat keadaan Nawang yang memprihatinkan. Apalagi dia duduk dan makan seorang diri. Tanpa didampingi siapa pun. 

"Ngapain Nawang ada disitu?" pikir Marsel dalam hati. Tapi dia enggan bertanya langsung pada Nawang. Dia terus berjalan menuju ruang NICU yang berada tepat di samping ruang PICU. 

"Gimana keadaan anak saya, Sus?" tanya Marsel pada perawat yang bertugas di ruang tersebut. 

"Stok ASI perah dari donor ASI yang kemarin sudah hampir habis, Pak. Sedangkan ketika pihak rumah sakit menghubungi dia lagi, dia meminta maaf karena sudah nggak bisa ngasih ASI-nya lagi. Dia kewalahan memberikan ASI untuk anaknya sendiri karena tiba-tiba saja keluarnya tidak sebanyak sebelumnya. Entah apa yang membuat ASI-nya seret."

"Terus gimana dong, Sus?"

"Ya kita harus cepat nyari ibu susu buat anak bapak."

Marsel hanya tertegun. Mendadak dia merasa bersalah karena telah menolak Nawang. Sebenarnya dia bisa saja menemui Nawang sekarang. Karena Nawang ternyata berada di rumah sakit ini juga. Tapi gengsi Marsel masih terlalu tinggi. Pantang dia menjilat ludahnya sendiri. 

"Bagaimana, Pak? Apakah sudah ada yang menawarkan diri untuk menjadi ibu susu anak bapak?" tanya perawat itu lagi. 

"Belum," jawabnya berbohong "Tapi saya akan usahakan dapat ibu susu secepatnya."

Marsel berjalan keluar ruangan. Dia mengusap wajah dengan kasar. Kenapa pilihan satu-satunya adalah Nawang? Perempuan yang pernah menolak lamarannya. Bertahun-tahun Marsel berusaha melupakan Nawang dengan keberadaan Sherly, istrinya. 

Marsel memilih membuka hati karena merasa cintanya pada Nawang sudah tidak bisa diperjuangkan. Dia menerima perjodohan itu dengan lapang dada. 

Sherly adalah istri yang baik. Jadi mudah saja untuk Marsel jatuh cinta kepadanya. Namun ketika benih cinta mulai tumbuh, Tuhan malah memanggilnya untuk pulang. Lalu takdir malah mempertemukan Marsel kembali pada cinta lamanya. Mengapa dunia harus serumit itu? 

Nawang hanya memakan nasi itu tiga suap saja. Selain rasanya yang tidak enak, dia juga kehilangan selera makan tiap ingat penjelasan dari dokter. 

"Berapa lama lagi anakku bisa bertahan?" batin Nawang sembari menatap tubuh anaknya dari balik kaca jendela. Bayi mungil itu sedang berperang dengan maut. Namun ibunya tak punya daya untuk menyelamatkan nyawanya. 

Di tengah keadaan putus asa, Nawang sering membodoh-bodohkan dirinya sendiri. Andai dulu dia tidak menolak Marsel, mungkin dia tidak akan hidup dalam keadaan kekuarangan. 

Nawang mengunyah nasi di hadapannya dengan berlinang air mata. Sungguh suatu keadaan yang menyakitkan. Andai dia masih memiliki uang, tentu dia akan membeli makanan yang layak makan. Bukan nasi basi yang bisa memberi efek buruk untuk tubuhnya. 

"Dok, bayi yang menderita jantung bocor itu semakin sering mengalami sesak nafas. Bahkan beberapa kali badannya membiru." Samar-samar, Nawang mendengar pembicaraan perawat dan dokter yang berjalan keluar dari ruang NICU. 

Nawang langsung berhenti mengunyah. Makanan itu terasa sulit dia telan. Dia kembali membungkus rapat kertas minyak yang menjadi alas dari makanan tersebut menggunakan karet gelang. Lalu dia abaikan begitu saja. 

"Iya. Tapi mau gimana lagi? Ibunya belum dapat uang untuk biaya operasi," jawab sang dokter. 

"Kasihan sekali ya, Dok. Ya maklum saja, Dok. Biaya operasinya memang mahal. Apalagi dengar-dengar dia baru saja ditinggal mati suaminya."

"Cobaan itu nggak kenal kasta. Nggak cuma ibu itu saja yang diuji sama Tuhan. Lihat saja Pak Marsel, direktur rumah sakit ini. Dia juga lagi diberi ujian kan sama Tuhan. Istrinya meninggal setelah melahirkan anaknya. Sekarang dia lagi bingung mencari ibu susu."

Nawang yang sedari tadi menyimak obrolan mereka lekas menoleh. Apalagi setelah Nawang mendengar nama Marsel disebut. 

"Oiya .... Dok, bagaimana perkembangan soal pencarian ibu susu untuk anak Pak Marsel?" 

Nawang terus memerhatikan mereka berdua. Entah mengapa, obrolan mereka begitu menarik perhatian Nawang. Dia juga penasaran, ingin tahu tentang keadaan anaknya Marsel. 

"Apa Pak Marsel sudah mendapatkan ibu susu untuk anaknya, Dok?" Perawat itu bertanya lagi sambil menatap serius wajah dokter di hadapannya.

Dokter menggeleng pelan. "Sampai sekarang, Pak Marsel belum mendapatkan ibu susu untuk anaknya. Dan kabarnya stok ASI perah dari pendonor kemarin sudah mau habis." 

Penjelasan dokter tersebut membuat Nawang terkejut. Bukannya Marsel sendiri yang bilang kalau dia sudah mendapatkan ibu susu untuk anaknya? Maka Marsel menolak lamaran Nawang waktu itu. 

"Apakah Marsel berbohong?" pikir Nawang dalam hati. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   46. Rencana Pernikahan Marsel dan Luna

    "Selamat pagi, Tante!" Intan langsung membelalak melihat siapa yang berdiri di depannya setelah pintu terbuka. Luna tersenyum lebar dan terlihat begitu manis. "Wah ... pagi-pagi aku kedatangan tamu istimewa. Yuk masuk, Lun!" Intan menyambutnya dengan suka cita. "Duduk sebentar! Kamu mau minum apa? Biar Tante buatkan.""Apa saja, Tante.""Mau susu atau jus?""Em ... jus juga boleh, Tante.""Oke. Tante buatkan jus alpukat khusus buat kamu.""Terima kasih banyak, Tante. Maaf kalau merepotkan.""Ah ... nggak apa-apa. Justru Tante senang sekali kamu mau main ke sini. Karena itu tandanya ..." Intan tak melanjutkan ucapannya. Tapi wajahnya bersemu merah. Dia tahu ini artinya Luna menyetujui tawaran dia tempo hari. Intan melangkah penuh semangat menuju dapur, memilih buah alpukat terbaik di dalam kulkas dan menghaluskannya dengan blender. Dia sedang menyiapkan minuman spesial untuk calon menantu kesayangannya. "Bikin jus buat siapa? Kenapa sambil senyum-senyum gitu? Bikinin juga buat aku

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   45. Dia Masih Sama

    "Lho, Pak Marsel, mau ke mana?" sergah kedua anak buahnya saat Marsel hendak menuju sebuah toko perhiasan di depannya. "Mau ke sana," tunjuknya. Mereka berdua sejenak saling pandang. "Jadinya mau dibelikan perhiasan emas, Pak?" tanya mereka seolah tak percaya. Marsel mengangguk. "Iya. Kalian tunggu di sini saja!" perintahnya. "Baik, Pak," jawab mereka serempak. Setelah Marsel melangkah pergi, mereka berdua mulai membicarakan bosnya tersebut."Baru kali ini ada pembantu ulang tahun dikasih perhiasan emas sama bosnya," ujar pria pertama. "Iya. Aku juga. Ini si Nawang yang beruntung apa Pak Marsel sih yang ...""Yang apa?""Em ... anu ..." dia garuk-garuk kepala "Kamu ngerasa ada yang aneh nggak sih di antara mereka?""Iya sih. Jangan-jangan mereka pacaran!""Bisa jadi. Kalau emang iya, wah ... tuh perempuan hokinya dobel.""Nggak heran sih. Dia memang cantik, anggun, baik, telaten, sayang sama Axelle. Minusnya satu saja.""Apa?""Nggak punya harta. Kayak kita.""Mangkanya mamanya

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   44. Kado Ulang Tahun untuk Nawang

    Dahi Luna mengeryit. Memang dulu dia sempat naksir dengan mantan suami kakaknya itu. Tapi apa turun ranjang adalah pilihan terbaik? "Tapi Kak Marsel mana mau dengan saya, Tante?" "Ah ... pasti mau. Dia itu nurut kalau sama tante. Lagian masak iya dia mau nolak perempuan cantik kayak kamu begini," jawab Intan begitu percaya diri. "Nanti saya pikir-pikir lagi ya, Te. Saya bicarakan dulu sama orang tua saya.""Iya nggak apa-apa. Tapi kalau bisa jangan lama-lama ya mikirnya.""Memangnya kenapa, Tante?""Marsel itu udah ngebet pengin nikah lagi. Daripada dia salah orang. Ya kan?"Luna hanya tersenyum simpul. Dalam hati dia sedikit risih karena terus didesak untuk segera memberi keputusan. Seolah memutuskan untuk menikah dengan seseorang segampang memilih jeruk satu kilo di tukang buah. "Oiya ... Tante boleh minta nomor teleponmu? Atau kamu save kontak tante." Intan dengan sigap menyodorkan ponselnya pada Luna. Luna pun tak enak hati untuk menolaknya. "Kak Marsel ganteng sih tapi maman

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   43. Rencana yang Dirancang Oleh Intan

    "Yang pasti dia yang bibit bebet bobotnya bagus. Nggak kayak si Nawang."Marsel mendesis pelan. Rencana apalagi yang sedang mamanya susun untuknya? Padahal benih-benih cinta antara Nawang dengan Marsel sudah mulai tumbuh kembali. "Jangan asal bicara! Aku ingin tahu siapa orangnya. Biar aku nilai seberapa pantas dia buat Marsel," sahut suaminya. Intan yang semula percaya diri mendadak lesu. Sebenarnya dia sendiri belum mendapatkan siapa perempuan yang kira-kira cocok untuk menjadi pendamping hidup Marsel. Tapi dia sudah terlanjur keceplosan akan mencarikannya. "Tenang saja. Nanti akan ku bawa dia ke hadapanmu," ucap Intan sambil berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Oke. Aku tunggu. Tenang saja, Sel, papa akan menilai dengan sportif. Kalau papa nggak cocok, papa nggak akan rekomendasikan ke kamu," ujar laki-laki itu sambil menatap wajah istrinya dengan tajam. "Ah ... sudahlah. Mama sama papa ini malah lama-lama ngaco. Siapa juga yang mau nikah lagi. Orang aku masih sibuk sama ke

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   42. Jodoh Untuk Marsel

    "Kamu mau ikut?" Marsel menawari Nawang. "Nggak usah. Selesaikan saja urusan ini dengan mamamu sendirian. Aku malas," tolak Nawang. Dia memang tidak mau berurusan lagi dengan Intan. Perempuan tua itu sudah membuat hidupnya susah. "Ya sudah kalau gitu. Kamu jagain saja Axelle di rumah. Ingat, jangan kerja di warung itu lagi! Sekarang nggak akan ada yang berani ngambil jatah makanmu lagi. Aku jamin!" Pesan Marsel sebelum pergi."Iya. Siap bos!" Nawang mengangkat telapak tangannya di samping pelipis.Mobil Marsel berjalan pergi meninggalkan rumah. Selama di perjalanan, Marsel banyak memikirkan Nawang. Rasa bersalah terus menghujaninya. "Andai aku bisa membongkar kelakuan mama dari dulu. Nawang nggak perlu susah-susah kerja di tempat lain. Bawa Axelle pula. Dan salutnya, dia nggak pernah bilang ke aku tentang apa yang dia alami. Hanya karena dia nggak mau pisah sama Axelle. Nawang ... setulus itu kasih sayangmu pada anakku." Marsel terus bergumam sendiri. Ketulusan hati Nawang semakin

  • Ibu Susu untuk Sang Pewaris   41. Rekaman CCTV

    "Apa rencanamu?" Marsel mengeryitkan dahi. "Kita pasang CCTV di rumah ini. Mulai depan sampai di dalam. Biar semua gerak-gerik mamamu terekam semua. Dan kamu nggak bisa bilang lagi kalau aku memfitnah mamamu. Bagaimana?" Nawang mengangkat sebelah alisnya. Marsel berpikir sejenak. "Apa iya kita harus melakukan itu?"Nawang membuang nafas tipis. "Kenapa? Mikir biaya? Masak sekelas direktur rumah sakit nggak punya uang buat masang CCTV? Lagian aku baru tahu di sini, rumah semewah ini nggak ada benda yang namanya CCTV."Merasa diremehkan, Marsel pun langsung meng-iya-kan saran dari Nawang. "Enak saja. Oke, kita pasang CCTV sekarang."Marsel langsung menelepon anak buahnya untuk mencarikan orang yang bisa memasang CCTV di rumahnya. "Tolong pasang di sebelah sana, sana dan terakhir nanti di dapur ya, Mas," perintah Marsel pada dua orang pria muda yang dibawa oleh anak buahnya. "Baik, Pak," jawab mereka serempak sambil menganggukkan kepala. "Nanti sekalian tolong settingkan biar tersam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status