Nawang segera berlari menuju ruangan dokter tanpa menghiraukan lagi rasa perih di kakinya. Bahkan luka yang sudah setengah kering itu kembali meneteskan darah.
"Apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?"
Nawang duduk dengan nafas terengah-engah. Dokter yang menangani keadaan putrinya sampai iba melihatnya. Terlihat sekali perempuan itu sudah berjuang habis-habisan.
"Keadaan anak ibu semakin kritis. Operasi harus segera dilakukan. Atau kalau tidak ..."
"Kalau tidak kenapa, Dok?"
"Dia tidak akan bertahan hidup lebih lama lagi," ucap dokter itu dengan lemas. Sebenarnya dia tidak tega menyampaikannya. Namun mau tidak mau, perempuan itu harus tahu bagaimana keadaan anaknya.
"Tapi saya belum dapat uangnya, Dok," ucap Nawang dengan dada menahan sesak. Dia merasa gagal menjadi seorang ibu.
"Maaf, Bu, saya hanya sekedar menyampaikan saja."
Dengan lesu, Nawang duduk di lantai depan ruang PICU. Air mata mulai menganak sungai di kedua pipinya. Nawang merasa semua jalan telah buntu. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa untuk bisa menolong anaknya.
Adzan isya' mulai dikumandangkan. Nawang memilih pergi ke mushola rumah sakit untuk menunaikan sholat bersama keluarga pasien yang lain.
Tak bisa lagi dia menahan air mata kala doa-doa itu dia panjatkan. Nawang merasa hidupnya berada pada titik terendah. Maka segala kesedihan dan kebimbangan itu dia tumpahkan dalam sujudnya. Dia tak tahu lagi harus mengadu pada siapa selain kepada Tuhan. Bukan kah Dia Maha Penentu Segalanya?
Selesai sholat, Nawang tidak langsung pergi. Dia memilih bertahan sembari merapal dzikir. Kiranya dengan begitu dia sedikit bisa lebih tenang.
"Ya Allah, jika memang waktuku dengan anakku telah habis, aku ikhlaskan dia pergi. Namun jika masih ada jalan untuk aku memperjuangkannya, tolong tunjukkan. Karena dia adalah satu-satunya harta yang aku punya saat ini." Sebait doa itu terpanjat bersamaan dengan puluhan tetes air mata yang jatuh di atas sajadah.
Puas mencurahkan isi hati lewat doa, Nawang bangkit berdiri. Dia melepas mukena dan melipatnya kembali dengan rapi. Tak lupa dia mengembalikannya lagi ke lemari mushola.
Nawang keluar mushola, kembali memakai sendal yang sudah membuat kakinya terluka. Namun luka akibat goresan pecahan kaca itu tak seberapa sakitnya. Masih jauh lebih sakit menerima kenyataan buruk keadaan anaknya.
Dengan langkah gontai, Nawang kembali ke ruang PICU. Dia duduk di atas lantai yang dingin tanpa alas apapun. Dibukanya bungkusan nasi pemberian ibu warung tadi siang. Nawang mencium aroma kurang sedap.
"Nasi dan lauknya sudah hampir basi. Tapi hanya ini satu-satunya makanan yang aku punya."
Nawang terpaksa memakan makanan yang hampir basi itu. Tak apa, yang penting perutnya terisi.
Saat Nawang tengah memakan makanannya, Marsel berjalan melewatinya. Dia sedikit terkejut melihat keadaan Nawang yang memprihatinkan. Apalagi dia duduk dan makan seorang diri. Tanpa didampingi siapa pun.
"Ngapain Nawang ada disitu?" pikir Marsel dalam hati. Tapi dia enggan bertanya langsung pada Nawang. Dia terus berjalan menuju ruang NICU yang berada tepat di samping ruang PICU.
"Gimana keadaan anak saya, Sus?" tanya Marsel pada perawat yang bertugas di ruang tersebut.
"Stok ASI perah dari donor ASI yang kemarin sudah hampir habis, Pak. Sedangkan ketika pihak rumah sakit menghubungi dia lagi, dia meminta maaf karena sudah nggak bisa ngasih ASI-nya lagi. Dia kewalahan memberikan ASI untuk anaknya sendiri karena tiba-tiba saja keluarnya tidak sebanyak sebelumnya. Entah apa yang membuat ASI-nya seret."
"Terus gimana dong, Sus?"
"Ya kita harus cepat nyari ibu susu buat anak bapak."
Marsel hanya tertegun. Mendadak dia merasa bersalah karena telah menolak Nawang. Sebenarnya dia bisa saja menemui Nawang sekarang. Karena Nawang ternyata berada di rumah sakit ini juga. Tapi gengsi Marsel masih terlalu tinggi. Pantang dia menjilat ludahnya sendiri.
"Bagaimana, Pak? Apakah sudah ada yang menawarkan diri untuk menjadi ibu susu anak bapak?" tanya perawat itu lagi.
"Belum," jawabnya berbohong "Tapi saya akan usahakan dapat ibu susu secepatnya."
Marsel berjalan keluar ruangan. Dia mengusap wajah dengan kasar. Kenapa pilihan satu-satunya adalah Nawang? Perempuan yang pernah menolak lamarannya. Bertahun-tahun Marsel berusaha melupakan Nawang dengan keberadaan Sherly, istrinya.
Marsel memilih membuka hati karena merasa cintanya pada Nawang sudah tidak bisa diperjuangkan. Dia menerima perjodohan itu dengan lapang dada.
Sherly adalah istri yang baik. Jadi mudah saja untuk Marsel jatuh cinta kepadanya. Namun ketika benih cinta mulai tumbuh, Tuhan malah memanggilnya untuk pulang. Lalu takdir malah mempertemukan Marsel kembali pada cinta lamanya. Mengapa dunia harus serumit itu?
Nawang hanya memakan nasi itu tiga suap saja. Selain rasanya yang tidak enak, dia juga kehilangan selera makan tiap ingat penjelasan dari dokter.
"Berapa lama lagi anakku bisa bertahan?" batin Nawang sembari menatap tubuh anaknya dari balik kaca jendela. Bayi mungil itu sedang berperang dengan maut. Namun ibunya tak punya daya untuk menyelamatkan nyawanya.
Di tengah keadaan putus asa, Nawang sering membodoh-bodohkan dirinya sendiri. Andai dulu dia tidak menolak Marsel, mungkin dia tidak akan hidup dalam keadaan kekuarangan.
Nawang mengunyah nasi di hadapannya dengan berlinang air mata. Sungguh suatu keadaan yang menyakitkan. Andai dia masih memiliki uang, tentu dia akan membeli makanan yang layak makan. Bukan nasi basi yang bisa memberi efek buruk untuk tubuhnya.
"Dok, bayi yang menderita jantung bocor itu semakin sering mengalami sesak nafas. Bahkan beberapa kali badannya membiru." Samar-samar, Nawang mendengar pembicaraan perawat dan dokter yang berjalan keluar dari ruang NICU.
Nawang langsung berhenti mengunyah. Makanan itu terasa sulit dia telan. Dia kembali membungkus rapat kertas minyak yang menjadi alas dari makanan tersebut menggunakan karet gelang. Lalu dia abaikan begitu saja.
"Iya. Tapi mau gimana lagi? Ibunya belum dapat uang untuk biaya operasi," jawab sang dokter.
"Kasihan sekali ya, Dok. Ya maklum saja, Dok. Biaya operasinya memang mahal. Apalagi dengar-dengar dia baru saja ditinggal mati suaminya."
"Cobaan itu nggak kenal kasta. Nggak cuma ibu itu saja yang diuji sama Tuhan. Lihat saja Pak Marsel, direktur rumah sakit ini. Dia juga lagi diberi ujian kan sama Tuhan. Istrinya meninggal setelah melahirkan anaknya. Sekarang dia lagi bingung mencari ibu susu."
Nawang yang sedari tadi menyimak obrolan mereka lekas menoleh. Apalagi setelah Nawang mendengar nama Marsel disebut.
"Oiya .... Dok, bagaimana perkembangan soal pencarian ibu susu untuk anak Pak Marsel?"
Nawang terus memerhatikan mereka berdua. Entah mengapa, obrolan mereka begitu menarik perhatian Nawang. Dia juga penasaran, ingin tahu tentang keadaan anaknya Marsel.
"Apa Pak Marsel sudah mendapatkan ibu susu untuk anaknya, Dok?" Perawat itu bertanya lagi sambil menatap serius wajah dokter di hadapannya.
Dokter menggeleng pelan. "Sampai sekarang, Pak Marsel belum mendapatkan ibu susu untuk anaknya. Dan kabarnya stok ASI perah dari pendonor kemarin sudah mau habis."
Penjelasan dokter tersebut membuat Nawang terkejut. Bukannya Marsel sendiri yang bilang kalau dia sudah mendapatkan ibu susu untuk anaknya? Maka Marsel menolak lamaran Nawang waktu itu.
"Apakah Marsel berbohong?" pikir Nawang dalam hati.
***
Luna memalingkan wajah sejenak sambil cemberut. Tangannya ditekuk di depan dada. Diam-diam dia menghembuskan napas kesal. "Sial! Ternyata dia curiga kalau itu bukan masakanku," gerutunya dalam hati. Tapi tekat untuk meluluhkan hati Marsel tidak pudar. "Masak Kak Marsel nggak percaya sih? Tadi aku beneran belajar masak dengan mamaku," kilahnya. Dia tidak begitu saja putus asa. Meski Marsel belum sepenuhnya percaya, dia memberi anggukan kecil sekedar untuk menghargai."Oke lah. Aku makan ya." Marsel mulai menyendok makanan itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia tampak mengunyah sambil mengoreksi rasanya. "Rasanya lumayan. Enak juga," ucapnya sambil manggut-manggut "Mamamu pintar masak ya?"Luna langsung tersenyum lebar. Wajahnya sumringah. Walaupun itu sebuah kebohongan, tak apa. Yang penting Marsel tampak menyukai makanan yang dia bawa. "Syukurlah kalau Kak Marsel suka. Besok aku bawain makan siang lagi ya. Mau aku masakin apa?" tanyanya dengan antusias. "Oh ... nggak usah rep
"Eng-enggak apa-apa kok, Kak. Cuma ngobrol biasa. Tante tanya gimana kabarku selama ini," kilah Luna. Matanya tak berani menatap Marsel lama. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain setelah menjawab pertanyaan Marsel. "Yakin? Aku lihat kalian ngobrol serius banget lho," tanya Marsel lagi sambil bersendekap dada. "Iya, Kak. Memangnya Kak Marsel mikirnya kita lagi ngobrolin apa?" Marsel membuang napas kecil. "Nggak apa-apa. Ya sudah. Lupakan saja.""Kalau gitu aku pamit dulu ya, Kak," ujar Luna buru-buru. Dia bergegas keluar rumah dan masuk ke dalam mobil. "Hampir saja aku ketahuan. Aku harus menghubungi Tante Intan lagi buat menyusun rencana selanjutnya," ucap Luna sendiri sambil fokus mengemudi. ***Hari demi hari, Luna semakin berambisi untuk mendapatkan Marsel. Dia semakin tertantang dan tidak rela jika posisi kakaknya digantikan oleh seorang pembantu. "Apa yang harus saya lakukan, Tante?" tanya Luna saat mengajak Intan bertemu di sebuah restoran mewah untuk makan siang bersama
Lama-lama rasa penasaran Luna pun mulai terpatik. Dia yang dulu memang pernah naksir dengan Marsel mulai tertarik untuk bersaing dengan Nawang. "Kayaknya seru nih kalau aku rebut Kak Marsel dari Nawang. Lagian nggak ada salahnya kan? Mereka belum menikah. Dan Kak Marsel lebih cocok bersanding denganku daripada sama si pembantu itu." Rencana jahat mulai muncul di kepala Luna. "Aku harus temui Tante Intan lagi." Luna bergegas kembali mencari mamanya Marsel. Dia berjalan sembari tersenyum lebar. Seolah kemenangan sudah pasti berada di tangannya. "Tante!" panggilnya, saat Intan sedang asyik melihat bunga-bunga mawar yang bermekaran di taman depan rumah. "Eh ... Luna. Kenapa? Udah selesai kelilingnya?" tanya Intan balik. "Sudah, Tante. Tapi, Te, tadi aku lihat Kak Marsel lagi berduaan sama Nawang di kamar Axelle. Mereka lagi ngobrol apa ya? Apa lagi bahas aku ya? Aku jadi nggak enak nih, Te," pancing Luna. Seketika wajah Intan pun merah padam. "Apa? Mereka lagi berduaan? Ini nggak bi
"Apa Marsel akan menerima perempuan itu menjadi istrinya?" Nawang duduk sambil memeluk lutut di atas lantai kamar Axelle. Tembok bercat putih di hadapannya menjadi saksi kegelisahan hatinya. "Kalau iya, berarti aku sudah nggak ada kesempatan buat kembali sama dia," pikirnya lagi. Benih cinta yang mulai tumbuh kembali di antara mereka kembali membuat suasana hatinya ditumbuhi rasa cemburu. "Ah ... kenapa aku jadi mikir begini? Jelas saja Marsel akan menerima perempuan itu. Sudah cantik, kaya dan yang pasti direstui sama mamanya. Sadar diri dong, Nawang. Kamu ini siapa. Hanya pembantu di rumah ini." Nawang terus merutuki dirinya sendiri dalam hati. Meski dia sudah mengakui akan perasaan yang mulai kembali berkembang itu, Nawang harus tetap memiliki pikiran untuk sadar diri. Sementara suasana di ruang tamu berubah menjadi tegang. Bahkan Marsel berusaha menghindari kontak mata dengan Luna. Bukan karena dia takut akan jatuh cinta dengan Luna, tapi karena dia tidak nyaman duduk bersama
"Selamat pagi, Tante!" Intan langsung membelalak melihat siapa yang berdiri di depannya setelah pintu terbuka. Luna tersenyum lebar dan terlihat begitu manis. "Wah ... pagi-pagi aku kedatangan tamu istimewa. Yuk masuk, Lun!" Intan menyambutnya dengan suka cita. "Duduk sebentar! Kamu mau minum apa? Biar Tante buatkan.""Apa saja, Tante.""Mau susu atau jus?""Em ... jus juga boleh, Tante.""Oke. Tante buatkan jus alpukat khusus buat kamu.""Terima kasih banyak, Tante. Maaf kalau merepotkan.""Ah ... nggak apa-apa. Justru Tante senang sekali kamu mau main ke sini. Karena itu tandanya ..." Intan tak melanjutkan ucapannya. Tapi wajahnya bersemu merah. Dia tahu ini artinya Luna menyetujui tawaran dia tempo hari. Intan melangkah penuh semangat menuju dapur, memilih buah alpukat terbaik di dalam kulkas dan menghaluskannya dengan blender. Dia sedang menyiapkan minuman spesial untuk calon menantu kesayangannya. "Bikin jus buat siapa? Kenapa sambil senyum-senyum gitu? Bikinin juga buat aku
"Lho, Pak Marsel, mau ke mana?" sergah kedua anak buahnya saat Marsel hendak menuju sebuah toko perhiasan di depannya. "Mau ke sana," tunjuknya. Mereka berdua sejenak saling pandang. "Jadinya mau dibelikan perhiasan emas, Pak?" tanya mereka seolah tak percaya. Marsel mengangguk. "Iya. Kalian tunggu di sini saja!" perintahnya. "Baik, Pak," jawab mereka serempak. Setelah Marsel melangkah pergi, mereka berdua mulai membicarakan bosnya tersebut."Baru kali ini ada pembantu ulang tahun dikasih perhiasan emas sama bosnya," ujar pria pertama. "Iya. Aku juga. Ini si Nawang yang beruntung apa Pak Marsel sih yang ...""Yang apa?""Em ... anu ..." dia garuk-garuk kepala "Kamu ngerasa ada yang aneh nggak sih di antara mereka?""Iya sih. Jangan-jangan mereka pacaran!""Bisa jadi. Kalau emang iya, wah ... tuh perempuan hokinya dobel.""Nggak heran sih. Dia memang cantik, anggun, baik, telaten, sayang sama Axelle. Minusnya satu saja.""Apa?""Nggak punya harta. Kayak kita.""Mangkanya mamanya