Pov Sinta"Biar aku saja, " ucapku penuh penekanan sambil merebut pekerjaan menyiapkan makan malam. "Nggak apa-apa, Nak. Biar Ibu saja, " ujar ibu mertua lembut. "Nggak usah. Aku saja, " ujarku menatap tajam ke arah ibu mertuaku. Terlihat ibu mertuaku langsung menunduk kemudian keluar dari dapur. Cih, dasar cengeng. Sebenarnya aku tak sudi melakukan pekerjaan rumah seperti ini. Tetapi gara-gara kemarin aku harus berpura-pura baik kepada ibu mertuaku agar mas Dika tak memarahiku lagi. Sungguh sial nasibku kemarin. Baru pertama kali aku di bentak oleh Mas Dika. Padahal sebelumnya mas Dika begitu tunduk kepadaku. Apapun kemauan ku pasti akan dituruti olehnya. Ish, aku merasa sangat kesal. Ini semua gara-gara Ibu mertuaku yang tak becus ngerjain sesuatu. Dan tak kusangka saat aku membentak ibu mertua, mas Dika tiba-tiba datang dan memarahiku. Jadi terpaksa untuk menghindari kecurigaan mas Dika, aku harus melakukan pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan oleh ibu mertua. Padahal seh
Pov Rayhan"Haish, kenapa aku jadi kepikiran cewek itu sih, " gumamku sambil memijat pelipisku. "Kamu kenapa, Ray. Sakit? " tanya Angga sahabatku. "Enggak kok, Ngga. Cuma sedikit pening aja, " ucapku berbohong. Tak mungkin kan aku jujur mengatakan kalau aku tiba-tiba kepikiran cewek yang kemarin jadi pelayan di rumah makan tempat kami berkumpul kemarin. "Kamu istirahat aja dulu, Ray. Biar nanti para mahasiswa baru aku yang urus sama anak-anak yang lain, " ujar Johan, salah satu sahabatku juga. Aku, Angga dan Johan sedang berada di kantin. Menyiapkan energi untuk nanti mengospek para mahasiswa baru. "Udah tenang aja kalian. Aku nggak apa-apa kok, " ucapku menenangkan. "Semua persiapan sudah beres, kan? " tanyaku lagi. "Sudah, Ray. Kamu tenang aja, " ujar Angga kemudian menyantap sarapannya. Aku, Angga dan juga Johan adalah salah satu senior yang di tugaskan untuk mengatur jalannya ospek ini. "Ya sudah kita habiskan sarapan kita, setelah itu kita cek anak-anak yang sedang ospek
"Ish, apaan sih. Kenapa cowok nyebelin ini pakai berhenti disini sih, " gumamku dalam hati. "Heh, kamu dengar aku bicara nggak sih? " tanyanya datar. "Eh, iya, Kak. Aku nungguin temanku yang baru ambil sepeda motor di parkiran, Kak, " jawabku mencoba ramah. Kalau tak ingat dia adalah ketua panitia ospek, tak sudi lah aku bicara ramah dengannya. Ish, dasar cowok nyebelin. "Oh." Hanya satu kata yang dia ucapkan, setelah itu dia berlalu meninggalkanku. "Dasar cowok nyebelin! " teriakku saat cowok itu pergi dengan sepeda motor nya. Aku langsung menutup mulutku ketika tiba-tiba dia menoleh ke belakang. Entah ekspresi apa yang ditunjukkan padaku, sebab wajahnya yang tertutup oleh helmnya. "Kamu kenapa, Ra? "Aku terlonjak karena tiba-tiba Amanda sudah berada di belakangku dengan menaiki sepeda motornya. Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar suara sepeda motor nya. Apa gara-gara aku mengumpat cowok nyebelin itu? "Woi! " teriak Amanda di depan wajahku yang membuat aku sedikit ter
"Jujur apa, Nak? " tanya ibuku menatap lembut ke arahku, sedangkan tanganya masih memegang kakiku yang ada di pangkuannya. "Sebenarnya .... ""Bu! Ibu! Kamu dimana sih! Itu Sindi nangis! "Belum sempat aku mengungkapkan kejujuran, tiba-tiba sudah terpotong oleh teriakan nenek lampir, eh, maksudku mbak Sinta dari luar. Dan apa aku tak salah dengar? Kenapa dia malah manggil ibuku, padahal yang nangis kan anaknya. Dasar tak tau malu. "Sebentar ya, Nak, " ucap ibuku sambil meletakkan kaki kiriku ke atas kasur dengan hati-hati. Sebelum ibu beranjak, aku langsung menahan lengannya. "Bu, sudahlah, Bu. Sindi itu anaknya Mbak Sinta. Kenapa yang kerepotan malah Ibu? " ucapku sendu. "Nggak apa, Nak. Sindi juga cucu Ibu. Ibu senang kok ngajak Sindi, " ucap ibuku dengan seulas senyum. Kalau sudah begini, aku tak bisa mencegah ibu melakukan pekerjaan yang sebenarnya bukan tugasnya. Kakiku sudah tak begitu sakit setelah di urut oleh ibuku. Karena tadi saat pulang meja depan tak ada jualan ibu
Pov Sinta"Hai, anak manja! Kamu dengar aku bicara nggak sih? " tanyaku menekan setiap kata. Karena merasa kesal dengan Zahra yang menghiraukan ketika aku tegur, tak mungkin aku meneriakinya, karena ini sudah malam dan tak ingin membuat mas Dika menyalahkanmu lagi. "Ish, dasar anak manja kurang ajar! " ucapku sambil merapatkan gigiku karena rasa kesal yang tak tersampaikan, karena melihat Zahra berlalu masuk ke kamar tanpa merespon ucapanku. "Huh." Aku menghela nafas kemudian melanjutkan langkahku yang ingin ke kamar mandi. Semua penghuni rumah mungkin sudah tidur, suami dan anak-anakku sudah tidur setelah isya tadi. Sementara aku dari tadi masih scrolling sosial mediaku. Supaya tak ketinggalan berita terbaru. Tapi kemudian aku merasa ingin buang air kecil, baru keluar kamar aku mendengar seseorang membuka pintu depan."Bagus, jam segini baru pulang. Kuliah kok sampai jam segini, " ucapku sambil menyilangkan kedua tanganku. Seperti tak mendengar ucapanku, Zahra berlalu melewatiku
Pov Bu Ami"Bu, aku berangkat kuliah dulu ya. Dan mungkin nanti aku akan pulang malam lagi, soalnya mau ngerjain tugas di rumah teman Zahra, " pamit putriku seraya mencium telapak tanganku. "Iya, Nak. Tapi kalau boleh Ibu tau, kenapa kok kamu sering pulang larut malam, Nak? " tanyaku penasaran, karena beberapa hari ini aku perhatikan Zahra selalu pulang sekitar jam sepuluh malam. "I-itu, Bu. A-aku .... "Oeeek oeek. Tiba-tiba terdengar suara tangisan Sindi. Aku dan Zahra segera melangkah ke kamar Dika untuk melihat Sindi. Karena tadi aku lihat Sinta mengajak Bian keluar dari rumah. Entah kemana mereka. Saat aku buka pintu kamar putraku itu, terlihat cucu perempuan ku itu sudah menangis histeris. Aku segera menggampirinya dan mencoba menenangkannya. "Sindi kenapa, Bu? " tanya Zahra yang berdiri di belakangku. "Ibu juga kurang tau. Sepertinya dia haus. Emm, nanti kalau kamu berangkat kuliah dan melihat kakak iparmu tolong suruh pulang ya, Nak. Bilang kalau Sindi rewel, dan Ibu mau
"Ugh, hari ini begitu melelahkan. Banyak pelanggan yang datang ke rumah makan. Sampai biasanya ada istirahat setengah jam, tapi hari ini tadi di potong karena pelayan yang lain pada keteteran, " gumamku sambil melangkah menuju ke rumahku,setelah tadi turun dari ojek online.Ojek online yang aku tumpangi tidak mengantar sampai rumah karena memang di desaku ini ada jam malam, dimana kalau sudah jam sebelas portal ditutup. Biasanya kalau aku di antar Amanda, portal masih dibuka. Sedangkan tadi, aku harus menanti lama pesanan ojek online ku. Sebenarnya Amanda tadi menawarkan untuk mengantarku, tapi aku menolaknya karena sungkan dan kasihan juga kepada Amanda kalau harus bolak balik. Saat berbelok menuju gang rumahku, tampak di depan rumahku masih ramai, itu artinya ibu belum menutup warungnya. "Eh, Neng Riska. Darimana, Neng? Kok baru pulang? " tanya pak Jamal yang berpapasan denganku. "Itu, Pak. Tadi ada urusan, " ucapku sambil tersenyum. "Pak Jamal dari warung Ibu ya? " tanyaku menc
"Haah, sungguh cerah hati ini, " gumamku sambil berjalan menuju ke jalan raya, untuk naik angkot berangkat ke kampus. Bagaimana tak cerah, pagi ini rasanya begitu tenang. Tak ada suara nenek lampir yang biasanya selalu mengoceh tak henti-henti. Karena kata ibu, mbak Sinta dan mas Dika serta anak-anaknya akan berada di rumah orang tua mbak Sinta dalam waktu dua sampai tiga hari. Kata ibu sih, lagi ada acara nikahan adiknya mbak Sinta. Entahlah, aku juga tak begitu tertarik membahas tentang mbak Sinta. Yang penting dalam dua atau tiga hari lagi, rumah akan tenang dan juga Damai. Melewati rumah Bu Sulis, terlihat dia sedang menyapu terasnya. "Selamat pagi, Bu, " sapaku ramah. Tapi aku malah mengernyit ketika melihat bu Sulis yang tak merespon sapaanku. Dan terlihat dia menatap diriku sini. Ada apa ini? Tak ingin banyak berpikir, aku melanjutkan langkahku menjauhi rumah bu Sulis. Baru beberapa langkah aku berpapasan dengan bu Handa yang sepertinya baru pulang dari warung pojok, kare