Share

BAB 6

Penulis: cerita titipan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-09 14:47:14

Dan saat orang-orang seperti mereka mulai gelisah, mereka cenderung kembali ke satu hal yang paling membuat mereka nyaman: satu sama lain.

Itulah yang kulihat dua hari setelah “insiden amplop” itu.

Pagi hari, aku turun lebih lambat dari biasanya. Di tengah tangga, aku mendengar suara musik mengalun dari dapur, lagu lawas yang dulu sering diputar Ibu saat aku masih kecil: Kasih Putih. Suara kran air, suara piring beradu, lalu tawa kecil yang terlalu hangat untuk waktu sesingkat itu.

Saat aku sampai di ruang makan, aku berhenti di ambang pintu.

Davin sedang berdiri di belakang Marlina, membantu mengikat celemek di pinggangnya. Tangan mereka bertaut sebentar. Tidak terlalu mencolok, tapi cukup untuk menyampaikan kedekatan yang tak wajar.

“Kalian cocok juga kalau buka warung berdua,” ucapku sambil tersenyum setengah.

Davin langsung mundur selangkah. Marlina menoleh dan tertawa kecil. “Ah, Ibu cuma dibantu sebentar.”

Aku duduk. “Sampai diikatkan celemek juga dibantu?”

Davin mengangkat bahu. “Aku cuma bantu. Kamu juga biasa gitu, kan?”

Aku tidak menjawab. Tapi aku tahu, kalian semakin nyaman Di atas kehancuranku?

Hari itu aku diam. Tapi bukan karena menyerah. Aku hanya mengamati lebih dekat. Davin memanggil Marlina dengan nama depan sekarang, bukan “Ibu” seperti biasanya. Mereka bercanda soal makanan, tentang iklan yang muncul di TV, bahkan soal mimpi-mimpi aneh yang mereka alami, seperti dua orang yang sedang saling mencari titik temu dalam hubungan baru yang tak berani diakui. Aku tahu aroma itu, Aku tahu bahasa tubuh itu, Aku tahu caranya Davin tertawa pelan dan menunduk saat malu. Aku tahu karena dulu semua itu ditujukan padaku. Tapi kini, semuanya diarahkan pada perempuan yang melahirkanku.

Aku tidak menegur. Sebaliknya, aku mulai memperlunak sikap. Menjadi lebih ceria, lebih ramah. Aku kembali menulis puisi-puisi pendek dan meletakkannya di meja makan. Kali ini temanya tentang "keikhlasan", "keluarga", dan "pengampunan".

Dan mereka mulai percaya bahwa aku sudah pasrah. Sudah menerima semuanya. Padahal aku hanya sedang memberi tali yang lebih panjang agar mereka makin berani melangkah.

Dan benar saja, malam itu aku melihat sesuatu yang meyakinkanku: mereka bukan lagi sekadar nyaman, tapi mereka sudah menyatu.

Pukul 00.17 malam. Aku memutar ulang rekaman kamera kecil yang kutaruh di lorong ruang keluarga. Gambar hitam putih, suara pelan, Tapi cukup jelas.

Davin keluar dari kamar kami dengan kaus tipis dan celana tidur. Ia berjalan pelan menuju kamar tamu. Tidak mengetuk, Hanya memutar gagang pintu dan masuk.

Beberapa menit kemudian, cahaya dari bawah pintu terlihat mati. Suara langkah tak terdengar lagi. Aku menonton layar itu selama lima belas menit. Tidak ada yang keluar.

Dia tidur di sana malam ini. Di kamar Marlina.

Besok paginya, saat aku turun, Davin sudah rapi dan duduk membaca koran. Marlina sedang menyiapkan sarapan. Ia terlihat sangat segar, Lipstiknya sedikit lebih merah, dan blus yang dipakainya adalah blus yang aku beri tahun lalu, Hadiah ulang tahun. Sekarang tampak seperti properti keintiman.

“Kamu tidur nyenyak, Vin?” tanyaku sambil menuang teh.

Davin sedikit terkejut, tapi cepat mengangguk. “Iya. Capek banget semalam.”

“Oh ya?” aku duduk. “Aku sempat bangun. Kupikir dengar langkah di lorong. Tapi pas kulihat, kosong.”

Marlina membalik telur dadar terlalu cepat, isinya pecah berantakan.

“Aku juga denger tadi malam,” sahutnya cepat. “Mungkin tikus.”

Aku mengangguk sambil tersenyum. “Iya, mungkin.”

Sore itu, aku duduk sendiri di taman kecil belakang rumah. Angin kering mengusap pipiku. Aku membaca ulang semua catatan jurnal yang kutulis sejak awal. Kata-kata yang tadinya penuh luka kini terasa seperti senjata. Aku menulis:

“Cinta tidak harus tampak, kadang ia berbentuk senyap dan menjijikkan. Seperti jamur yang tumbuh di pojok lembap. Dan orang-orang seperti Davin dan Marlina, tidak menyadari bahwa cinta yang mereka bagi... sedang membusuk bersama waktu.”

Malamnya, aku pura-pura tertidur lebih cepat. Lampu kamarku mati sejak pukul sembilan. Tapi aku tidak benar-benar tidur. Aku duduk di ranjang, earphone terpasang di telinga, menyimak suara dari mikrofon di ruang keluarga. Dan saat waktu melewati tengah malam, suara langkah itu datang lagi, Sama seperti malam sebelumnya.

Davin keluar, Pintu kamar tamu terbuka, Marlina menyambutnya, Ada suara cekikikan pelan. Sebuah kalimat dari Davin yang kudengar jelas:

“Aku mimpi kamu semalam.”

Marlina menjawab, “Aku juga. Tapi lebih enak nyata.” Lalu... sunyi. Sunyi yang berdurasi lama. Terlalu lama.

Aku menutup laptop, bukan karena tak sanggup mendengarkan. Tapi karena aku tak ingin mereka tahu aku sudah sejauh ini.

Pagi harinya, aku membuat sarapan lebih dulu dari mereka. Aku menyiapkan roti bakar, omelet, dan dua cangkir teh panas. Di salah satu cangkir, aku masukkan satu lembar kertas kecil puisi singkat yang kutulis dengan tangan:

“Kau boleh menumpang di tubuhnya,

Tapi ingat, darahnya masih mengalir dari aku.

Dan setiap nafas yang kau hirup,

Akan berubah jadi kutukan dalam diam.”

Aku letakkan cangkir itu di tempat biasanya Davin duduk. Lalu aku kembali ke lantai atas, menyaksikan dari balik jendela saat mereka turun bersama.

Davin membaca puisinya diam-diam. Wajahnya menegang. Ia melirik ke arah dapur, lalu ke arah jendela. Matanya mencari sesuatu, atau seseorang.

Marlina datang dari belakang, menepuk bahunya, lalu duduk. Tapi ia tahu, ada sesuatu yang berubah pagi itu.

Aku menulis:

“Mereka tak pernah tahu kapan aku mendengar, kapan aku menonton, dan kapan aku akan bergerak. Tapi mereka akan tahu satu hal: bahwa setiap kepingan dari kebersamaan yang mereka nikmati... sudah kutandai dengan pelan, satu per satu.”

Dan saat waktunya tiba, aku hanya perlu satu dorongan kecil untuk menjatuhkan semuanya.

Sebab tak ada yang lebih mesra dari dua pengkhianat yang merasa aman.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 14

    Tiga hari terakhir, aku tidak banyak bicara. Bukan karena menyerah, tapi karena sedang mengamati. Marlina dan Davin semakin tenang, terlalu tenang. Mereka sudah seperti pasangan tua yang saling mengenal pola satu sama lain. Tapi justru dari ketenangan itu, aku tahu mereka mulai lengah. Dan kelengahan adalah celah paling mahal yang bisa kumiliki.Hari itu aku kembali duduk di meja makan untuk pertama kalinya dalam seminggu. Kupilih kursi yang menghadap ke dapur, agar bisa melihat pergerakan mereka. Marlina sedang memotong wortel. Davin duduk sambil membaca koran. Aku tahu mereka tahu aku ada di situ, tapi tidak ada yang menyapa lebih dari sekadar lirikan. Mungkin mereka pikir aku sudah lelah atau kalah. Mereka salah.“Bu, di mana buku catatan dapur yang biasanya?” tanyaku tiba-tiba.Marlina menoleh, masih memegang pisau. “Buku catatan apa?”“Itu, yang biasa dipakai Ayah buat nyatet belanja. Yang hijau.”“Oh itu. Udah lama hilang. Mungkin kebuang waktu bersihin gudang. Kenapa?”“Nggak a

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 13

    Sudah hampir seminggu sejak aku dan Laila terakhir bertemu. Tidak ada pesan masuk darinya. Tidak ada panggilan. Mungkin dia sudah memutuskan untuk tidak terlibat. Atau mungkin, seperti yang lain, dia sedang mencari cara untuk percaya bahwa semua yang kualami hanya hasil pikiranku sendiri.Sementara itu, rumah ini semakin sunyi. Tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi di sini terasa seperti jalan panjang menuju keterasingan. Keberadaanku mulai di hilangkan dan psikologisku mulai terkikis sedikit demi sedikit. Situasi ini sangat tidak normal, namun berbeda dengan mereka.Marlina dan Davin tetap bersikap seolah semuanya normal. Mereka berbagi ruang dengan begitu alami, tapi selalu menjaga batas saat aku ada. Tak ada pelukan, tak ada sentuhan mencurigakan, tak ada tatapan mesra di depan mataku. Tapi aku bisa mencium aroma kedekatan mereka yang makin pekat. Dan kini mereka tidak hanya mengendalikan situasi, tapi juga ritme rumah ini. Jadwal makan, apa yang dimasak, kapan lampu dimatikan.

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 12

    Apakah aku sudah gila? Atau aku sudah kehilangan kesadaranku? Karena Aku mulai bicara pada benda mati. Kursi yang selalu kosong di meja makan. Jendela kamar yang memantulkan wajahku. Sendok yang kulempar ke wastafel dengan terlalu keras, berharap ada yang bertanya kenapa. Tapi tak ada, Bahkan suara gemericik air pun terdengar lebih nyata daripada suamiku sendiri. Mungkin bukan aku yang sudah gila, tapi mungkin psikologisku yang sedang dipermainkan.Hari ini, Marlina dan Davin semakin nyaman di rumah ini, seolah-olah merekalah pasangan suami istri yang sah. Mereka tertawa di dapur, bercakap di ruang tengah, duduk terlalu dekat saat menonton TV. Tapi begitu aku muncul, semuanya diam. Seolah aku perusuh dalam rumahku sendiri, seolah olah akulah yang menumpang di rumah ini.Suatu malam, aku terbangun karena haus. Saat menuruni tangga, aku melihat lampu dapur masih menyala. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, kudengar bisikan-bisikan, Suara Davin dan suara Marlina begitu samar ku dengar

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 11

    Sejak hari itu, aku berhenti membedakan pagi dan malam. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku bangun karena cahaya matahari, atau tidur karena rasa lelah. Di rumah ini, waktu tidak lagi berarti. Yang tersisa hanya jeda di antara satu luka dan luka yang lainnya.Davin dan Marlina semakin pandai mengatur segalanya. Mereka tidak menyembunyikan hubungan mereka dengan cara bersembunyi, mereka menyembunyikannya dengan membuatku tampak gila, sehingga tidak ada yang percaya apa pun yang kulihat atau kudengar. Dan perlahan, aku mulai mempertanyakan diriku sendiri.Setiap pagi, aku turun ke dapur dan mendapati meja makan hanya memiliki dua piring, Dua gelas dan Dua sendok. Aku tidak pernah tahu apakah itu disengaja atau karena mereka benar-benar sudah tidak menganggapku bagian dari rumah ini.Aku coba membuat kopi sendiri, tapi gula tidak ada di tempatnya, Air galon mendadak habis, Sendok kecil entah di mana. Semua terasa seperti teka teki dan aku adalah orang asing yang berusaha membaca bahas

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 10

    Namun sangat disayangkan kebenaran dan keadialan yang ku tunggu tunggu, Tapi hari itu belum datang. Yang datang justru hari-hari penuh kehampaan, di mana aku sadar, sedikit demi sedikit, aku sedang dihapus dari hidup mereka dan dari lingkungan sosialku.Pagi itu, saat turun ke dapur, aku mendapati meja makan sudah terisi penuh. Roti panggang, telur dadar, potongan buah segar, dua cangkir kopi semuanya tampak rapi dan hangat. Tapi tak ada satupun yang untukku. Mereka seakan akan sedang menghilangkan keberadaanku di rumah ini.Marlina sedang menyusun piring, sementara Davin duduk di meja, menggulir layar ponsel.“bu belum sarapan?” tanyaku pelan.Marlina menoleh sekilas. “Oh... aku kira kamu masih tidur.”“Biasanya aku turun jam segini.”Davin mengangkat cangkir kopinya, menyesap, dan hanya menjawab, “Kami kira kamu lagi nggak mau makan bareng.” Aku diam, Tidak ada satu pun kursi yang ditarik untukk, Tidak ada piring tambahan.Aku tidak diusir, tapi perlahan ditiadakan.Beberapa hari ke

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 9

    Itu pikiranku malam itu, Tapi ternyata, aku terlalu percaya diri. Terlalu yakin bahwa aku masih mengendalikan semuanya. Ternyata, mereka tidak hanya bereaksi, Mereka membalas, Bukan dengan teriakan atau perdebatan, tapi dengan hal yang lebih licik yaitu membentuk opini. Dan opini itu lebih mematikan daripada peluru.Malam itu, aku menyendiri di kamar lantai atas. Tapi kali ini, tidak sebagai pengamat, bukan sebagai pemilik rencana, Tapi sebagai perempuan yang baru saja kehilangan kendali.Keesok Paginya , setelah sarapan, aku menemukan amplop putih di depan pagar. Tidak tertulis nama, hanya satu baris singkat:“Berhenti. Atau kami akan buatmu percaya bahwa kamu memang gila.”Tanganku menggenggam kertas itu begitu kuat hingga kusut, Aku menatap sekeliling. Jalanan sepi, Tidak ada orang di luar, Hening, Tapi rasanya semua mata tertuju padaku dari balik jendela. Saat aku masuk, Marlina sedang menyapu ruang tamu. Ia melirikku sekilas, lalu tersenyum kecil.“Kamu keluar pagi-pagi? Udara ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status