Tiga hari terakhir, aku tidak banyak bicara. Bukan karena menyerah, tapi karena sedang mengamati. Marlina dan Davin semakin tenang, terlalu tenang. Mereka sudah seperti pasangan tua yang saling mengenal pola satu sama lain. Tapi justru dari ketenangan itu, aku tahu mereka mulai lengah. Dan kelengahan adalah celah paling mahal yang bisa kumiliki.Hari itu aku kembali duduk di meja makan untuk pertama kalinya dalam seminggu. Kupilih kursi yang menghadap ke dapur, agar bisa melihat pergerakan mereka. Marlina sedang memotong wortel. Davin duduk sambil membaca koran. Aku tahu mereka tahu aku ada di situ, tapi tidak ada yang menyapa lebih dari sekadar lirikan. Mungkin mereka pikir aku sudah lelah atau kalah. Mereka salah.“Bu, di mana buku catatan dapur yang biasanya?” tanyaku tiba-tiba.Marlina menoleh, masih memegang pisau. “Buku catatan apa?”“Itu, yang biasa dipakai Ayah buat nyatet belanja. Yang hijau.”“Oh itu. Udah lama hilang. Mungkin kebuang waktu bersihin gudang. Kenapa?”“Nggak a
Sudah hampir seminggu sejak aku dan Laila terakhir bertemu. Tidak ada pesan masuk darinya. Tidak ada panggilan. Mungkin dia sudah memutuskan untuk tidak terlibat. Atau mungkin, seperti yang lain, dia sedang mencari cara untuk percaya bahwa semua yang kualami hanya hasil pikiranku sendiri.Sementara itu, rumah ini semakin sunyi. Tapi bukan sunyi yang menenangkan. Sunyi di sini terasa seperti jalan panjang menuju keterasingan. Keberadaanku mulai di hilangkan dan psikologisku mulai terkikis sedikit demi sedikit. Situasi ini sangat tidak normal, namun berbeda dengan mereka.Marlina dan Davin tetap bersikap seolah semuanya normal. Mereka berbagi ruang dengan begitu alami, tapi selalu menjaga batas saat aku ada. Tak ada pelukan, tak ada sentuhan mencurigakan, tak ada tatapan mesra di depan mataku. Tapi aku bisa mencium aroma kedekatan mereka yang makin pekat. Dan kini mereka tidak hanya mengendalikan situasi, tapi juga ritme rumah ini. Jadwal makan, apa yang dimasak, kapan lampu dimatikan.
Apakah aku sudah gila? Atau aku sudah kehilangan kesadaranku? Karena Aku mulai bicara pada benda mati. Kursi yang selalu kosong di meja makan. Jendela kamar yang memantulkan wajahku. Sendok yang kulempar ke wastafel dengan terlalu keras, berharap ada yang bertanya kenapa. Tapi tak ada, Bahkan suara gemericik air pun terdengar lebih nyata daripada suamiku sendiri. Mungkin bukan aku yang sudah gila, tapi mungkin psikologisku yang sedang dipermainkan.Hari ini, Marlina dan Davin semakin nyaman di rumah ini, seolah-olah merekalah pasangan suami istri yang sah. Mereka tertawa di dapur, bercakap di ruang tengah, duduk terlalu dekat saat menonton TV. Tapi begitu aku muncul, semuanya diam. Seolah aku perusuh dalam rumahku sendiri, seolah olah akulah yang menumpang di rumah ini.Suatu malam, aku terbangun karena haus. Saat menuruni tangga, aku melihat lampu dapur masih menyala. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, kudengar bisikan-bisikan, Suara Davin dan suara Marlina begitu samar ku dengar
Sejak hari itu, aku berhenti membedakan pagi dan malam. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku bangun karena cahaya matahari, atau tidur karena rasa lelah. Di rumah ini, waktu tidak lagi berarti. Yang tersisa hanya jeda di antara satu luka dan luka yang lainnya.Davin dan Marlina semakin pandai mengatur segalanya. Mereka tidak menyembunyikan hubungan mereka dengan cara bersembunyi, mereka menyembunyikannya dengan membuatku tampak gila, sehingga tidak ada yang percaya apa pun yang kulihat atau kudengar. Dan perlahan, aku mulai mempertanyakan diriku sendiri.Setiap pagi, aku turun ke dapur dan mendapati meja makan hanya memiliki dua piring, Dua gelas dan Dua sendok. Aku tidak pernah tahu apakah itu disengaja atau karena mereka benar-benar sudah tidak menganggapku bagian dari rumah ini.Aku coba membuat kopi sendiri, tapi gula tidak ada di tempatnya, Air galon mendadak habis, Sendok kecil entah di mana. Semua terasa seperti teka teki dan aku adalah orang asing yang berusaha membaca bahas
Namun sangat disayangkan kebenaran dan keadialan yang ku tunggu tunggu, Tapi hari itu belum datang. Yang datang justru hari-hari penuh kehampaan, di mana aku sadar, sedikit demi sedikit, aku sedang dihapus dari hidup mereka dan dari lingkungan sosialku.Pagi itu, saat turun ke dapur, aku mendapati meja makan sudah terisi penuh. Roti panggang, telur dadar, potongan buah segar, dua cangkir kopi semuanya tampak rapi dan hangat. Tapi tak ada satupun yang untukku. Mereka seakan akan sedang menghilangkan keberadaanku di rumah ini.Marlina sedang menyusun piring, sementara Davin duduk di meja, menggulir layar ponsel.“bu belum sarapan?” tanyaku pelan.Marlina menoleh sekilas. “Oh... aku kira kamu masih tidur.”“Biasanya aku turun jam segini.”Davin mengangkat cangkir kopinya, menyesap, dan hanya menjawab, “Kami kira kamu lagi nggak mau makan bareng.” Aku diam, Tidak ada satu pun kursi yang ditarik untukk, Tidak ada piring tambahan.Aku tidak diusir, tapi perlahan ditiadakan.Beberapa hari ke
Itu pikiranku malam itu, Tapi ternyata, aku terlalu percaya diri. Terlalu yakin bahwa aku masih mengendalikan semuanya. Ternyata, mereka tidak hanya bereaksi, Mereka membalas, Bukan dengan teriakan atau perdebatan, tapi dengan hal yang lebih licik yaitu membentuk opini. Dan opini itu lebih mematikan daripada peluru.Malam itu, aku menyendiri di kamar lantai atas. Tapi kali ini, tidak sebagai pengamat, bukan sebagai pemilik rencana, Tapi sebagai perempuan yang baru saja kehilangan kendali.Keesok Paginya , setelah sarapan, aku menemukan amplop putih di depan pagar. Tidak tertulis nama, hanya satu baris singkat:“Berhenti. Atau kami akan buatmu percaya bahwa kamu memang gila.”Tanganku menggenggam kertas itu begitu kuat hingga kusut, Aku menatap sekeliling. Jalanan sepi, Tidak ada orang di luar, Hening, Tapi rasanya semua mata tertuju padaku dari balik jendela. Saat aku masuk, Marlina sedang menyapu ruang tamu. Ia melirikku sekilas, lalu tersenyum kecil.“Kamu keluar pagi-pagi? Udara ma