Share

BAB 5

Penulis: cerita titipan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-09 14:47:05

Satu hal yang kupelajari dari hidup serumah dengan pengkhianat adalah: mereka paling takut pada hal yang tidak mereka ketahui. Ketika tak ada yang dikatakan, tapi semuanya terasa salah, itulah saat pertahanan mereka mulai retak. Dan hari ini, aku siap mengetuk retakan itu.

Pagi ini aku bangun lebih awal. Kuikat rambutku rapi, berdandan tipis, dan memakai blus putih yang dulu sering kupakai saat kerja. Kupilih aroma parfum yang tajam tapi lembut, yang selalu membuat Davin memelukku lebih lama dulu.

Lalu aku turun ke dapur seperti biasanya, duduk di meja makan, dan menatap Marlina yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.

“Bu,” panggilku pelan.

Ia menoleh. “Iya, Sayang?”

“Semalam aku mimpi aneh.”

“Wah, mimpi apa?”

“Mimpi ada ular di kamar Ibu. Tapi yang aneh, ularnya bisa bicara. Dia bilang dia akan mencuri apa pun yang kupunya. Bahkan tulangku.”

Wajah Marlina diam sesaat. Sendok sup di tangannya berhenti bergerak.

Lalu ia tertawa kecil. “Wah, ngeri juga. Bisa jadi kamu stress karena masih kepikiran kehilangan bayi kamu, Nak.”

“Mungkin,” jawabku sambil menatap matanya dalam-dalam. “Tapi aku nggak takut sama ular. Aku cuma heran kenapa dia tahu namaku.”

Dia tak menjawab. Tapi tangannya mulai kembali sibuk. Terlalu sibuk, seperti ingin cepat menyelesaikan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.

Davin datang beberapa menit kemudian, langsung mencium pipiku dan duduk. Marlina menyuguhkan kopi seperti biasa. Aku mengambil secarik kertas dari tas kecilku dan meletakkannya di tengah meja.

“Eh, ini apa?” tanya Davin.

“Puisi,” jawabku sambil tersenyum. “Lagi belajar menulis lagi. Iseng aja.”

Ia membacanya keras-keras:

“Kau datang sebagai ibu,

Tapi matamu menyimpan gairah istri.

Di antara dua napasku,

Kucium pengkhianatan berbentuk ciuman sunyi.”

Davin terdiam di baris ketiga. Tangannya melipat kertas itu pelan.

Marlina tersenyum kaku. “Bagus puisinya. Dalam.”

Aku tersenyum. “Terima kasih. Aku masih belajar menyusun rasa jadi kalimat. Kadang terlalu jujur.”

Mereka tidak berkata apa-apa setelah itu. Tapi dari cara Davin menyentuh gagang cangkirnya terlalu keras, dan Marlina mengusap keningnya tanpa alasan, aku tahu: mereka sedang bertanya-tanya. Dan itu yang aku inginkan.

Hari itu aku pergi keluar rumah. Kali ini aku benar-benar ke toko buku, membeli dua jurnal kosong dan satu pena tinta hitam, Tapi bukan itu tujuanku. Aku pergi ke sebuah kios fotokopi di ujung kota. Tempat itu sepi, dan pemiliknya tak banyak tanya.

“Aku mau cetak ini lima lembar. Tanpa watermark,” kataku sambil menyerahkan flashdisk.

Ia menatapku sekilas, lalu memasukkan perangkat itu ke komputer. Lima menit kemudian, aku menerima lima amplop cokelat, masing-masing berisi foto: Marlina sedang menyentuh pipi Davin, duduk terlalu dekat, dengan ekspresi yang terlalu akrab. Aku tersenyum puas dan pulang.

Malamnya, saat rumah sunyi, aku menyelipkan satu amplop di dalam tas Marlina. Satu di laci kerja Davin. Satu di bawah sofa. Satu di meja dapur, tertutup koran. Dan satu kubawa ke kamar.

Aku tidak tahu siapa yang akan menemukan duluan. Tapi aku tidak peduli.

Aku tidak butuh pengakuan. Aku hanya ingin kegelisahan.

Keesokan paginya, Marlina memasuki kamarku tanpa mengetuk. Wajahnya pucat.

“Arumi... kamu lihat ada orang yang masuk ke kamarku?”

Aku menatapnya. “Maksudnya?”

“Ini... ada amplop... foto... aneh.”

“Foto?”

Ia mengeluarkan lembaran foto itu. Aku menatapnya sekilas, pura-pura terkejut.

“Ya Tuhan... Itu ibu sama Davin?”

Dia cepat-cepat menyembunyikannya kembali. “Enggak, itu cuma... angle-nya menipu. Nggak ada apa-apa. Tapi aku takut, siapa yang kirim beginian?”

Aku menahan senyum. “ibu pikir siapa?”

Marlina tidak menjawab. Tapi matanya berkedip cepat. Napasnya pendek.

“Apa kamu pikir aku yang masukkan ke situ?” tanyaku pelan.

“Bukan. Bukan begitu. Tapi kamu... kamu kan sekarang suka curiga... suka menyendiri... jadi Ibu pikir mungkin kamu...”

Aku berdiri. “Aku suka menyendiri karena aku butuh menyembuhkan diri. Bukan karena aku gila.”

Dia membuka mulut, tapi tak berkata apa-apa.

“Aku juga dapat amplop yang sama, Bu. Tadi pagi. Di meja dapur.”

Kami saling menatap. Tapi kali ini, bukan lagi ibu dan anak. Kami adalah dua musuh yang sedang menyembunyikan belati di balik senyum.

Davin pulang malam itu lebih cepat dari biasanya. Ia langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. Tak bicara sepatah kata pun.

Besoknya, ia sarapan dalam diam. Tak menyentuh kopi. Tak memandang siapa pun.

Ketegangan itu nyata. Dan aku tahu: mereka mulai saling mencurigai satu sama lain.

Malam itu, aku duduk di balkon kamar lantai atas sambil mencatat dalam jurnal.

“Rasa bersalah tidak muncul karena kesalahan. Ia muncul ketika seseorang mulai takut rahasianya bukan lagi rahasia.”

Aku menutup jurnal, mematikan lampu, dan membiarkan gelap menelanku.

Tapi aku tersenyum.

Karena aku tahu: aku tidak lagi sendirian dalam pertanyaan. Sekarang, mereka juga mulai bertanya-tanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 8

    Permainan ini memang sudah tak seimbang sejak awal. Mereka pikir aku hanya istri yang rapuh, Anak yang kehilangan arah, Perempuan yang sedang belajar menerima kenyataan bahwa anaknya meninggal dan suaminya menjauh.Tapi mereka lupa satu hal: tidak ada perempuan yang lebih berbahaya daripada perempuan yang tidak punya lagi rasa kehilangan. Dan sekarang, aku bukan lagi Arumi yang menunggu keadilan.Aku adalah Arumi yang sedang mengarahkan mereka ke hukuman.Aku sengaja membiarkan folder itu di laptop Davin. Tidak dikunci betulan. Tapi cukup merepotkan untuk dibuka oleh orang awam. Dan seperti kuduga, dia pasti mencobanya.Dia pasti menghabiskan malamnya dengan rasa tidak tenang, membayangkan isi folder yang mungkin berisi rekaman, bukti, atau pengakuan. Padahal, isinya hanya satu dokumen Word: kosong, hanya satu kalimat di tengah halaman.“Kamu tidur di mana malam ini?”Tidak lebih. Tapi cukup untuk membuatnya gemetar. Karena aku tahu dia tidur bukan di sampingku. Dan aku tahu dia tahu

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 7

    POV DAVIN.Entah sudah berapa lama hubunganku dengan marlina belangsung. Sampai-sampai aku lupa bahwa Arumi bukan lagi perempuan rapuh yang hanya menangis dalam diam. Tapi Marlina selalu tahu cara membuatku lupa segalanya.Pagi itu, saat kami duduk di meja makan, cangkir tehnya tergeletak seperti biasa. Tapi ada sesuatu di dasar gelasnya, Bukan daun the, Bukan ampas kopi, tapi Kertas kecil, terlipat rapi. Bukan tulisan mesin, itu tulisan Tangan Arumi. Marlina membacanya lebih dulu, lalu diam.Aku mengambil kertas itu dan membaca cepat.Tidak ada nama, Tidak ada ancaman langsung, Tapi nadanya tajam, Tegas. Seolah Arumi tahu. Atau setidaknya, curiga."Apa maksudnya ini?" bisikku.Marlina menyambar kertasnya kembali, merobek menjadi dua, lalu empat, lalu delapan bagian. Dimasukkannya ke dalam saku celemeknya."Dia ngetes. Tapi dia belum tahu apa-apa. Jangan panik." Tapi aku tidak bisa tenang hari itu.Malamnya, aku mengetuk pintu kamar tamu seperti biasa. Marlina membukakan pintu sambil

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 6

    Dan saat orang-orang seperti mereka mulai gelisah, mereka cenderung kembali ke satu hal yang paling membuat mereka nyaman: satu sama lain.Itulah yang kulihat dua hari setelah “insiden amplop” itu.Pagi hari, aku turun lebih lambat dari biasanya. Di tengah tangga, aku mendengar suara musik mengalun dari dapur, lagu lawas yang dulu sering diputar Ibu saat aku masih kecil: Kasih Putih. Suara kran air, suara piring beradu, lalu tawa kecil yang terlalu hangat untuk waktu sesingkat itu.Saat aku sampai di ruang makan, aku berhenti di ambang pintu.Davin sedang berdiri di belakang Marlina, membantu mengikat celemek di pinggangnya. Tangan mereka bertaut sebentar. Tidak terlalu mencolok, tapi cukup untuk menyampaikan kedekatan yang tak wajar.“Kalian cocok juga kalau buka warung berdua,” ucapku sambil tersenyum setengah.Davin langsung mundur selangkah. Marlina menoleh dan tertawa kecil. “Ah, Ibu cuma dibantu sebentar.”Aku duduk. “Sampai diikatkan celemek juga dibantu?”Davin mengangkat bahu

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 5

    Satu hal yang kupelajari dari hidup serumah dengan pengkhianat adalah: mereka paling takut pada hal yang tidak mereka ketahui. Ketika tak ada yang dikatakan, tapi semuanya terasa salah, itulah saat pertahanan mereka mulai retak. Dan hari ini, aku siap mengetuk retakan itu.Pagi ini aku bangun lebih awal. Kuikat rambutku rapi, berdandan tipis, dan memakai blus putih yang dulu sering kupakai saat kerja. Kupilih aroma parfum yang tajam tapi lembut, yang selalu membuat Davin memelukku lebih lama dulu.Lalu aku turun ke dapur seperti biasanya, duduk di meja makan, dan menatap Marlina yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.“Bu,” panggilku pelan.Ia menoleh. “Iya, Sayang?”“Semalam aku mimpi aneh.”“Wah, mimpi apa?”“Mimpi ada ular di kamar Ibu. Tapi yang aneh, ularnya bisa bicara. Dia bilang dia akan mencuri apa pun yang kupunya. Bahkan tulangku.”Wajah Marlina diam sesaat. Sendok sup di tangannya berhenti bergerak.Lalu ia tertawa kecil. “Wah, ngeri juga. Bisa jadi kamu stress karena masih

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 4

    Davin tertawa ringan saat aku mengumumkan rencanaku di meja makan.“Aku butuh pindah kamar, Vin. Di atas lebih tenang. Cahaya paginya bagus. Kayaknya aku bisa mulai menulis lagi.”Dia menoleh ke arah ibuku yang sedang menuang kuah sup ke mangkuknya. “Kalau itu bisa bantu kamu pulih, nggak masalah.”Ibuku ikut mengangguk, ekspresinya antara simpati dan lega. “Ibu bantu bersihin kamarnya besok, ya?”Aku tersenyum. “Terima kasih, Bu. Aku juga nggak enak sebenarnya. Tapi aku butuh jarak.”“Kamu nggak ganggu sama sekali, Nak.”Aku tahu. Aku memang tidak mengganggu, aku hanya mengawasi.Kamar lantai atas itu dulu ruang kerja kami, sebelum aku hamil dan mulai sering lemas. Sejak saat itu ruangan itu kosong, hanya jadi tempat menyimpan barang-barang tak terpakai. Tapi sekarang, ruangan itu menjadi pos pengamatan. Dari jendela kecilnya, aku bisa melihat bagian belakang rumah: pintu dapur, ruang keluarga, bahkan lorong menuju kamar tamu yang kini jadi markas ibuku, atau ku sebut saja Marlina.

  • Ibuku Menikahi Suamiku   BAB 3

    Ada yang berubah dari napasku sejak malam itu. Aku tidak lagi tercekat karena sedih, tapi karena menyimpan sesuatu yang belum kuberitahu siapa pun. Aku menyimpan kebenaran seperti bom yang siap meledak, tapi bukan hari ini, Bukan sekarang.Pagi datang seperti biasa. ibuku sedang di dapur, sibuk menyeduh teh. Wajahnya bersih, bibirnya dipoles warna merah muda pucat yang baru. Ia mengenakan apron yang dulunya adalah milikku, dan kini seperti milik pribadinya. Sementara Davin duduk di meja makan, menggulir layar ponsel, lalu menatap ibu mertuanya itu dengan senyum samar. Keduanya terlalu nyaman.“Aku mau ke toko buku siang ini,” kataku sambil duduk.Davin mengangguk tanpa menoleh. “Mau beli apa?”“Jurnal kosong. Aku mau mulai nulis lagi.”Marlina tersenyum. “Bagus. Menulis bisa bantu kamu pulih.”Aku mengangguk. Tapi sebenarnya, aku tak akan membeli jurnal. Aku akan membeli waktu.Setelah keluar rumah, aku tidak langsung ke toko buku. Aku berjalan kaki menyusuri gang sempit ke arah taman

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status