Share

Ide Gila Risma

"Kamu bilang cinta, tapi, tak menepati janji! Kita bukan lagi abg, Emir ...." Sesak napasku, bila mengingat janjinya tempo lalu.

Di sinilah kami, di antara Risma. Dengan napas tersengal, amarah sekaligus rindu bercampur menjadi satu. Aku heran, kenapa hati ini begitu mudah terjatuh pada makhluk ciptaan-Mu Ya Rabb?

Salahku, yang terlalu berharap. Mana mungkin Emir mencintai janda sepertiku? Terlebih dengan aturan yang ketat dari Bapak, itu jelas akan menambah segala ketidakmungkinan antara aku dengannya!

"Maaf." Aku mendengkus kasar, menatap lelaki manis yang tengah mengatupkan kedua tangan di dada.

"Apa dengan kata maaf, semua akan selesai? Aku ini janda, Emir ...." Setitik air mata jatuh, aku hanya tak menyangka kenapa diri ini begitu mudah rapuh.

"Aku tak datang, bukan berarti sengaja tak menepati janji, Dwi. Ada satu hal dan yang lainnya, percayalah ... aku akan berjuang. Kita berjuang bersama," ucapnya, yang membuat dadaku semakin nyeri.

Bila tak ingat iman, ingin aku berlari memeluk lelaki jangkung yang tengah berdiri tenang. Menyusup dalam dekapannya, berbagi segala rasa. Nyatanya aku lemah, aku ternyata butuh sandaran.

"Bapakmu, rupanya tahu perihal rencanaku yang ingin melamarmu, Dwi. Tanpa tedeng aling-aling, beliau melarangku untuk datang." Netraku membeliak, ya, aku sudah menduganya. Bapak betul-betul ingin mengibarkan satu peperangan!

Aku hempas, tak yakin bisa melawan, Bapak. Statusku sebelumnya sudah cukup merobek hati beliau, aku sendiri belum yakin pada Emir. Meski kita pernah berteman, aku tak tahu apakah dia lelaki setia?

"Kamu yang tenanglah, Dwi." Risma, menggenggam satu tanganku. "In Syaa Allah, Emir ... lelaki setia. Buktinya, dia mau menunggumu selama itu. Empat kali kamu menikah, Wi. Sedangkan dia, bertahan menunggu jandamu! Hehehee."

Degh!

Apakah, apakah menunggumu itu bisa dijadikan jaminan?

"Ooooh, rupanya Emir ini toh. Yang selalu bikin rumah tanggamu gagal, Dwi!" Sosok Bapak muncul, itu membuatku semakin tak enak pada Emir.

"Bapak! Maksud Bapak apa? Tolonglah, jangan terus berprasangka tidak baik. Emir ini 'kan temanku Pak, tetangga kita juga." Aku terus mengguncang lengan beliau, yang menatap lurus pada Emir.

Maafkan aku, Emir. Harusnya yang dibenci Bapak, adalah keempat mantanku. Bukan kamu! Aku merasa, Bapak tengah mencari pelampiasan.

"Buka mata hatimu selebar mungkin, Dwi! Bisa jadi lelaki ini memakai ilmu hitam. Agar pernikahanmu selalu gagal, karena dia cemburu nggak bisa dapetin kamu. Iya toh?" Tertegun aku mendengar penuturan beliau, setipis itukah iman si Emir, Pak?

Astagfirullah. Aku mengelus dada, kalau dibiarkan ini bisa menjalar ke mana-mana. Aku nggak mau, Ibu Emir keluar dan menyaksikan anaknya diperlakukan tak baik oleh Bapak. Aku bisa kehilangan muka sebelum berjuang!

"Saya, tak punya apa-apa, Pak. Apalagi sampai menganut ilmu hitam, saya tulus mencintai anak, Bapak." Direntangkannya kedua tangan Emir, senyumnya tak pernah lepas. Seakan tak terpengaruh dengan ucapan Bapak, yang terus menohok.

"Tak perlulah kamu menjual cinta, sebab, yang dulu-dulu juga sama. Dan akhirnya mendua, anak saya yang terus jadi korban." Nada sendu, terdengar dari mulut Bapak. Bibirnya bergetar menahan emosi, yang mungkin saja ingin meledak. Duaaaar!

"In Syaa Allah, Bapak, bisa percayakan Dwi pada saya. Saya sudah menunggunya lama, apa itu kurang cukup bukti? Tak sekali pun saya berhubungan dengan wanita lain, hanya demi menjaga hati." Ditepuknya dada, menatapku dengan lembut.

Allah, kenapa hatiku terasa meleleh? Kamu Emir 'kan? Kenapa kamu nggak dari dulu aja Mir, kayak gini. Terpesona aku dibuatmu!

**

"Masuk kamu, Dwi!" Dilemparnya tubuhku menuju kursi ruang tamu, kasar. Meninggalkan sakit pada tubuh, "Kamu baru selesai masa iddah, tapi, sudah berani ingin menerima lamaran lelaki. Di mana otakmu?!"

Aku tergugu, otakku di sini, Pak!

"Bapak, nggak akan semudah itu menerima si Emir. Hanya karena dia tetangga atau teman Sdmu, Dwi. Ingat, kamu pernah gagal berkali-kali! Tolong, jadikan pelajaran jangan buat hati Bapak makin sakiiiit!" Ditunjuknya aku, dengan emosi yang makin meluap.

Kalau tahu akan begini, kenapa aku pulang? Harusnya aku di kota saja, belajar hidup mandiri meski tanpa suami. Gara-gara aku, Bapak yang lembut berubah kasar!

"Masuklah, jangan terima tamu. Termasuk Risma sekali pun, lama-lama Bapak jantungan mikirin keganjenan kamu, Dwi. Yang nggak bisa menjaga kehormatan seorang janda, sengaja menemui lelaki itu di rumahnya. Betul-betul wanita zaman sekarang!"

Brakkk!!!

Biasanya aku yang masuk kamar terlebih dulu, sekarang Bapak. Aku merasa semakin berdosa saja, ingin pergi tapi, Bapak tak akan mengizinkan. Dengan kabur yang ada, Bapak. Tambah murka!

Kepalaku pusing. Memikirkan semua yang ada, benarkah kata Bapak kalau aku ini keganjenan? Aku hanya ingin punya pendamping, biar bisa lepas dari Bapak. Dan pikiran beliau kembali lurus, tapi, aku harus bagaimana?

Ponselku berdering, dan nama Risma terpampang jelas di sana. "Ini rumit, Dwi. Benar-benar rumit!"

"Ucapkan salam!" Terdengar kekehan panjang di ujung sana, menurut juga dia akhirnya.

"Dwi, Bapakmu kita carikan jodoh saja. Biar dia ada yang ngurus, barangkali ... Pak Syamsul kelamaan menyendiri." Tersentak kaget aku mendengar usul dari Risma, apa Ibu nggak marah? Menangis, karena tahu aku sendiri yang akan menjodohkannya dengan wanita lain.

Ish, aku nggak relalah ada sosok wanita lain yang menggantikan Ibu. Aku rasa, Bapak juga sudah tua. Cukup aku yang mengurusnya, Bapak sekarang kayak gitu. Karena lelah melihatku yang selalu berakhir gagal, itu saja aku yakin!

"Usulmu terlalu gila, Ris. Bapakku itu sudah tua, udah bukan waktunya lagi ngurusin kayak begitu." Kembali, Risma terkikik. Emang dari dulu, temanku yang satu ini selalu gila pemikirannya!

"Yaudah, aku minta maaf. 'Kan aku hanya ngasih saran, ciye ... yang udah tahu kalau kamu cinta pertamanya Emir, ehem-ehem." Lagi, Risma tertawa. Kali ini makin gila, stress kata aku sih ini anak.

Pipiku menghangat, membayangkan jika Emirlah yang terakhir akan menjadi suamiku. Cinta sejati, Ya Allah ... bisakah kami bersatu?

"Kamu tuh emang paling bisa, sejak kapan kalian menyembunyikan ini dariku?" tanyaku, manyun. Meski si penelpon tak tahu, bagaimana reaksi wajahku.

"Sejak kapan ya? Aku lupa tepatnya kapan, tapi, udah lamalah. Lama dong, dari SD sampai sekarang, gila! Cinta mati si Emir sama kamu, Dwi! Bisa dipastikan dia lelaki setia, udah gitu dia juga manis, kok. Nggak jelek-jelek amat, aku juga kalau belum nikah maulah sama dia, hehehheee."

"Ish, maunya!"

Aku memang nikah muda kala itu. Rasa cintaku pada mantan suami yang pertama, seakan menutup Emir dari pandangan mataku. Ya, Emir. Hingga menikah kedua, ketiga, dan keempat. Aku baru menyadarinya, beruntung lamaran Pak Lurah kemarin aku tolak!

Ah ya, sudah lama aku tak menerima teror. Mungkinkah Pak Lurah lelah? Syukurlah, aku tak mau bersuamikan dia. Aku paling anti sama cowok tukang selingkuh, terlebih Pak Lurah ini istrinya empat. Hiiiiiiy, bergidik ngerilah aku!

Dering ponselku kembali berbunyi, sedang sambungan telpon dengan Risma belum mati. Ke manalah si Risma ini?

"Awwww, Mas. Geli, jangan. Awww. Mas." Astagfirullah, si Risma ini memang bar-bar. Memerah mukaku membayangkan dirinya yang sedang diapa-apakan suaminya, hinga menjerit. Ish, kumatikan telpon secara sepihak.

Yang menelpon tadi mati dengan sendirinya. Namun, satu chat membuatku terhenyak. [Assalammualaikum, Dwi. Ini aku Emir, dapet nomormu dari Risma. Lagi sibuk ya, nggak jawab telponku?]

Aku menggeleng keras, jantung seakan berdegup tak karuan. Terlebih saat ponsel kembali berdering, angkat jangan angkat jangan?

Ya Allah, kenapa, kok tanganku terasa kebas begini? Padahal baru ditelpon, tapi, udah bikin jantungan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status