Share

Cinta Pertama Emir

"Masuklah, Dwi! Lelaki pecundang itu tak akan pernah datang. Barangkali, dia sadar. Kamu hanyalah janda hina!" Napasku tercekat, demi mendengar ucapan Bapak. Yang terasa menusuk kalbu, benarkah Emir menilaiku sedemikian rupa?

Hal itukah yang membuatnya urung datang? Emir, aku bahkan sudah masak banyak. Demi menyambut kedatanganmu, kenapa, kenapa kamu menorehkan luka sebelum rasa itu berkembang lebih lama juga dalam?

"Kenapa Bapak menyebutku janda hina? Gerangan apa yang kulakukan? Hingga Bapak tega," tanyaku, menatap kedua manik matanya.

Kutatap rumah Emir di seberang sana, gelap. Seperti tak ada kehidupan, kau ke mana, Emir? Aku serius menganggap lamaranmu tadi siang, tapi, kenapa kau tega dengan tak datang tanpa memberi kabar?

"Bapak rasa, yang namanya janda memang hina. Sebab, mereka tak bisa mempertahankan rumah tangganya." Pedas, ucapan Bapak terasa menohok. Aku berdiri, tak lagi mengenali sosok Bapak yang lembut.

"Begitu, aku hanya tak ingin dimadu. Aku tak sanggup berbagi! Apa itu salah?!" Kutekan dada, nyeri semakin menjalar.

Akan kuingat ucapan Bapak seumur hidup. "Dwi rasa, mungkin Bapak sudah lelah. Biarlah Dwi pergi, menjauh dari kampung. Biar Bapak lega, tak ada lagi beban."

"Ngomong apa kamu, Dwi?! Kamu nggak akan pergi, tega kamu ninggalin Bapak yang udah tua. tinggal nunggu koit," sahutnya, dengan emosi.

"Bapak!" jeritku, tak kalah emosi. "Aku minta maaf, karena perceraianku dengan Mas Rifal membuat Bapak seperti ini. Sungguh, Dwi sedih. Ugh huhuhu ...."

"Masuklah, Dwi! Sudah malam, Emir tak akan datang." Suaranya yang keras, kembali lembut. Aku menurut, rasanya percuma menunggu tanpa kejelasan.

"Dari mana Bapak tahu, kalau Emir tidak akan datang? Jangan bilang, Bapak yang membuatnya tak pernah sampai menemuiku di rumah." Jikalah tebakanku benar, tega sekali beliau.

Aku tahu, Emir tak pernah mengingkari janji. Kami lama berteman, aku tahu betul wataknya seperti apa. Emir, tak pernah pacaran. Bahkan hingga sekarang, tak ada satu pun wanita yang berhasil dia bawa ke rumah.

Apa mungkin karena aku? Selama itu penantian Emir? Bisa jadi karena Emir, aku tak pernah mulus dalam menjalani rumah tangga. Hatinya tak pernah ikhlas melihatku dengan yang lain!

"Jangan menuduh tanpa bukti, Dwi. Itu jatohnya soudzon, dan ini Bapakmu sendiri. Hargailah!"

Ya, aku memang menaruh rasa curiga. Bisa saja Bapak di balik ketidakdatangan Emir, entah ancaman apa yang beliau cetuskan pada teman lamaku itu.

"Tidurlah, sudah malam. Tutup semua jendela, jangan menemui siapa pun. Meski ada yang datang, bukan di pintu utama!" Aku terperangah mendengarnya, sudah kupastikan Bapak menguping obrolanku dan Emir siang tadi.

Kedua tanganku mengepal, air mata menitik. Jika bukan karena beliau Bapakku, sudah kuhardik saja dengan kata-kata kasar.

Beliau serius, ingin menjaga sekaligus menyiksaku!

Akan kubawa ke mana perasaan ini Emir? Tak bisakah kita berjuang bersama?

Aku masuk lebih dulu, ingin memastikan apakah Emir kembali menemuiku? Satu jam menunggu, rasa kantuk menyerang. Lelaki yang Bapak bilang pecundang itu, tak menampakan diri.

Emir, aku kecewa. Harapanku pupus, sebelum menyambutmu mengatakan semua pada Bapak.

**

"Loh, Nak Dwi nggak tahu toh? Emir, mendadak pergi ke kota. Ada urusan mendesak, setelah menerima telpon." Begitu kata Ibunya, saat aku sengaja mendatangi rumahnya tatkala Bapak keluar entah ke mana.

"Kata Emir, dia akan menetap di kampung, Bu." Kuungkap saja keganjalan di hati.

Senyum ramah diperlihatkannya padaku, beliau janda mati. Memutuskan sendiri, seperti Bapak. "Memang, dia mengatakan akan berjuang mendapatkan cinta pertamanya. Hahhaa."

Aku terperanjat, akukah cinta pertamamu itu Emir?

"Ibu tahu siapa cinta pertamanya?" tanyaku, menyimpan debaran di dada.

"Nggak tahulah, Dwi. Emir itu tertutup," ungkapnya, yang membuatku kembali kecewa. "Dia sudah terlalu lama menjomblo, padahal banyak juga yang menginginkan Emir. Tapi, ya gitulah Emir selalu menolak."

Hatiku seakan tergelitik ingin tahu, benarkah Emir banyak yang suka?

"Kamu tahu, anak Pak Lurah yang dari istri pertama? Nah, dia itu suka sama Emir. Sering juga mengunjungi Ibu ke mari, tapi, ya gitu ... lagi-lagi Emir menolak." Tampak geleng-geleng kepala saja Ibunya Emir, mungkin tak habis pikir.

"Ibu jadi penasaran sama cinta pertamanya si Emir ini, kayak apa anaknya? Sampai-sampai, membuatnya bertekuk lutut." Pipiku memanas, jika benar itu aku. Malulah aku!

Emir, kamu bahkan pergi ke kota tanpa pamit. Itukah yang membuatmu membatalkan rencana lamaran?

Tanpa sadar, aku sudah banyak memupuk harapan pada Emir. Tak apalah, toh masa idahku sudah habis. Aku terbuka pada Emir, jika benar dia ada niatan baik.

Aku tak ingin terus bersama Bapak, menghancurkan pikirannya yang sudah tua. Semoga saja pernikahan kelima ini yang terakhir, sungguh aku berharap padamu, Emir.

"Omong-omong, Emir pulang kapan, Bu?" tanyaku, mengalihkan pembicaraan tentang siapa cinta pertama Emir. Aku bahkan masih belum percaya.

"Ibu juga nggak tahu, Nak Dwi. Semoga saja cepet, eh memang ada apa Nak Dwi nanyain Emir terus?" Aku meneguk ludah, saat Ibu Emir menatapku penuh ingin tahu.

Aku menggeleng lemah, menetralkan segala debaran di dada. "Kami mulai kembali dekat. Maksud Dwi ... pertemanan kami juga Risma, setelah reuni singkat. Hehheee."

"Ahh, begitu. Yasudah, nanti sepulang Emir. Ibu, akan langsung bilang perihal kamu." Aku mengulum senyum, pamit pulang setelah berbasa-basi terlebih dulu.

Aku berjalan, menikmati hembusan angin yang terasa menusuk kulit. Baru sehari kamu pergi, Mir. Aku mengatakan sudah rindu, tak sabar menanti lamaran yang sempat tertunda.

Bolehkah aku berharap? Setelah kegagalan yang seakan terus menertawakan diri.

Bahkan Bapakku sendiri saja selalu memandang hina, aku tahu beliau yang paling sakit.

"Dwi!" Panggilan itu, mau tidak mau menghentikan langkahku. Risma? Aku berlari menuju padanya, memeluk erat dengan isakan tangis.

"Ish, kamu kenapalah, Dwi? Kita hanya sehari tidak bertemu." Dia mengurai pelukan kami, ditengoknya mataku yang sembab.

"Banyak yang terjadi rupanya, setelah aku pergi. Katakan apa yang dilakukan Bapakmu? Hingga membuat teman sekaligus sahabatku bersedih."

Kami melangkah menuju rumahku, dengan Risma yang terus berceloteh. Dia memang juara bawel, setelah juara makan tentunya.

"Emir." Hanya satu nama itu, yang memang terus berkeliaran di pikiranku.

"Kenapa si Emir?" tanyanya, yang tampak heran.

"Ris, apa yang kamu tahu tentang Emir. Siapa cinta pertamanya? Hingga membuat dia bertahan menjomblo." Langsung saja kutanyakan, aku seakan tak ingin mengalah lagi pada waktu.

Risma, tampak menggigit bibir. "Apakah itu aku?" Dengan pede, aku bertanya.

Wajah sengit ditunjukan Risma padaku, "Kenapa harus kamu? Kayak nggak ada cewek lain saja, ck!"

Memang susah bicara sama anak satu ini. "Aku tahu sih, tapi, udah janji nggak bakalan buka mulut."

Netraku membeliak, "Ris, aku juga teman kalian sahabat. Kenapa aku sendiri saja yang nggak tahu rahasia kalian?"

"Karena ... kamulah cinta pertamaku, Dwi!"

Degh!

Tubuhku rasanya mau oleng, kalau saja Risma tak sigap. Kamukah itu, Emir?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status