Share

Lelaki Dari Masa Lalu

"Apa nggak salah kamu, Mir? Ngasih anak Bapak buku? Buat apa?" Aku meneguk ludah, tak berani menatap netra Bapak yang mungkin saja tak menyukai pemberian pria lain sekarang.

"Ah, itu ... a-nu, Dwi kan suka banget baca buku. Di sana juga banyak ilmu yang bisa Dwi serap," sahut Emir, yang tampak gugup.

"Anak pintar." Aku mendadak pusing, mendengar pujian Bapak pada Emir. Beliau lantas berlalu, seakan tak mempermasalahkan. Apa mungkin karena kami berteman?

Tumpukan buku di tanganku, membuat rasa ingin membaca kembali membuncah. Bisa sedikitlah membuatku lupa dari masalah hidup, juga rencana Bapak tempo lalu. Yang masih meningggalkan degup jantung tak beraturan.

"Bener kata Bapakmu, Wi. Si Emir pinter juga ngasih oleh-oleh, kamu 'kan emang suka baca dari dulu. Nah aku, ini ... dia ngasih banyak cemilan. yang tinggal digoreng. Aduh Emiirrr, baik banget sih kamu." Aku mencebik, tadi saja dia nampak tak peduli dengan kehadiran Emir. Memang Risma tuh, kalau soal makan-memakan juara deh!

Kedatangan Emir, sedikit membuatku lupa pada masalah. Aku yang takut tinggal bareng Bapak, terus memikirkan bagaimana menjalani hari juga malam-malam dengan rencana gilanya itu!

"Makasih ya, Mir. Tapi, ini banyak banget bukunya. Aku sampai bingung mau baca yang mana dulu, hehhee." Kutatap pria hitam manis tersebut, yang entah mengapa pandangannya seakan tak beralih dari menatapku sedari tadi. Astagfirullah.

"Yang mana saja, yang menurutmu lebih menarik, Wi. Aku tahu dari dulu kamu itu pintar." Aku terhenyak, pintar apanya? Aku saja sudah menjanda empat kali, status yang membuatku betul-betul malu!

Hal itu juga yang membuat Bapak, menjadi terkesan lebih hati-hati sekarang. Selama di sini, baru Pak Lurah yang datang melamar. Semoga selanjutnya tidak ada, aku ingin sendiri dulu.

"Oh ya, Mir. Kamu sendirian? Nggak bawa calon, ish usiamu itu 'kan sudah menginjak kepala tiga kalau di kampung kita itu namanya bujangan lapuk. Segitu nggak lakunya apa kamu di kampung, Mir." Risma ini, kalau berucap seakan tak disaring saja. Aku melihat mimik wajah Emir, yang berubah sendu.

"Tak apalah, Mir. Dibanding aku yang empat kali gagal, lebih baik begitu dulu. Sampai kamu menemukan satu-satunya, yang bisa menemani seumur hidup."

"Ciileeeeh, gayamu, Wi. Iyalah yang sama-sama jomblo," godanya, yang kini membuat pipiku terasa memanas.

"Doakan saja, Ris. Aku memang pulang sedang mencari jodoh saja di kampung." Sambil berkata begitu, Emir menatapku lekat. Nah maksudnya apa ini?

Aku menunduk, menggeleng lemah. Menetralkan rasa yang terus berdebar-debar, betul kata Bapak aku ini orangnya mudah jatuh hati. Emir 'kan teman SD, hadehh.

"Hm." Suara itu, ternyata Bapak muncul lagi. Dan itu membuatku seakan waspada, "Kamu pulanglah, Mir. Bapak, sekarang tidak sembarang membiarkan Dwi dekat dengan lelaki mana pun."

Dahiku mengernyit, tapi ini 'kan Emir. "Pak ...."

"Nggak apa, Wi. Aku juga memang mau pamit, itu saja yang mau aku beri. Nah, ini satu lagi bungkusan isinya kopi buat Bapak."

"Terima kasih, pulanglah!" Disambarnya bungkusan hitam berisi kopi, sikap Bapak nggak sopan. Emir sampai terlihat bingung, aku kira Bapak welcome sama temanku itu.

Kemarahanku ingin meledak saja, kalau tidak ingat ada Risma.

"Wi, aku pulang ya? Besok kita ngobrol lagi, kasian suamiku ditinggal terlalu lama." Kulepas kepergian Risma, setelah dia pamit pula pada Bapak.

Malas aku berdua saja di rumah ini.

**

"Kubur semua perasaanmu terhadap lelaki, Dwi. Bapak tidak akan mengizinkannya! Sudah cukup status janda empat kali, Bapak, tak lagi percaya pada lelaki mana pun. Termasuk Emir," cetusnya, yang membuat dadaku semakin bergemuruh.

"Maksud Bapak apa sih? Kok, jadi ngatur perasaan yang aku sendiri juga mana bisa mencegahnya!" Padahal itu Emir, kenapa beliau lebih waswas dibanding lamaran Pak Lurah.

"Bapak tahu betul, Emir itu suka sama kamu. Dari dulu, cuma kamunya aja. Yang milih lelaki kota, dan berakhir menyakitkan." Tubuhku menegang, benarkah begitu?

Emir suka aku dari dulu? Kenapa aku nggak tahu? Aku rasa sikapnya netral saja, padaku juga Risma.

Hanya memang tadi ... agak beda memang. Dia memberiku buku, sedang Risma cemilan. Dulu, apa pun yang dia beri pasti disamakan padaku dengan Risma. Itu makanya, aku tak pernah berpikir macam-macam.

"Kalau pun si Emir suka sama aku, yaudahlah Pak, biarin aja. Kita mana bisa mengatur perasaan orang," ucapku, yang mulai tersulut emosi.

"Kalau begitu, aturlah perasaanmu seapik mungkin. Dwi, jangan sampai Almarhumah Ibumu menangis karena kamu yang selalu salah menjatuhkan hati!" Pedas ucapan Bapak, begitu menohokku.

Ya, aku memang bodoh! Kerap kali menikah pada pria yang tidak seharusnya!

"Setelah ini, mungkin saja kamu akan terus menjanda seumur hidup. Karena Bapak sendiri, yang akan menghalau banyaknya lamaran." Aku meneguk ludah, kenapa sampai seperti itu?

Aku yang bercerai, hati Bapak yang lebih tercerai-berai. Aku sampai kehabisan kata, demi mematahkan pemikiran beliau.

"Terserah Bapak saja, Dwi capek!" teriakku, menutup pintu kamar sekeras mungkin. Aku hanyut dalam tangisan, merasa takdir tak pernah adil!

Kata orang, aku ini cantik. Kembang desa, memang banyak yang melamar. Dan aku sekali pun, tak pernah menerima pinangan orang sini. Apa mungkin sekarang aku menjatuhkan hati saja pada orang kampung, biar lepas dari Bapak.

Hatinya pasti tak pernah tenang, kalau aku menjanda. Di mana harus kutemukan lelaki setia? Rasanya sudah langka, apalagi kalau lelaki itu cukup banyak duit. Dihempaslah aku, setelah dirasa ada wanita yang lebih cantik dan aduhai!

Tok tok tok ....

Dahiku mengernyit, jendela kamarku ada yang mengetuk. Tapi, siapa?

"Dwi ...." Netraku membeliak, kuhapus air mata. Menyibak selimut yang sedari tadi menutupi tubuh.

"Emir ...." Pria manis itu melempar senyum, membuatku jadi salah tingkah.

"Ada apa, Mir? Ada yang tertinggal?" bisikku, takut ketahuan Bapak.

"Iya."

"Apa? Memangnya apa yang tertinggal?"

"Hati, ya hatiku tertinggal di sini." Aku terkikik pelan, si Emir ini bisa saja merayu.

"Buatmu."

Aku semakin kaget, saat dia menyodorkan satu buket bunga. Cantik, tapi, apa maksudnya ini?

"Apa kamu juga memberinya untuk Risma?" tanyaku, memastikan agar tak kegeeran.

"Ish, ya nggaklah! Bisa kena tampol aku sama suaminya." Kami tertawa bersama, dekat Emir aku merasa lebih ringan.

Kudekap buket bunga pemberian Emir, entah ini maksudnya apa. Aku tak mau merusak suasana, mungkin Emir hanya ingin memberikannya saja padaku.

"Dwi!" Tubuhku menegang, aku keceplosan.

"Kamu lagi ngobrol sama siapa? Jangan macam-macam kamu, Dwi!" Aku merenggut, memang apa yang Bapak pikirkan?

"Emir, kamu pulanglah dulu. Terima kasih buketnya."

"Kamu suka?" tanyanya, diiringi dengan suara-suara Bapak di balik kamar.

"Ya."

"Semoga semudah itu pula kamu menerima perasaanku, Dwi ...."

"Apa?!"

"Dwi!"

"Aku pulang dulu, sampai nanti, Dwi."

Emir, melambaikan tangan. Menyisakan debaran jantung pada diri ini, aku kenapa?

Kututup jendela, menyembunyikan buket bunga terlebih dulu. Sebelum membuka pintu, dengan raut wajah Bapak yang seakan tak pernah tenang. Aku jadi merasa seperti kembali gadis!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status