Home / Lainnya / Ide Gila Bapak! / Lelaki Dari Masa Lalu

Share

Lelaki Dari Masa Lalu

Author: Fitriyani
last update Last Updated: 2023-11-24 12:04:22

"Apa nggak salah kamu, Mir? Ngasih anak Bapak buku? Buat apa?" Aku meneguk ludah, tak berani menatap netra Bapak yang mungkin saja tak menyukai pemberian pria lain sekarang.

"Ah, itu ... a-nu, Dwi kan suka banget baca buku. Di sana juga banyak ilmu yang bisa Dwi serap," sahut Emir, yang tampak gugup.

"Anak pintar." Aku mendadak pusing, mendengar pujian Bapak pada Emir. Beliau lantas berlalu, seakan tak mempermasalahkan. Apa mungkin karena kami berteman?

Tumpukan buku di tanganku, membuat rasa ingin membaca kembali membuncah. Bisa sedikitlah membuatku lupa dari masalah hidup, juga rencana Bapak tempo lalu. Yang masih meningggalkan degup jantung tak beraturan.

"Bener kata Bapakmu, Wi. Si Emir pinter juga ngasih oleh-oleh, kamu 'kan emang suka baca dari dulu. Nah aku, ini ... dia ngasih banyak cemilan. yang tinggal digoreng. Aduh Emiirrr, baik banget sih kamu." Aku mencebik, tadi saja dia nampak tak peduli dengan kehadiran Emir. Memang Risma tuh, kalau soal makan-memakan juara deh!

Kedatangan Emir, sedikit membuatku lupa pada masalah. Aku yang takut tinggal bareng Bapak, terus memikirkan bagaimana menjalani hari juga malam-malam dengan rencana gilanya itu!

"Makasih ya, Mir. Tapi, ini banyak banget bukunya. Aku sampai bingung mau baca yang mana dulu, hehhee." Kutatap pria hitam manis tersebut, yang entah mengapa pandangannya seakan tak beralih dari menatapku sedari tadi. Astagfirullah.

"Yang mana saja, yang menurutmu lebih menarik, Wi. Aku tahu dari dulu kamu itu pintar." Aku terhenyak, pintar apanya? Aku saja sudah menjanda empat kali, status yang membuatku betul-betul malu!

Hal itu juga yang membuat Bapak, menjadi terkesan lebih hati-hati sekarang. Selama di sini, baru Pak Lurah yang datang melamar. Semoga selanjutnya tidak ada, aku ingin sendiri dulu.

"Oh ya, Mir. Kamu sendirian? Nggak bawa calon, ish usiamu itu 'kan sudah menginjak kepala tiga kalau di kampung kita itu namanya bujangan lapuk. Segitu nggak lakunya apa kamu di kampung, Mir." Risma ini, kalau berucap seakan tak disaring saja. Aku melihat mimik wajah Emir, yang berubah sendu.

"Tak apalah, Mir. Dibanding aku yang empat kali gagal, lebih baik begitu dulu. Sampai kamu menemukan satu-satunya, yang bisa menemani seumur hidup."

"Ciileeeeh, gayamu, Wi. Iyalah yang sama-sama jomblo," godanya, yang kini membuat pipiku terasa memanas.

"Doakan saja, Ris. Aku memang pulang sedang mencari jodoh saja di kampung." Sambil berkata begitu, Emir menatapku lekat. Nah maksudnya apa ini?

Aku menunduk, menggeleng lemah. Menetralkan rasa yang terus berdebar-debar, betul kata Bapak aku ini orangnya mudah jatuh hati. Emir 'kan teman SD, hadehh.

"Hm." Suara itu, ternyata Bapak muncul lagi. Dan itu membuatku seakan waspada, "Kamu pulanglah, Mir. Bapak, sekarang tidak sembarang membiarkan Dwi dekat dengan lelaki mana pun."

Dahiku mengernyit, tapi ini 'kan Emir. "Pak ...."

"Nggak apa, Wi. Aku juga memang mau pamit, itu saja yang mau aku beri. Nah, ini satu lagi bungkusan isinya kopi buat Bapak."

"Terima kasih, pulanglah!" Disambarnya bungkusan hitam berisi kopi, sikap Bapak nggak sopan. Emir sampai terlihat bingung, aku kira Bapak welcome sama temanku itu.

Kemarahanku ingin meledak saja, kalau tidak ingat ada Risma.

"Wi, aku pulang ya? Besok kita ngobrol lagi, kasian suamiku ditinggal terlalu lama." Kulepas kepergian Risma, setelah dia pamit pula pada Bapak.

Malas aku berdua saja di rumah ini.

**

"Kubur semua perasaanmu terhadap lelaki, Dwi. Bapak tidak akan mengizinkannya! Sudah cukup status janda empat kali, Bapak, tak lagi percaya pada lelaki mana pun. Termasuk Emir," cetusnya, yang membuat dadaku semakin bergemuruh.

"Maksud Bapak apa sih? Kok, jadi ngatur perasaan yang aku sendiri juga mana bisa mencegahnya!" Padahal itu Emir, kenapa beliau lebih waswas dibanding lamaran Pak Lurah.

"Bapak tahu betul, Emir itu suka sama kamu. Dari dulu, cuma kamunya aja. Yang milih lelaki kota, dan berakhir menyakitkan." Tubuhku menegang, benarkah begitu?

Emir suka aku dari dulu? Kenapa aku nggak tahu? Aku rasa sikapnya netral saja, padaku juga Risma.

Hanya memang tadi ... agak beda memang. Dia memberiku buku, sedang Risma cemilan. Dulu, apa pun yang dia beri pasti disamakan padaku dengan Risma. Itu makanya, aku tak pernah berpikir macam-macam.

"Kalau pun si Emir suka sama aku, yaudahlah Pak, biarin aja. Kita mana bisa mengatur perasaan orang," ucapku, yang mulai tersulut emosi.

"Kalau begitu, aturlah perasaanmu seapik mungkin. Dwi, jangan sampai Almarhumah Ibumu menangis karena kamu yang selalu salah menjatuhkan hati!" Pedas ucapan Bapak, begitu menohokku.

Ya, aku memang bodoh! Kerap kali menikah pada pria yang tidak seharusnya!

"Setelah ini, mungkin saja kamu akan terus menjanda seumur hidup. Karena Bapak sendiri, yang akan menghalau banyaknya lamaran." Aku meneguk ludah, kenapa sampai seperti itu?

Aku yang bercerai, hati Bapak yang lebih tercerai-berai. Aku sampai kehabisan kata, demi mematahkan pemikiran beliau.

"Terserah Bapak saja, Dwi capek!" teriakku, menutup pintu kamar sekeras mungkin. Aku hanyut dalam tangisan, merasa takdir tak pernah adil!

Kata orang, aku ini cantik. Kembang desa, memang banyak yang melamar. Dan aku sekali pun, tak pernah menerima pinangan orang sini. Apa mungkin sekarang aku menjatuhkan hati saja pada orang kampung, biar lepas dari Bapak.

Hatinya pasti tak pernah tenang, kalau aku menjanda. Di mana harus kutemukan lelaki setia? Rasanya sudah langka, apalagi kalau lelaki itu cukup banyak duit. Dihempaslah aku, setelah dirasa ada wanita yang lebih cantik dan aduhai!

Tok tok tok ....

Dahiku mengernyit, jendela kamarku ada yang mengetuk. Tapi, siapa?

"Dwi ...." Netraku membeliak, kuhapus air mata. Menyibak selimut yang sedari tadi menutupi tubuh.

"Emir ...." Pria manis itu melempar senyum, membuatku jadi salah tingkah.

"Ada apa, Mir? Ada yang tertinggal?" bisikku, takut ketahuan Bapak.

"Iya."

"Apa? Memangnya apa yang tertinggal?"

"Hati, ya hatiku tertinggal di sini." Aku terkikik pelan, si Emir ini bisa saja merayu.

"Buatmu."

Aku semakin kaget, saat dia menyodorkan satu buket bunga. Cantik, tapi, apa maksudnya ini?

"Apa kamu juga memberinya untuk Risma?" tanyaku, memastikan agar tak kegeeran.

"Ish, ya nggaklah! Bisa kena tampol aku sama suaminya." Kami tertawa bersama, dekat Emir aku merasa lebih ringan.

Kudekap buket bunga pemberian Emir, entah ini maksudnya apa. Aku tak mau merusak suasana, mungkin Emir hanya ingin memberikannya saja padaku.

"Dwi!" Tubuhku menegang, aku keceplosan.

"Kamu lagi ngobrol sama siapa? Jangan macam-macam kamu, Dwi!" Aku merenggut, memang apa yang Bapak pikirkan?

"Emir, kamu pulanglah dulu. Terima kasih buketnya."

"Kamu suka?" tanyanya, diiringi dengan suara-suara Bapak di balik kamar.

"Ya."

"Semoga semudah itu pula kamu menerima perasaanku, Dwi ...."

"Apa?!"

"Dwi!"

"Aku pulang dulu, sampai nanti, Dwi."

Emir, melambaikan tangan. Menyisakan debaran jantung pada diri ini, aku kenapa?

Kututup jendela, menyembunyikan buket bunga terlebih dulu. Sebelum membuka pintu, dengan raut wajah Bapak yang seakan tak pernah tenang. Aku jadi merasa seperti kembali gadis!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ide Gila Bapak!   Usaha Suamiku

    Di sinilah sekarang aku bersama suami, menikmati kota yang begitu ramai. Meninggalkan segala kecamuk di kampung, aku tidak lari melainkan ingin rehat barang sejenak.Aku lelah dari segala tipu daya dunia, dengan orang-orang yang tak kusangka akan melakukan banyak hal.Kecewaku pada Risma, tak akan kulupa hingga akhir hayat. Bukankah seorang wanita begitu pandai dalam hal mengingat? Tak akan kulupa, saat dia dengan begitu mudahnya menyatakan cinta pada Emir lelaki yang telah menjadi suamiku.Tak akan pernah aku lupa, saat dengan begitu memaksanya dia pada suamiku minta diterima cintanya.Bukankah dia juga seorang wanita, kenapa tak memikirkan perasaanku? Apalagi aku ini sahabatnya! Sahabatnya kalau dia tidak lupa diri!"Sayang." Lembut suamiku memanggil, memeluk tubuh ini dengan penuh kehangatan. Kami memutuskan tinggal di salah satu hotel, siang ini suamiku akan membawaku ke suatu tempat. Sekalian kami juga akan check out dari hotel, aku pasrah saja dibawanya ke mana pun.Aku tak be

  • Ide Gila Bapak!   Ternyata dia ...

    Saran dari Risma patut kuacungi jempol, karena ternyata Emir dan pegawainya sedang sangat sibuk. Banyak pesanan banyak pula yang berdatangan, aku dan Risma sigap membantu meski terkadang masih ada yang salah-salah.Dengan begini aku bisa seharian menatapnya, tak jemu selalu seperti candu. Betapa hidupku sudah lebih bersyukur, dikaruniai suami baik, setia, juga sahabat yang selalu ada.Terkadang aku berpikir, apa tidak pernah sedikit pun Risma menaruh hati pada suamiku itu?Apa mungkin karena dia lebih tahu bahwa Emir, sudah sedalam itu menyimpan rasa padaku. Hingga ia tak berani melangkah, atau hal terburuk lainnya.Astagfirullah! Kenapa bisa aku berpikiran sejauh itu? Bukankah sedari tadi mereka hanya berinteraksi layaknya teman lama?"Omong-omong, kalau aku kerja sama kalian. Gajiku terpantau gede dong, hahhaaa." Aku menggeleng pelan, dia itu suka ada-ada saja."Santailah, kamu kita gaji sebulan seratus ribu hahhaaaa." Sikap Risma tampak ganjil di depanku, bibirnya manyun. Sikapnya

  • Ide Gila Bapak!   Gagal!

    "Kalian pergilah! Biar Ibu sama Bapak tetap di kampung, jaga rumah." Aku menghela dalam nafas, sudah kuduga Bapak tak akan mudah dirayu.Justru aku nggak akan tenang, bila harus pergi tanpa keduanya. Apalagi keadaan kampung sedang tak kondusif, Aima yang tiba-tiba gila. Ibu juga akan sering ditinggal sendiri saat di rumah, karena Bapak pergi berkebun.Semangatku yang ingin pergi ke kota, terpaksa redup. Sedang Emir pasti terserah aku saja, dia tak pernah memaksa."Bapak sudah biasa kamu tinggalkan, Dwi. Tak apa, terlebih kali ini sudah ada istri apalagi yang meski Bapak khawatirkan?" katanya, mengulas senyum. Meski aku tahu beliau tak betul-betul lapang saat mengatakan itu, ada nada sendu yang terdengar.Apapun itu tetap aku tak bisa tenang meninggalkan mereka di kampung. Kutatap Emir sekejap, "Aku nggak akan ke mana-mana tanpa Ibu dan Bapak."Itulah keputusan finalku, meski aku kepengen banget ke kota. Toh aku sudah sering berada di sana, aku hanya ingin tahu usaha Emir seperti apa.

  • Ide Gila Bapak!   Aima Gila (2)

    ***"Astagfirullah! Astagfirullah!" teriakku histeris, demi menyaksikan pemandangan di luar jendela sana.Segera kupalingkan wajah pada Emir, "Pasti kamu tadi jelalatan kan lihatin si Aima."Rasa cemburu yang begitu kuat, membuat pikiranku tak tenang. Si Aima itu nggak takut apa diserang para lelaki, dibawa ke semak-semak gitu. Bikin malu!Di jalanan rumahku sudah dipenuhi banyak orang yang ingin menonton, tubuhnya bugil tanpa sehelai benang. Kudengar Pak Lurah dan istrinya tak putus berteriak memanggil Aima, agar tak lagi menjadi gila begitu. Hiiiiiy sereeem!"Nggaklah, Sayang. Aku kan udah ada kamu," ucapnya, sembari menatap lembut.Dasar wanita! Cuma digituin aja udah meleleh. Lagian kalau emang Emir suka sama Aima, kenapa nggak dari dulu aja? Sampai kembang desa itu gila!"Cerita awalnya gimana Nak Emir, kok bisa dia jadi nggak waras begitu?" Keponya Ibu mulai deh."Nggak tahu, Bu. Ada yang bilang kesurupan, ada yang bilang stres karena Emir. Hiiiy, jangan sampailah Bu." Emir tamp

  • Ide Gila Bapak!   Jadi Gila!

    "Kejem banget ya, orang yang udah buat Bu Ratih tewas. Nggak berperikemanusiaan," ucap salah seorang Ibu-ibu, yang tengah ikut memilih sayuran.Aku yang mendengar jadi tak enak hati. Pasti ini karena berita arwah yang gentayangan itu, Astagfirullah! Nggak baik juga kalau dibiarkan berlama-lama.Meski aku tahu berita ini cukup menggetarkan bagi keluarga tersangka. Selama beberapa hari ini, aku tak ada melihat arwah di rumah Bapak maupun Emir.Arwah itu seakan pergi, saat tugas menyampaikannya sudah usai. Semoga saja begitu, aku paling nggak mau berurusan dengan yang begitu. Ngeri!"Kamu sendiri gimana Wi, pernah didatangi Almarhum nggak?" senggol seseibu, dengan netra yang ingin tahunya. Aku menggigit bibir. Kupikir mereka ini punya keingintahuan yang begitu tinggi, padahal sedari tadi mereka ngoceh ya aku hanya diam saja. Aku tidak mau punya pikiran yang berat-berat. Cukup yang ada saja, termasuk perihal anak sekalipun."Oooh iya Wi, kamu KB nggak? Kalau bisa sih jangan, biar cepet

  • Ide Gila Bapak!   Yang Pertama

    Kabar tentang arwah gentayangan yang disebut-sebut Ibu mertuaku, begitu santer menjadi perbincangan hangat di kampung.Aku sudah punya firasat, ternyata memang bukan aku saja yang didatangi. Katanya keluarga Pak Lurah, yang sering dikunjungi arwah tersebut.Aku bergidik ngeri. Itu pasti Jin Qorinnya Ibu, hendak menuntut balas. Biar saja mereka sibuk mencari cara agar menghentikan teror itu, aku ingin tahu bagaimana perkembangan nantinya."Dwi juga udah pernah didatangi, kok, Ibu sama Bapak nggak ya?" Dahiku mengernyit, saat kami tengah menikmati sepotong pisang goreng di teras depan."Memangnya Ibu kepengen banget ya didatangi? Kalau aku sih ogah! Hiiiiiy." Rasa yang pisang yang enak, berubah menjadi hambar.Bapak sudah pergi ke kebun, sedang suamiku sedang berada di rumah Ibu. Katanya ada yang harus ia lakukan, entah apa aku tak banyak bertanya.Dari yang tadinya punya suami tukang selingkuh, sekarang aku justru harus menghadapi misteri tewasnya Ibu mertua.Meskipun buatku udah nggak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status