***"Astagfirullahaladzim ... ba-bangkai tikus, Pak. Hiiiiy." Aku bergidik ngeri, memeluk Bapak seerat mungkin. Melupakan rencana gila beliau, bagiku pemandangan di depan sana jauh lebih mengerikan.Satu kotak berisi bangkai tikus, seakan mengocok seluruh isi perutku. Aku mual, kepala terasa pusing. "Tenang, tenanglah, Nduk!" Dilepasnya pelukanku, dengan penuh keberanian Bapak mendekat menatap kado berisi bangkai yang entah kiriman siapa.Harusnya aku sudah merasa tenang, tinggal di kampung. Kenapa harus ada yang begini? Isengkah dia? Tapi, untuk apa?Bapak, membawa kado itu menjauh. Membuat napasku kembali normal, aku terduduk dengan rasa yang lemah.Ini semua salahmu, Mas Rifal! Kamu terlalu mudah tergoda dengan janda kembang, yang kupikir tak ada seujung kuku pun bila disandingkan dengan aku!Kamu bahkan, harus membiayai anaknya! Yang bukan darah dagingmu, rela melepas aku yang sudah sedari nol mendampingi.Andai kita masih bersama, tak perlu aku pulang kampung. Mematahkan hati Ba
"Masuklah, Dwi! Lelaki pecundang itu tak akan pernah datang. Barangkali, dia sadar. Kamu hanyalah janda hina!" Napasku tercekat, demi mendengar ucapan Bapak. Yang terasa menusuk kalbu, benarkah Emir menilaiku sedemikian rupa?Hal itukah yang membuatnya urung datang? Emir, aku bahkan sudah masak banyak. Demi menyambut kedatanganmu, kenapa, kenapa kamu menorehkan luka sebelum rasa itu berkembang lebih lama juga dalam?"Kenapa Bapak menyebutku janda hina? Gerangan apa yang kulakukan? Hingga Bapak tega," tanyaku, menatap kedua manik matanya. Kutatap rumah Emir di seberang sana, gelap. Seperti tak ada kehidupan, kau ke mana, Emir? Aku serius menganggap lamaranmu tadi siang, tapi, kenapa kau tega dengan tak datang tanpa memberi kabar?"Bapak rasa, yang namanya janda memang hina. Sebab, mereka tak bisa mempertahankan rumah tangganya." Pedas, ucapan Bapak terasa menohok. Aku berdiri, tak lagi mengenali sosok Bapak yang lembut."Begitu, aku hanya tak ingin dimadu. Aku tak sanggup berbagi! Apa
"Kamu bilang cinta, tapi, tak menepati janji! Kita bukan lagi abg, Emir ...." Sesak napasku, bila mengingat janjinya tempo lalu.Di sinilah kami, di antara Risma. Dengan napas tersengal, amarah sekaligus rindu bercampur menjadi satu. Aku heran, kenapa hati ini begitu mudah terjatuh pada makhluk ciptaan-Mu Ya Rabb?Salahku, yang terlalu berharap. Mana mungkin Emir mencintai janda sepertiku? Terlebih dengan aturan yang ketat dari Bapak, itu jelas akan menambah segala ketidakmungkinan antara aku dengannya!"Maaf." Aku mendengkus kasar, menatap lelaki manis yang tengah mengatupkan kedua tangan di dada. "Apa dengan kata maaf, semua akan selesai? Aku ini janda, Emir ...." Setitik air mata jatuh, aku hanya tak menyangka kenapa diri ini begitu mudah rapuh."Aku tak datang, bukan berarti sengaja tak menepati janji, Dwi. Ada satu hal dan yang lainnya, percayalah ... aku akan berjuang. Kita berjuang bersama," ucapnya, yang membuat dadaku semakin nyeri.Bila tak ingat iman, ingin aku berlari mem
“Maa Syaa Allah, Bibi ….” Kupeluk erat adik kandung Almarhumah Ibu, sudah lama kami tak berjumpa. Tangisku pecah, berada dalam pelukannya mengingatkanku pada mendiang Ibu. Andai beliau ada di sini, tak meski Bapak seakan menjadi musuhku sendiri di rumah. Bukan nyaman yang kurasa, melainkan ketakutan yang tak pernah berujung.“Kamu ini, Dwi! Pamanmu meninggal, sampai hati kamu tidak datang. Ugh … huhuhu.”Degh!Apa paman meninggal? Tapi … kapan? Aku sama sekali tak diberi tahu.“Inalilahi wainalilahi rojiun, Paman meninggal, Bi? Kapan? Dwi, sama sekali nggak diberi tahu.” Aku menghela napas panjang, mempersilakan Bibi untuk masuk. Bapak sedang ke kebun, itu merupakan kegiatannya sehari-hari.Tega betul, Bapak. Hanya demi menjaga aku, sampai hati tak memberi tahu tentang kepergian Paman. Pastilah aku tak dianggap lagi peduli, padahal Bibi jelas keluarga satu-satunya yang dimiliki. “Kenapa, Dwi? Kenapa kamu nggak datang?” Lagi, Bibi menanyakan hal yang sama.“Demi Allah, Bi. Dwi nggak t
***"Rifal! Kaukah itu?!" Jantungku seakan berlompatan tak menentu, demi melihat gelagat Bapak. Yang seakan ingin menerkam Mas Rifal, beliau dari dulu ... memang ingin melampiaskan segala amarah pada semua mantanku tapi, tak pernah kesampaian.Bugh!Bugh!Bugh!Aku menjerit, demi melihat aksi Bapak. Kalap, beliau membabi buta. Bahkan Bibi, sempat terpental karena ingin menghalangi."Bibi, sebaiknya menjauh." Emir, menolong Bibi dengan sigap. "Iya, Nak. Tolong ya, Syamsul itu ... tidak pernah tenang jiwanya." Aku masih bisa mendengar ucapan Bibi, memang jiwa Bapak kenapa?"In Syaa Allah, Bi. Bibi, mundurlah." Perintah Emir, dituruti oleh Bibi yang kini mendekat ke arahku. Aku mengumpat pada Mas Rifal, yang tampak bodoh. Seakan menyerahkan diri, dengan datang ke mari!"Ini untuk Dwi! Kamu laki-laki biadab!" Gerakan Bapak, tertahan karena Emir melerai."Lepaskan, Emir! Dia itu lelaki yang sudah membuang anakku Dwi!" teriak, Bapak. Mencoba melepaskan diri, dari cengkeraman Emir yang jela
"Hiiiiiy ...." Bibi bergidik ngeri, usai mendengar semua tentang keanehan Bapak. "Kamu serius, Dwi? Nggak sedang bercanda, masa sih Syamsul segitunya bangeeeet."Aku mengangguk keras, biar Bibi tambah yakin. Hal ini baru kuceritakan pada beliau dan Risma saja, bahkan Emir belum tahu. Tapi, entahlah kalau si Risma nggak ember.Bisa-bisa ilfeel kalau Emir tahu. Huh, aku susah membayangkannya."Barangkali karena sakit hati melihatmu terus-terusan gagal, Dwi. Orang tua mana yang nggak risau," ucap Bibi, yang mungkin mencoba untuk berpikir positif."Entahlah, Bi. Itu alasannya aku kepengen nikah aja sama Emir," kataku, mengulum senyum. Meraba dada, merasakan rindu yang kian menghujam."Halah, itu sih emang kamunya aja yang kebelet nikah. Heran, bener kata Bapakmu Dwi. Kamu itu mesti hati-hati, jangan asal nikah." Aku manyun, mendengar Bibi yang dirasa tak lagi mendukung.Aku kalau udah nikah, kepengen buru-buru keluar dari rumah ini. Bukan ingin menjauh, tapi, dirasa aku Bapak kok, emang
"Sungguh ... Bibi, mau menikah dengan Bapak? Nggak akan menyesal dikemudian hari?" Netraku berbinar, jujur aku telah memupuk harapan yang begitu banyak padanya.Mungkin saja dengan menikah lagi, pikiran Bapak kembali fresh. Mau melepas aku dengan Emir, "In Syaa Allah, Dwi. Anggaplah Bibi, berkorban demi kamu."Kupeluk wanita yang sudah membuat perasaanku lega, curhat padanya selalu mendapat petuah-petuah yang berarti.Sekarang, aku tinggal mengatur strategi bagaimana supaya Bapak jatuh hati pada Bibi.Semoga bukan hal yang sulit, toh mendiang Ibu tak jauh berbeda dengan adiknya."Kalau begitu fix ya? Bibi, mau ikut caraku." Aku terkikik, membayangkan hari-hari yang mungkin saja akan lebih berat. Bapak, tipe lelaki yang tidak mudah jatuh cinta. Berbanding terbalik denganku, hihi.Bibi, nampak kaget. "Jangan aneh-aneh kamu, Dwi. Ingat kami ini para orangtua, Bibi, juga nggak mau melanggar norma-norma.""Ya ampun, Bibi, ini mikir apa sih? Demi deh aku nggak bakal aneh-aneh." Aku mengulum
"Sedang apa janda itu di sini, Bu?" tunjuk seorang gadis, yang tengah berdiri pongah! Fotocopyan Pak Lurah banget.Sengaja pasti dia itu, dengan menyematkan status jandaku! Malesin deh."Eh Nak Aima, mari duduk." Ibu Emir, masih saja ramah. Memang begitu sih sifatnya, tapi, takutnya malah bikin kepala gadis itu makin gede!"Nak Aima kenalan dulu sama Dwi, biar panggil nama kalau ketemu." Aku mengulum senyum, sebelas dua belas ini Ibu Emir sama anaknya bisa memainkan kata."Nggak usahlah, Bu!" tolaknya, duduk dengan menaikan kedua kaki. Menampakan kulit halus, pakaiannya yang minim membuatku terus meneguk ludah. Apa Emir nggak akan kegoda, jika setiap hari disodorkan pemandangan yang membagongkan begini? Astagfirullah!Kami duduk di ruang tamu, menunggui Emir yang tengah berganti baju. Rencana hari ini aku, Risma, dan dia mau ke kebun Bapak. Mengenang masa lalu, sudah lama semenjak menginjakan kaki di sini aku belum jalan ke mana-mana. Paling makan bakso yang deket aja, kangen suasana