Share

Aku Saja Yang Melamarmu

***

"Astagfirullahaladzim ... ba-bangkai tikus, Pak. Hiiiiy." Aku bergidik ngeri, memeluk Bapak seerat mungkin. Melupakan rencana gila beliau, bagiku pemandangan di depan sana jauh lebih mengerikan.

Satu kotak berisi bangkai tikus, seakan mengocok seluruh isi perutku. Aku mual, kepala terasa pusing.

"Tenang, tenanglah, Nduk!" Dilepasnya pelukanku, dengan penuh keberanian Bapak mendekat menatap kado berisi bangkai yang entah kiriman siapa.

Harusnya aku sudah merasa tenang, tinggal di kampung. Kenapa harus ada yang begini? Isengkah dia? Tapi, untuk apa?

Bapak, membawa kado itu menjauh. Membuat napasku kembali normal, aku terduduk dengan rasa yang lemah.

Ini semua salahmu, Mas Rifal! Kamu terlalu mudah tergoda dengan janda kembang, yang kupikir tak ada seujung kuku pun bila disandingkan dengan aku!

Kamu bahkan, harus membiayai anaknya! Yang bukan darah dagingmu, rela melepas aku yang sudah sedari nol mendampingi.

Andai kita masih bersama, tak perlu aku pulang kampung. Mematahkan hati Bapak, membuatnya stres. Dan sekarang bangkai ini, aku merasa seperti sedang diteror.

Mas Rifal itu mantan suamiku yang terakhir, kupikir hubungan kami akan lama berujung bahagia. Nyatanya sama saja, semua lelaki sama!

"Hm." Aku terperanjat, mendengar suara seorang lelaki tinggi besar yang tengah berdiri di depan pintu. "Baru permulaan, Pak Lurah bilang semua akan dihentikan jika Nona mau menikah dengannya. Hehehe."

Aku mendengkus kasar, oi jadi ini rupanya ulah Pak Lurah? Sependek itu akalnya, mengapa dia menginginkan aku dan bukan yang lain!

"Bilang sama Bossmu, aku tak akan gentar. Aku ini sudah janda empat kali, tak mungkin aku sembarangan dalam memilih pendamping. Kecuali ...."

"Kecuali apa, Nona? Katakan!"

"Kecuali Pak Lurah mau menceraikan semua istrinya." Aku tersenyum menang, Pak Lurah tak mungkin bisa melakukannya!

Seringai menyeramkan, tampak dari lelaki tinggi penuh tato. "Baiklah, akan saya sampaikan."

Dia pergi, membawa kesalku yang tak akan pernah berujung. Ke mana Bapak? Kenapa lama sekali?

Rupanya Pak Lurah, memang tidak main-main dengan ucapannya kemarin.

"Assalammualaikum ... Dwi." Suara itu, membuat langkahku terhenti.

"Wa-waalaikumsalam, E-mir." Ya Allah kenapa aku gugup seperti ini?

"Ada apa, Mir? Bapak, sedang tidak di rumah."

"Ya, nggak apa. Aku hanya mengantarkan ini." Disodorkannya satu bungkus plastik hitam.

"Mie ayam? Kamu beli? Masih ingat juga ya sama makanan kesukaan aku, hehhe." Aku tertawa, demi mencairkan suasana. Namun, kehadiran Bapak justru membuat keadaan begitu canggung.

Raut mukanya juga tak ada ramah-ramahnya, terkesan ditekuk. Aku jadi nggak enak sama Emir, "Kamu sengaja ya menemui Dwi, saat Bapak tidak di rumah?"

Aku menepuk dahi, menatap Emir yang tampak tenang saja. "Nggak, Pak. Emir malah nggak tahu kalau Bapak nggak di rumah."

Namun, bukan jawaban. Melainkan dengkusan yang Bapak berikan, betul-betul tak sopan. Macam seorang suami yang sedang cemburu! Ya Allah, tidak jangan sampai!

"Si Emir nganterin apa, Wi?"

"Mie ayam, Bapak mau?"

"Nggaklah, Bapak sudah kenyang. Jaga hatimu, Nduk!" Aku menelan ludah, saat Bapak melewatiku begitu saja.

Seharusnya, terhadap Emir Bapak nggak perlu sedingin ini. Aku jadi nggak enak, dan serba salah.

"Maaf ya, Mir. Semenjak perceraian aku yang ke empat, beliau ... berubah." Kutundukan pandangan, bersiap mendengar apa pun jawabannya.

"Ya, aku paham. Itu jelas nggak mudah, apalagi dengan lamaran Pak Lurah kemarin. Pasti Bapak makin ketat sama kamu, Wi." Terperangah saat mendengarnya, kupikir dia tak tahu.

"Berita penolakanmu sudah tersebar di seantero kampung, semua orang sibuk membicarakannya." Benarkah? Aku jadi macam artis terkenal saja!

"Misal, ada lagi lelaki lain yang melamarmu gimana, Wi? Apa kamu akan menerimanya?"

Degh!

Ya, siapa dulu yang datang? Aku mengulum senyum, membayangkan dirinyalah yang datang dan bukan orang lain!

Dalam hati aku mengutuk diri, merasa sudah jatuh pada pesona Emir. Dulu, mana pernah aku kepikiran dia. Bukan karena dia hitam, aku merasa hubungan kami hanya sebatas teman tiada lebih.

"Dwi ...." Aku memejam, demi mendengar dia memanggil namaku begitu lembut. Sangat lembut.

"Entahlah, Mir. Aku hanya ingin sendiri dulu, lagi pula Bapak nggak akan ngasih izin buat aku nikah lagi." Tersenyum getir, bila mengingat semua ucapan beliau.

Aku menghela napas panjang, "Kenapa? Jangan jadikan kegagalan sebagai patokan. In Syaa Allah, yang terakhir ini akan jauh lebih baik, Wi."

Dahiku mengernyit, lalu, apa maksudnya?

"Pikirkanlah," lanjutnya lagi, dengan senyum menawan.

"Apa kamu belum membaca semua buku pemberianku? Di sana, ada banyak tentang pernikahan."

"Belum selesai, Mir. Nanti aku coba sambung lagi," kataku, mengangguk. Menyembunyikan senyum dengan debaran tak menentu.

"Yasudah, aku pamit. Lain kapan, mampirlah ke rumah. Ibu nanyain, kangen katanya." Aku mengangguk sekeras mungkin.

"Assalammualaikum, Wi."

"Waalaikumsalam."

Sungguh beruntung bagi wanita yang mendapatkan dirimu, Emir.

Bukan aku tentunya.

Siapalah aku? Hanya janda, yang tak jelas runtutan kehidupannya.

"Minder 'kan jadinya? Bapak sudah bilang, jaga hatimu seapik mungkin! Kasihan Emir, jika harus beristrikan kamu." Aku manyun, merasa Bapak menusuk-nusuk kalau sudah bicara.

"Apa yo nggak bisa, Wi? Kamu hidup berdua sama Bapak. Nggak papa, kita nggak perlu menikah atau kamu anggap Bapak sebagai suami. Toh itu memang gila!"

Ya, itu memang sangat menjijikan bagiku!

"Bapak ini, nggak bisa asal ngasih kamu ke lelaki mana pun seperti dulu. Bahkan Emir, meski tahu dari kecilnya gimana. Nggak bisa jamin dia setia, dan bertanggung jawab apa tidaknya."

Aku mengelus dada. Sudah, sudah matikan semua ketertarikanmu itu, Dwi!

"Yasudahlah, Pak. Nggak perlu lagi kita bahas Emir, atau lelaki mana pun. Biar Dwi begini saja, jadi janda seumur hidup. Itu 'kan yang Bapak mau?!" tanyaku, sengit.

Aku mendadak kangen Ibu, andai beliau masih hidup tentu ada yang lebih bisa kuandalkan. Dan menghadapi Bapak, dengan segala pemikiran yang kebanyakan miring itu!

"Dwi ...."

"Sudahlah, Dwi capek!" Kubanting pintu sekeras mungkin, tenggelam dalam kesedihan mendalam.

Kalau aku tak boleh menikah, minimal izinkan aku bergaul dengan Emir. Kehadiran lelaki itu membuatku tenang, bisa melupakan masalah yang terus menghantui.

Satu-satunya teman curhatku ya Risma. Tapi, hari ini dia absen. Pergi ke rumah mertua katanya, nasibmu Ris memang paling bagus dibanding aku!

Tok tok tok ....

Aku tersentak, apakah ... apakah itu Emir?

Aku berjalan menuju jendela, sosok teman SDku itu muncul dengan senyum manisnya. Yang entah sejak kapan, membuatku selalu berdebar.

"Dwi, aku minta maaf."

"Untuk apa?"

"Karena aku kamu jadi dimarahi Bapak."

"Ya."

"Dwi, bagaimana kalau aku saja yang melamarmu?"

"Hah?! Apa?!"

"Ssssst, pelankan suaramu!"

"Kamu melamar, atau ngasih tawaran, Mir?"

"Aku melamar."

Aku mendengkus, melamar kagak ada romantis-romantisnya. Jauh sama mantan-mantanku, ya meski pun ujungnya bikin sakit juga!

"Kamu temuilah Bapak, tapi, sendiri dulu. Bapak tuh lagi sentimen sama yang namanya cowok, hehhee." Aku terkikik, padahal beliau juga spesies yang sama. Bedanya dia merasa hanya dirinyalah yang paling baik!

"Siap, nanti malam aku kembali. Percayalah."

Percayalah? Haruskah aku percaya, Mir? Sedang aku sudah berputus asa, tak lagi percaya dengan yang namanya jodoh!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status