Bayangan di cermin kini menampakkan wajah utuh Morgan. Tidak ada lagi bekas luka yang dulu mengubah hidupnya.
Dia menatap pantulan dirinya dengan sorot mata penuh dendam dan tekad. Akhirnya, semua luka itu hanya menjadi kenangan. Kini, saatnya dia kembali. “Aku akan kembali ke Indonesia,” gumamnya pelan namun tajam, seakan setiap kata adalah peluru yang siap melesat. Anita … wanita itu. Masih menjadi misteri yang belum selesai. Meski status mereka hanya sebagai suami-istri kontrak, perasaan Morgan pada Anita tidak pernah bisa ia bantah. Dia pergi demi menyembuhkan luka di tubuh dan harga dirinya, tapi sekarang … dia kembali bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya. Tiba-tiba, ketukan di pintu memecah keheningan ruangan mewah di sudut rumah sakit Swiss itu. “Permisi, Tuan,” ucap seorang pria dengan jas hitam dan tatapan waspada. Morgan menoleh cepat. “Ada apa?” “Informasi terbaru dari Indonesia. Prayoga akan bertunangan … dengan keluarga Hartanto.” Morgan membeku sejenak. “Keluarga Hartanto?” ulangnya perlahan, seakan ingin memastikan apa yang baru saja ia dengar. “Benar, Tuan Prawira,” jawab sang bawahan dengan anggukan kecil. “Wanita yang akan dinikahi Prayoga … adalah Nona Anita.” Brak! Morgan meninju meja di depannya hingga gelas kristal di atasnya bergetar keras dan nyaris jatuh. “Tidak mungkin…,” desis Morgan, matanya menyala tajam seperti bara api. “Anita tidak mungkin menikah dengan Prayoga!” Morgan terdiam sejenak, dia memang sempat berpikir kalau memang sebaiknya pulang ke Indonesia. Apalagi Anwar sudah berada di Indonesia lebih dulu untuk memastikan situasi. Tapi kenapa juga istrinya menikah dengan Prayoga? Tidak. Dia tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Dia harus segera pulang sekarang. Sebelum benar-benar kembali ke tanah kelahirannya, Morgan merasa ada sesuatu yang tak beres. Firasatnya jarang salah. Meskipun wajahnya kini tak lagi menyimpan luka masa lalu, hatinya tetap penuh goresan rahasia dan dendam yang belum tuntas. Dia mengambil ponselnya, menekan sebuah nomor yang sudah lama tersimpan di memori. Sambungan tersambung cepat. “Halo, Anwar.” Suaranya terdengar dingin namun tenang. Di balik telepon, suara tua yang sudah tak asing pun menyambutnya. "Apa kabar, Tuan Muda? Apa sekarang sudah pulih?" tanya Anwar dengan hormat. Morgan menarik napas dalam, menatap keluar jendela, ke hamparan pegunungan Swiss yang diselimuti kabut. "Sudah jauh lebih baik. Luka di wajahku sembuh,” ucapnya datar. “Bagaimana kondisi di sana? Apa semuanya aman?" Anwar terdiam sejenak, lalu menjawab, “Situasi saat ini cukup stabil. Tapi… saya rasa Tuan Muda harus tahu. Prayoga … dia akan bertunangan.” Morgan mendengus kecil. “Memang itu yang ingin kubahas. Si bedebah itu... dia akan menikah. Tapi siapa calon istrinya? Jangan bilang dia berani-beraninya menyentuh Anita.” Suara Morgan mulai meninggi. Amarah yang ia tahan mulai membara kembali. Jika benar Prayoga mencoba mengambil Anita, itu sama saja menyalakan api perang. Namun, suara Anwar segera menjawab, tegas namun menenangkan. “Bukan, Tuan Muda. Bukan dengan istri Anda dia akan menikah.” Morgan terdiam sejenak. Tubuhnya mendadak lebih rileks. Jantungnya berdetak lebih pelan. Ada kelegaan, tapi juga rasa heran. Perlahan ia menurunkan ponsel dari telinga, menatap layar dengan alis mengernyit. Lalu mengangkatnya kembali. “Tunggu, maksudmu bukan Anita?” tanyanya, kali ini lebih hati-hati. “Memang benar Prayoga akan menikah dengan keluarga Hartanto. Tapi bukan dengan Nona Anita, melainkan dengan putri bungsu mereka, Nona Hana.” “Hana?” ulang Morgan, keningnya berkerut. "Iya, dia adalah anak dari Ayu, istri baru Pak Hartanto. Bisa dikatakan kalau itu adalah saudara tirinya Anita," jelas Anwar. Morgan paham sekarang, rupanya seperti itu. Pantas saja Anita khawatir dengan harta warisan milik keluarganya, rupanya dia punya saudara dan ibu tiri. "Jadi begitu,” gumam Morgan. Jadi bukan istrinya yang akan menikah dengan Prayoga. Apa yang dia pikirkan? “Tetapi ada hal yang membuatku penasaran," kata Morgan kemudian. “Apa, Tuan?” "Alasan Anita membatalkan perjodohan itu dulu. Bukannya dua tahun lalu aku pernah menyuruh kamu melakukan itu?" “Soal itu, saya minta maaf, Tuan. Saya belum menemukan kebenaran itu.” Morgan mengepalkan tangannya, sepertinya memang ada hal yang disembunyikan di sini, dia harus mengusut semuanya dengan tuntas. "Baiklah, kamu cari tahu sendiri, Anwar. Datang ke rumah keluarga Hartanto dan bertemu dengan Anita, selidiki tentang keluarga mereka termasuk saudara tiri dan ibunya tirinya," titah Morgan. "Bagaimana caranya, Tuan? Ini sangat berbahaya," ujar Anwar. "Kamu lupa? Sekarang kamu adalah ayahku dan secara otomatis kamu jadi ayah mertua Anita. Kamu bisa keluar masuk rumah dia," ujar Morgan dengan nada kesal karena Anwar belum paham juga. “Ah, benar.” Anwar tertawa canggung setelah mendengar penjelasan dari Morgan barusan. "Baik, Tuan. Kalau begitu saya akan ke rumah mereka dan menyelidiki ini. Pasti akan menemukan sesuatu di sana." “Termasuk dengan calon istrinya Prayoga, kamu cari tahu dia.” “Baik, Tuan.” Morgan langsung mematikan sambungan teleponnya. "Tunggu sebentar lagi, Anita. Aku pasti akan menemui kamu," gumam Morgan dengan senyuman penuh arti. BERSAMBUNGAnita masih tidak habis pikir dengan semuanya. Rasanya begitu aneh, semua orang malah berusaha untuk membohongi dirinya. Membuat dia sedikit murka. Anita berjalan keluar rumah sakit, dia masih kesal karena tidak ada yang mau jujur padanya. Sampai tak lama kemudian, Hana yang baru saja turun dari mobil melihat kearah Anita. "Anita."Anita menatap kearah Hana dengan sekilas. Wanita itu sampai datang menemui dirinya. "Kenapa?" tanya Anita. "Jelaskan padaku, bagaimana bisa Prawira adalah suami misterius kamu selama ini?" kata Hana dengan nada yang marah. Anita sendiri pun tidak tahu semuanya jadi begini. "Kenapa Hana? Kamu terkejut mengetahui fakta ini.""Jadi kamu sudah tahu selama ini? Kamu sengaja menjadikan Prawira sebagai suami kamu untuk balas dendam padaku karena aku bertunangan dengan Prayoga?" tanya Hana. Anita malah tertawa ketika mendengar ucapan dari Hana barusan. "Kamu lucu sekali Hana. Bukannya memang benar seharusnya aku yang menikah dengan Prawira. Kamu lupa kalau se
Anita membalikan tubuhnya ketika mendengar suara teriakan dari seseorang yang memanggil nama Prawira. Dia langsung mematung di tempatnya ketika melihat ada orang jahat hendak akan melukai Prawira. "Astaga.""Icha?"Anita langsung menghampiri Icha yang kini sudah berlumuran dengan darah. Dia tidak tahu kalau akan kejadian seperti ini. "Icha, kejar orang jahat itu," umpat Prawira kepada anak buahnya. Dia langsung menggendong Icha untuk menyelematkan nyawa wanita itu. Prawira sedikit merasa bersalah karena Icha sampai berkorban untuk dirinya. Padahal dia yakin kalau orang itu tadi hendak akan menyerang dirinya. "Ambulan!"Prawira membawa Icha ke dalam ambulan, begitu pun dengan Anita yang ikut ke rumah sakit sekarang. Dia menggenggam tangan Icha untuk menguatkan wanita itu. "Kenapa bisa seperti ini? Dia melindungi kamu," kata Anita. "Aku tahu," jawab Prawira.Mereka sekarang mendorong Icha yang memang terluka parah, tubuhnya banyak sekali mengeluarkan darah akibat sebuah tusukan t
"15 juta." Prawira kembali menawar benda tersebut. "20 juta," kata Hana yang kini ikutan menawar ketika melihat Prawira dan Anita tengah berdebat. Anita jadi kesal karena Hana malah ikut-ikutan menawar barang yang seharusnya milik dirinya. "30 juta!" "40 juta," balas Prawira kembali sambil melirik kearah Anita. "50 juta," kata Hana kembali. Sampai tak lama kemudian, Ayu datang membisikan sesuatu pada anaknya. "Apa kamu gila, kita tidak punya uang banyak sekarang.""Biarkan saja mah. Lagian aku sudah punya ayah yang kaya raya sekali." Hana mengatakan itu dengan nada yang sedikit bangga. "Lebih baik kamu biarkan dua orang itu berdebat saja.""Baiklah." Hana akhirnya diam dan tidak menawar lagi. "70 juta!" Anita mengatakan itu dengan sedikit penuh keberanian. "100 juta," tawar Prawira kembali membuat Anita semakin jengkel dan menatap laki-laki itu dengan tajam. "Sialan Prawira, kamu lihat Icha, dia bahkan menantang aku sekarang," bisik Anita. "Kamu bisa tawar barang itu lebih b
Umar Sanjaya tengah merasa marah setelah mengetahui kalau Prawira sudah membawa pergi Arman dari rumah sakit. Ada perasaan yang membuat dia kesal juga sekarang. "Sialan, anak tidak tahu diri itu. Dia malah memindahkan ayahku," umpat Umar Sanjaya. Dia melemparkan barang dengan penuh emosi. Setelah anaknya masuk ke dalam penjara karena kebodohannya sendiri. Dia sekarang harus bergerak sendiri. "Harusnya dari awal aku membunuh anak itu," umpat Umar. "Tuan, cara lelang akan dilakukan besok. Kemungkinan banyak sekali relasi dan rekan bisnis yang datang," kata anak buahnya. Umar Sanjaya tersenyum melihat ini. "Bukannya acara ini dilaksanakan oleh pihak Sanjaya. Aku ingin merusak momen itu," katanya dengan penuh arti. "Apa yang Tuan rencanakan?" tanya anak buahnya. "Bunuh Prawira, aku ingin kamu menghabisi dia ketika acara itu," kata Umar Sanjaya dengan penuh ambisi. "Baik Tuan." "Ingat jangan sampai gagal." Umar Sanjaya mengepalkan tangannya, kali ini dia harus bisa menghab
Di dalam mobil yang melaju menuju rumah besar bercat putih itu, suasana terasa begitu tegang. Ayudia terus memandangi Yasir dengan sorot mata penuh desakan. Jemarinya meremas tas kecil di pangkuan, seolah tengah menahan sesuatu yang bisa meledak kapan saja."Kamu harus memperkenalkan Hana sebagai anakmu, Yasir," ucap Ayudia dengan suara tegas, tapi masih ditahan agar tidak meninggi. "Apalagi besok malam, di acara pelelangan itu. Semua orang penting akan hadir."Yasir menarik napas dalam, pandangannya lurus ke depan menembus kaca mobil. "Tidak semudah itu, Ayudia. Andreas sudah tidak dalam kendaliku lagi. Dia bisa menghancurkan segalanya.""Lupakan Andreas!" potong Ayudia cepat, matanya berkilat penuh kemarahan. "Anak itu memang durhaka, tapi jangan lupa... kamu punya darah daging lain. Hana. Dia anakmu juga. Dia punya hak atas nama besar Sanjaya."Kata-kata itu membuat Yasir diam sejenak. Bibirnya terkatup rapat, rahangnya menegang. "Aku akan mengakui Hana... hanya kalau dia bisa memb
Kamar hotel Ayu tersenyum di dalam ranjang bersama dengan seorang pria, dia memperlihatkan sebuah foto yang memang dia tidak suka. "Aku ingin kamu menghabisi dia," kata Ayudia. Yasir menatap kearah foto yang ditampilkan oleh Ayudia padanya. "Bukannya ini adalah Anwar. Mantan asisten Marwan Sanjaya dulu.""Tunggu, kamu kenal dengan dia?""Iya, tentu saja. Dulu pensiun dini setelah dikeluarkan oleh Umar Sanjaya dulu.""Ini adalah mertuanya Anita. Aku susah sekali menyelidiki tentang suaminya Anita selama ini, belum lagi dia orang misterius. Aku hanya tahu kalau Anwar adalah ayah laki-laki misterius itu."Yasir membaringkan tubuhnya menatap kearah Ayu yang ada disampingnya sekarang. "Anak dari Anwar? Kamu tahu kalau Anwar itu tidak punya anak. Dulu anaknya meninggal ketika masih kecil."Ayu terkejut dengan fakta yang barusan dia dengar itu. "Apa maksudnya ini? Jadi orang itu bukan anak Anwar.""Iya, bisa dibilang begitu.""Sialan, dari awal juga aku sudah curiga. Kalau laki-laki itu h