Masuk2 tahun kemudian.
Hari ini adalah hari yang indah untuk Anita. Setelah dua tahun mengambil alih perusahaan milik keluarganya, dia bisa hidup dengan tenang. Keluarga tirinya itu tidak bisa mengintimidasinya lagi. Semua itu berkat status pernikahannya dengan Morgan. Omong-omong, bagaimana kabar pria itu ya? Sudah dua tahun mereka tidak bertemu. Anita baru menyadarinya karena selama ini dia terlalu sibuk mengurus perusahaan. "Icha," panggil Anita kepada bawahan setianya sekaligus teman dekatnya. "Iya, Bu Anita? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Icha sambil menghampirinya. "Tidak usah formal seperti itu, kita hanya berdua saja,” kata Anita. “Aku hanya ingin tahu tentang Hana yang akan bertunangan dengan keluarga Sanjaya." Icha yang mendengar itu malah tertawa. Dia kemudian duduk di sofa yang ada di ruangan Anita. "Iya, mereka akan bertunangan. Hana pasti akan semakin keras kepala setelah ini," ujar Icha. Anita tampak berpikir. "Kamu benar, setelah dia tidak berhasil mendapatkan perusahan ini, dia dan ibunya menargetkan Sanjaya Group. Licik sekali," katanya. Icha mengangguk setuju. Baru juga mereka berbicara, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruangan tanpa permisi. Anita dan Icha langsung menoleh ke arah pintu. Rupanya Hana. Dia berjalan dengan angkuh menghampiri mereka. "Tidak sopan sekali masuk ke dalam ruangan kerja orang lain tanpa mengetuk pintu," sindir Icha. "Aku tidak perlu melakukan hal rendahan seperti itu. Apalagi aku ini adalah calon Nyonya Sanjaya!" sahut Hana dengan nada sombong, dagunya terangkat tinggi. Icha hendak akan memakinya, tetapi tangan Anita sudah lebih dulu mencegahnya. Dia tidak mau membuat keributan di kantor. Lagipula, Hana adalah orang yang bisa Anita hadapi sendiri. "Ada apa calon Nyonya Sanjaya datang ke sini?" tanya Anita. Meski tenang, nada suaranya sarat akan sindiran. "Aku datang ke sini untuk memberikan ini." Hana memberikan sebuah kartu undangan pertunangan dirinya dengan putra keluarga Sanjaya. Anita mengambil undangan itu dari tangan Hana tanpa ekspresi. Ia melirik sekilas, lalu meletakkannya begitu saja di atas meja, seolah tidak berarti apa-apa. "Jadi kamu datang ke sini hanya untuk menunjukkan ini?" tanya Anita tenang. Hana tersenyum miring. "Tentu saja. Aku hanya ingin memastikan kamu tahu bahwa aku menang. Aku yang akan duduk di pelaminan, bukan kamu." Icha yang berada di samping Anita mulai terlihat kesal, tapi lagi-lagi Anita mengangkat tangan, menahannya. "Aku ikut senang kalau kamu memang bahagia," balas Anita datar. Hana mendengus kesal. "Jangan berpura-pura manis. Semua orang tahu kamu pernah berada di posisi yang sekarang aku duduki. Tapi lihat sekarang, kamu bukan siapa-siapa!" Tatapan Hana sengaja menusuk, mencoba mencari celah untuk melihat Anita tersakiti. Tapi wanita itu tetap tenang, bahkan tersenyum tipis. "Kebahagiaan seseorang tidak diukur dari undangan pernikahan atau status sosial. Apalagi kalau semuanya hanya pura-pura." "Apa maksudmu?!" tanya Hana, nada suaranya mulai berubah. "Aku hanya berharap kamu tidak sedang membangun istana di atas pasir. Karena kalau iya... cepat atau lambat, akan runtuh juga," jawab Anita pelan namun penuh makna. Icha menahan napas, merasa kalimat itu seperti pukulan telak, walaupun disampaikan begitu dingin dan elegan. Hana mencibir. "Kamu bicara seperti tahu segalanya!" "Karena kamu dan ibumu itu sama saja, menginginkan harta dengan duduk di tahta tertinggi. Tapi pada akhirnya, ibumu bahkan tidak bisa mendapatkan apapun juga, bukan?" Hana terdiam sesaat, tatapannya gelap. Tangannya terkepal dengan erat. Tapi alih-alih membalas, dia memilih memutar tubuhnya dan berjalan ke luar, masih dengan gaya angkuhnya. "Awas saja kamu!" pekiknya, lalu membanting pintu. Setelah pintu tertutup, Icha memandang Anita. Dia tampak khawatir. "Kamu yakin nggak apa-apa?" Anita menghela napas, lalu menatap undangan di atas meja. "Aku baik-baik saja." Perlahan, Anita membuka surat undangan tersebut. Dia hanya penasaran dan ingin melihat tanggalnya saja. Tetapi dia malah menaikan sebelah alisnya ketika melihat sesuatu yang aneh. Melihat ekspresi wajah dari Anita, membuat Icha jadi ikut penasaran. "Ada apa, Anita?" "Ini aneh,” gumam Anita, dahinya mengerut dalam. “Aku ingat kalau laki-laki yang akan dinikahkan denganku dulu namanya Prawira. Kenapa di sini namanya Prayoga?" Anita ingat benar, dulu ketika mulai sakit-sakitan, mendiang ayahnya selalu membicarakan tentang laki-laki bernama Prawira itu. "Tidak mungkin kalau mereka salah memasukkan nama di kartu undangan, bukan?" ujar Icha. Anita berpikir sejenak. Menurut dirinya memang ada yang aneh. Selama ini keluarga Sanjaya memang selalu tertutup mengenai ahli warisnya. Bahkan jarang sekali terekspos oleh media. "Kamu benar, coba kamu selidiki orang yang bernama Prayoga itu, aku yakin harusnya adalah Prawira. Kamu tahu, dulu orang yang dijodohkan denganku namanya adalah Prawira." Icha yang mendengar itu pun jadi heran sendiri. "Tunggu deh, apa mungkin mereka orang yang berbeda?" "Berbeda?" tanya Anita. "Iya, bisa saja bukan kalau mereka memang orang yang berbeda. Orang yang dijodohkan dengan kamu dan orang yang bertunangan dengan Hana," gumam Icha. Anita masih tidak percaya, tidak mungkin kalau pewarisnya ada dua. Pasti ada sesuatu yang salah di sini. Dia harus menyelidiki keduanya. "Kamu cari tahu identitas keduanya. Hanya ingin memastikan kalau keduanya memang orang yang berbeda. Kalau memang mereka orang yang sama, lalu mengapa harus ubah nama segala jadi Prayoga? Kecuali kalau dia menyembunyikan sesuatu," jelas Anita setelah berpikir. Icha paham dengan apa yang dikatakan oleh Hana barusan. "Baiklah, kalau begitu aku akan menyelidiki semuanya." Anita tersenyum penuh arti. Jika dia menemukan sesuatu di situ, akan lebih mudah baginya untuk memberi pelajaran pada Hana dan ibu tirinya yang angkuh itu. "Kamu pikir bisa memang begitu saja, Hana? Aku akan menyelidiki dengan jelas nanti!" BERSAMBUNG6 bulan sudah berlalu sejak hari itu.Anita juga sudah mulai cuti bekerja karena sekarang dia tengah fokus dengan kehamilan yang tengah dia jalani. "Aku datang ke sini disuruh oleh Anita menemani kamu." Icha tiba muncul sambil membawakan makanan untuk Anita, kebetulan Anita paling suka dengan makanan ini. Anita mengelus perutnya dengan hangat. "Wah ada aunty Icha.""Ini makan dulu.""Makasih yah, maaf loh sampe repot-repot," ujar Anita. "Gak papa, justru aku malah senang bisa datang ke sini. Sekalian mau ngabarin sesuatu juga," kata Icha dengan penuh semangat. Anita menunggu penjelasan dari Icha selanjutnya karena dia merasa penasaran juga dengan informasi tersebut. "Ngabarin apa?" "Tania juga tengah hamil sekarang," kata Icha. Anita yang mendengar itu pun langsung tersenyum, ada rasa bahagia yang tidak bisa dia jelaskan sekarang. Apalagi semuanya saling berhubungan satu sama lain. "Wah, kok kang bisa tahu. Apa kamu datang ke tempat dia?" tanya Anita penasaran. Icha mengangg
Anita senang karena semua urusan miliknya sudah selesai, apalagi semua orang-orang yang menyakiti dirinya kini sudah mendapatkan karmanya masing-masing."Anita," panggil seseorang. Anita menoleh kearah orang yang kini ada dihadapannya. Rupanya itu adalah suaminya yang dia cinta. "Kenapa sayang?" tanya Anita. "Oh sekarang sudah manggil sayang yah," ledek Prawira. Anita pantas tertawa ketika mendengar hal tersebut. "Iya suami misteriusku."Dia masih teringat dengan kisah lama bersama dengan Prawira ketika laki-laki itu sampai menyembunyikan wajahnya dan bersembunyi dibalik nama Morgan. Anita tidak akan pernah lupa dengan hal tersebut. "Sudah siap? Kamu tidak lupa bukan kalau kita akan datang ke acara pernikahan Atlas dengan Dinda."Anita menoleh kearah kaca sambil memasang anting dan tersenyum. Tentu saja dia ingat dengan hal ini, makanya dia sudah berbadan dengan cantik. "Aku tidak lupa," jawab Anita. Prawira kemudian melihat sepatu hak tinggi yang tidak jauh dekat dengan tempat
"Sejak kapan kamu di sini?" tanya Icha ketika melihat Prayoga datang. Tania terlihat sedikit tegang khawatir kalau Prayoga mendengar apa yang dia katakan tadi. Prayoga berjalan menuju kearah dua wanita yang ada dihadapannya. "Aku mendengar percakapan kalian."Icha menghela napas panjang, dia jadi tahu sedikit tentang hal ini. Apalagi semuanya saling berhubungan satu sama lain. "Saya...."Tania hendak akan meminta maaf, tetapi kemudian Prayoga sudah lebih dulu berjongkok dan itu membuat Tania terkejut."Apa yang Tuan lakukan?" tanya Tania bingung. "Berhenti bersikap formal padaku," kata Prayoga yang pada akhirnya mengeluarkan sebuah cicin dari sakunya dan dia langsung melamar Tania pada saat itu juga. Icha hanya menutup mulutnya tidak percaya kalau pada akhirnya Tania akan dilamar oleh Prayoga. Syukurlah sekarang laki-laki itu peka juga. "Apa itu?" tanya Tania masih merasa kebingungan. "Aku ingin melamar kamu, mulai sekarang jangan berbicara formal denganku," kata Prayoga dengan
Anita berusaha untuk melepaskan ikatan talinya, dia sudah berhasil memecahkan sebuah pigura foto dan dia menggunakan kaca tersebut untuk membuka talinya. Dia hanya berharap kalau semuanya akan berhasil. "Aku ingin berhasil."Dia bergumam dengan pelan, rasanya memang semuanya saling berhubungan satu sama lain. "Anita aku datang," kata Kevin yang tiba-tiba membuka pintu dan membuat Anita sedikit terkejut. "Kevin.""Apa yang kamu lakukan hah, berusaha untuk kabur," kata Kevin setelah dia menyadari kalau ada foto yang pecah dan kedua tangan Anita sudah lepas. Dia tidak mau membiarkan hal tersebut terjadi. "Tidak...""Tidak usah berbohong, sepertinya kamu memang perlu dihukum Anita," kata Kevin yang kini sudah tersenyum miring sambil membuka baju yang dia gunakan sekarang. Anita seketika jadi panik, apa yang akan dilakukan oleh Kevin selanjutnya? Anita berusaha untuk melarikan diri. "Mau lari ke mana hah, kamu tidak bisa melarikan diri mulai sekarang.""Kevin, kamu jangan macam-macam
Prayoga datang menemui ibunya yang kini sudah ditahan bersama dengan ayahnya. Kebetulan dia punya tujuan yang harus dia lakukan sekarang. "Prayoga kamu ke sini, tolong selamatkan mamah."Weni memohon kepada anaknya untuk diselamatkan. Sedangkan tidak jauh dari sana Umar Sanjaya malah tertawa. Jelas dia tahu dari awal kalau Weni memang orang yang sangat licik. Dia tidak akan membiarkan semuanya terjadi dengan begitu saja. "Wanita licik seperti kamu, sudah ketahuan kejahatannya. Sekarang minta dibebaskan. Tidak tahu malu sama sekali," kata Umar. "Diam kamu, jangan ikut campur," umpat Weni. Umar Sanjaya lalu menatap kearah anaknya. "Prayoga, kamu jangan terhasut oleh ucapan wanita ular seperti dia. Walaupun dia adalah ibumu sendiri.""Kamu yang menghasutnya, sialan!" umpat Weni. Prayoga mendengar perdebatan itu, dia baru menyadari kalau kedua orangtuanya memang tidak akur sebelumnya. Apalagi setelah dia tahu semuanya sekarang. "Aku datang ke sini bukan untuk menyelamatkan mamah,"
Anita membuka matanya dan dia langsung terkejut ketika berada di sebuah kamar asing dan tangan beserta kakinya di ikat sekarang. Dia mencoba untuk mengingat apa yang sudah terjadi. "Bukannya tadi aku pergi bersama dengan Kevin, kenapa sekarang malah dalam keadaan diikat seperti ini?" tanya Anita kebingungan. Anita mencoba mengingat semuanya, lalu dia langsung berteriak. "Kevin, apa yang kamu lakukan?""KEVIN!"Anita sedikit berteriak karena dia yakin kalau semuanya ulah Kevin. Tetapi kenapa dia malah mengikatnya seperti ini. Sampai tak lama kemudian, pintu terbuka dan Kevin membawakan makanan untuk Anita. Dia hanya melakukan hal yang baik untuk dirinya. "Anita, kamu sudah sadar?" tanya Kevin. "Apa yang kamu lakukan Kevin, kenapa tangan dan kakiku diikat?" tanya Anita dengan nada yang kesal. Kevin hanya tersenyum ketika melihat kearah Anita barusan. "Aku hanya ingin memastikan saja kalau kamu tidak kabur.""Kamu gila Kevin, jangan main-main denganku. Apa yang sebenarnya kamu ingi







