Anita tidak mau kalau harta ayahnya jatuh ke saudara tirinya dan ibu tirinya. Syarat untuk bisa memegang saham perusahaan adalah dengan cara menikah. Akhirnya Anita memilih pria random yang dia temui di rumah sakit, laki-laki itu butuh uang karena wajahnya rusak dan terlihat cacat. "Aku akan membiayai biaya rumah sakit, tetapi kamu harus jadi suamiku." Anita menikah dengan orang tersebut, tidak peduli wajahnya yang diperban seperti mumi. Bagi Anita menikah bukan hal penting, asal dia bisa mendapatkan kembali semua harta keluarganya. *** Seorang pria misterius tersenyum puas dengan permintaan gila dari Anita. Menurutnya ini adalah hal yang sangat menarik. "You Are Mine!"
View More"Anda tidak bisa bekerja dan menguasai perusahaan, kecuali Anda menikah sekarang."
Sepasang mata Anita membelalak mendengar ucapan pengacara yang duduk di sebelahnya itu.
“Apa?” tanyanya, seolah memastikan telinganya masih berfungsi dengan baik.
"Ini adalah surat wasiat yang diberikan oleh Pak Hartanto," kata pengacara itu sambil menyerahkan sebuah dokumen pada Anita.
Buru-buru Anita membuka dokumen itu dan membaca isinya. Apa yang dikatakan oleh pengacara itu memang benar adanya. Tapi ini benar-benar konyol!
Wanita itu menghela napas panjang. Setelah ayahnya meninggal, semua hartanya dikuasai oleh adik tiri dan ibu tirinya. Anita benar-benar frustrasi karena tidak bisa melakukan apapun sekarang.
"Kalau begitu saya permisi dulu."
Pengacara tersebut langsung pergi begitu saja setelah memberikan surat wasiat tersebut.
Sekali lagi, Anita membaca dengan seksama dan dia mengepalkan tangannya. Bagaimanapun, harta milik ayahnya dan perusahaan milik ibu kandungnya tidak boleh jatuh ke tangan orang-orang itu!
Tapi ke mana ia harus mencari suami dalam waktu dekat?!
Andai dulu pertunangannya dengan putra keluarga Sanjaya tidak batal, semua ini pasti tidak akan terjadi.
Keluarga tirinya memang licik. Pertunangan Anita dibatalkan oleh ibu tirinya, dan sekarang saudari tirinyalah yang akan bertunangan putra keluarga Sanjaya.
Anita berjalan menuju ruangan administrasi untuk membayar semua biaya rumah sakit selama ayahnya dirawat di sini.
Namun, langkahnya terhenti saat seorang pria paruh baya tiba-tiba menghampirinya.
"Tolong saya," ujar pria itu nampak kebingungan.
Anita menatapnya dengan kening berkerut. "Kenapa, Pak?"
"Saya tidak punya uang untuk biaya rumah sakit, tapi anak saya harus dioperasi segera. Saya mohon bantu saya. Saya akan melakukan apapun," ujar orang itu pada Anita, suaranya terdengar putus asa.
“Maaf, tapi saya tidak—”
“Saya mohon!” Pria tersebut tiba-tiba berlutut di kaki Anita, membuat wanita itu terkejut dan kelabakan.
“Pak, jangan begini,” kata Anita panik.
Sungguh, kepalanya sudah pusing memikirkan surat wasiat itu. Sekarang, ia harus menghadapi masalah lain yang tidak ada hubungannya dengan dirinya.
Namun, melihat raut wajah pria tua itu, Anita benar-benar tidak tega.
Ia pun membantu pria itu untuk bangkit. “Boleh saya bertemu anak Bapak dulu?" tanyanya. Anita takut pria ini berbohong dan berniat menipu dirinya dengan meminta uang.
"Mari, dia ada di ruangan nomor 45," kata pria paruh baya tersebut.
Anita berjalan menuju ruangan yang dimaksud oleh pria itu. Dari ambang pintu, dia melihat orang yang diperban seperti mumi. Itu membuat Anita sedikit terkejut sehingga ia bahkan tidak berani melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam ruangan.
Namun, Anita memperhatikan dengan seksama. Dilihat dari posturnya, orang itu cukup tinggi. Tadinya, Anita mengira anaknya itu masih kecil, tetapi ternyata dia terlihat dewasa.
"Jadi … itu anak bapak?" tanya Anita memastikan.
"Iya, usianya 27 tahun. Dia mengalami insiden kebakaran ketika tengah bekerja. Tubuhnya terbakar dan dia jadi seperti ini," ujar pria tersebut dengan suara bergetar.
"Dia laki-laki?" tanya Anita, tapi suaranya seperti tengah bergumam.
"Iya, dia juga bisa berbicara, hanya saja tidak bisa banyak bergerak karena tubuhnya melepuh."
Anita terdiam cukup lama. Kepalanya sibuk menimbang-nimbang dengan cermat.
Kebetulan sekali umur laki-laki ini tidak jauh beda dengan dirinya. Dia bisa menggunakan kesempatan ini untuk memanfaatkan situasi.
"Begini saja, Pak …." Anita menggantungkan ucapannya karena dia belum berkenalan dengan orang yang ada di hadapannya itu.
"Nama saya Anwar."
"Oke, Pak Anwar, jadi begini. Kebetulan saya tengah mencari seorang suami yang hanya dalam kertas saja. Bagaimana kalau Pak Anwar menikahkan saya dengan anak Bapak?” kata Anita. “Bapak tenang saja, semua biaya rumah sakitnya nanti akan saya bayarkan. Saya juga akan memberikan dia uang untuk melakukan operasi di luar negeri.”
Anwar membelalak mendengar ucapan Anita. “Menikah?” beonya. Tapi raut wajahnya tampak penuh perhitungan. "Boleh saya meminta waktu? Saya harus berbicara dulu dengannya," katanya lagi.
Anita hanya mengangguk sambil mengeluarkan kartu namanya. "Ini kartu nama saya. Jika Pak Anwar tidak keberatan, nanti bisa hubungi saya kembali."
"Baik, terima kasih banyak."
Anita langsung pergi setelah memberikan kartu nama tersebut. Dia tersenyum sedikit lega. Semoga saja … laki-laki itu mau menikah dengan dirinya.
***
Di sisi lain, Anwar kembali masuk ke dalam ruangan di mana seorang pria tengah berbaring seperti mumi.
"Kita tidak punya uang bayar rumah sakit," ujar pria yang masih dalam perawatan itu ketika Anwar sudah berdiri di sisi ranjangnya.
"Saya bertemu dengan seseorang dan meminta bantuannya."
"Apa maksud kamu, Anwar?" tanya pria itu dengan suara berat yang membuat Anwar menunduk takzim.
"Ampun, Tuan Morgan. Saya mengaku sebagai ayah Anda dan meminta bantuan seorang wanita," ujar Anwar.
"Meminta bantuan seorang wanita? Siapa? Pasti dia meminta dengan sebuah imbalan, bukan?" tanya Morgan penuh selidik. Ia tahu, tidak ada orang yang benar-benar baik tanpa pamrih. Apalagi di dunianya yang penuh tipu muslihat.
Anwar masih menundukkan kepalanya karena takut dengan majikannya itu. Dia hanya ingin membantu dan tidak punya pilihan lain.
"Iya … dia berkata akan membantu apabila Tuan bersedia menikah dengannya," jelas Anwar. “Tapi hanya menikah di atas kertas, tidak lebih.”
"Apa kamu gila?!” Meski dibalut seperti mumi, suara Morgan terdengar lantang, membuat Anwar tersentak kaget. “Aku tidak mau melakukan hal konyol seperti itu!” kata Morgan lagi.
“Maaf, Tuan ….”
Morgan menghela napas panjang. “Kalau bukan karena dikhianati oleh keluargaku sendiri, kita tidak akan seperti ini!" umpatnya dengan nada kesal.
"Saya minta maaf, Tuan Muda. Tetapi kita sudah tidak punya uang lagi. Kalau Tuan muncul di hadapan mereka sekarang, bukan tidak mungkin kalau mereka akan berusaha untuk mencelakai Tuan kembali," kata Anwar.
Morgan termenung memikirkan itu. Saat ini, dia memang butuh perlindungan karena keluarganya pasti akan berusaha untuk mencelakai dirinya lagi apabila mereka tahu dirinya masih hidup.
"Kamu benar. Aku harus bersembunyi untuk sementara waktu dan memulihkan tubuhku," ujar Morgan sambil melihat ke arah tubuhnya yang hampir semuanya diperban.
"Iya, Tuan Muda. Memang sebaiknya kita bersembunyi dulu sampai urusan kita selesai."
"Wanita mana yang mau menjadikan aku sebagai suami di atas kertas?" tanya Morgan kemudian. Dia penasaran dengan wanita yang melakukan hal konyol seperti ini.
Anwar kemudian mengeluarkan kartu nama dari sakunya, lalu memberikannya pada Morgan.
"Ini, Tuan."
Morgan mengambilnya dan membaca dengan seksama. Diam-diam dia mengulas senyum penuh arti meski tidak terlihat.
"Anita Anindiya Hartanto…," gumam pria itu. "Menarik.”
BERSAMBUNG
Langit sore Jakarta tampak mendung, seakan ikut menahan napas menyambut kedatangan seseorang dari masa lalu. Di terminal kedatangan Bandara Soekarno-Hatta, seorang pria dengan postur tegap, mengenakan jas hitam yang sederhana namun berkelas, keluar dari pintu imigrasi. Matanya tajam menatap ke sekeliling, mencari sosok yang sudah lama tidak ia lihat.Morgan akhirnya kembali. Setelah bertahun-tahun menghilang tanpa kabar, kini dia berdiri di tanah kelahirannya, membawa segudang luka dan dendam yang belum selesai.Seseorang sudah menunggunya di depan bandara—seorang pria berusia sekitar 60-an, berpakaian sopan, berdiri di samping mobil hitam yang tak mencolok. Ketika Morgan mendekat, pria itu membungkuk sedikit dan membukakan pintu mobil."Selamat datang kembali, Tuan Muda," ucapnya hangat.Morgan memasuki mobil tanpa membalas senyuman itu. Mobil pun mulai melaju perlahan menjauh dari bandara."Jangan panggil aku Tuan Muda," ucap Morgan datar, namun penuh tekanan. "Panggil aku Morgan sa
RUMAH HARTANTO – MALAM HARIDi ruang tengah yang remang-remang hanya diterangi cahaya lampu meja, Anita duduk di depan laptopnya. Cangkir kopi yang sudah mendingin diletakkan di samping tumpukan dokumen. Matanya lelah, namun pikirannya masih dipaksa tetap terjaga. Tugas kantor menumpuk tanpa ampun.Suasana tenang itu mendadak pecah oleh suara langkah kaki yang terburu-buru."Anita."Suara itu terdengar datar namun penuh maksud. Anita mengangkat wajahnya, menoleh dengan enggan ke arah sumber suara. Hana berdiri di ambang pintu, dengan senyum licik mengembang di bibirnya.Anita menghela napas berat. Sudah malam, dan wanita itu masih juga tidak tahu waktu."Ada apa lagi, Hana?" tanyanya dingin."Aku hanya ingin memastikan kamu tahu, aku akan menikah dengan keluarga Sanjaya. Sepertinya kamu perlu mengatur jadwalmu agar bisa datang," ucap Hana sembari berjalan santai, namun angkuh, mendekati Anita.Anita menutup laptopnya perlahan. Ia memutar bola matanya malas."Berapa kali kamu bilang ha
Hari mulai beranjak senja ketika Anita keluar dari kantornya. Langit memerah, seakan mencerminkan hatinya yang akhirnya tenang. Ia menarik napas panjang, menikmati semilir angin yang menyapu wajahnya. Hari ini cukup berat, tetapi setidaknya dua ular berbisa—Anita menyebut mereka begitu—tidak lagi bisa mengintimidasi dirinya.Ia membuka pintu mobilnya, siap melangkah masuk, ketika suara langkah tergesa menghentikannya."Anita."Refleks, ia menoleh. Seorang pria paruh baya dengan setelan jas abu-abu berdiri beberapa meter darinya. Wajahnya teduh, namun ada garis-garis kerisauan di sudut matanya."Ayah mertua?" Anita memiringkan kepala, terkejut. "Sedang apa Ayah di sini?""Bisakah kita bicara sebentar?"Nada suara Anwar tenang, tapi Anita menangkap ada nada waspada tersembunyi di sana. Ia sempat menaikkan sebelah alis, mempertimbangkan, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah. Ayo ke taman belakang gedung. Lebih tenang di sana."Mereka berjalan tanpa banyak bicara, hanya suara langkah sepatu
Hana tersenyum di rumah dengan ibunya, dia terlihat bahagia setelah menyebarkan undangan pada semua orang. Sebentar lagi dia akan menjadi istri dari orang kaya di kota ini. Dia akan disegani oleh semua orang dan tidak akan ada yang berani menindas dirinya nanti. "Mamah tahu, kalau aku akan segara menjadi Nyonya Sanjaya," kata Hana dengan senang. Ayu yang mendengar itu pun tersenyum dengan senang. "Tentu saja, ibu sangat senang karena memang kamu akan menikah dengan orang yang kaya raya. Kita akan mengadakan pesta nanti. Tidak sia-sia ibu membesarkan kamu.""Iya tentu saja. Kita tidak perlu bergantung pada harta warisan Anita lagi," kata Hana dengan senang. Ayu tidak setuju dengan hal itu, dia harus tetap mendapatkan harta warisan dari keluarga Hartanto. Tentu saja karena dia selama ini sudah berada di sisi laki-laki tua itu. "No sayang, kita harus tetap mendapatkan harta Anita, apalagi selama ini aku sudah berjuang keras mendapatkan semuanya."Hana menoleh kearah ibunya. "Sudahlah
Bayangan di cermin kini menampakkan wajah utuh Morgan. Tidak ada lagi bekas luka yang dulu mengubah hidupnya. Dia menatap pantulan dirinya dengan sorot mata penuh dendam dan tekad.Akhirnya, semua luka itu hanya menjadi kenangan. Kini, saatnya dia kembali.“Aku akan kembali ke Indonesia,” gumamnya pelan namun tajam, seakan setiap kata adalah peluru yang siap melesat.Anita … wanita itu. Masih menjadi misteri yang belum selesai. Meski status mereka hanya sebagai suami-istri kontrak, perasaan Morgan pada Anita tidak pernah bisa ia bantah. Dia pergi demi menyembuhkan luka di tubuh dan harga dirinya, tapi sekarang … dia kembali bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.Tiba-tiba, ketukan di pintu memecah keheningan ruangan mewah di sudut rumah sakit Swiss itu.“Permisi, Tuan,” ucap seorang pria dengan jas hitam dan tatapan waspada.Morgan menoleh cepat. “Ada apa?”“Informasi terbaru dari Indonesia. Prayoga akan bertunangan … dengan
2 tahun kemudian. Hari ini adalah hari yang indah untuk Anita. Setelah dua tahun mengambil alih perusahaan milik keluarganya, dia bisa hidup dengan tenang. Keluarga tirinya itu tidak bisa mengintimidasinya lagi. Semua itu berkat status pernikahannya dengan Morgan. Omong-omong, bagaimana kabar pria itu ya? Sudah dua tahun mereka tidak bertemu. Anita baru menyadarinya karena selama ini dia terlalu sibuk mengurus perusahaan. "Icha," panggil Anita kepada bawahan setianya sekaligus teman dekatnya. "Iya, Bu Anita? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Icha sambil menghampirinya. "Tidak usah formal seperti itu, kita hanya berdua saja,” kata Anita. “Aku hanya ingin tahu tentang Hana yang akan bertunangan dengan keluarga Sanjaya." Icha yang mendengar itu malah tertawa. Dia kemudian duduk di sofa yang ada di ruangan Anita. "Iya, mereka akan bertunangan. Hana pasti akan semakin keras kepala setelah ini," ujar Icha. Anita tampak berpikir. "Kamu benar, setelah dia tidak berhasil mendapatkan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments