Pulang, adalah waktu yang paling dinantikan oleh Nathan. Liburan musim dingin tahun ini akan sepenuhnya ia gunakan untuk pulang ke Connecticut, kampung halaman, tempat orang tua dan kedua adiknya tinggal. Meski tugas menuntut Nathan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, rumah paling nyaman tentulah ada di Kota Ridgefield. Dia turun dari bus dengan senyuman gembira. Sembari menggendong tas punggung, kakinya melangkah lebih jauh ke dalam kompleks perumahan yang hijau dan asri, hingga akhirnya tiba di depan hunian bertingkat gaya Amerika. Nathan, sejatinya hanyalah seorang anak yang sedang merindukan rumah, begitu melihat sang ibu keluar dari pintu untuk menyambutnya, senyuman Nathan langsung terlukis amat lebar dan segera menghampiri wanita baya bernama Sarah itu. "Austin, akhirnya kau pulang. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihatmu pulang dengan selamat." Sarah menangkup wajah anak sulungnya dengan bangga."Aku ingin eggnog hangat buatanmu," celetuk Nathan, itu
"Romano Emanuel? Kau sungguh-sungguh ingin bergabung dengan organisasi kami? Posisi apa yang kau harapkan?"Tatapan menantang dari mata setajam tombak itu tertuju kepada sosok lelaki yang berdiri di tengah ruangan. Dentingan metronom terdengar begitu keras, membuat atmosfer dalam ruangan mewah bergaya Eropa itu kian mencekam. "Kapten." Tanpa bergerak sedikitpun, orang yang disebut Romano menjawab.Gelak tawa meremehkan keluar begitu saja dari mulut seorang Victor Provenzano, bos besar mafia dari klan Provenzano. Lengkap dengan topi fedora dan jas hitam yang membalut tubuhnya, Victor berjalan menghampiri Romano. Dia dapat mengetahui semua riwayat hidup Romano dari berkas yang telah diberikan oleh ajudannya. Namun, tentu saja data dan informasi dalam berkas alakadarnya itu adalah palsu.Satu hal yang baru saja Romano ketahui, para mafia di Italia belum menggunakan teknologi canggih untuk membantu pekerjaan mereka. Tentu saja, pada bidang teknologi dan informasi, Romano yang paling ungg
"Apa tujuanmu mengundangku kemari?" Romano memberikan pertanyaan tersebut kepada Luiza, tepat setelah dirinya duduk pada sofa yang ada di dalam 'ruang beracun' milik wanita itu. Romano memang mendapat undangan lewat surat kertas dari Luiza untuk datang ke tempatnya malam itu. Saat datang, dia dibuat heran karena ruang beracun yang kiranya benar-benar 'beracun' itu ternyata hanya sebuah kamar normal dan wangi khas perempuan. Mungkin, parfum dengan aroma menyengat hidung adalah racun yang dimaksud oleh Luiza. "Sebelum itu, mari kita minum terlebih dahulu! Ini adalah anggur buatan Italia yang sudah difermentasi selama belasan tahun. Makin lama waktu fermentasi, makin nikmat pula rasa anggur ini." Luiza mengangkat gelas anggurnya, disusul oleh Romano yang segera menyesap minuman tersebut. "Baiklah, aku akan membaca tata tertib dan aturan organisasi untuk kau pahami." Luiza tersenyum manis, kemudian bangkit dan berdiri di hadapan Romano sembari memegang kertas kuning, kemudian mulai be
Asap tipis mengepul dari cangkir teh yang baru saja diseduh oleh pemiliknya. Luiza berjalan santai ke ruang tengah seraya membawa cangkir teh tersebut dan membiarkannya hangat di atas meja. Sementara itu, dia pergi untuk mengambil sebuah buku dari rak besar di sudut ruangan. Waktu luangnya memang sering ia habiskan untuk membaca buku dan menambah pengetahuan baru. Alih-alih novel cinta, Luiza memilih buku filsafat sebagai cerita yang menarik. Kaki jenjangnya menyilang di atas meja dan punggungnya bersandar pada sofa, kehangatan sore hari menambah fokus dan rileks. Tempat yang ia tinggali saat ini adalah rumah singgahnya di markas, yang di atas pintunya terdapat papan 'ruang beracun.' Hanya sampai pada lembaran ke empat, dirinya berhenti membaca akibat suara ketukan pintu yang menganggu. Luiza menutup buku dengan kesal, lalu melemparnya sembarang dan beranjak ke depan. Romano telah berdiri dengan percaya diri ketika Luiza membuka pintu. Wanita itu lantas tersenyum simpul dan mempers
Dering ponsel mengalihkan atensi Romano yang baru saja keluar dari kamar mandi, selesai menyegarkan tubuh yang lelah akibat belum sepenuhnya beradaptasi pada pekerjaan baru. Siapa sangka, bergabung dengan kelompok kriminal itu sangat melelahkan. Romano harus memeras orang-orang kaya setiap hari dan menggunakan kejahatan yang butuh tenaga lebih banyak. Cukup berlawanan dengan tugasnya sebagai agen intelijen yang hanya perlu mempermainkan pikiran. Dia berdecak malas saat mengambil ponsel, ada nama Leo di layar yang langsung membuatnya mengangkat panggilan tersebut. "Kapten sudah menunggumu."Matanya melirik jam dinding, belum genap pukul tujuh pagi. Lelaki itu segera menutup telepon dan beralih mengenakan pakaiannya. Kemeja putih, celana dan jas hitam menjadi setelannya hari ini. Satu kesamaan dengan pekerjaan asli, selalu tampil rapi. Romano juga tidak lupa menyisir rambutnya ke belakang, mengekspos dahinya dengan sempurna. Rahang tegas dan alis tebal membuat wajahnya berkharisma,
"Selamat atas kemenanganmu, Eris!" "Full House! Lihat triple Ace itu, sepertinya kau punya banyak stok keberuntungan." "Yang benar saja, ini bukan keberuntungan, tapi strategi!" Luiza tersenyum pongah kepada para penonton dan lima lawan mainnya, dia bersandar pada kursi selagi menyisip anggur ketika seorang pelayan mengumpulkan chips poker yang telah ia menangkan. Sebagian pejudi di kasino itu sudah tak asing lagi dengan sosok Luiza dan kehebatannya. Namun entah mengapa, Luiza lebih sering dipanggil dengan nama Eris saat berada di sana. Di belakang kursinya, sedari tadi Romano berdiri dan mengamati permainan. Tepat setelah permainan itu selesai, dia beranjak pergi menuju bar yang lebih sepi. Kemudian mengapit sebatang rokok dan menyulutkan api dari korek gasnya. Dia tidak terlalu suka merokok, sebetulnya, ini hanya kedok agar dia tampak biasa-biasa saja seperti kebanyakan orang. Diam-diam dia berpikir, bagaimana cara untuk mendekati Luiza dan menghasutnya agar dia menyerahkan senj
Kaki jenjang beralas high heels membawa wanita itu ke dalam ruangan gelap dan sunyi—apartemen mewah bernuansa klasik yang menjadi destinasinya hampir tiap hari. Jika tidak berada di markas, sudah pasti Luiza ada di sini. Tempat milik seorang lelaki yang saat ini masih terbalut jubah mandi, sedang duduk bersandar di atas kursi dan menikmati segelas anggur. "Kenapa tidak pergi ke markas, Tuan Kenzo?" Suara lembut itu membuat Kenzo berpaling pada kekasihnya yang tengah menampilkan senyum manis seperti biasa. Kenzo sudah lama menanti kedatangannya sampai jenuh, namun Luiza justru tercengir tanpa dosa selagi merebut gelas anggurnya. "Harusnya kau datang lebih awal." Kenzo merajuk, lalu melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Luiza. "Banyak data perusahaan yang harus kulengkapi, harusnya aku juga ada di kantor utama saat ini. Membosankan, perkelahian jauh lebih baik daripada ini semua," katanya. Luiza hanya bergumam dan mengusap-usap kepala Kenzo dengan lembut selagi meminum habis
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, hati dan pikiran Romano rasanya tidak bisa sinkron mendengar penuturan itu. Ia tak habis pikir dengan semua hal yang terjadi barusan, apakah dirinya benar-benar mencumbu seorang wanita yang sedang mengandung anak orang lain? Apakah dia sudah bisa disebut sebagai bajingan? Pria itu tertunduk dalam-dalam dan memijat kepalanya yang pening, Luiza bahkan tidak menunjukkan rasa sesal karena telah berselingkuh. "Kenapa baru sekarang kau memberi tahuku? Apa kau tahu betapa bersalahnya aku? Kenzo adalah kekasihmu, lebih dari itu, dia adalah ayah dari anak yang kau kandung," tegas Romano, lalu terkekeh dengan sinis. "Kau lebih dari sekadar mengkhianatinya.""Tidak, kau tidak mengerti! Sudah kubilang Kenzo itu bukan manusia! Dia iblis yang sudah membunuh anaknya!"Luiza mulai terisak, dia menangis sejadi-jadinya. Masih dengan perasaan kacau, tubuhnya ditarik oleh tangan hangat Romano. Biarpun tak mengerti dengan keadaan ini, Romano tetap merengkuh tubuh