Nur mendapati dirinya sudah berdiri di depan pintu Pak Anwar. Pintu itu masih tertutup rapat, tapi dia tahu Pak Anwar sudah ada di dalam ruangan. Dirinya ragu untuk mengetuk pintu tersebut. Seolah-olah dia mau masuk ke kandang singa. Hatinya berdebar tak karuan.
Tok Tok. Suara pintu itu diketuk.
“Masuk.” Nur mendengar suara Pak Anwar dari dalam ruangan.
Nur membuka pintu itu pelan-pelan. Sambil tersenyum, dia berkata dengan sopan, “Selamat pagi Pak Anwar.” Dianggukannya kepalanya pada si empunya kantor. Dilihatnya Pak Anwar duduk di kursi kerjanya, beliau sedang membaca berkas-berkas yang ada di depannya. Seperti biasa, beliau selalu memakai dasi, pakaian bisnis formal.
Nur merasakan pandangan Pak Anwar dari balik kacamata, pandangan yang tajam. Sakit. Pandangan yang tajam itu serasa menusuk hatinya. Dia merasa tertekan, serasa ruangan itu sempit.
Nur masuk ruangan Pak Anwar dengan canggung, seolah-olah dia adalah bawahan yang melakukan kesalahan besar dan dipanggil ke ruangan atasan untuk ditanyai dan diinterogasi. Saat itu dia sadar bahwa dia memang melakukan kesalahan, dengan datang ke kantor Pak Anwar, bukan meminta Pak Anwar untuk mendatanginya. Seperti ini berarti memberikan otoritas yang besar kepada Pak Anwar, karena Nur ada di “kandang” Pak Anwar. Dengan keunggulan psikologis, maka Nur akan merasa mudah diintimidasi oleh Pak Anwar.
Nur ingat dulu sebuah teori dalam manajemen yang dia baca, kalau ingin menegur seorang pegawai tentang kesalahanya, maka panggil si pegawai menghadap di kantor atasan. Dengan begitu, atasan ada di wilayah kekuasaanya dan punya otoritas lebih tinggi daripada bawahan.
“Hhhh. Kenapa baru ku ingat teori ini?” batin Nur mengumpat, namun disadarinya, semua sudah terlambat.
“Wah, Bapak Wakil Ketua mengunjungi saya. Ada kehormatan apa ini?” tanya Pak Anwar dengan tetap duduk. Nur merasa ada sedikit nada menyindir disana. Hatinya sedikit mendongkol.
“Ah, jangan begitu Pak, saya jadi malu.” kata Nur sambil tersenyum, mengabaikan nada sindiran.
“Kenapa harus malu? Kan sekarang Pak Nur menjadi atasan saya, saya ingat beberapa tahun lalu, Pak Nur masih menjadi bawahan saya. Saya yang harusnya merasa malu, serasa saya tidak dihargai, tak punya harga diri.”
Nur melihat, mata Pak Anwar semakin menghujam kepadanya. Nada suara Pak Anwar juga semakin melengking tak sedap di telinganya.
“Hehe. Ini Pak Anwar, saya mau minta tolong,” Kata Nur mengabaikan semuanya meskipun darahnya mulai mendidih. Dipikirnya, tidak ada gunanya melayani orang ini.
“Apa yang bisa saya bantu Bapak Wakil Ketua? Saya siap melayani.”
“Kurang ajar kamu, dasar tua bangkotan sialan.” teriak Nur dalam hati.
“Ini Pak Anwar, kita akan berangkat ke Jakarta untuk penandatanganan perjanjian kerjasama lusa ini. Saya mohon tolong Bapak untuk menyiapkan dokumen-dokumen yang dulu Bapak kerjakan bersama mereka, dokumen-dokumen awal kerjasama itu. Saya mohon sekali Pak Anwar untuk menyiapkan dokumen itu hari ini dan serahkan ke saya.”
“Loh, kerjasama itu akhirnya terlaksana. Saya pikir tidak jadi karena saya tidak pernah diajak lagi untuk konsultasi atau urun rembuk. Akhirnya saya dihargai juga dengan diikutkan dalam rombongan meskipun itu hanya untuk penandatangan kontrak. Langkah terakhir yang hanya formalitas. Apa dengan saya masuk ke rombongan ke Jakarta sebagai pelipur lara saya? Saya yang membuat kerjasama ini menjadi kenyataan dan semakin kesini saya hanya jadi penonton saja. Tapi ya begini nasib jadi bawahan. Siapa yang menanam, siapa yang mengetam, bukan siapa yang menanam dia yang mengetam.”
Nur tetap tersenyum. Hatinya semakin dongkol, darahnya akhirnya mendidih, ingin dia pukul kepala kecil botak itu dengan tangannya. Giginya menggertak dengan pelan. Matanya melotot marah. Ditahannya emosinya dengan kuat agar tidak meletus saat itu. Dia ingin segera saja keluar dari ruangan laknat itu. Kakinya ingin sekali balik kanan dan keluar.
“Siap Bapak Wakil Ketua, akan saya siapkan dengan cepat, tepat, dan rapi seperti motto bengkel kita.”
“Terima kasih Pak Anwar. Saya pamit dulu.” kata Nur tanpa menunggu jawaban dari Pak Anwar, dia membalik badan.
“Tunggu sebentar Bapak Wakil Ketua. Saya ada beberapa pertanyaan tentang laporan pengadaan barang dan jasa untuk divisi Bapak kemarin.”
Deg. Jantung Nur tertelan masuk keperutnya. Langkahnya tertahan. Nur berbalik badan lagi menghadap Pak Anwar.
Pak Anwar berdiri berjalan menuju ke arahnya. Pak Anwar berdiri tepat di depan Nur dengan jarak sekitar dua langkah darinya. Nur melihat mata Pak Anwar melotot semakin tajam dibalik kacamata kotak berbingkai besi.
“Saya menemukan hal yang janggal di laporan tersebut. Ada beberapa item yang menurut saya harganya jauh diatas harga yang ada di pasaran. Misalkan,”
Nur melihat Pak Anwar berbalik menuju ke mejanya. Dilihatnya, Pak Anwar mengambil berkas yang tadi dibacanya, lalu membalikkan badannya dan memegang berkas itu dengan tangan kanannya. Nur berpikir dengan pose seperti itu seolah-olah Pak Anwar berkata, “Nyawamu ada di tanganku.”
Nur tetap mematung berdiri di tempatnya. Kakinya tiba-tiba lemas tak berdaya tak bisa bergerak. Sesaat dia merasa bahwa ruangan itu panas sekali, keringat keluar dari dahinya. Dinding ruangan itu seolah-olah bergerak menghimpit dirinya, sempit.
“Pengadaan kertas dan alat tulis kantor untuk divisi Bapak yang menurut saya biayanya terlalu berlebihan. Mennurut saya, biaya yang dikeluarkan untuk divisi Bapak bisa untuk memenuhi kebutuhan seluruh kantor. Selain itu, ada biaya untuk pelatihan para mekanik yang menurut saya tidak masuk akal. Makan siang apa yang membutuhkan biaya per orangnya sampai lima puluh ribu? Lobster? Tetapi saya belum selesai mengauditnya, tapi sampai disini saja bengkel kita berpotensi untuk dirugikan sebesar seratus juta rupiah.”
Jantung Nur serasa berhenti. Seratus juta? Bagaimana mungkin bisa menggelembung sebesar itu? Dan bagaimana Pak Anwar bisa mendapatkan laporan keuangan itu?
“Saya sendiri yang menyusun laporan tersebut Pak Anwar. Saya menyusun juga berdasar faktur dan kwitansi yang terlampir.” jawab Nur dengan berusaha agar suaranya tetap tenang dan tidak mencurigakan.
“Ah, saya hanya menjalankan tugas. Saya hanya menemukan kejanggalan dan melaporkan kepada atasan saya.”
Tiba-tiba dilihatnya raut muka Pak Anwar berubah, Pak Anwar melotot kepadanya, mulutnya tertutup rapat dan mendatanginya. Pak Anwar berdiri tepat di sampingnya dengan jarak yang sangat dekat. Ditolehnya Pak Anwar.
Pak Anwar berbisik kepadanya dengan terus melihat kedepan tanpa membuat kontak mata, “Saya tahu apa yang kamu lakukan tentang laporan itu. Saya tahu juga kalau kamu melindungi teman baikmu yang ada di gudang itu. Bagaimana reaksi Ibu Bos kalau sampai dia tahu anak emasnya menggelapkan uang bengkel sebesar itu? Pemecatan adalah hal yang wajar. Apa yang terjadi dengan Wahid kalau Bapaknya dipecat? Bukan hal yang menyeramkan juga jika Bapaknya Wahid masuk penjara karena penggelapan uang. Jadi, saya hanya ingin kamu mengundurkan diri dari jabatanmu, bilang pada Ibu Bosmu saya yang menggantikan kamu sebagai wakil ketua, secepatnya.”
“Bapak mengancam saya?” amarah Nur sudah tak terbendung. Dia melotot melihat Pak Anwar yang tetap tidak melihatnya. Tanganya menggenggam di samping tubuhnya.
Akhirnya Pak Anwar melihatnya. Dia beradu pandang dengan Pak Anwar, dia membalas pelototan mata Pak Anwar. Ditampakannya kemarahan di matanya, dia ingin memastikan bahwa Pak Anwar tahu dia bukan orang yang bisa diancam.
“Saya hanya bawahan yang berkewajiban menjaga bengkel dari pencuri.”
Nur balik kanan. Dia berusaha sekuat mungkin untuk berjalan biasa saja, tapi entah mengapa kakinya serasa berjalan dengan cepat. Sesampainya di pintu, ditariknya pintu itu yang mengakibatkan pintu itu serasa terbanting sedikit dan menimbulkan suara berdebum yang lumayan keras.
“Tua bangka kurang ajar, bahkan dia tidak mempersilahkan aku untuk duduk.” desis Nur sambil berjalan ke ruangannya.
Nur masuk ke ruangannya dan duduk di kursinya. Hatinya berdebar kencang berkecamuk antara bingung, takut, dan marah. Benar kata Gun, Pak Anwar bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia mau.“Gun, apa yang kamu lakukan? Kamu bilang kemarin cuma mengambil dua puluh juta, kenapa Si Anwar bilang sampai seratus juta?” desis Nur. Diambilnya rokoknya, dinyalakannya, dan dihisapnya kuat-kuat. Dia menggaruk dahinya.Diambilnya ponselnya, dia mulai mengetik pesan singkat.“Gun, kemarin yang kamu ambil berapa? Dua puluh atau seratus?”Dikirimnya pesan itu. Disingkirkannya ponsel itu, tiba-tiba dia tidak ingin melihat ponselnya. Dijauhkannya ponsel itu dari dirinya, diletakkan di ujung meja. Dia takut dengan apa isi balasan dari Gun.Dihisapnya rokok itu.Hatinya cemas tidak karuan. Pikirannya berkecamuk. Dia berdiri. Dia menuju ke jendela samping, dihisapnya lagi rokoknya dengan kuat. Sesaat kemudian dia merasa tena
Nur baru pulang dari bengkel habis Isya’. Kejadian hari ini terlalu berat baginya. Pikiranya berkecamuk dan bingung. Sepanjang jalan pulang, dia terus memikirkan bagaimana bisa laporan itu sampai di tangan Pak Anwar dan bagaimana ada selisih depan puluh juta. Tadi waktu mengantarkan santunan ke rumah Pak Mis, Bu Celo juga tidak mengatakan apa apa.Nur sebenarnya punya kesempatan besar untuk bertanya pada Bu Celo, karena saat itu hanya dia dan Bu Celo di dalam mobil kantor. Mulutnya sudah gatal ingin bertanya dan menutup rasa penasaran. Namun, pada akhirnya, dia tidak berani bertanya soal laporan itu. Pikirnya, bisa-bisa tambah curiga Bu Celo dan malah bunuh diri dengan pertanyaan itu. Jadi, dia pikir untuk tunggu dan lihat saja bagaimana nantinya.Jam delapan malam dia masuk rumah. Dara sedang duduk santai di kursi tamu dengan memegang ponselnya. Dilihatnya Wahid sudah tidur di kamar depan. Nur langsung mencium istrinya. Dilihatnya dari sudut matanya, Dara menuju
“Mbak Dita, Mas Adim, dan Mas Surya, ini sudah sore dan sepertinya negoisasi ini masih berbelit-belit. Jadi untuk menghemat semuanya, tiket pesawat dan biaya penginapan, biar saya dan Pak Nur saja yang tinggal disini. Kalian bertiga bisa pulang.” kata Bu Celo yang berdiri di depan meja.“Baik Bu.” jawab Dita. Sementara itu, Nur melihat Adim dan Surya mengangguk mengiyakan.“Mbak Dita bawa ATM kan?”“Iya Bu, kenapa?”“Tolong saya dikirimi nomer rekening Mbak Dita, saya mau transfer untuk uang saku kalian bertiga.”Sesaat kemudian mereka berdua sibuk dengan ponsel masing-masing, dimana Nur hanya terdiam. Hatinya bimbang, dia terpikirkan anak dan istrinya. Dia sudah berkata pada istrinya bahwa dia akan pulang sore ini. Bahkan dia lupa tidak menanyakan bagaimana keadaan Wahid. Dia merasa bersalah. Hatinya bergejolak ingin mengetahui keadaan Wahid dan istrinya. Dia rindu anak dan istrinya. Dia
Nur berdiri dari kursinya. Diambilnya coat warna putih yang tergantung di kursi tempat Bu Celo duduk. Ketika Bu Celo berdiri, dia pakaikan coat itu menyelimuti tubuh beliau. Setelah itu Nur berjalan mendahului Bu Celo ke tempat Pak Asan berada untuk membayar makanan, namun dia tertegun lagi ketika Pak Asan tidak mau menerima uangnya.“Uang temannya Bu Celo tidak laku disini.” kata Pak Asan.Sambil memasukkan lagi uangnya ke sakunya, Nur lihat Bu Celo dan Pak Asan saling berpamitan. Mereka tampak akrab sekali. Bu Celo pun berpamitan pada Pak Asan dan berjalan ke luar warung. Nur pun mengikutinya.Jalanan itu lumayan ramai meskipun sudah malam. Banyak kendaraan yang masih lalu-lalang. Ketika sampai di pinggir jalan, Nur berkata sambil menghadap Bu Celo, “Saya biasanya kalau nyebrang jalan dengan perempuan seperti ini Bu, ada dua syarat. Perempuannya harus milih, digandeng apa digendong?”Di dalam hati, Nur berharap Bu Celo t
Nur pun melihat kiri dan kanannya. Dia Dilihatnya, orang-orang disekitarnya juga sedang berjongkok, bahkan ada yang tiarap. Kendaraan yang ada di jalan raya berhenti semua. Dengan penerangan lampu jalan yang masih menyala itu, dia mencari sumber suara meledak barusan. Ditolehnya ke belakang, dilihatnya truk merah yang over dimension over loading tadi. Nur melihat suasana di sekelilingnya berwarna putih seolah olah berkabut.“Masa kabut? Bukan, ini bukan kabut, tapi debu.” batin Nur. Nur tidak lagi mendengar orang-orang berteriak-teriak. Lolongan orang-orang juga sudah berhenti. Disekitarnya, orang orang sudah bangun dari rundukannya atau tiarapnya. Dia semakin penasaran, akhirnya dilepaskannya pelukannya terhadap Bu Celo. Dia berdiri. Dibiarkannya Bu Celo masih berdiri dengan lututnya. Dia menoleh ke belakangnya. Debu-debu yang menyelimuti udara terlihat semakin tebal. Disiapkannya hatinya untuk melihat pemandangan horor yang mungkin ada. Un
Hati Nur berdebar-debar. Pikirannya kalut. Dia bingung. Dia berdiri sambil terus menggaruk-garuk dahinya. Ingin sekali dirinya merokok, diambilnya rokok dari saku celananya. Tapi itu tidak mungkin dilakukannya. Dimasukannya kembali rokok itu kembali.“Apa langkah yang kulakukan ini benar?” batin Nur, “Semoga saja ini baik-baik saja. Semoga yang kulakukan ini benar.”Akhirnya Nur duduk di sofa single warna putih. Dikeluarkannya semua isi kantong celananya, ponsel, rokok, pemantik api, dan uang-uang pecahan dua ribuan di meja yang ada di sebelahnya. Hatinya berdebar-debar dan jantungnya berdetak lebih kencang daripada yang seharusnya. Keringat masih keluar dari punggung dan kepalanya. Diambilnya ponselnya dan dimain-mainkannya ponsel itu ditangannya, diputar-putar dan ditepuk-tepukkan ke telapak tangannya.Di depannya, di atas ranjang ukuran queen, tergeletak tubuh Bu Celo. Tadi dia baringkan tubuh Bu Celo telentang di atas ranjang
Nur masih terus berpikir tentang semalam. Pertanyaan yang sama terus menerus berputar di kepalanya. “Apakah yang kulakukan semalam benar?” Benaknya memproyeksikan bayangan Dara dan Wahid. “Apa yang terjadi jika Dara mengetahui ini semua?” Tak sanggup Nur membayangkan efek dari perbuatannya semalam. Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya untuk mengusir perasaan bersalah. Ingin sekali dia marah, marah pada dirinya sendiri. Rasa yang kuat muncul di dadanya untuk memukul kepalanya sendiri atas kebodohannya. Nur menggaruk dahinya. Pandangan Nur terus melihat keluar jendela. Mentari sudah setinggi galah, sinarnya sedang kuat-kuatnya. Nur tepat memandang ke mentari, namun sinar mentari itu tak mampu membuat Nur silau. Keadaan jalan yang padat dan ramai itu juga tak bisa membuyarkan lamunan Nur, pun dengan suara klakson-klakson kendaraan yang bersahutan saat taksi yang membawanya ke bandara berhenti di lampu merah. “Pak Nur,” kata Bu Celo yang d
Hari itu minggu pagi pukul lima tiga puluh. Matahari masih baru sedikit menyembul dari ufuk timur. Awan yang bergerombol di ufuk timur membuat sinar mentari tidak sempurna menyiram bumi. Udara khas minggu pagi di daerah pegunungan, sejuk sekaligus dingin, membuat orang malas untuk beranjak dari peraduan mereka. Kelihatannya minggu pagi yang cocok untuk bermalas-malasan. Apalagi ada embun yang turun, membuat suasana pagi itu semakin cocok untuk tidur-tiduran saja.Namun tidak dengan Pak Mis. Beliau sudah dari subuh tadi bersiap-siap untuk bersepeda. Sekarang, beliau sedang berdiri dengan berkacak pinggang mengamati sepedanya. Beliau sudah mengelap sepeda tipe lightweight itu. Body sepeda yang ramping dengan stang model drop bar sudah tampak kinclong. Ban bertapak kecil itu juga sudah beliau tambahi tekanan anginnya. Beliau juga sudah mengecek rem dan gir sepedanya. Yakin sudah, sepeda ini dalam kondisi prima dan siap diajak untuk berpetualang.