“Tok.. Tok..”
Nur mengetuk pintu ruangan Bu Celo yang sudah terbuka lebar. Dilihatnya dari pintu Bu Celo sedang berdiri tegap di depan jendela belakang membelakangi pintu masuk. Sepertinya, batin Nur, Bu Celo sedang memantau aktivitas para pegawai di bengkel. Tangan Bu Celo mungkin di lipat di depan tubuh. Nur lihat, Bu Celo memakai celana panjang warna biru tua dan kemeja putih lengan panjang dan sepatu hak tinggi berwarna hitam. Sedangkan, di gantungan bajunya yang berbentuk tongkat di pojok ruangan, tergantung outer Bu Celo dengan warna yang senada dengan celana.
Siluet sosok itu, dipikiran Nur, mencerminkan pose wanita yang tangguh dan mandiri. Sikap dan pembawaan seorang wanita karir sukses, tak lain, seorang pemilik bengkel berkelas nasional. Pose menawan yang memancarkan sihir pesona karena kepercayaan diri tinggi dengan sedikit keangkuhan.
“Silahkan masuk Pak Nur.”
Nur masuk ke ruangan Bu Celo. Dia berhenti di depan sofa. Dilihatnya Bu Celo berbalik menghadap kearahnya, tersenyum. Dengan tetap mempertahankan pose, Bu Celo berkata, “Silahkan duduk.”
Tangan Bu Celo menunjuk ke arah sofa. Nur menganggukkan kepalanya lalu duduk di sofa panjang di depan dinding. Sesaat kemudian Bu Celo beranjak dari tempatnya berdiri. Beliau berjalan dengan tegap, tanganya melambai mengiringi langkah kakinya. Akhirnya Bu Celo berhenti di depan meja sofa. Seperti biasa, kakinya dibuka selebar pundaknya, tangan menggenggam didepan perutnya. Nur menangkap aura seorang wanita yang yakin dengan semua tindakannya, dan tahu bahwa semua yang diinginkan pasti tercapai.
Di saat itu, Nur membelalakkan matanya, mengisyaratkan kekaguman, dan membuat kontak mata dengan Bu Celo. Nafasnya tertahan. Hatinya berdegup.
“Saya ucapkan selamat pada Pak Nur atas kenaikan jabatannya.”
“Eh, oh, terima kasih Bu Celo. Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan mengenai hal itu.”
“Kenapa Pak Nur yang saya pilih menjadi wakil ketua, bukan Pak Anwar?” kata Celo sambil duduk di sofa single yang terletak di ujung meja. Nada suaranya tegas dan mantap menyiratkan bahwa Bu Celo tahu apa yang ada dipikirannya. Nur lihat Bu Celo duduk dengan anggun, kakinya dirapatkan dan ditekuk ke samping kirinya, tanganya menggenggam satu dengan yang lain dan diletakkan di atas pahanya. Badannya tegap.
Nur terkekeh.
“Saya pemilik bengkel ini, saya bertindak berdasarkan apa yang saya pikir bagus untuk kemajuan usaha saya. Saya tidak mengambil keputusan berdasarkan apapun kecuali pertimbangan profesionalitas. Saya juga sudah memberikan standar, persyaratan, dan kesempatan yang sama bagi semuanya untuk bisa mencapai jenjang karir lebih tinggi. Tapi kalau ternyata ada pegawai yang telah bertindak sama bagusnya, maka saya menggunakan pertimbangan yang lain, seperti kepribadian, kedisiplinan, dan tingkah laku. Saya pikir saya sudah membuat keputusan yang bagus untuk ini. Selain itu, pegawai di bengkel ini pasti lebih setuju dengan Pak Nur yang jadi wakil ketua.”
Nur hanya mengangguk kecil. Hatinya berbunga dan bangga karena dipikirannya, menurut Bu Celo, dia adalah pribadi yang lebih baik dari Pak Anwar.
“Apa Pak Nur ingat waktu Pak Nur wawancara kerja disini dulu?”
“Ya Bu. Saya ingat.”
“Apa yang Pak Nur bilang saat itu kalau diterima bekerja di bengkel ini?”
“Saya akan memberikan yang terbaik bagi bengkel ini, saya akan melakukan semuanya yang ditugaskan kepada saya.”
“Ya. Dan saya menagih kata-kata Pak Nur itu sekarang.”
Nur mengangguk. Hati Nur semakin mantap, tidak ada keraguan sedikitpun, karena perbincangan ini. Sekarang dia yakin bahwa dia bisa memimpin bengkel ini. Dilihatnya Bu Celo dengan senyum tipis kemenangan terkembang di bibirnya yang tipis.
“Bukankah dengan naiknya jabatan ini Wahid bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik, bukan begitu Pak?”
Nur hanya tersenyum. Hatinya mengiyakan pernyataan tersebut.
“Tapi, mohon diingat bahwa saya mengangkat Pak Nur bukan karena itu. Tidak ada dalam pertimbangan saya hal-hal diluar pekerjaan. Naiknya Pak Nur ke kursi wakil ketua karena murni etos kerja Pak Nur.”
“Okay. Sudah terjawab pertanyaannya.” Kata Bu Celo dengan membuka tangannya.
“Sekarang,” lanjut Bu Celo dengan menggenggam tangannya kembali, “Lusa kita harus pergi lagi ke Jakarta untuk penyelesaian akhir kerjasama dengan bengkel resmi. Kalau semuanya lancar, lusa itu kita bisa langsung tanda tangan perjanjian. Tapi saya yakin, lusa itu lancar.”
Nur tersenyum, hatinya lega dan senang.
“Kita berangkat pagi dengan pesawat. Saya sudah minta tolong Anna untuk memesankan tiket pesawat pulang-pergi untuk 5 orang. Mohon Pak Anwar diminta untuk menyiapkan dokumen-dokumen awal kerjasama hari ini juga.”
Nur mengangguk memberikan tanda bahwa dia mengerti. Berarti setelah ini dia harus berdiskusi dengan Dita, staff legal, tentang poin-poin perjanjian kerjasama, apakah poin-poin kerjasama tersebut sudah menguntungkan bengkel. Dengan tidak adanya kepala divisi administrasi, berarti dia sendiri yang harus mendelegasikan tugas itu. Biasanya pembuatan perjanjian kerjasama seperti ini banyak mengalamai tarik ulur dan bertele-tele. Namun, entah mengapa kerjasama ini lancar sekali. Hampir tidak ada tarik-ulur atau proses yang bertele-tele. Tidak perlu waktu lama bagi Bu Celo untuk finalisasi kerjasama ini sejak Bu Celo ambil alih dari Pak Anwar.
Dia berpikir 5 orang itu pasti dirinya, Bu Celo, dua orang dari legal team mungkin Mbak Dita dan Mas Adim, dan Pak Anwar. Ya, Pak Anwar pasti akan ikut bersama ke Jakarta karena beliau adalah sosok dibalik kerjasama ini. Ini akan sedikit mengobati sakit hatinya karena tidak jadi naik pangkat dan selalu ditinggal pada saat negoisasi kerjasama. Mungkin lusa selama seharian, dia bisa mengakrabkan dirinya Pak Anwar. Nur bisa membuat Pak Anwar merasa menjadi orang yang penting lusa nanti.
Hatinya sedikit menciut. Dia harus bertemu Pak Anwar pagi ini. Dia tak yakin apa bisa menghadapi Pak Anwar. Ingin sekali dia tidak bertemu Pak Anwar, tapi itu tidak mungkin. Pikiran itu segera dienyahkannya. Dia sekarang wakil ketua, posisi yang ada di atas posisi Pak Anwar. Dia yakin bisa mengatasinya.
Nur juga berpikir untuk mendatangi Pak Anwar di ruangannya saja dari pada memanggil beliau untuk menyiapkan dokumen-dokumen itu. Dia ingin Pak Anwar merasa dihargai dan Nur merasa lebih sopan. Nur merasa belum pantas untuk menyuruh seperti itu kepada Pak Anwar.
“Ko ke Jakarta Bu? Bukanya ke Surabaya?”
“Kita harus ke kantor pusatnya”
Nur mengangguk mengerti.
“Selanjutnya,” kata Bu Celo membuyarkan angan-angan Nur, “Pak Mis apa punya tanggungan keluarga?”
Nur diam sebentar sebelum menjawab. Dia mengingat-ingat komputer di mejanya ada file Pak Mis ada di folder pegawai pimpinan. Ada 5 folder disana dengan nama-nama pimpinan termasuk dirinya. Di dalam folder Pak Mis ada file berjudul data keluarga. Dia menarik nafas, dan ingatannya tentang isi file itu seolah-olah sudah terpampang jelas ada di depannya dan bisa dia laporkan.
“Beliau meninggalkan satu orang istri dan dua orang anak. Istrinya bekerja sebagai ASN di Dinas Perindustrian dan Perdagangan golongan III B. Anak yang pertama perempuan berumur dua puluh tahun masih kuliah di universitas negeri di kota ini jurusan ilmu komunikasi semester empat. Sedangkan anak yang kedua laki-laki berumur lima belas tahun masih sekolah di SMK kelas satu jurusan kelistrikan.” terang Nur tanpa keraguan.
“Apa yang bisa kita lakukan untuk keluarga Pak Mis?
Nur menggaruk dahinya.
“Anaknya yang pertama sudah kuliah dan mungkin sudah jelas pilihan hidupnya. Sedangkan anaknya yang kedua mungkin bisa menjadi aset bagi kita. Kita bisa memberikan beasiswa pada anak Pak Mis yang kedua ini. Kita juga bisa menawari dia untuk PKL disini. Mungkin juga kalau nanti dia tidak mau kuliah, kalau ternyata dia bisa diandalkan, bisa ditawari kerja di bengkel ini.”
“Kenapa bukan anaknya yang pertama saja? Kita sedang berkembang dengan baik. Suatu saat kita butuh public relation.”
“Ide yang bagus juga Bu Celo. Saya setuju. Kalau begitu, kita buat perjanjian saja dengan anak ini, misal, akan menerima beasiswa jika IP lebih dari 3,25 dan mau menempuh mata kuliah public relation, dan mau bekerja paruh waktu di bengkel ini pada saat dia sudah semester tujuh. Jika akan diterima di bengkel ini jika IPK 3,35 dan nilai mata kuliah public relation minimal B.”
“Ide yang masuk akal Pak Nur. Dengan begitu, dia tidak akan taking for granted dan akan tetap belajar giat. Nanti bisa temani saya ke rumah duka untuk menyerahkan santunan dan kabar ini?”
“Siap.” kata Nur mantap.
“Yang terakhir, Pak Nur punya saran siapa yang pantas untuk dua posisi di kepemimpinan yang kosong?”
Nur menggaruk dahinya lagi, menarik nafas.
“Saya pikir untuk kepala administrasi belum ada yang memenuhi kriteria. Saya pikir Mbak Dita terlalu dini untuk menjadi kepala administrasi dan Mbak Dita hanya ahli dalam bidang legal saja. Saya pikir Mbak Dita akan kesulitan jika harus menyelesaikan berkas-berkas administrasi yang pelik dan membutuhkan ketelitian. Sedangkan untuk kepala SDM menggantikan saya, saya pikir, Pak Is sudah memenuhi kriteria. Saya sudah tahu sendiri kinerja Pak Is. Beliau bisa diandalkan.”
“Baiklah kalau begitu Pak Nur. Nanti setelah makan siang kita berangkat ke rumah Pak Mis. Saya sudah buat janji dengan istrinya. Oh ya, saya juga mau menyampaikan bahwa kasus tabrak lari Pak Mis masuk laporan ke Kepolisian.”
Sekitar tiga setengah tahun kemudian.Nur sedang duduk di food court sebuah mall besar di kota itu. Di hadapannya terhidang makanan mie dan es teh. Makanan itu sama sekali belum dia sentuh, mie itu sudah dingin. Dia hanya dari tadi minum es teh itu terus-menerus, hingga es itu sudah habis, dan hanya tersisa es batu saja di dalamnya. Meski begitu, dia masih menyeruput sisa-sisa teh yang tertinggal.Dia menyandarkan tubuhnya di kursi. Dia pandangi orang-orang yang berlalu lalang hiruk-pikuk disekitarnya. Hampir mereka semua membawa teman, pasangan, dan ada anak-anak. Nur mencelos hatinya. Hatinya berlubang. Rasa kehilangan masih terasa di hatinya.Nur ingat dulu, Dara selalu mengajaknya ke mall ini, dan makan mie ini, es teh ini pula dulu yang menjadi minuman favorit mereka berdua.Hari ini, entah mengapa, ada dorongan yang sangat kuat dari dalam hatinya untuk pergi ke mall ini dan makan mie, juga minum es teh ini. Kerinduan yang
Nur menutup pintu ruangan Dara. Di luar ruangan itu, dia bersandar pada tembok dan kembali menangis. Air mata deras membasahi pipinya. Penyesalan yang dalam. Dada yang sesak. Hati yang berlubang.Kedua kalinya, dia membuat perempuan yang dia cintai menangis.Dia segera cepat menguasai dirinya. Nur tidak ingin ada orang yang lewat di lorong itu dan melihatnya menangis. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Dipandanginya pintu kamar Celo yang ada di seberang lorong, tepat di sebelah kamarnya.“Aku harus kesana. Aku mau melihat Celo dan aku harus mengakhiri ini dengan baik-baik. Aku mengenal dia dengan baik. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengakhirinya dengan baik-baik pula. Meski semalam dia sudah secara aktif mau membunuhku, tapi rasaku tetap sama. Semua kata cinta itu adalah jujur. Aku tidak bohong semalam ketika aku bilang aku mencintainya.” batin Nur.Dengan langkah yang masih pelan-pelan, Nur menyeberangi loro
“Aku sebenarnya menerima pekerjaan lepas waktu sebagai penerjemah sejak setahun yang lalu. Aku enggak pernah bilang soalnya aku takut Mas Nur tersinggung. Aku takut kalau Mas Nur merasa kecil karena berpikir uang yang diberikan Mas Nur kurang. Oleh sebab itu, aku tidak pernah bilang soal ini. Oleh sebab itu pula, pekerjaan rumah banyak yang terbengkalai. Aku minta maaf soal itu.”Dara melihat Mas Nur menutupi mukanya denga kedua telapak tangannya. Mas Nur sepertinya menangis. Dara tadi sebenarnya melihat ada bekas-bekas tangisan di wajah Mas Nur, namun Dara diam saja. Dara tidak pernah tahu dan tidak mau tahu alasan Mas Nur menangis.“Aku minta maaf juga Sayang, gara-gara itu, aku menyangka Sayang berselingkuh. Aku berpikiran buruk ketika laptop Sayang itu menyala dan setiap kali laptop itu menyala, semua pekerjaan rumah terbengkalai.”“Aku minta maaf Mas, aku sudah menyimpan rahasia di hubungan kita.”“Sayang, ak
Dara masih melihat Mas Nur dengan kemarahan yang memuncak. Dia benar-benar ingin meluapkan segala kemarahan kepada Mas Nur saat itu juga. Kalau saja tidak ada Papa dan Wahid di kamar itu. Dia pasti sudah melempar Mas Nur keluar jendela dan membiarkannya terjatuh dari lantai lima dan remuk di bawah sana.“Bagaimana keadaanmu Nur?” tanya Papa kepada Mas Nur yang terlihat masih menahan sakit karena luka di perutnya. Kepalanya juga di perban.Dara mengetahui sebab Mas Nur menderita itu semua. Dokter Mus tadi pagi datang dan menjelaskan semuanya kepada dirinya dan Papa. Ketika dokter Mus menceritakan cerita kepahlawanan Mas Nur yang membantu Bu Celo lepas dari para perampok yang menyatroni rumah Bu Celo, Dara merasakan sebersit kekhawatiran atas keselamatan Mas Nur. Ingin dia segera berlari dan melihat keadaan Mas Nur yang ada di seberang ruangannya.Niat itu diurungkannya.Dara masih marah kepada Mas Nur. Dara merasa jijik dengan Mas Nur. Entah me
Nur benar-benar berusaha untuk bisa bangkit dari posisi rebahannya. Kalau saja dia benar-benar kangen dan ingin bertemu Wahid dan Dara, di pasti mengalah dengan rasa sakit yang mendera itu. Dia mungkin lebih memilih untuk menyerah pada sakit di sisi kiri perutnya daripada harus berusaha agar bangkit.Setelah sekitar tiga puluh menit berusaha, usaha Nur membuahkan hasil. Dia bisa bangkit dari rebahan. Kakinya sekarang sudah menggantung di pinggir ranjang. Kini tinggal berusaha unutuk berjalan ke kamar mandi. Dia juga baru sadar kalau dia tidak dipasang kateter untuk buang air kecil.Tiba-tiba juga dia merasa ingin buang air kecil. Dorongan yang kuat untuk buang air kecil.Dalam waktu satu jam, dia telah berhasil menjalankan misi yang diberikan oleh dokter Mus. Kini tinggal memanggil meminta tolong perawat untuk mengantarnya ke kamar Wahid. Tapi buat apa Nur meminta bantuan perawat? Dia bisa sendiri. Bukankah tadi dokter Mus bilang bahwa kamar Wahid ada di depan k
Nur membawa Celo ke rumah sakit internasional. Nur tadi dengan sigap memasukkan Celo ke mobil Aston Martin dan membawanya ke rumah sakit. Nur khawatir dengan Celo. Sementara itu, dirinya juga khawatir dengan nasib anak dan istrinya. Dia hanya menuruti instingnya. Dia hanya menyelamatkan Celo dan dirinya yakin Wahid dan Dara tidak ada di rumah yang meledak itu. Nur yakin kalau Celo tidak sejahat itu. Sesampainya di rumah sakit, dirinya dan Celo langsung dibawa ke instalasi gawat darurat. Celo mengalami syok dan luka pukulan dan bantingan. Sedangkan Nur mengalami luka sayatan. Nur mengatakan bahwa Celo dan dirinya adalah korban perampokan. Nur tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak mau berurusan dengan polisi dan membuat semuanya semakin kacau. Ini hanyalah masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah dan dengan cara damai. Luka yang dialami Nur tidak parah. Benar dugaan Nur, luka sayatan yang dangkal dan sama sekali tidak berba