Share

Nuraga

Jantung Nur masih berdetak dengan kencang. Hatinya membuncah membawanya terbang kegirangan namun otaknya memaksa untuk mengingkari, memandang semua berdasar logika dan tetap berpijak di bumi. Pikirannya, pada akhirnya, mau tidak mau melayang layang dan berangan-angan. Dengan kedudukannya sekarang ini dia akan mendapat gaji yang lebih besar daripada sebelumnya. Gaji seorang wakil ketua berada pada level dua digit jutaan daripada seorang kepala divisi yang hanya satu digit jutaan saja. Dia tak sabar ingin segera sampai di rumah dan memberi tahu istrinya.

Dengan gaji sebesar itu dan bonus yang juga naik, dia bisa memberikan fasilitas kesehatan yang lebih baik pada anaknya. Akhirnya dia kan bisa mendaftarkan anaknya untuk mendapatkan donor ginjal seperti yang dia dan istrinya inginkan selama ini. Dengan ginjal donor yang sehat, anaknya akan tumbuh sehat seperti anak-anak lainya. Tidak akan ada cuci darah minimal 2 minggu sekali yang menghabiskan sebagian besar gaji dan bonus-bonusnya hingga harus berhutang.

Dia juga bisa membelikan istrinya ponsel baru dan laptop baru. Dia merasa memang sudah waktunya ponsel istrinya ganti. Ponsel itu dibelikannya saat dia mendapat THR 4 tahun yang lalu. Beberapa waktu kemarin istrinya meminta tolong untuk membenarkan ponsel itu. Dia lihat sendiri bahwa penyimpanan internal ponsel itu sudah tidak muat. Ada notifikasi berbentuk disk yang berarti memory internal sudah penuh. Sudah diakalinya dengan menghapus foto dan dokumen tidak penting, tapi hasilnya hanya bertahan beberapa hari dan notifikasi itu muncul. Pada akhirnya, istrinya meminta tolong lagi. Hasil foto dari kamera ponsel itu pun sudah tidak sebagus awal-awal beli dulu. Ponsel itu sekarang hanya bisa digunakan untuk aplikasi chatting saja.

Nur mau memberikan istrinya kejutan saja. Istrinya dibawanya saja ke counter ponsel tanpa mengatakan apapun sebelumnya. Sesampainya disana dia ingin istrinya memilih ponsel mana yang diinginkan. Suasana sperti itu pasti terasa romantis dan istrinya pasti senang.

Laptop istrinya sudah sangat tua. Dia ingat istrinya beli laptop itu ketika mereka masih berpacaran dulu. Saat itu semester akhir dan istrinya membutuhkan laptop untuk mengerjakan skripsi. Usia laptop itu jauh lebih tua dari anaknya. Sekarang laptop itu sudah sangat kusam, sistem operasinya saja masih menggunakan Windows 7 disaat laptop sekarang sudah mengggunakan Windows 10. Keyboard-nya sudah bukan keyboard aslinya, keyboard portable. Beberapa tahun lalu laptop itu pernah jatuh dan merusak speaker, oleh karena itu, laptop itu harus menggunakan speaker portable atau headset untuk mendengarkan audio dari film atau untuk mendengarkan musik. Istrinya pernah bergurau bahwa laptop itu masih setia dan hidup meski dengan life support yang banyak. Tugas paling berat yang bisa dikerjakan laptop itu sekarang hanyalah memproses dokumen saja.

Isrinya tidak pernah menuntutnya untuk membelikan laptop baru. Tapi Nur merasa kasihan. Istrinya butuh hiburan di rumah setelah seharian penuh merawat anaknya yang sakit. Setahunya, laptop adalah alat hiburannya. Istrinya senang sekali menonton drama dan variety show korea, hobi istrinya dulu sejak kuliah. Pernah istrinya bergurau bahwa istrinya menginginkan laptop merk MSI dengan prosesor intel core i5, RAM minimal 8 GB, dan Nvidia GForce sebagai VGA-nya. Mungkin untuk beli laptop ini harus menunggu dulu. Dia mengharapkan bonus akhir tahun saja yang dia gunakan untuk membeli laptop. Dipikirnya kalau bonus akhir tahun kepala divisi saja bisa menyentuh angka sepuluh jutaan maka bonus akhir tahun wakil ketua bisa saja dua kali lipatnya. Harga laptop MSI yang sekitar sebelas juta bisa langsung terbeli.

Dengan membelikan dua barang itu, Nur pikir istrinya akan sangat bahagia. Jarang dilihatnya sekarang senyum bahagia dari istrinya. Ingin sekali dia lihat senyum bahagia itu tersungging di bibir istrinya yang mungil. Dia rindu perasaan bahwa dia adalah seorang pria yang berguna dan mampu membahagiakan istrinya. Dia ingin sekali dipeluk istrinya dengan erat, dengan begitu dia merasa istrinya sangat mencintainya. Dengan kenaikan jabatan ini, semua impianya, membahagiakan istrinya dan membuat anaknya sehat dan normal akan tercapai.

Otaknya kembali menariknya ke kenyataan. Dia merasa tidak pantas untuk menjadi seorang wakil ketua. Kenapa dia yang mendapat promosi jabatan dan bukan Pak Anwar. Dia merasa bahwa dia tidak enak dengan beliau. Dia takut kalau-kalau Pak Anwar memusuhinya. Diingatnya pandangan melotot dan tajam dari Pak Anwar tadi sore. Hatinya bimbang lagi, di satu sisi dengan promosi ini dia akan bisa membahagiakan keluarga kecilnya. Sedangkan, di sisi lain, dia tidak mau hubungan kerja di satu kantor menjadi rusak, karena Pak Anwar akan memusuhinya. Hal itu akan membuat suasana kerja menjadi canggung dan tidak kondusif.

Dia tidak mengerti kenapa bukan Pak Anwar yang menjadi wakil ketua. Dia merasa tidak enak dengan Pak Anwar karena seharusnya dia yang berhak menjadi wakil ketua dan seolah olah ini promosi aneh.

“Apa yang harus kulakukan?” batinnya, “Apa aku bisa menjadi seorang wakil ketua? Apa aku bisa mengemban tugas sebesar itu? Kalau nanti aku ternyata tidak bisa memimpin dann akhirnya kepemimpinanku jelek, bagaimana? Aku malu kalau harus menghadapai kenyataan seperti itu. Itu lebih baik daripada aku dipecat. Malah hancur hidupku. Apa aku mundur saja? Mundur pilihan terbaik, aku akan berbicara dengn Bu Ceo bahawa aku tidak sanggup. Dengan begitu, hubungan kerja ku dengan Anwar akan tetap baik-baik saja juga aku juga tidak perlu memikul tanggung jawab sebesar itu. “

“Tapi kalau aku mundur dari jabatan itu, mungkin saja Bu Celo tidak mempercayai aku lagi. Mungkin saja di masa depan akan menghambat karirku sendiri. Bisa saja Bu Celo menjauhiku dan jauh dari pemilik perusahaan itu menghambat karir dan menghancurkan apa yang sudah kuperjuangkan selama ini. Aku sudah bekerja keras untuk sampai di titik ini hanya untuk mundur dari jabatan. Apa nanti yang dipikirkan Celo tentang ku? Lelaki pengecut? Tidak, aku tidak mau mundur, aku seorang lelaki ksatria yang tidak akan mundur dari tantangan seperi ini.”

“Tapi apa aku bisa mengendalikan Pak Anwar yang nanti akan jadi bawahanku. Dia bisa membenciku dan membuat suasana kerja di kantor menjadi tidak kondusif. Dia bisa saja menghasut pegawai-pegawai itu untuk tidak mendukungku. Bisa bisa semua keputusanku ditentangnya dan bisa saja dia menyabotaseku. Kemarin saja waktu aku diangkat jadi kepala divisi yang sama levelnya saja, dia sudah jarang berbicara kepadaku, apalagi sekarang?”

Wajahnya terasa terang dan matanya terasa silau. Lampu sorot dari truk box yang berlawanan arah itu menyorot ke wajahnya, memberikan isyarat untuk minggir memberikan jalan. Dia tersadar dari angan-angan panjangnya. Secara intuitif dia turun ke bahu jalan dan merasakan jalanan yang tidak rata tidak beraspal dan bergelombang menganggu keseimbangan sepeda motornya. Dia tarik rem di tangan kanannya dan injak rem di kaki kanannya bersamaan. Motor itu pun berhenti dengan mesin tetap menyala.  Dia tepat berhenti di bawah lampu penerangan jalan yang sedang menyala. “Huf” desahnya. Dia memerlukan beberapa saat untuk menguasai dirinya.

Nur tertegun. Dilihatnya disekelilingnya yang gelap gulita, yang hanya ada penerangan dari lampu jalan dan lampu dari kendaraan yang ramai lalu-lalang, dan persawahan di sepanjang jalan.

“Ko bisa sampai disini?” pikirnya, “Masya Allah, kebablasan.”

Dia turunkan gigi perseneling itu ke gigi satu, menyalakan lampu sein kanan, dan melihat kebelakangnya. Saat dia merasa keadaan sudah lumayan sepi, dia tarik gas motor itu dan naik ke jalan aspal. Secara perlahan dia kendarai motornya ke tengah jalan. Saat kendaraan dari arah yang berlawanan sepi, dia putar balik motornya.

Gerbang berwarna ungu di depan merupakan tanda masuk perumahannya. Dia menyalakan lampu sein kanannya dan menuju ke tengah jalan. Dilihatnya dari lawan arah sepi, dia tarik gasnya langsung menyeberang. Jalan masuk perumahan itu cukup lebar, 2 bis pun bisa masuk, saking lebarnya jalan ini dibuat pemisah antar jalur ditengahnya berupa taman. Jalan ini juga sangat terang, selain lampu yang ada di pinggir jalan, pemisah jalan di tengah itu pun dilengkapi dengan lampu.

Rumah di blok depan ini juga megah dan besar. Nur membatin, “Rumah-rumah ini apa ada yang menempati ya? Sejak tinggal di sini, aku tidak pernah menemui penghuninya dan akupun tidak pernah tahu siapa pemiliknya.”

“Pertigaan depan itu belok kiri, masuk gerbang dan nyampe sudah ke rumah.”

Dia melewati masjid besar di kanan jalan, benaknya berkata, “Sudah lama aku tidak berjamaah di sini. Sudah lama juga aku tidak ikut majelis ilmu. Ya Allah ampunilah dosaku.”

Jalan ini lebih sempit dari jalan besar tadi juga lebih gelap. Jalan ini hanya bisa dilalui dua mobil bersimpangan dan hanya ada lampu di sebelah kanan jalan. Tidak ada pemisah jalur disini. Rumah rumah yang ada disini pun terlihat lebih kecil dan tidak semegah rumah di blok depan.

Dilaluinya gerbang bertuliskan “PERUMAHAN KOTA IV”.  Dikirinya, dia melihat sekilas dengan sudut matanya baliho berwarna kuning yang sudah lama dipasang disana. Dia sudah hafal apa informasi di baliho itu, tentang informasi kavling-kavling tipe 36 dan 45 siap jual dan perumahan ini adalah perluasan dari perumahan utama yang ada di depan.

“Kompleks ini kok masih sepi ya? Enggak ada yang beli atau bagaimana ya? Masa dari aku tinggal disini enggak ada penambahan rumah atau apa.” batinnya.

Ketika sampai di rumah bercat putih berpagar hitam, dia berhenti. Dia turun dari motornya, membuka gembok pagar sekaligus membukanya, kemudian dia menuntun motornya masuk , lalu menutup dan mengunci pagar. Diambilnya bungkusan tas kresek warna hitam yang berisi makanan dari gantungan motornya. Dia tak sabar ingin segera memberitahukan istrinya tentang kabar ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status