Share

Bab 4: Cuma Cleaning Service

Keesokan harinya, pukul delapan pagi aku terbangun di rumah Mira. Aku keluar dari kamar yang kutempati semalam. Sembari membawa handuk aku berjalan menuju kamar mandi.

Usai mandi dan bersalin baju, aku dipanggil oleh pembantu Mira untuk menyantap sarapan pagi yang telah ia siapkan.

Aku pun keluar lagi dari kamar, lalu duduk di ruang makan. Di sini, sebentar tercipta obrolan antara aku dan asisten rumah tangga Mira ini.

”Bu Mira mana, Mbak?” Tanyaku kemudian pada sang pembantu.

”Hemm..,” sang pembantu menolah-noleh seperti mencari. Pandangannya lalu mengarah ke luar melewati jendela yang ada di ruang makan ini.

”Tuh.”

Rupanya, di seberang jendela situ ada halaman samping, di mana sekarang Mira sedang berjalan mondar-mandir sembari berbincang dengan seseorang melalui ponselnya. Aku pun mengangguk.

”Silahkan, Mas,” kata sang pembantu, beri isyarat pada hidangan di atas meja.

”Terima kasih, Mbak.”

********

Mira menepati janjinya. Setelah hampir seharian penuh telepon sana telepon sini, akhirnya ia berhasil mendapatkan sebuah pekerjaan untuk aku. Salah satu kolega, relasi, atau mungkin teman arisannya memberi kabar gembira.

”Tapi, cuma cleaning service, mau?” Tanyanya padaku, dengan raut sedikit kecewa.

Aku tersenyum lega. Mira menggunakan kata ’cuma’, sedang bagiku pekerjaan itu adalah segala-galanya, anugerah besar untukku saat ini. Dalam hati aku mengucap Alhamdulillah.

”Di mana?” Tanyaku penuh harap.

”Di hotel Mustika Bumi, bintang lima, jalan Sukarno Hatta.”

Segera saja aku mengiyakan. Lagi pula, untuk jual mahal, punya ijazah apa aku ini. Satu yang terpenting bagiku adalah segera pergi dari rumah Mira, untuk menyelamatkan imanku yang kerdil.

Sebenarnya, Mira berusaha menahan aku. Ia memintaku untuk tinggal saja di rumahnya. Dia bilang rumahnya terlalu besar untuk ditinggali oleh dirinya, suami dan dua orang pembantunya.

Akan tetapi, mengingat bagaimana rautnya tadi malam saat menerima sentuhan tanganku, semakin berkeras saja aku hendak pergi.

Aku adalah lelaki yang sehat dan normal, juga tak pernah berinteraksi secara khusus dengan wanita. Aku takut khilaf dan tergelincir. Jika itu terjadi, aku akan sangat malu pada almarhumah Ibu dan Ainun yang sampai kini wajahnya tetap membayangi.

 Atas bantuan Mira pula, keesokan harinya aku berhasil mendapatkan sebuah ’rumah petak’—istilah untuk rumah kontrakan di Bandar Baru—di daerah Sidomulyo, tak jauh dari Pasar Pagi Arengka.

”Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan telepon aku ya,” kata Mira ketika ia mengantarku ke rumah kontrakan itu.

Ia lalu melungsurkan sebuah kartu nama padaku, tersenyum, balik badan, dan melangkah pergi meninggalkan aku. Akan tetapi.,

”Mmmm...” Mira hentikan langkah, seperti ada yang terlupa, lalu berbalik lagi padaku.

”Sering main ke rumahku ya.”   

********

Selang satu hari kemudian, tanpa menunggu tempo aku segera pergi menuju ke hotel Mustika Bumi. Aku mengikuti saja apa pun arahan dan petunjuk dari Mira.

Aku mengenakan pakaian terbaik yang aku punya. Aku juga memakai sepatu, satu-satunya yang aku punya. Aku membawa tas selempang yang sebelumnya telah aku isi dengan ijazah SMA dan beberapa dokumen lain. Tak ketinggalan botol minum bergambar Winnnie The Pooh kesayanganku.

Aku membutuhkan waktu hampir setengah jam menaiki oplet—angkot—untuk sampai pada tujuanku. Pukul sepuluh pagi, aku turun dari oplet lalu berjalan menuju area hotel dan berhenti di gapura. Ada sebuah pos sekuriti dan menurut hematku, aku harus mampir ke situ.

Aku langsung bingung, karena petugas keamanan yang menyambutku ini ternyata mempunyai semacam paradoks, yaitu; badannya tinggi tegap dan besar macam algojo, tapi nama yang tertera di seragamnya adalah Banowati.

Bano? Wati? Laki-laki atau perempuan?

”Permisi, eemm.., Bu, atau Pak,” sapaku dengan kikuk.

”Ya? Ada yang bisa dibantu?” Sahut sang sekuriti, bangkit dari kursi dan keluar dari posnya.

Suaranya sih, terdengar lembut seperti perempuan. Tapi wajah dan posturnya, oh, aku sampai melirik ke arah dadanya, barangkali ada dua tonjolan di situ. Memang ada!

”Saya Ifat, saya mau menemui Ibu  Rose.”

”Dari mana?”

”Saya dari Sidomulyo.” Aku menyebut tempat tinggalku sekarang ini. 

”Sudah  ada janji sebelumnya?”

”Ee..,”Aku bingung sebentar. ”Kalau janji sih, tidak ada. Tapi, saya disuruh menemui Ibu  Rose, kapan saja, Ibu Rose akan menerima saya.”

”Disuruh? Siapa yang menyuruh kamu?”

”Mira,” jawabku sedikit gugup.

”Oh, Bu Mira?”

”Iya.”

Aku menyebut ’Mira’, sementara petugas sekuriti itu menyebut dengan menggunakan kata ’Bu’. Aku jadi penasaran, ”Siapa sebenarnya Mira itu? Dan mengapa sekuriti bernama Banowati ini tampak begitu menghormatinya?”

”Sebentar ya.”

Petugas sekuriti kembali masuk ke dalam posnya. Ia melakukan panggilan lewat telepon intercom. Aku berdiri menunggu di depan pos, tepat di tepi gapura hotel.

Tak lama kemudian, petugas Banowati mengeluarkan kepalanya melewati ambang pintu pos. Ia masih menelepon. Kabel telepon intercom terjulur panjang di samping kepalanya.

”Siapa nama kamu tadi?”

”Ifat.”

Petugas Banowati kembali melanjutkan pembicaraannya di telepon. Aku yang  menunggu di luar semakin harap-harap cemas. Aku kemudian mengedarkan pandanganku ke seantero hotel.

Halamannya luas, sangat asri dengan pohon peneduh dan aneka macam tanaman hias. Lobbynya juga luas. Sementara gedung hotelnya sendiri terdiri dari.., aku pun menengadah, sepuluh lantai.

”Oke, Ifat,” suara Banowati menginterupsi pemikiranku.

”Silahkan kamu masuk ke dalam. Sudah ditunggu Ibu Rose.”

”Eee.., maaf, ke arah mana ya Bu?”

Dengan sebelah tangannya petugas Banowati memberikan petunjuk. Katanya;

”Silahkan kamu masuk ke dalam. Sampai di recepsionis kamu belok kiri. Naik ke lantai dua. Tak usah pakai lift. Pakai tangga saja. Nah, ruangan kantor Bu Rose ada di sisi kiri. Ada tulisan di pintunya kok.”

Aku mengangguk.

”Terima kasih, Bu Wati,”

”Jangan panggil saya Wati.”

”Oh, maaf.”

”Panggil saya Bano.”

”Oh, iya, terima kasih Bu Bano.”

”Bano saja.”

”Bano.”

********

Sesuai arahan Bano tadi, aku pun memasuki hotel. Ketika melewati lobby dan selanjutnya front desk, aku menganggukkan kepala pada petugas resepsionis dan beberapa petugas hotel yang ada di situ.

Aku belok kiri ke arah belakang, lalu menaiki tangga menuju lantai dua. Setelah melewati anak tangga teratas, aku pun berbelok untuk..,

”Eiittss..!” Ada pekikan tertahan dari seorang perempuan. Secara bersamaan pula aku terkejut dan sontak hentikan langkah.

”Upss..! Maaf,” kataku.

Fiuh, nyaris saja aku bertabrakan dengan seorang wanita cantik, yang jika kulihat dari setelannya, sepertinya ia karyawan hotel ini juga.

Apakah ini Bu Rose? Aku pun melirik emblem nama yang ada di dada kanannya. Bukan. Nama yang tertera di situ adalah Leony DA.

”Maaf, tamu ya?” Tanya si wanita padaku..  

”Eee.., bukan,” jawabku cepat.

Setelah mengetahui aku ini bukan tamu hotel, sekonyong-konyong saja ia mendampratku.

”Kalau jalan itu pakai mata dong!”    

Duh, galaknya!           

********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status