Bab 6: Obsesi
BERBULAN-BULAN KEMUDIAN..,
**
Aku sudah membayangkannya, bahkan sebelum Ucon mengatakannya.
“Bayangkan.., bayangkan itu, Fat! Aku akan jadi penulis terkenal!”
Dia mencengkeram bahuku dengan sebelah tangan, lalu menggguncangkannya penuh semangat. Aku menerima saja, ikut dalam irama dorong dan tarikan tangannya itu. Kupaksakan juga menyungging senyum untuk menghargai ceritanya yang berapi-api.
”Aku tak perlu lagi membongkar ekskavator sambil berpanas-panasan di bawah terik matahari, atau mengelas sambil tiarap di kolong alat berat.”
”Aku tak perlu keluar masuk hutan untuk menyambung tangan alat berat yang patah, atau menyambung rantai tracklink buldoser...”
Mendapatiku yang hanya tersenyum, memandangnya sesekali tanpa melepas perhatian pada lalu lalang kendaraan di jalan, dia mengguncang bahuku lagi.
”Bayangkan itu, Fat!”
”Aku bisa merdeka dari payaunya air gambut, nyamuk malaria yang kejam!”
”Aku bisa terbebas dari oli kotor, gemuk, solar busuk, juga engkol mesin diesel!!”
Kuangguk-anggukkan kepala, sekali menoleh padanya, lalu kembali kulemparkan pandangan ke jalan. Sorotku tertuju pada oplet—angkutan kota—berwarna hijau tua yang berhenti di lampu merah, penuh sesak dengan penumpang, ikut menyesaki badan jalan dengan mobil-mobil lain.
Dari dalam oplet itu terdengar suara musik dengan beat yang cepat, berdentam-dentum. Sementara dari jendelanya dapat kulihat beberapa penumpang lelaki yang menggoyangkan kepala kanan-kiri, ikut dalam irama musik yang ajib-ajib itu. Norak sekali.
Tampak pula seorang ibu yang menekan dadanya, tersiksa dentum musik yang sangat tak sebanding dengan mobil angkutan yang kecil, juga asap rokok yang diembuskan penumpang lain.
Ia semakin tersiksa dengan ketidakacuhan sang sopir yang menambah volume musik untuk menarik perhatian para calon penumpang yang ramai berbondong keluar dari areal mal SKA (Sentra Komersial Arengka), sebuah pusat perbelanjaan elit di jantung kota Bandar Baru ini.
Ucon di sampingku terus mengoceh,
”Aku bisa merdeka dari para pemborong yang menipu!”
”Aku bisa bebas dari tauke alat berat yang menekan ongkos kerja sampai ke jempol kaki! ”Aku juga bisa merdeka dari persaingan harga tenaga para kuli.!”
”Ah, indahnyaa..!”
Sementara aku terus saja berpikir, tentang bagaimana mungkin sopir oplet itu bisa memanggil calon penumpang, sedang di dalam mobil yang ditambangnya sudah tak ada lagi ruang, untuk satu orang pun.
Namun kemudian aku menyadari satu hal yang selanjutnya membuatku asyik pula memperhatikan aktifitas orang-orang lima puluh meter di depanku itu.
Yakni, para calon penumpang yang dielu-elukan para sopir oplet itu hampir seratus persennya adalah wanita! Para wanita sales promotion girl mal SKA! Dengan beribu-ribu daya magnet yang ada padanya, pada rona merah make up pipinya, merah lipstik yang menyala, juga pada rok mininya, ditambah pletak-pletok hak tinggi sepatunya yang ternyata membawa konsekuensi mendebarkan; pinggulnya berjungkat-jungkit umpama neraca timbang.
Semuanya itu tampak jelas walau hanya dengan penerangan lampu-lampu jalan.
”Bagaimana, Fat? Indah, kan?”
”Iya, Con, memang indah,” sahutku pelan, dengan pandangan yang terus terpaku pada wanita-wanita SPG dari mall SKA tadi.
Mungkin merasa tidak kuacuhkan, Ucon yang sedari tadi bercerita di sampingku ini kesal. Ia menarik daguku.
”Bayangkan itu, Faaatt..! Aku akan jadi novelis!!”
Aku tersentak, dan wanita-wanita SPG nan semlohai itu selamat dari sepasang mata liarku, tapi tidak dari belasan pasang mata sopir oplet tadi.
”Jadi, kalau naskah sudah kamu kirim, kapan kamu bisa menerima konfirmasi dari penerbit itu?” Tanyaku kemudian.
”Sebulan.”
”Sebulan?”
”Ya, itu minimal. Dari FAQ yang kubaca di halaman situsnya, penerbit itu akan mengembalikan naskahku jika tidak diterima.”
”Nah, kalau naskah kamu tidak diterima?”
”Aku akan mencoba opsi kedua.”
”Apa itu?”
”Self Publishing, menerbitkan sendiri karyaku. Butuh modal sih, tapi modal kan bisa dicari.”
Aku mengangguk-angguk. Kuputar posisi dudukku sedikit ke kanan, dan kukalungkan tanganku ke bahu sahabatku ini.
”Oke, aku doakan naskahmu diterima, jadi novelis, dan tak perlu lagi jadi tukang las..”
”Terima kasih, terima kasih..” sahutnya sambil tersenyum padaku.
”Tapi kalau sudah sukses, banyak royalti, jangan lupakan aku ya?”
”Tenang saja, aku kasih kamu modal untuk usaha. Tak perlu lagi kamu jadi cleaning service di hotel itu.”
Aku tersenyum, terbuai dengan kata-kata Ucon barusan. Dia selalu ingin menunjukkan bahwa dia akan membuktikan perkataan yang pernah ia sampaikan padaku dulu, ketika kami berkenalan.
Bahwa; kasih ibu akan dibawa mati, kasih saudara sama berada, dan kasih sahabat sama merasa.
Dia tidak akan melupakan aku. Namaku ia masukkan ke dalam daftar orang-orang spesial dalam hatinya. Setidaknya, untuk saat ini, dia mau berbagi khayalannya.
”Kalau naskahku diterima, terus dibaca masyarakat pembaca seluruh Indonesia, aakh.. senangnya! Itu akan jadi kisah cinta yang paling menggetarkan abad ini..!”
Tepat ketika Ucon akan melanjutkann kata-katanya, ponselku yang ada di saku celana bergetar. Derrrt..! derrrtt..! Cepat aku mengambilnya. Hemm, ada pesan masuk rupanya.
Dari siapakah?
Ternyata, tidak ada namanya. Alias nomor asing.
Aku ingin langsung membuka pesan dan membaca isinya, akan tetapi aku sungkan pada Ucon yang kembali menggebu-gebu.
”Bayangkan Fat, aku akan menghadirkan kisah cinta seperti roman Nabi Yusuf dan Zulaikha di altar sastra milenium ini. Orang-orang akan menikmati romantika dari kitab suci Al-Qur’an.”
”Ada cinta yang terlarang di sana, nafsu yang terkekang, cinta tak berbalas, bertepuk sebelah tangan, penolakan, penampikan, perjuangan, pengorbanan, pertarungan, tetes darah, airmata, juga..,”
Lanjutan kata-kata Ucon tidak sempat aku dengar. Karena secara diam-diam aku mengalihkan fokus pada ponsel di tanganku. Aku membuka isi pesan tadi dan segera membacanya.
”Apa kabar, Fat?”
Nah, lho? Ini siapa ya? Tanyaku dalam hati.
********
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan