MasukGuru itu terdiam cukup lama. Tatapannya tidak lagi setajam sebelumnya, namun juga belum sepenuhnya yakin. Ruangan kesiswaan terasa semakin dingin."Kau berani membuktikannya?" tanya guru itu akhirnya, suaranya rendah, nyaris menantang.Anora mengangguk mantap tanpa ragu sedikit pun. "Tentu saja!"Keheningan kembali menggantung di antara mereka. Guru itu menghela napas panjang, seolah sedang menimbang sesuatu yang lebih besar dari sekadar satu pelanggaran siswa."Baiklah," ucapnya kemudian. "Mulai hari ini, kau Ibu skorsing selama tiga hari."Anora tidak bereaksi. Tidak terkejut. Tidak membantah."Setelah masa skorsingmu selesai," lanjut guru itu sambil menatapnya lurus, "kau datang kembali ke ruangan ini. Dan saat itu, tunjukkan pada Ibu semua bukti yang kau miliki.""Baik," jawab Anora singkat. Satu-satunya keinginannya saat itu hanya satu, keluar dari ruangan ini secepat mungkin.Guru itu memberi isyarat kecil. Pertemuan selesai.Pintu ruangan terbuka pelan, lalu tertutup kembali di
Di ruang yang cukup dingin, Anora duduk berdua dengan satu guru kesiswaan di sana. Di ruangan itu, ada satu kamera yang bisa merekam dirinya dan dapat terlihat oleh seluruh kelas di sekolahnya melalui televisi di dalam masing-masing kelas."Kau pasti tahu kenapa saya memanggilmu, Anora!" ucap guru itu menatap Anora serius.Anora mengangguk. "Forum," balas Anora santai.Guru itu membuang napasnya lelah. "Kau sudah dua kali bermasalah Anora, sayang sekali murid berprestasi sepertimu...""Kenapa kau melakukan itu?" lanjut guru itu dengn sedikit kecewa."Itu bukan saya," balas Anora menatap guru itu serius. "Lalu video ini, kau bisa jelaskan?" guru itu memutarkan video yang dikirim seorang anonim di forum sekolah.Di dalam video itu, sosok yang diduga Anora terlihat memasuki salah satu klub ternama di kota. Warna rambut, postur tubuh, hingga gelang di pergelangan tangannya begitu identik, seolah sengaja ditampilkan untuk me
Di tengah kota, pagi berdenyut lebih cepat. Klakson bersahutan, lampu lalu lintas berganti warna dengan ritme yang teratur, dan deretan gedung memantulkan cahaya matahari yang baru naik. Bus berhenti dan melaju, penjual kaki lima menata dagangan, dan pejalan kaki bergerak dalam alur masing-masing.Meski riuh, ada keteraturan di dalamnya, sebuah kesibukan yang menandai awal hari, saat kota dan sekolah sama-sama terbangun, siap menjalani cerita mereka sendiri.Di sekolah kembali ramai seperti biasanya.Alaric datang lebih awal seperti biasa. Dia berdiri di dekat jendela koridor lantai dua, tangan dimasukkan ke saku jaket, tatapannya kosong menatap halaman sekolah. Beberapa siswa melirik—sebagian berbisik—tentang kejadian sore kemarin.Langkah kaki ringan terdengar mendekat."Pagi." Suara Selvara lembut, nyaris seperti sapaan kebetulan. Dia berhenti di sisi Alaric, cukup dekat jika di lihat dari jarak jauh."Kau baik-baik saja?" tanyanya, seolah tulus. "Aku ingin membantumu, tapi kau sud
Lampu-lampu kota menyala penuh di bawah sana, tampak seperti bintang palsu yang tersebar rapi. Dari kamar atas apartemen, jalanan terlihat tenang, hanya garis cahaya kendaraan yang bergerak pelan, menandai waktu yang terus berjalan.Udara malam menempel di kaca jendela, dingin dan hening. Kota terasa jauh, seolah semua keramaian tertinggal di bawah, sementara di ketinggian ini hanya ada diam dan pikiran yang tak bersuara.Anora berdiri di depan jendela kamarnya, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada."Jelaskan!" Suara Ink memecah keheningan di antara mereka berdua, tajam, tapi disertai nada cemas yang tidak bisa disembunyikan.Ink berdiri di samping Anora, menatapnya serius. Sorot matanya keras, menuntut jawaban."Tidak ada yang perlu aku jelaskan," balas Anora santai, suaranya datar, tapi nada itu menyembunyikan banyak hal.Ink membuang napasnya kasar. "Aku sudah membantumu untuk mengulang hal ini tidak terjadi, jangan membuat semuanya terulang lagi!""Aku tidak memintamu un
"Kak Al, kau percaya ini, kan?" tanya Selvara dengan tenang, dia menatap mata Alaric seolah menghipnotisnya.Selvara tersenyum manis saat Alaric menatapnya sambil mengangguk mantap."Tentu saja."Selvara membelai pipi Alaric, menatapnya dengan penuh cinta. Alaric menatap Selvara, dia memejamkan matanya menikmati usapan lembut itu."Kenapa kau tidak bilang lebih awal..." lirih Alaric yang sudah membuka matanya."Aku takut... aku takut tidak pantas untukmu, aku takut saat aku memberi tahumu semuanya berubah," balas Selvara tersenyum sendu."Aku tidak akan berubah." Alaric tersenyum, dia memegang tangan Selvara yang berada di pipinya, mengelus lembut tangan itu.Selvara tersenyum manis, dia semakin mendekatkan tubuhnya ke Alaric, menatap bibir Alaric sekilas lalu mengecupnya singkat."Kau tahu Kak Al, aku sangat mencintaimu lebih dari siapa pun."Alaric tersenyum.Selvara mengubah posisi duduknya, perlahan naik ke atas pangkuan Alaric. Jarak di antara mereka lenyap."Aku akan menunggu Ka
Malam turun tanpa suara. Langit menggantung kelam, seolah menekan bumi dengan warna hitam pekat yang hanya disela oleh lampu-lampu jalan berpendar pucat. Udara terasa dingin dan berat, membawa aroma debu serta besi tua dari bangunan kosong yang berdiri bisu di tepi jalan. Dindingnya kusam, jendelanya gelap, seperti menelan segala cahaya yang mendekat.Sebuah mobil terparkir di halaman bangunan itu. Mesin telah dimatikan, namun panasnya belum sepenuhnya pergi. Di dalam kabin yang sempit dan redup, tiga orang duduk dalam keheningan—dua laki-laki dan satu perempuan. Cahaya dari panel dashboard menjadi satu-satunya sumber terang, memantulkan bayangan samar di wajah mereka."Sepertinya ramuan itu belum bekerja sepenuhnya," ucap perempuan itu menatap kedua laki-laki itu dari belakang.Salah satu laki-laki itu menatap ke arah belakang dengan menaikan satu alisnya. "Tidak mungkin, sudah lebih dari 3 botol kan kau berikan padanya?"Perempuan itu mengangguk. "Iya, tapi tadi... aku rasa dia belu







